Generasi Cemas Jakarta: Dilabeli Pemalas, Tapi Tetap Giat Mencari Kerja di Tengah Banjir PHK

Mawa Kresna
12 menit
Situasi perburuhan yang buruk tidak memberikan pilihan imajinasi bagi anak-anak muda. Banyak Generasi Z lebih memilih pekerjaan sebagai kurir, ojek online, penjaga toko seluler genggam, hingga pegawai minimarket. (Project M/Herra Frimawati)

Airin Dwi Aryani, 19 tahun terlihat duduk termangu sembari bersandar di pagar jembatan japir. Sesekali dia menengok aliran sungai kecil yang berair keruh dan kehitaman di bawahnya. Airin tinggal di kampung padat penduduk bernama Rawageni, di Depok, Jawa Barat. Perawakannya langsing dengan tinggi 164 cm dan berat badan 45 kg. Cita-citanya menjadi pramugari maskapai tersohor. 

Namun apa daya, jangankan menjadi pramugari, mencari pekerjaan saja sulitnya setengah mati. Sejak lulus jurusan Perkantoran di SMK “Bhinneka Nusantara” Cisarua, Bogor, pada 2024, Airin sudah empat kali gagal melamar pekerjaan. 

“Saya kayak di prank!celetuk Airin.

Orang tua Airin sudah bercerai. Ia dan kakak sulungnya memilih hidup bersama sang nenek yang sakit-sakitan, karena usia sudah 80-an tahun. Himpitan ekonomi keluarga, memaksa Airin tak bisa merasakan kuliah di universitas. Ibunya cuma mengurus rumah tangga dan bergantung pada penghasilan suami barunya. Sedangkan ayah kandungnya tidak bertanggung jawab, nyaris tak pernah membiayai hidup dan sekolah Airin. 

Airin hanya diberi uang saku Rp50 ribu per bulan oleh ibunya untuk belanja kosmetik dan uang jajan. Cukup tak cukup bagi kebutuhan gadis belia seperti Airin. Bahkan jika tak meminta lewat chat WhatsApp, ibunya acap kali lupa tak mengirim uang ke rekening bank atas nama Airin.

Kondisi demikian membuat Airin tak lagi pilih mencari kerja. Ia sudah melamar pekerjaan sebagai kasir di tiga restoran makanan cepat saji dan satu toko swalayan busana yang memiliki banyak cabang, namun tak satupun ada panggilan.

“Tapi saya tetap bersemangat untuk melamar pekerjaan, “ujar Airin dengan mata berkaca-kaca. Tangan mungilnya reflek bergerak, menewaskan seekor nyamuk yang menggigit kulit lengannya. 

Di tengah kondisi yang serba sulit, ia justru tertipu lowongan kerja. Di sebuah toko swalayan berjejaring di kabupaten Bogor, Airin dijanjikan bisa diterima kerja jika menyetor sejumlah uang. Pertama ia menyetor Rp200 ribu, lalu menyetor lagi Rp300 ribu. Angka yang tak sedikit, jika uang saku Airin cuma Rp50 ribu per bulan. Uang Rp500 ribu itu bisa untuk uang saku Airin selama 10 bulan. 

“Manajer bilang uang itu untuk rokok, “ujarnya.

Meskipun ia sudah menyetor Rp500 ribu, ia tetap tidak lolos kerja. Bahkan dipanggil untuk wawancara pun tidak. Airin cuma dijanjikan omong kosong. 

“Katanya, Senin akan dikabari. Selasa akan dikabari, tapi gak terealisasi, malah disuruh isi formulir bentuk pdf sebagai karyawan tetap. Saya isi formulir memakai laptop punya teman,” ungkap Airin.

Di formulir itu tertera angka gaji per bulan yang kelak diterima oleh Airin, sesuai standar UMR Kabupaten Bogor pada 2025 sebesar Rp4.877.000. Dua minggu lebih Airin menunggu kabar panggilan wawancara kerja, tanpa kepastian. Jika ingat peristiwa itu, Airin kesal sekali. 

