Truk-truk tambang batubara di Jambi terus menelan korban jiwa. Sejak 2017 hingga Juli 2022, sebanyak 116 orang meninggal dunia karena kecelakaan yang melibatkan truk-truk tersebut.
KETIKA MAGRIB DATANG, truk-truk pengangkut batubara mulai bergerak dari mulut tambang menjejali jalan lintas Jambi-Muara Bulian. Mereka berjalan beriringan seperti tengah konvoi, menempuh perjalanan lebih dari 150 kilometer dari Kabupaten Sarolangun menuju Pelabuhan Talang Duku, Kabupaten Muaro Jambi.
Dari sana, emas hitam itu dikirim ke Lampung, Riau, Sumatera Utara hingga Pulau Jawa untuk menggerakkan mesin PLTU yang dikelola PLN, agar listrik di dalam negeri terus menyala. China, India, dan Vietnam juga menampung jutaan ton batubara dari Jambi.
Truk-truk itu menyusuri jalanan yang minim penerangan sepanjang malam. Bila bernasib malang, misalnya mogok atau ada kerusakan lain, truk dan sopirnya bisa bermalam di jalanan berhari-hari. Itu yang dialami Roziq Karmeo. Sudah dua hari truk yang disopirinya itu mangkrak di tengah jalan karena as rodanya patah. Roda truk itu menggelinding ke parit saat membawa muatan batubara milik PT Kurnia Alam Investama.
Sekilas truk mogok itu tidak banyak jadi perhatian selain bikin jalanan agak tersendat, sampai akhirnya sebuah peristiwa nahas terjadi. Usai magrib, sebuah sepeda motor melaju di jalanan gelap itu menghantam buritan truk Roziq hingga ringsek.
Braaaaak!
Suara tabrakan itu bikin Darmawan kaget. Saat itu ia hendak pulang setelah selesai salat magrib di masjid At-Taqwa, tak jauh dari lokasi truk mangkrak. Seketika warga yang baru selesai salat, langsung keluar dari masjid.
“Kecelakaan,” pikir Darmawan.
Ia bergegas mendekati truk dengan sepeda motornya. Orang-orang juga mulai berkerumun di kegelapan. Dari sorot lampu motor, Darmawan melihat sesosok tubuh terkapar bersimbah darah. Orang-orang panik setelah mengetahui identitas korban: Ardhika Afif Qodri atau akrab disapa Dika, usia 16 tahun, anak dari Arsad, warga setempat. Orang-orang mulai berteriak memanggil Arsad.
Mendengar teriakan itu, Rahmad yang rumahnya dekat dari lokasi kecelakaan langsung lari keluar rumah, sementara Arsad masih mandi. Rahmad, yang datang lebih dulu, terkejut melihat keponakannya sudah terkapar. Ia lantas menarik tubuh Dika yang terjepit di antara sepeda motor dan pantat truk. Darmawan turut membantu Rahmad.
Arsad buru-buru berpakaian, tangannya menyambar kunci dan memacu motor ke jalan lintas yang hanya berjarak beberapa puluh meter.
Di sana, ia melihat anaknya yang sekarat digotong Darmawan dan Rahmad masuk mobil, untuk segera dibawa ke RS Mitra Medika Batanghari di Muara Bulian.
“Saat diangkut ke mobil masih ada suara anak itu, aku pikir masih bisa diselamatkan,” kata Rahmad. “Sampai rumah sakit, helmnya aku buka, byak, darah di helm itu tumpah. Sarungku darah semua.”
Di rumah sakit, Arsad hanya bisa menatap anaknya yang terbaring di ruang ICU, berjuang antara hidup dan mati. Pikirannya kalut, sadar hal buruk akan segera terjadi. Dika hanya mampu bertahan 3,5 jam di ICU. Pukul 21.50, ia meninggal.
Parsiem, istri Arsad, yang mengetahui anaknya meninggal, langsung ambruk, tak sadarkan diri. Hatinya remuk. Dika menjadi anak satu-satunya setelah kakaknya meninggal enam tahun lalu. Keduanya meninggal pada usia yang sama, 16 tahun.
Dua minggu setelah kecelakaan itu, saya menemui Arsad dan Parsiem di rumahnya di Kelurahan Teratai, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batang Hari. Mata perempuan 46 tahun itu masih tampak sembab karena berhari-hari meratapi kepergian anaknya.
“Dia (Dika) satu-satunya harapan kami saat kami tua,” kata Arsad pelan dengan mata berkaca-kaca.
Parsiem yang duduk di sebelah memegang tangan Arsad. Keduanya saling tatap.
“Sekarang kamilah yang harus saling jaga. Kami tidak punya anak lagi.”
