SEJAK awal tahun, pemerintah kalang kabut mengatur harga dan distribusi minyak goreng sawit.
Berbagai langkah dilakukan, mulai dari mengatur harga eceran tertinggi (HET), kewajiban pasar dalam negeri (domestic market obligation/DMO), sampai larangan ekspor. Tapi, kebijakan-kebijakan itu tak sepenuhnya berhasil mengatasi krisis ‘kelangkaan’ komoditas ini.
Sebagai produsen minyak sawit terbesar, Indonesia tidak sepatutnya mengalami krisis minyak goreng. Di sisi lain, kepanikan pemerintah mengatasi krisis ini juga semestinya tidak perlu terjadi apabila industri sawit tidak dikuasai oligarki.
Terungkapnya dugaan korupsi pengaturan ekspor oleh Kejaksaan Agung yang melibatkan seorang pejabat Kementerian Perdagangan dan empat tersangka dari pihak swasta menunjukkan bagaimana kemampuan korporasi mengendalikan pasar minyak sawit.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah lama mengingatkan pemerintah akan kemampuan pelaku industri kelapa sawit dalam memengaruhi kebijakan dan mengendalikan pasar. Dalam kertas posisinya, KPPU mengungkapkan adanya potensi oligopoli pada sektor hulu maupun oligopsoni di hilir.
Potensi itu, salah satunya, merujuk pada tabulasi data pada tahun 2006, yang menunjukkan lebih dari 50 persen lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah milik swasta. Adapun separuh dari lahan milik swasta itu dikuasai oleh Raja Garuda Mas (kini menjadi Royal Golden Eagle), Wilmar Group, Guthrie Bhd, Sinar Mas Group, dan Astra Agro Lestari.
Pengendalian di hulu ini juga dibuktikan oleh beragam studi lainnya. Semisalnya Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, organisasi non-profit berbasis di Jakarta, yang melihat dominasi 25 taipan sawit Indonesia menguasai lahan-lahan sawit. Kemudian studi Trase, sebuah platform data driven transparency initiative, yang menunjukkan bagaimana ekspor minyak sawit Indonesia didominasi oleh sepuluh grup korporasi swasta.
Maka tidak mengherankan apabila penguasaan industri kelapa sawit ini berkorelasi dengan kebijakan. Ketika korporasi swasta berhimpun dalam satu asosiasi, mereka kemudian bertindak layaknya sebuah kartel. Demi memenuhi kepentingan asosiasi, maka negosiasi terjadi dengan para pemangku kebijakan.
Negosiasi ini salah satunya tercermin dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Salah satu klausul dalam UU sapu jagad ini mengatur kemudahan berupa pengampunan kesalahan perusahaan sawit yang beroperasi di kawasan hutan secara ilegal.
Laporan Greenpeace bersama lembaga ahli geospasial, TheTreeMap, pada Oktober 2021, menemukan sebanyak 600 perusahaan dengan luas kebun di atas 10 hektar dalam kawasan hutan yang meliputi berbagai kategori kawasan hutan mulai dari hutan produksi terbatas hingga hutan konservasi, bahkan mencakup situs UNESCO. Total lahannya mencapai 1,5 juta hektare.
Sementara itu, masyarakat umum harus ikut menanggung dampak dari komplikasi persoalan industri sawit akibat lemahnya pengaturan tata kelola dan penegakan hukum ini.
Para pelaku usaha kecil yang sangat menggantungkan produksinya pada ketersediaan minyak goreng juga harus putar kepala mengantisipasi gejolak harga dan kelangkaan pasokan minyak goreng. Seperti pedagang gorengan dan warung makan. Seperti pedagang gorengan dan warung makan. Selama masa krisis ini, tidak sedikit akhirnya usaha kecil yang terancam atau sudah gulung tikar.
Lembaga riset Institute for Demographic and Economic Studies (IDEAS) memperkirakan kerugian ekonomi yang ditanggung masyarakat mencapai Rp3,38 triliun selama kurun waktu April 2021 – Januari 2022. Kerugian ini juga imbas ketergantungan masyarakat atas minyak goreng sawit yang sudah berlangsung lama. Sehingga ketika terjadi kelangkaan, masyarakat sulit beralih. Apalagi produk penggantinya, seperti minyak kelapa, jagung, atau kedelai, jauh lebih mahal.
Gejolak harga minyak goreng ini turut menunjukkan bahwa persoalan ini bukan sekadar urusan hilir. Oleh karenanya, pemerintah tidak bisa mengabaikan faktor pembentuk dan yang memengaruhi harga dalam mengatasi persoalan ini. Ketika ini diabaikan, maka yang muncul adalah panic policymaking.
Langkah panik pemerintah mulai dengan lahirnya kebijakan larangan ekspor crude palm oil (CPO). Larangan ekspor tersebut berhasil membawa dampak pada harga minyak goreng tetapi sayangnya kebijakan tidak diikuti langkah perbaikan. Kebijakan ini seolah menjadi terapi sesaat menjelang Idulfitri. Pasalnya, ketika larangan ekspor berakhir, harga minyak goreng sawit kembali bergejolak.
Pemerintah lalu menggagas upaya pendataan pembeli minyak goreng menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pemerintah juga mewacanakan penggunaan aplikasi pemantau mobilitas warga untuk pencegahan penyebaran virus COVID-19, Pedulilindungi, untuk awasi penyaluran minyak goreng.
Kemudian, Kepala Satuan Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Dudung Abdurachman, yang turut ke pasar untuk menginspeksi harga minyak goreng. Padahal, peran militer di sini tidak akan bisa berperan menciptakan stabilitas harga.
Alih-alih menyelesaikan masalah, jurus-jurus panik tersebut menciptakan kebingungan dan menjadi beban berlebih bagi masyarakat sipil. Sementara, para pemilik manfaat korporasi sawit terus meraup cuan. Penindakan hukum oleh Kejaksaan Agung juga tidak lantas membuat mereka berbenah.
Jika pemerintah bersungguh-sungguh membenahi masalah minyak goreng, sudah seharusnya semua rantai suplai industri sawit ditinjau ulang. Struktur pasar yang terkonsentrasi harus dikendalikan. Arah audit yang dicanangkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan harus dipastikan menyasar struktur pasar ini.
Publik juga harus dilibatkan dalam mengawal implementasi perbaikan ini. Keterbukaan informasi penting dijalankan. Butuh upaya radikal jika ingin industri sawit bermanfaat untuk lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Di sisi lain, sudah saatnya bagi KPPU melahirkan kasus inisiatif untuk membongkar struktur pasar industri sawit yang cenderung tidak sehat ini.
Organisasi masyarakat sipil telah ambil peran untuk mendesak pemerintah membenahi perihal harga minyak goreng ini. Pekan lalu, Sawit Watch bersama organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebutuhan Pokok Rakyat menggugat Presiden dan Kementerian Perdagangan di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dalam gugatan itu, koalisi masyarakat sipil meminta pemerintah mewujudkan stabilitas harga minyak goreng. Dalam konteks ini, mustahil mewujudkan stabilitas harga minyak goreng tanpa melakukan evaluasi menyeluruh atas industri sawit yang dari hulu ke hilir dicengkeram kuasa oligarki.
Berbagai upaya untuk memastikan pembenahan harga dan distribusi minyak goreng termasuk semua rantai suplai sawit harus dikawal bersama. Jangan sampai masyarakat, juga negara, terus-menerus dirugikan lagi oleh oligarki.
*Tulisan adalah pendapat penulis dan tidak merepresentasikan pandangan lembaga.