Jarak, Jurang, dan Jurnalis

Mawa Kresna
8 menit
Ilustrasi jurang antara jurnalis dengan publik. (Project M/Herra Frimawati)

Media punya peran besar dalam membentuk opini. Peran itu harus diikuti tanggung jawab para jurnalis untuk mengedukasi publik tanpa bias informasi maupun interupsi birokrasi dan korporasi.

Enam jurnalis dan seorang profesor, yang juga jurnalis, duduk membahas perkembangan teknologi dan dampaknya terhadap perubahan model bisnis korporasi, masyarakat umum, dan dunia jurnalistik. Mereka berdiskusi di sebuah ruangan kelas berkapasitas tak lebih dari 15 orang di sebuah kampus swasta ternama di New York, Amerika Serikat.

Seorang jurnalis yang sebelumnya bekerja untuk sebuah media lokal non-profit di salah satu kota pesisir barat AS mengutarakan kekhawatirannya bahwa korporasi raksasa kini bergerak menguasai dunia digital setelah mengeksploitasi habis dunia nyata. Ia khawatir dominasi dan monopoli perusahaan-perusahaan teknologi tersebut akan membawa dampak buruk bagi publik.

Seorang jurnalis lain yang selama ini bekerja meliput perbankan dan bank sentral mengungkapkan optimismenya terhadap perkembangan teknologi. Ia kurang lebih berpendapat bahwa teknologi akan semakin memudahkan kehidupan manusia, teknologi akan pelan-pelan menutup ketimpangan di masyarakat, dan akan membuka akses terhadap ilmu pengetahuan bagi lebih banyak orang.

Ia bilang manusia semestinya melihat teknologi sebagai asisten dan bukan ancaman sehingga kita bisa menggunakannya untuk mempermudah aktivitas harian kita.

Sepanjang diskusi, pikiran saya terbang jauh ke sudut selatan Bumi, ke bagian timur Indonesia. Saya teringat berita dan kabar yang saya baca dan dengar selama pandemi Covid-19 pada 2020, tentang bagaimana pembelajaran jarak jauh di Indonesia mengekspos ketimpangan teknologi, atau istilah kerennya digital divide.

Anak-anak usia sekolah di Nusa Tenggara Timur atau di beberapa sudut Sulawesi dan Papua kesulitan mendapatkan akses internet untuk mengikuti proses pembelajaran. Bagi beberapa dari mereka, belajar secara tatap muka langsung jauh lebih mudah mereka lakukan dibandingkan lewat konferensi video.

Apakah melesatnya perkembangan teknologi yang kami bahas di ruang kelas akan mampu mereka kejar dan manfaatkan? Apakah kami, para jurnalis, bisa mendengar dan menyampaikan kisah mereka ke publik dan tak sekadar menulis yang tinggi-tinggi?

Saya merasakan jurang yang dalam di antara kami dan anak-anak sekolah di timur Indonesia itu.

Belum cukup saya mencerna kegelisahan ini selepas kelas berakhir, saya membaca kabar tentang seorang tunawisma kulit hitam yang tewas di tangan seorang komuter kulit putih di dalam kereta bawah tanah New York.

Menurut saksi mata, tunawisma itu masuk ke dalam kereta untuk meminta-minta sebelum ia mulai berteriak-teriak dengan frustrasi, mengaku tak punya rumah, uang, dan makanan lalu melempar jaketnya ke lantai. Tidak ada orang yang ia sakiti namun seorang penumpang menyergap, menjatuhkannya ke lantai, dan menekan lehernya hingga ia meregang nyawa. Ia meregang nyawa di dalam kereta yang sedang melaju, di hadapan puluhan penumpang lainnya.

Publik tak hanya menyesalkan kejadian itu, mereka juga mengecam bagaimana media memberitakan peristiwa tersebut. Sebuah media ternama mengutip pihak kepolisian dalam laporannya di media sosial dan segera menambahkan satu kalimat berisi keterangan tentang perilaku korban yang tak terkontrol sebelum seorang pria mengendalikannya.

Laporan itu terkesan membenarkan tindakan pelaku dan mengecilkan sisi kemanusiaan korban hanya karena ia mengekspresikan rasa frustrasi akan kehidupannya. Padahal, pembunuhan tak dapat dibenarkan. Padahal, korban bisa ditenangkan tanpa perlu dihilangkan nyawanya.

Ketika membaca kabar itu, saya bisa membayangkan bagaimana si wartawan menghadiri konferensi pers atau menerima rilis pers dari polisi lalu menuliskannya tanpa banyak berpikir atau mempertanyakan aspek-aspek lain dari peristiwa itu. Saya membayangkan bagaimana ia tidak mengetahui secara penuh apa yang terjadi, bisa jadi polisi tidak membagi semua informasi yang ia perlukan. Saya membayangkan ia tak segera punya akses atau waktu untuk mengecek fakta di lapangan.

Saya kembali merasakan jurang itu semakin dalam dan lebar, kali ini memisahkan saya dan sang korban.

Ketika bertugas meliput di Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya dan Kepolisian Resort (Polres) Jakarta Selatan di awal karier sebagai jurnalis, saya menyaksikan bagaimana kawan-kawan jurnalis dari media digital berlomba-lomba menulis berita atau laporan ke redaksi segera setelah konferensi pers berakhir. Tidak ada kesempatan dan waktu yang cukup untuk mencerna, memahami, atau mempertanyakan informasi yang kami dapat. Semua ingin jadi yang pertama mempublikasikan peristiwa tersebut.

Saya yang saat itu bekerja di media cetak memiliki waktu yang relatif lebih leluasa untuk mencerna dan mengkritisi informasi tersebut. Tidak jarang saya menemukan kejanggalan atau informasi yang ternyata tidak menyeluruh yang membuat saya harus menghubungi lagi narasumber terkait untuk mendapat konfirmasi.

Salah satu hal yang saya pelajari di masa pelatihan oleh redaksi ketika itu adalah selalu lakukan verifikasi, meskipun yang berbicara denganmu adalah seorang yang punya otoritas. Pemimpin redaksi saya ketika itu malah berpesan ada tiga hal yang tidak boleh seorang jurnalis lupa lakukan, yaitu verifikasi, verifikasi, dan verifikasi.

Hal tersebut seringkali luput jurnalis lakukan di masa ketika media digital menjamur dan informasi membanjiri internet dan media sosial. Kecepatan dan jumlah klik atau view menjadi tolok ukur keberhasilan suatu produk jurnalistik.

Ilustrasi kerja jurnalis tanpa verifikasi. (Project M/Herra Frimawati)

Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) memperkirakan ada sekitar 47.000 media daring di dalam negeri. Namun, hanya kurang lebih 3.000 yang terdata di Dewan Pers. Direktur Eksekutif AMSI, Adi Prasetya, pada Januari mengakui ada banyak wartawan yang mendirikan media dengan tujuan utama untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah, suatu hal yang tidak sesuai dengan esensi keberadaan media massa.

Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengatakan pada kesempatan yang sama bahwa pihaknya tidak ingin ada ribuan perusahaan media digital tanpa wartawan yang memiliki kapabilitas dan kapasitas. Ia tidak ingin wartawan hanya menyalin rilis pers tanpa melakukan konfirmasi atau verifikasi.

Publik pun tidak bodoh. Ada banyak anggota masyarakat yang menginginkan berita yang akurat dan komprehensif. Selama ini, pelaku industri media selalu berpendapat bahwa publik lebih menyukai berita-berita dengan judul yang bombastis atau dengan topik-topik yang kontroversial. Pola pikir seperti ini perlu kita pertanyakan kembali.

Data Dewan Pers menunjukkan adanya kenaikan jumlah pengaduan kasus pers menjadi 691 kasus sepanjang 2022 dibandingkan 621 di tahun sebelumnya. Lembaga independen yang menaungi perusahaan media dan bertugas melindungi kebebasan pers tersebut mencatat bentuk pelanggaran yang dilaporkan beragam, yaitu mulai dari ketiadaan verifikasi, terindikasi hoaks atau fitnah, hingga konten yang mengandung provokasi seksual.

Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang kecil karena ini berarti ada satu hingga dua pengaduan yang masyarakat buat setiap harinya kepada Dewan Pers dalam setahun. Laporan-laporan ini berarti publik menaruh perhatian yang besar pada kualitas produk jurnalistik yang perusahaan media sajikan.

Saya tidak asing membaca keluhan atau hujatan dari pengguna media sosial terhadap suatu media atau pemberitaan yang bias atau dikemas secara bombastis. Mereka lantas menggeneralisasi bahwa semua kantor berita bersikap dan melakukan hal yang sama. Padahal, tidak sedikit media outlet yang memproduksi produk-produk jurnalistik yang berkualitas.

Survei Edelman Trust Barometer menemukan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media massa menurun satu poin pada tahun ini. Meski begitu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media masih relatif tinggi di angka 72, tertinggi kedua di antara 27 negara yang menjadi objek survei tersebut.

China yang media massanya mendapat kontrol dan pengawasan ketat dari pemerintahnya menduduki peringkat pertama. Sebaliknya, publik AS cenderung tidak percaya media dengan poin hanya 43.

Seluruh kritik, pengaduan, dan juga kepercayaan masyarakat ini menjadi tantangan dan tanggung jawab yang besar bagi jurnalis Indonesia. Hal-hal ini seharusnya menjadi insentif dan dorongan bagi perusahaan media untuk menyediakan pemberitaan yang akurat, independen, dan berdampak.

Jurnalis pun perlu untuk terus belajar dan berpikiran terbuka akan berbagai peristiwa dan nilai yang berkembang di masyarakat. Hal yang kita yakini benar saat ini bisa jadi usang dan tak relevan lagi di masa depan.

Wartawan pun harus terus memupuk rasa empatinya. Jurnalis telah banyak dikritik sebagai salah satu profesi yang eksploitatif terhadap sesama manusia. Mereka kerap hanya datang untuk mengekstrak informasi dari narasumber dan warga biasa lalu pergi begitu saja tanpa memikirkan dampak dari pemberitaan atau pertanyaan dan pernyataan yang mereka sampaikan.

Dalam hal ini, penting juga bagi masyarakat dan industri media untuk mendukung keberadaan dan keberlangsungan media-media lokal di daerah. Mereka kerap kita lupakan dan biarkan mati pelan-pelan karena berita nasional selalu terasa lebih penting dan keren. Padahal, media dan wartawan lokal adalah pihak-pihak yang memiliki pemahaman paling dalam mengenai masyarakat, situasi, dan konteks di daerah masing-masing. Mereka berada di dalam komunitas dan masyarakat sekitar, bekerja, dan melaporkan peristiwa untuk masyarakat yang sama.

Sudah selayaknya kabar-kabar dari daerah mendapat tempat dan perhatian yang lebih besar dan tidak hanya jadi pelengkap berita nasional. Media massa yang terkonsentrasi di Jakarta menumbuhkan bias tersendiri yang seringkali tak jurnalis sadari. Apa yang penting atau buruk bagi Jakarta belum tentu penting atau buruk bagi mereka yang tinggal di daerah. Bias ini membuat pemberitaan menjadi tidak relevan dan berjarak bagi banyak anggota masyarakat.

Hal ini yang semakin saya sadari ketika berdiskusi di ruang kelas yang hampir separuh Bumi jauhnya dari rumah dan tempat kerja saya. Jurang antara jurnalis dan masyarakat yang ia layani semakin jelas saya lihat. Bahkan pada satu titik, simpul-simpul penghubung kami mulai hilang dan terlepas.

Namun, saya juga bisa melihat banyak kerja-kerja jurnalistik yang tengah rekan-rekan saya lakukan untuk menyambung dan mempertahankan simpul tersebut.

Berbagai inisiatif jurnalisme warga di banyak daerah dan gerakan jurnalisme publik yang tengah dikembangkan Project Multatuli menumbuhkan harapan bahwa wartawan bisa berdiri semakin dekat dengan masyarakat yang ia layani. Bahwa wartawan dapat bekerja dengan lebih baik bersama segala kerendahan hati dan kemauan untuk terus belajar dan memperbaiki diri.

Menjadi seorang wartawan di era teknologi dan informasi yang melaju cepat adalah sebuah tantangan besar. Namun, bukankah privilese dan kebanggaan seorang wartawan adalah ketika ia ada untuk memberitakan peristiwa sulit dan paling menantang pada masanya?


Prima Wirayani adalah jurnalis, mahasiswa Columbia Journalism School.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Mawa Kresna
8 menit