* * *
Kecelakaan yang merenggut nyawa anak sulungnya pada 26 Juli 2018 hampir membuat Anton gila. Ia trauma berat. Sekelebat ingatan tentang anaknya masih sering terlintas. Ia tak pernah lupa bagaimana Eka Putri Ayuningsih terkapar penuh luka dan bersimbah darah setelah ditumbuk truk batubara di tikungan dekat jembatan Cempedak Mati, Pemayung, sekitar 13 kilometer dari rumahnya.
Waktu itu Eka pamit berangkat kuliah. Ia lolos masuk Universitas Jambi sebagai mahasiswi undangan dari Batang Hari. Eka membawa baju dalam koper karena akan tinggal agak lama di asrama. Sampai sekarang koper yang dibawa Eka masih tertutup rapat. Tak seorang pun berani membukanya, termasuk Anton yang takut teringat anaknya.
“Kalau menung di rumah keingat terus. Makanya aku kerja dari pagi sampai sore. Ibunya juga aku suruh begawe (bekerja), menung di rumah lama-lama bisa gila,” kata buruh sadap karet itu.
Sampai sekarang, ia tak pernah tahu siapa yang menabrak anaknya. Polres Batang Hari yang melakukan olah tempat kejadian perkara juga tak mampu mengungkapnya.
“Percuma lapor, percuma!” kata Anton, putus asa. “Yang punya batubara itu orang berpangkat semua. Kita rakyat kecil bisa apa?”
“Empat tahun lewat, siapa yang nabrak anakku sampai sekarang nggak tahu dan nggak bisa ditangkap,” kata Anton, kecewa.
Saman bisa merasakan kemarahan dan kepedihan yang sama soal kehilangan anak. Rendi Firmansyah, anaknya yang baru berumur 8 tahun, meninggal ditabrak truk angkutan batubara sepulang mengaji. Dia terus ingat kejadiannya: 26 Agustus 2021, pukul 07.00 malam, di tikungan Desa Rantau Puri, persis depan rumahnya. Sopirnya kabur.
Belakangan si sopir bernama Eko Setiawan, masih satu desa.
“Di Rantau Puri ini, kalau sopir batubara itu dapat [ketangkap], mati, dibakar hidup-hidup,” kata Saman. “Kalau malam itu saya tahu yang menabrak rumahnya dekat, mungkin saya akan nyerang… jadi sama-sama ngubur.”
* * *
Kabar buruk kembali datang sekitar tiga bulan setelah kematian Eka. Hari itu mendung masih menggelayut di ujung barat Desa Rantau Puri.
Elfi sedang memberi makan ayam. Sementara Jamel, suaminya, tengah ngaso, badannya serasa remuk setelah dibanting-banting di jalanan berbatu selama 2,5 jam, mengendarai motor dari Desa Bungku di pelosok Batang Hari. Di hari yang dingin itu, keduanya tengah menunggu anaknya, Novrian Akbar, pulang sekolah.
Tak jauh dari rumah mereka, di tengah jalanan licin, Yunus memburu waktu agar segera sampai Sarolangun untuk memuat batubara. Dia menginjak gas lebih dalam di jalan lurus menanjak, berniat menyalip dua truk tangki di depan.
Belum sempat menyalip truk kedua, selepas tikungan ke kiri, tiba-tiba Akbar yang mengendarai sepeda motor muncul dari arah berlawanan. Bocah itu gugup melihat truk di depan, terjatuh. Yunus membanting setir ke kiri berusaha menghindar, tapi terhalang truk tangki. Seketika Akbar dihantam truk. Tubuhnya terpental beberapa meter. Tulang lehernya patah, meninggal di tempat.
Yunus ditangkap warga di depan warung dekat dari tugu sapi Talang Bukit. Truknya disita, sementara ia lari ke kantor polisi karena takut diamuk massa.
Kematian Akbar membuat warga Rantau Puri mengamuk. Puluhan orang bergerombol. Dalam hati mereka penuh rasa amarah. Tak butuh waktu lama, mereka mulai beringas.
Ada yang teriak, “Bakar!”
“Sudah, sudah,” kata orang lain menenangkan massa. Tapi sia-sia. Truk tetap dibakar.
Elfi, yang lagi santai, seperti disambar petir, mengetahui kabar anaknya meninggal kecelakaan ditabrak truk batubara. Ia menangis. Sementara Jamel, suaminya, memacu motornya menuju tugu sapi.
Kematian Akbar sulit diterima Jamel. Dalam hati, ia ingin memperpanjang kasus ini, tapi ia sadar anaknya tidak akan kembali.
“Mau kita perpanjang juga nggak ada hasilnya, anak kita tidak akan kembali. Kita juga bakal mati… itu yang membuat saya tegar,” katanya. “Sekarang dia [Akbar] sudah tenang.”