Beda cerita dengan Muhammad Dekky Rizky, 20 tahun. Dia sudah 20 kali mengirim lamaran pekerjaan lengkap dengan biodata diri. Rizky acap kali mengulik informasi lowongan kerja di aplikasi Kita Lulus yang diunduh dari playstore

Lulusan 2023 dari Madrasah Aliyah Arrahmaniyah Depok ini, merasa putus asa menghadapi jalan terjal meski upayanya mencari pekerjaan sangat melelahkan. Ia tak bisa terus menganggur sebab keluarganya juga hidup pas-pasan.

“Apalagi bapak cuma bekerja kuli bangunan dan ibu petugas kebersihan sekolah,” ujarnya. 

Merasa punya tanggung jawab untuk keluarganya, Rizky terus berupaya mendapat pekerjaan tanpa pilih-pilih. Namun lagi-lagi nasib sial, lamarannya sebagai waiter ditolak oleh pihak restoran hingga kafe, bahkan warung di sekitar Bogor dan Depok. 

Rizky pernah mendatangi acara bursa kerja (job fair) di ITC Depok pada 2023. Dia pergi sejak pagi dan membawa map coklat berisi lamaran pekerjaan dan biodata diri. Rizky beruntung, acara bursa kerja saat itu tidak sesak pencari kerja seperti di kota-kota lainnya. 

“Saya berada di lokasi dari pukul 09.00 WIB hingga 12.00 WIB, cuma bawa satu map lamaran kerja, karena sebelumnya saya gak tahu job fair itu gimana? Jadinya cuma naruh lamaran di satu perusahaan saja,” ujarnya. 

Lebih 20 kali Rizky melamar kerja dan berakhir gagal, semangatnya pun menciut. “Ya, sudahlah pasrah,” ucap Rizky. 

Sementara itu Kurnia Aini (25), kakak Rizky, tak kalah miris ceritanya. Aini lebih sering ditolak kerja dengan alasan tinggi badan. Padahal tinggi Aini normal 155 cm. Sekarang Aini masih menganggur, hanya menjaga kakeknya yang semakin renta.

Saat itu hidupnya di ambang putus asa, tak sengaja Rizky berjumpa seorang pengurus partai politik yang menawarkan beasiswa KIP atau Kartu Indonesia Pintar. Rizky setuju dan menandatangani MoU sebagai penerima KIP. Beruntung dia mendapat rejeki nomplok bisa kuliah jurusan Teknik Informatika di Jakarta Global University, dan masuk pada 2024. Rizky menerima dana beasiswa sebesar Rp10,9 juta dari KIP per semester yang ditransfer ke rekening bank pribadinya.

Label Pemalas Meski Giat Bekerja

Sejak 1980-an orientasi pembangunan industri di Indonesia bertumpu pada padat modal, bukan padat karya. Dampaknya terjadi hingga saat ini. Gen Z menjadi korban ketidakadilan sistem ketenagakerjaan. (Project M/Herra Frimawati)

Syarif Arifin, seorang peneliti senior di Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) di Kota Bogor fokus melakukan penelitian soal perburuhan, termasuk Generasi Z dari sisi peluang kerja. Menurutnya, banyak Generasi Z lebih memilih sektor pekerjaan ringan sebagai kurir, ojek online, penjaga toko seluler genggam, hingga pegawai minimarket seperti Indomaret dan Alfamart.

“Situasi perburuhan yang buruk tidak memberikan pilihan imajinasi bagi anak-anak muda itu,” tutur Arifin.

Situasi yang buruk terlihat dari lapangan pekerjaan yang makin sulit membuat lowongan kerja di warung seblak atau toko seluler genggam dipenuhi oleh ratusan pelamar kerja Gen Z. Padahal kebutuhan tenaga kerja, tidak lebih 2 – 3 orang saja.

Sementara itu angka pengangguran di Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat komposisi angkatan kerja di Jakarta pada Februari 2024 terdiri dari 5,11 juta orang penduduk yang bekerja dan 328 ribu orang pengangguran. Jumlah pengangguran itu menurun jika dibanding tahun sebelumnya, namun tidak mengecilkan bahwa ada banyak pengangguran di ibukota. 

Selain kondisi yang tidak menguntungkan ini, anak-anak muda ini juga menjadi korban judgement dan stigma negatif. Mereka sering dilabeli pemalas di zaman ini. Namun kenyataannya tidak demikian. 

Kisah Yoga Febriansyah salah satunya, pemuda berumur 19 tahun yang sudah nekat merantau dari Medan ke Jakarta sejak kelas kelas 3 SMP. “Saya naik pesawat dari Medan ke Jakarta, membeli tiket pesawat dari uang tabungan sendiri, “ujarnya. 

Setelah lulus SMP, Yoga melanjutkan ke SMKN 34 di Kramat, Jakarta Pusat, dengan membiayai sekolahnya sendiri. Ia meminjam identitas kakaknya untuk mendaftar ojek online. “Saya kerja ojek dari kelas 1, sepulang sekolah,” ujarnya. 

Beruntung dia tidak terjaring razia polisi lalu lintas, karena belum cukup umur untuk bekerja di jalan raya dan tidak memiliki SIM C.

Setelah lulus, dia bekerja di restoran Mie Gacoan di kawasan Benhill dengan gaji di bawah UMR Rp3,5 juta, dan hanya bertahan 4 bulan. Ia lalu keluar kerja dan memilih jadi driver ojek online lagi dengan penghasilan sekitar Rp200 ribuan per hari.

IDN Research Institute juga menunjukkan fakta sebaliknya soal stigma Gen Z pemalas, terutama yang terjadi di Indonesia, 67 persen Gen Z bersedia bekerja dan tidak keberatan dengan beban kerja tambahan seperti lembur. Sebanyak 64 persen Gen Z menganggap jenjang karir sangatlah penting, sehingga mereka dianggap sangat pemilih dalam pekerjaan, namun sayangnya tidak sesuai dengan ekspektasi, preferensi dan pandangan lain dalam dunia kerja seperti harapan Gen Z. Uniknya, Gen Z memilih pekerjaan dengan gaji layak, persentase nya tinggi 80 persen. 

Pilihan Gen Z menjadi kontroversi di ranah publik dengan analogi; pengalaman belum punya tapi minta gaji tinggi. Faktor lainnya dari Gen Z di antaranya; minat 60 persen, jam kerja 58 persen, lokasi kantor 53 persen, sesuai pendidikan 49 persen dan lingkungan kerja 47 persen. 

“Gen Z ini anak-anak muda yang cerdas, mereka memiliki kesadaran menentukan nilai upah yang layak bagi dirinya,” ujar Arifin. 

Sayangnya, sejak 1980-an orientasi pembangunan industri di Indonesia bertumpu pada padat modal, bukan padat karya. Sehingga dampaknya terjadi hingga saat ini, Gen Z menjadi korban ketidakadilan sistem ketenagakerjaan.

“Semisal, dibutuhkan banyak guru, tapi Gen Z gak minat jadi guru, karena upah guru rendah dan kebanyakan status guru honorer. Upah dosen aja, ada yang cuma satu juta,” jelas Arifin. 

Riset IDN juga mencatat 36 persen Gen Z memilih bekerja secara work from home (WFH), 32 persen Gen Z bebas memilih bekerja di rumah atau kantor, sedangkan sisanya 33 persen memilih work from office  (WFO). Sementara itu, bagi Gen Z waktu ideal bekerja di kantor tak lebih tiga tahun, sebanyak 88 persen. Bahkan Gen Z yang percaya waktu ideal bekerja di kantor 1-2 tahun sekitar 12 persen, 3-4 tahun sekitar 28 persen, 5-6 tahun sekitar 25 persen dan 6 tahun lebih sekitar 35 persen.

Sesungguhnya, Gen Z ini multi tasking dan melek teknologi digital, menjadi nilai tambah bagi industri teknologi dan para perekrut tenaga kerja. Gen Z dilabeli sebagai generasi minim batasan atau boundaryless generation serta memiliki keunikan. Gen Z yang cenderung pragmatis dan tumbuh setelah the great recession, menjadi lebih condong ke arah security dan money. Gen Z lebih nyaman bekerja sendiri (mandiri), dibanding bekerja di ruang keramaian seperti kantor. Namun ironisnya, Gen Z yang freak gadget dan terpapar teknologi sejak kecil tidak memiliki kemampuan komunikasi intrapersonal yang baik di dunia kerja, apalagi dalam interaksi sosial. 

