Presiden Joko Widodo dua hari lalu meninjau Stadion Kanjuruhan, Malang, yang merupakan ground zero dari kematian ratusan suporter klub sepak bola Arema. Seperti Anda tahu, Sabtu lalu (1/10) ada pertandingan sepak bola antara Persebaya, Surabaya dengan Arema, Malang. Arema kalah. Ini kekalahan pertama mereka dari Persebaya di kandang sendiri setelah 23 tahun.
Suporter Arema tidak puas. Mereka masuk ke lapangan. Aparat keamanan merasa kewalahan menangani suporter yang masuk ke lapangan. Mereka mulai bertindak brutal. Banyak video beredar menggambarkan bagaimana kekerasan ini terjadi pada suporter yang tampaknya juga mulai beringas ini.
Apa yang kemudian dilakukan polisi kita semua sudah paham. Kesatuan polisi yang bertugas, Brimob, mulai menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton.
Tembakan gas air mata ini memicu kepanikan. Orang berlomba mencari pintu keluar di tengah kekacauan, sementara banyak pintu masih ditutup. Desak-desakan (stampede) inilah yang menjadi sumber malapetaka. Sebanyak 131 orang meninggal dunia sia-sia. Sepak bola yang seharusnya menjadi hiburan massal menjadi kuburan massal.
Presiden Jokowi tidak sedikit pun menyinggung gas air mata ketika meninjau Stadion Kanjuruhan. Menurutnya, kematian itu disebabkan oleh pintu stadion yang terkunci, tangga yang tajam, serta kepanikan.
Saya bisa maklum mengapa presiden tidak menyentuh soal gas air mata. Ia tidak ingin menjatuhkan lembaga di mana dia adalah pimpinan tertingginya. Tidak itu saja, lembaga ini juga merupakan sekutu politik yang sudah mengamankan kekuasaannya selama delapan tahun ke belakang.
Banyak analisis, termasuk yang terakhir dari harian The Washington Post yang menelisik video dan foto saat-saat tragedi itu terjadi, menunjuk bahwa kematian ratusan suporter sepak bola ini adalah karena penggunaan gas air mata yang tidak pada tempatnya. FIFA (Federation International de Football Association) sendiri sudah melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion dalam menangani kerusuhan suporter sepak bola.
Presiden Jokowi memang tidak salah kalau menunjuk pintu, tangga, dan kepanikan, sebagai penyebab kematian. Namun yang tidak dia katakan adalah bahwa kepanikan ini dipicu oleh gas air mata. Orang-orang berlomba untuk keluar. Banyak yang mati terjepit dan kehabisan nafas saat berdesak-desakan.
Sebenarnya gas air mata itu tidak mematikan. Dalam kategori pengendalian massa (riot control) dia dikategorikan non-lethal atau tidak mematikan (meski tidak mematikan, bukan berarti tidak bisa membuat orang meregang nyawa. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebutkan salah satu penyebab kematian di Kanjuruhan adalah karena gas air mata). Ia biasanya dikeluarkan setelah mekanisme berunding dan penyekatan massa tidak berhasil membubarkan massa. Granat gas air mata ditembakkan berbarengan dengan semprotan air dengan tekanan tinggi. Bisa juga didahului dengan pelepasan binatang (anjing) untuk menakut-nakuti massa.
Para aktivis yang sering demo pasti punya pengalaman dengan gas air mata ini. Ada kepercayaan bahwa hand & body losion atau pasta gigi bisa menangkal gas air mata. Sehingga, sampai sekarang saya masih ingat “bau demo” tahun 1990an. Baunya adalah losion merek Viva yang dulu juga dijual di toko bapak saya. Hanya losion merek ini yang mampu kami beli karena kami para aktivis miskin.
Saya merasakan langsung gas air mata ini. Saya juga pernah mencoba pasta gigi dan losion. Namun, entah mengapa untuk saya kedua “obat” ini tidak manjur. Mata tetap berair, hidung memerah karena iritasi, batuk, dan agak sesak.
Ketika terkena gas air mata, reaksi pertama saya adalah lari menjauh. Mencari udara segar di mana tidak ada gas air mata atau mencari air untuk membasuh muka. Itu sebabnya membawa handuk basah adalah kewajiban untuk peserta demo.
Itu juga yang menjelaskan mengapa para penonton pertandingan Arema-Persebaya lari mencari pintu keluar ketika gas air mata ditembakkan. Perih mata, bersin, serta sesak napas itu menyiksa sekali. Untuk saya, kondisi seperti ini mirip seperti ikan yang dikeluarkan dari air. Tidak heran, ini memicu kepanikan luar biasa.