Saat saya mendatangi rumahnya, Elfi menunjukkan foto Akbar mengenakan seragam putih berdasi biru, perawakannya gemuk mirip bapaknya. Elfi masih ingat apa yang dikatakan anaknya terakhir kali.
“Mak, kami tak ingin nyusahin Emak,” kata Elfi.
“Iyo, Mak tahu. Yang penting kau belajar rajin. Kalau kau senang, Emak ikut senang. Emak nggak minta apa-apa.” Suara Elfi bergetar.
“Akbar sayang sama Mamak.”
Perempuan 47 tahun itu berhenti sejenak, berusaha menata hatinya yang berkecamuk. Belasan tahun selalu bersama anaknya, tiba-tiba dipisahkan maut. Perlahan air matanya mengalir.
Truk Batubara si Raja Jalanan
Jalan depan terminal Alam Barajo, Kota Jambi, sudah ramai sejak pagi. Dari seberang jalan, orang-orang berjubel di pasar samping terminal. Tak jauh dari mereka, beberapa tukang ojek mengobrol di atas motor.
Sebuah warung berdinding terpal biru persis di depan terminal, menyediakan menu gado-gado, lontong sayur, dan nasi gemuk. Saya duduk di kursi plastik dan memesan lontong. Di sebelah saya, tukang ojek sedang sarapan sambil menunggu penumpang.
Pertengahan Oktober 2019, pernah terjadi kecelakaan di sini. Seorang pengendara motor meninggal ditabrak truk batubara. Saban hari, ribuan truk batubara berseliweran melintasi jalan Kota Jambi setelah menumpahkan belasan ton batubara di stockpile dekat Pelabuhan Talang Duku. Indah, pemilik warung, menyebut sopir batubara sebagai “raja jalanan”.
“Dia [sopir batubara] nggak mau ngalah. Jalan ini macam jalan dia sendiri. Orang kalau nggak mau minggir ditabraknya,” kata Indah.
“Dulu ada mobil angkutan ditabrak sampai gepeng. Tapi, untung sopirnya selamat. Kalau ada penumpangnya, pasti banyak yang mati.”
“Apalagi truk batubara yang kosong itu lebih gila lagi ngebut. Sopirnya capek, ngantuk, ngebut. Itulah banyak orang kecelakaan,” kata tukang ojek di sebelah saya.
Indah masih ingat peristiwa kecelakaan yang menewaskan Ucok, warga Perum Kota Baru Indah. Pagi itu jalan di depan terminal masih sepi. Indah tengah melayani pelanggannya sarapan. Ia melihat beberapa meter dari warungnya, bus Amanah berhenti di tepi jalan, menunggu penumpang berangkat ke Padang. Truk batubara tanpa muatan berseliweran memadati jalan.
Tak jauh dari tempatnya berjualan, seorang lelaki 30 tahunan mengendarai motor Revo berhenti di belakang bus Amanah.
Tiba-tiba, suara benturan keras mengagetkan orang-orang yang sedang sarapan di warung Indah. Bus Amanah bergerak maju beberapa meter melewati warung setelah dihantam truk batubara dari belakang.
Orang-orang di warung kontan kocar-kacir keluar. Sadar ada kecelakaan, semua orang berkerumun. Indah berlari keluar. Ia melihat tangan dan darah di bawah kolong truk.
“Orang itu dikit lagi kelindes ban belakang,” kata Indah. “Ngeri.”
Dianggap Bukan Persoalan Besar
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Cipayung menggeruduk gedung DPRD Provinsi Jambi saat anggota dewan menggelar rapat paripurna bersama Gubernur Jambi, Al Haris, pada 15 Juli 2022. Mereka mempertanyakan setahun kinerja Al Haris, termasuk jalan khusus angkutan tambang batubara yang tak kunjung dibangun sejak direncanakan pada 2013.
Tercatat, 116 orang meninggal akibat kecelakaan yang melibatkan angkutan batubara, sejak 2017 hingga 31 Juli 2022. Al Haris menanggapi santai. Ia menganggap kecelakaan adalah hal biasa terjadi.
“Itu hal wajar. Kecelakaan itu dimana saja bisa terjadi. Mau di Jambi, di Jawa, sama. Kalau boleh, kita buka data mungkin sama kejadiannya. Kita tidak bisa melihat ini persoalan besar,” katanya.
Selama ini, Pemerintah Provinsi Jambi terus mengumpulkan pundi-pundi rupiah dari dana bagi hasil batubara.
Pada 2017, Provinsi Jambi menerima Rp105 miliar; tahun 2018 menjadi Rp145 miliar; tahun 2019 sebesar Rp193 miliar; tahun 2020 sebanyak Rp213,3 miliar; dan tahun 2021 mencapai Rp271,3 miliar. Total Provinsi Jambi menerima Rp927,6 miliar.
Dari jumlah itu, Pemerintah Provinsi Jambi menerima 16%, sementara daerah penghasil batubara dapat bagian 32%, dan sisanya 32% dibagi untuk 10 daerah di sekitar daerah penghasil batubara.
Pada 2020, ada 126 izin tambang batubara Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Jambi. Jumlah ini belum termasuk izin yang didanai modal asing. Lebih dari 200 ribu hektare lahan di Jambi diberikan kepada pengusaha tambang.
Al Haris berdalih tak bisa berbuat banyak karena semua izin tambang batubara diambil alih pemerintah pusat.
“Saya juga tidak bisa menghindari ketika ada izin batubara yang keluar karena pemerintah pusat yang punya kewenangan. Dan saya tidak bisa membantah itu semua. Apa saya tolak? Tidak bisa, itu persoalannya!” katanya.
Pada 13 Juni 2022, Dirjen Minerba menghentikan aktivitas delapan perusahaan tambang batubara karena melanggar jam operasional angkutan batubara dan muatan. Angkutan batubara hanya boleh melintas setelah jam 18.00 dengan muatan tidak lebih dari 8 ton. Lararangan itu berlaku hingga 60 hari ke depan. Tapi, baru empat hari, sanksi tersebut dicabut.
Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Jambi, Ismed Wijaya, mengatakan pencabutan sanksi lantaran perusahaan sudah menandatangani surat pernyataan akan mengikuti aturan sesuai Surat Edaran Dirjen Minerba dan Gubernur Jambi.
Pada Juni 2022, Ditlantas Polda Jambi melaporkan 48 perusahaan atas kasus yang sama. Sejak Juni hingga 8 Juli 2022, total 46 perusahaan diberikan sanksi oleh Kementerian ESDM, tetapi 27 perusahaan sudah dicabut sanksinya. Ismed berkata ada empat perusahaan mendapatkan sanksi dua kali, tapi ia enggan menyebut namanya.
Saya menghubungi Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, Ridwan Djamaludin, tapi tak dijawab. Sebelumnya, saya telah mengirimkan pesan WhatsApp dan SMS meminta untuk wawancara, juga tak direspons.
Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau, berencana mengadukan Pemerintah Jambi ke Komnas HAM dan Kantor Staf Presiden terkait rentetan kecelakaan yang melibatkan truk pengangkut batubara tersebut.
“Ini [kecelakaan] terjadi karena ada pembiaran, akhirnya terjadi ‘pembunuhan massal’. Orang-orang dijadikan tumbal demi investasi. Pemerintah harus tanggung jawab!” kata Fery. “Mereka terima duit ratusan miliar, tapi warga dijadikan korban.”
Berdasarkan Handbook of Energy & Economic Statistic of Indonesia 2021, Jambi memiliki sumber daya batubara mencapai 4,574 miliar ton dan cadangan batubara 1,658 miliar ton. Terbesar kedua di Sumatera setelah Sumatera Selatan.
Pada April 2022, pemerintah telah menyetujui kuota produksi batubara di Jambi mencapai 39,7 juta ton. Jika jumlah itu terpenuhi, diperkirakan bakal ada 13 ribu lebih truk batubara yang akan wara-wiri di jalanan Jambi.
* * *
Sanksi ringan yang diberikan pemerintah terhadap perusahaan pemilik truk batubara itu tampaknya tidak berdampak apa-apa. Belum sebulan setelah sejumlah sanksi dijatuhkan, truk batubara kembali memakan korban.
Kali ini korbannya seorang polisi yang ditabrak truk batubara milik PT Surya Global Makmur.
Menurut keterangan Polda Jambi, selama bulan Juli, truk batubara milik PT Surya Global Makmur sudah dua kali terlibat dalam kecelakaan. Pada Juni, PT Surya Global Makmur dan tujuh perusahaan serupa sudah mendapatkan sanksi dari Dirjen Minerba.
Tapi, sanksi itu nyatanya tidak berarti apa-apa. Buktinya, pada Minggu malam, 31 Juli, Aiptu Janu Rahmad Santosa yang tengah bepergian mengendarai mobil bersama anak dan istrinya dari Jambi menuju Bangko justru jadi korban truk batubara.
Saat menghentikan mobilnya di pinggir jalan, truk angkutan batubara milik PT Surya Global Makmur melaju dengan kecepatan tinggi dan menabrak mobil Aiptu Janu. Aiptu Janu mengalami luka parah dan dilarikan ke rumah sakit. Nahas, ia tidak tertolong lagi.
Laporan ini didanai Kawan M, program keanggotaan pembaca Project Multatuli di mana Kawan M bisa terlibat dalam rapat redaksi dan mengusulkan ide liputan.