Gen Z yang hidup dengan beragam perangkat teknologi digital seperti seluler genggam, tablet dan laptop— tentu dapat menjadi pencipta, inovator, entrepreneur yang hebat. Sayangnya, tidak semua keistimewaan itu dimiliki Gen Z di Indonesia. Jika 22,5 persen Gen Z di Indonesia, justru tidak memiliki pendidikan tinggi, bagaimana akan membuka peluang connectivity dan engagement?

Lowongan Minim, Banjir PHK

Beberapa market research menghasilkan analisis terkait Gen Z. Salah satunya bahwa 40 persen perusahaan menilai Gen Z tidak siap kerja karena masalah etos kerja yang buruk dan kemampuan komunikasi di bawah standar, seperti ditulis Insider. Namun di sisi lain, Indonesia juga mengalami guncangan disrupsi yang besar. Era disrupsi terjadi ketika suatu inovasi baru masuk ke pasar dan menciptakan efek disrupsi yang sangat kuat, sehingga mengubah struktur pasar sebelumnya.

Apakah biang keroknya Gen Z? Tentu saja tidak. 

Arifin sebagai peneliti perburuhan, sudah melihat gejala peluang kerja yang hilang, bahkan sejak awal 2000 hingga puncaknya 2006, menandakan sulitnya lowongan pekerjaan di berbagai sektor. Banyak lowongan pekerjaan diiklankan pada periode itu melalui media massa cetak, seperti Harian Kompas, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Pos Kota dan koran lainnya, tetapi sesungguhnya tidak seimbang antara jumlah pelamar kerja dengan ketersediaan lowongan pekerjaan. 

“Ini bentuk fleksibilitas terhadap perekrutan tenaga kerja,” ujar Arifin. 

Data Kemenaker atau Kementerian Tenaga Kerja RI soal ketersediaan lowongan pekerjaan pada 2022 misalnya yang terdaftar sesuai provinsi dan jenis kelamin, periode Januari – Oktober 2022, terutama di DKI Jakarta; terdapat 585 lowongan pekerjaan untuk lelaki, 266 lowongan pekerjaan untuk perempuan, 2.820 lowongan pekerjaan untuk lelaki atau perempuan, sehingga total 3.671 lowongan pekerjaan. Sementara itu BPS mencatat, pada 2021 terdapat 31.633 orang terdaftar sebagai pencari kerja, meningkat menjadi 43.921 orang pencari kerja pada 2022. Angka statistik itu menunjukkan, betapa tidak seimbangnya antara jumlah lowongan pekerjaan dan jumlah pencari kerja.

Bagi Arifin sangat ironis, ketika pasar kerja diserahkan pada swasta. Lantas muncul yayasan dan lembaga kursus sebagai penyalur tenaga kerja. “Gejala ini sudah lama terjadi, penyalur tenaga kerja menetapkan harga sebagai makelar, mereka menguasai jalur lowongan pekerjaan seperti mafia,” imbuhnya. 

Praktik suap ini acap kali terjadi, tarif sekali bayar jasa makelar menurut Arifin sangat bervariasi, antara Rp500 ribu hingga Rp50 juta. “Bahkan orang tua sampai rela menjual kebunnya untuk menyuap makelar, demi anaknya bisa bekerja di bandara. Padahal gaji pekerja di bandara itu kecil,” tegas Arifin. 

Para penganut fleksibilitas atau biasa disebut pengusaha rente sangat berlawanan dengan perspektif buruh terutama soal upah minimum, tunjangan kinerja, bonus akhir tahun dan lainnya. “Penganut fleksibilitas ini pasti menolak upah minimum,” ujar Arifin. 

Para pengusaha yang punya karakter fleksibilitas, tidak memiliki perspektif perburuhan yang adil, kecuali cuma mengejar keuntungan, memanfaatkan fasilitas potongan pajak, insentif mesin baru, insentif impor dan lain-lainnya dari pemerintah. 

Kondisi tenaga kerja di Indonesia diperparah oleh faktor strategi pembangunan industri padat modal yang berbasis teknologi tinggi. Industri jenis ini antara lain; tambang nikel, tambang batu bara dan lainnya. “Industri ini membutuhkan skil tinggi, karena teknologinya juga tinggi. Sedangkan tenaga kerja yang terserap sedikit,” tegas peneliti perburuhan LIPS ini. 

Menurut Arifin, semua industri di wilayah Jabodetabek merupakan industri lama yang disulap jadi industri baru. Pengusaha rente yang tidak punya perspektif perburuhan akan seenaknya memindahkan pabriknya, misalkan pabrik di wilayah Banten dipindahkan ke Cirebon demi memangkas biaya-biaya dan membayar upah buruh murah. 

Dalam proses pemindahan pabrik lama ke pabrik baru, korban sesungguhnya adalah ribuan buruh pabrik lama. “Hampir tiga ribu buruh di PHK di Banten,” tukas Arifin. 

Dia melakukan penelitian pada 2018 lalu soal perspektif buruh pengusaha yang tidak punya strategi bisnis. Sedangkan pemerintah justru menciptakan suasana keruh dengan andilnya, terutama menyediakan lahan pabrik, memberi insentif mesin baru, insentif impor, potongan pajak dan lainnya. Seperti kasus Spotex, merek sepatu olahraga buatan lokal Bandung. Perusahaan ini tidak bangkrut atau tutup, tapi hanya memindahkan pabrik sepatu ke lokasi lain, dengan pergantian PT dan mengubah nama mereknya. Praktik curang seperti ini berlangsung sejak lama di dunia industri. 

“Jika dilihat dari perspektif buruh, pengusaha lah yang sebenarnya gak kreatif untuk mengembangkan industrinya,” ungkap Arifin.

Sementara itu di Sindikasi, organisasi Serikat Pekerja yang kerap melakukan advokasi masalah industrial, terutama bagi para anggotanya yang mayoritas Gen Z. Kini, semakin banyak pekerja lepas (freelance) antara umur 20 tahun sampai 30 tahun di Sindikasi. 

Ketua Umum Sindikasi, Ikhsan Raharjo merasakan dampak dari status pengurus yang pekerja lepas. “Itu mempengaruhi kinerja organisasi. Mereka menjadi freelance karena situasi daripada pilihan bebas. Lima Pengurus Nasional Sindikasi juga terkena PHK. Gimana mikir orang lain atau organisasi, mikir diri sendiri aja susah,” katanya.

Terkadang pekerja lepas mengambil pekerjaan jangka pendek untuk bertahan hidup, daripada tidak kerja sama sekali. Berbeda konsep dengan generasi Ikhsan dulu, paradigma nya untuk bekerja jangka panjang, bukan jangka pendek. 

“Sekarang memilih kerja jangka pendek, karena terjadi ledakan angkatan kerja baru, dan akhirnya yang terserap di sektor informal sedikit, diperparah dengan ketidakpastian upah, cuti, lembur dan lainnya,” ungkap Ikhsan. 

Kondisi buruk dunia kerja yang tidak menentu, memaksa para pekerja lepas tidak melakukan kontrak kerja tertulis. “Mereka beralasan daripada gak dapat kerja,” imbuhnya. Nasib Gen Z kelas menengah ke bawah sekarang ini seperti berdiri di tubir jurang.

Di tengah cerita sulit mendapat pekerjaan, badai pemutusan hubungan kerja (PHK) juga melanda Indonesia. Kemenaker RI mencatat, pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dari Januari-Juni 2025 mencapai 42.385 orang tenaga kerja. Di Jakarta, jumlah mencapai 2.821 pekerja yang menjadi korban PHK pada periode yang sama. 

Sementara anak-anak muda seperti Airin dan Aini masih berjibaku mencari kerja, yang bekerja seperti Yoga hidup tanpa jaminan sosial dan pendapatan yang tetap, sementara yang bergelut dibangku pendidikan seperti Rizky tidak mendapat jaminan ijazahnya kelak akan mempermudah ia mendapat kerja.


Tulisan ini adalah bagian dari serial liputan Generasi Cemas.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
12 menit