Sementara itu, beberapa analis dan selebritas internet mengatakan bahwa penyebab dari ricuh suporter yang berujung seratusan kematian ini adalah toxic subculture dari suporter sepak bola. Argumen mereka, para suporter ini memiliki fanatisme yang sangat tinggi dan sehingga permainan sepak bola dianggap sebagai pertaruhan harga diri bahkan pertaruhan eksistensial.
Mereka tentu tidak kehilangan contoh untuk memperlihatkan toxic subculture ini. Anda tentu masih ingat bagaimana pasukan-pasukan Bonek atau bondo nekat (modal nekat) dari Persebaya Surabaya menyerbu Jakarta. Mereka membajak kereta api dan merampok pedagang-pedagang makanan di stasiun-stasiun yang mereka lewati.
Mereka berangkat ke Jakarta tanpa modal apa pun. Dengan kekuatan massa sebagai suporter mereka mengharap atau memaksa orang lain akan membayar semua kebutuhan mereka–termasuk makan dan minum. Pada akhirnya, para elit politik lah yang menalangi mereka.
Beberapa minggu lalu, kota Yogyakarta kedatangan tamu yang tidak diundang yaitu para suporter Persis, Solo. Para suporter dari klub sepak bola milik anak presiden dan seorang menteri ini sedang dalam perjalanan menonton pertandingan di Magelang. Mereka hanya melintas di Yogya. Namun mereka sempat bentrok dengan penduduk.
Kelakuan inilah yang disebut toxic subculture. Umumnya para suporter ini bersembunyi di balik gerombolan. Karena gerombolan lebih sulit disalahkan dan bisa bertindak apa saja. Sekalipun berjumlah ratusan saja, mereka merasa mewakili masyarakat kotanya.
Betulkah argumen toxic subculture ini? Saya tidak melihatnya demikian. Benar bahwa toxic subculture itu ada. Benar bahwa mereka memiliki daya rusak sebagai gerombolan. Tetapi bukankah subculture suporter ini yang sangat diperlukan oleh klub-klub sepak bola? Bukankah suporter ini yang mengusung identitas klub?
Klub-klub sepak bola dan banyak cabang olahraga berusaha memelihara fanatisme suporter mereka. Merekalah yang membeli tiket untuk menonton pertandingan, membeli merchandise dan paraphernalia dari klub. Semakin banyak pendukung, semakin banyak penonton, semakin besar pemasukan klub, bukan saja dari tiket tapi juga dari iklan.
Menyalahkan suporter sepak bola sama seperti menyalahkan ayam yang sudah memberikan telur emas kepada klub-klub olahraga. Di sisi yang lain, klub-klub Indonesia tampaknya memperlakukan suporter ini hanya semata-mata sebagai tukang sorak. Mereka tidak berusaha menjadikannya suporter yang loyal dalam membeli tiket dan memberi kegembiraan bertanding.
Jika ada toxic subculture dalam tragedi Kanjuruhan ini, maka saya lebih cenderung memberikannya kepada aparat keamanan. Dalam pengamatan saya, crowd control atau pengendalian massa oleh aparat keamanan kita masih sangat buruk.
Saya masih ingat pelatihan dasar berdemo yang pernah saya ikuti. Para mentor mengatakan, kalau ada bentrokan antara massa dengan aparat, kalau ada gas air mata, larilah menjauh dari aparat. Jangan mendekat. Aparat tidak akan pernah memperlakukan demonstran yang menyerah secara damai. Mereka akan menggebuki atau melakukan berbagai tindak kekerasan kepada para pendemo. Bahkan kepada mereka yang sudah menyerah dan tidak berdaya.
Toxic subculture seperti inilah yang masih hidup sangat kuat pada aparat keamanan kita. Tendangan karate dari belakang oleh aparat militer terhadap seorang suporter yang lari tidak jauh dari toxic subculture tersebut. Pemuda Aremania tersebut jelas tidak melakukan kesalahan apa pun kecuali bahwa dia berada di lapangan dan melarikan diri dari aparat.
Penembakan gas air mata itu juga, dalam pandangan saya, adalah juga bagian dari toxic subculture tersebut. Para polisi yang melakukan itu menganggap massa yang tak terkontrol itu sebagai musuh yang harus ditaklukkan dengan cara apa pun. Mereka tidak melihatnya sebagai warga negara – yang juga membiayai gas air mata, seragam, hingga ke pendidikan, dan uang lauk pauk mereka.
Kalau ada kultur yang harus dihilangkan, saya kira toxic subculture aparat inilah yang harus pertama kali dihilangkan. Itu tentu bukan pekerjaan mudah. Jauh lebih mudah mengaudit stadion, memperbesar pintu-pintunya, dan melandaikan tangga-tangganya.
Made Supritma merupakan visiting fellow di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura.