Cara kita menguji niat baik Presiden Prabowo adalah dengan melihatnya sebagai pemimpin populis anti-intelektualisme dan anti-masyarakat sipil.
Tiga jam wawancara Presiden Prabowo Subianto dengan enam jurnalis senior, mengonfirmasi banyak hal yang selama ini menjadi kegelisahan publik. Salah satunya soal prasangka buruk Prabowo terhadap gerakan masyarakat sipil.
Saya mengira, ucapan berkali-kali Prabowo soal niat baik membangun Indonesia, berangkat dari asumsi juga bahwa semua warga negara Indonesia punya niatan baik yang sama seperti niat baik yang ada dalam kepala Prabowo. Tapi ternyata saya salah. Niat baik Prabowo justru berangkat dengan mengasumsikan bahwa kelompok yang berbeda dengannya punya niatan buruk.
Kecurigaan Prabowo terhadap masyarakat sipil adalah buktinya.
Prabowo mencurigai aksi demonstrasi masyarakat sipil menuntut transparansi proses pembuatan undang-undang di DPR adalah agenda terselubung kelompok tertentu bahkan ditunggangi kepentingan asing. Prabowo bahkan menggunakan pembubaran USAID oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebagai pembenaran bahwa memang ada demonstrasi bayaran saat aksi Indonesia Gelap.
Tidak tanggung-tanggung Prabowo juga mencurigai ada masyarakat sipil yang membuat draf palsu RUU TNI. Ucapan Prabowo setali tiga uang dengan orkestrasi narasi yang didengungkan para buzzer di media sosial.
Kecurigaan ini justru membuktikan prasangka baik bahwa Prabowo terjebak berada dalam buble dan gatekeeping informasi adalah salah. Seolah-olah dalam pikiran Prabowo, tidak ada pilihan selain mencurigai masyarakat sipil. Padahal ada pilihan lainnya seperti mempercayai gerakan masyarakat sipil adalah upaya masyarakat memperjuangkan haknya dan memperkuat demokrasi.
Prabowo mengakui bahwa perlu ada koreksi pada transparansi proses pembuatan undang-undang, tapi pada saat yang sama ia menolak untuk berprasangka baik pada gerakan masyarakat sipil. Ia tahu pangkal masalahnya, tapi memilih mencurigai masyarakat, ketimbang menggunakan kekuasaan untuk menyelesaikan masalah.
Dan ini yang bikin saya khawatir dengan niat baik Prabowo lainnya.
Niat Baik Kurang Membumi
Salah satu yang dipamerkan Prabowo saat wawancara dengan enam jurnalis senior adalah upaya penciptaan lapangan kerja lewat berbagai program, di antaranya Makan Bergizi Gratis (MBG), 3 juta Rumah per tahun, Investasi Danantara, dan Koperasi Merah Putih.
Program | Periode | Perkiraan Lapangan Kerja Baru | Perkiraan Anggaran/Investasi |
Makan Bergizi Gratis (MBG) | 2025 (Jika terlaksana dengan baik) | 3 juta | Rp171 triliun (2025) |
Pembangunan 3 Juta Rumah per Tahun | Tahunan | 4,8 juta | Rp35,5 triliun (gabungan) |
Investasi oleh BPI Danantara | Jangka panjang (5 tahun) | 8 juta | Rp300 triliun |
Koperasi Desa Merah Putih | 5 tahun | 1,6 juta | Rp210-350 triliun |
Masing-masing program ditargetkan mampu membuka lapangan kerja baru. Target paling besar diemban oleh Danantara dengan 8 juta lapangan kerja baru, dengan modal awal Danantara Rp300 triliun hasil penghematan belanja pemerintah dan total aset yang dikelola Rp14.678 triliun.
Dari target 8 juta lapangan kerja itu, 3 juta kebutuhan tenaga kerja untuk program hilirisasi industri yang dinahkodai Danantara. Dalam buku Ekonomi Kita (edisi Maret 2025) yang dipegang Prabowo saat wawancara, target investasi untuk hilirisasi mencapai USD 618 miliar pada 2040.
Kategori | Investasi (USD) | Investasi (Asumsi Rupiah Rp17.000) |
Mineral | USD 498,4 miliar | Rp 8.472,8 triliun |
Minyak & Gas Bumi | USD 68,3 miliar | Rp 1.161,1 triliun |
Perkebunan–Kelautan | USD 51,3 miliar | Rp 872,1 triliun |
Total | USD 618 miliar | Rp 10.506 triliun |
Membayangkan modal awal Rp300 triliun untuk membuka 8 juta lapangan pekerjaan, berarti asumsinya per Rp1 triliun investasi akan menghasilkan 26.667 ribu lapangan kerja.
Angka itu terlalu fantastis jika mengingat pada 2023, hitungan investasi per Rp1 triliun di Indonesia membuka 1.285 lapangan pekerjaan. Apalagi jika melihat investasi yang dilakukan pada sektor padat modal di mana ia membutuhkan teknologi dan otomasi.
Jika menggunakan hitungan industri hilirisasi dengan investasi USD 618 miliar dan menyerap 3 juta pekerja sampai tahun 2040, maka per Rp1 triliun investasi “hanya” bisa mempekerjakan sekitar 287 orang pekerja.
Di atas kertas, peta jalan hilirisasi 28 komoditas di 8 sektor yang direncanakan Prabowo sebagai solusi pembukaan lapangan kerja tidak terlalu menjanjikan karena sebagian besar adalah industri padat modal. Itu pun masih perlu usaha untuk menarik investasi ke 8 sektor tersebut, yang masih panjang jalannya.
Jika realistis, modal awal Danantara Rp300 triliun hanya bisa menghasilkan 385.500 lapangan kerja untuk industri padat modal.
Perlu pula diingat, industri padat modal hanya akan membawa keuntungan besar pada investor, pemodal, cukong, oligarki korporasi, bukan rakyat pekerja.
Beban membuka lapangan kerja baru juga ditanggung program 3 juta rumah per tahun yang diharapkan Prabowo membuka 4,8 juta lapangan kerja. Namun, semua itu penuh dengan tanda bintang: syarat dan ketentuan berlaku.
Realisasinya, pada 2025, pemerintah baru mentargetkan 800 ribu rumah, meski sudah menyiapkan sejumlah skema untuk lebih dari 1 juta rumah.
Skema/Program | Anggaran | Target Unit Rumah | Keterangan |
FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) | Rp28,2 triliun | 220.000 unit | Subsidi bunga jangka panjang untuk KPR |
SBUM (Subsidi Bantuan Uang Muka) | Rp0,98 triliun | 240.000 unit | Subsidi uang muka untuk MBR |
SSB (Subsidi Selisih Bunga) | Rp4,52 triliun | 743.940 unit | Meringankan cicilan KPR |
Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) | Rp1,8 triliun | 14.200 unit | Dana simpanan pekerja untuk perumahan |
Hal serupa juga dialami program Koperasi Merah Putih yang direncanakan akan disuntik dengan dana desa. Alih-alih memaksimalkan BUMDes sebagai strategi membuka lapangan kerja, Prabowo memilih melakukan pendanaan langsung ke Koperasi Merah Putih untuk membuka 1,6 juta lapangan kerja, sementara sumber anggarannya pun masih belum jelas dari mana.
Niat baik Prabowo ini juga belum memperhitungkan kapasitas sumber daya manusia yang juga perlu disiapkan. Link and match pendidikan untuk kebutuhan industri juga masih menjadi pekerjaan rumah yang belum juga diselesaikan.
Niat Baik Program ‘Thanos’
Beban paling besar dari seluruh niat baik Prabowo ditanggung oleh program MBG. Program ini diharapkan bisa meningkatkan kesehatan dan kecerdasan anak-anak sekolah, mengurangi kemiskinan, mempersempit kesenjangan, dan membuka lapangan pekerjaan.
Seabrek niat baik capaian MBG ini sudah seperti anggapan Thanos yang sekali menjentikan jari bisa menyelesai banyak masalah.
Prabowo mengklaim bahwa MBG bisa menurunkan kemiskinan dari 9 persen menjadi 8 persen bahkan 5 persen. MBG juga dipercaya bisa menurunkan kesenjangan sosial 1,4 persen hingga 4,8 persen. Terakhir, MBG diyakini Prabowo bisa membuka 3 juta lapangan pekerjaan.
Tapi, semua itu baru sebatas asumsi jika dilaksanakan dengan baik.
Asumsi niat baik Prabowo itu bahkan melebihi capaian Program Keluarga Harapan (PKH) selama 10 tahun yang diklaim bisa menurunkan angka kemiskinan hingga 2,2 persen pada 2024.
Secara teknis, MBG dengan fokus utamanya untuk meningkatkan kesehatan, gizi, dan kecerdasan anak-anak sekolah masih perlu banyak evaluasi. Ketersediaan sumber pangan yang berkualitas, hingga teknis masak, menu, hingga distribusi, masih menjadi sorotan.
Namun, kebijakan sosial ini justru sudah dijadikan instrumen ekonomi nasional. Ini berpotensi membuat tujuan program menjadi tidak fokus. MBG justru terlihat seperti truk gandeng yang kelebihan beban tambahan di bak belakang.
Belum lagi, pada saat bersamaan Prabowo berkata bakal menghapus TKDN (aturannya dibikin luwes) dan mewacanakan penghapusan kuota impor. Dua kebijakan ini justru terancam mengobrak-abrik industri dalam negeri sekaligus menyabotase program MBG.
MBG dibayangkan akan menyerap hasil pertanian lokal sehingga menghidupan perputaran ekonomi. Pangan lokal bergizi dan diversifikasi bahan pangan juga diharapkan bisa hidup lewat program MBG.
Namun, jika impor dibuka bebas, hasil pertanian lokal akan tergerus dengan produk impor. Beras petani lokal untuk MBG akan kalah saing dengan beras impor yang harganya lebih murah. Begitu pula dengan industri lain, misalnya nampan makanan MBG yang tidak diperbolehkan mengambil barang impor, industrinya akan rungkad karena barang impor.
Di hadapan niat baik Prabowo, kompleksitas masalah, target angka-angka tak masuk hitungan hanyalah tantangan. Prabowo sangat mahir berpikir positif untuk urusan seperti ini.
Kemampuan berpikir positif dan niat baik ini juga ia tunjukkan ketika menjawab pertanyaan terkait keterlibatan Thaksin Shinawatra, koruptor eks Perdana Menteri Thailand di jajaran pejabat Danantara.
“Faktanya dia mampu memberikan leverage, dia punya jaringan besar, dia punya pengalaman besar, dan bersedia tanpa dibayar,” ujar Prabowo.
Sayangnya, kemahiran soal niat baik dan berpikir positif ini tidak bisa diterapkan untuk melihat niat baik gerakan masyarakat sipil yang menuntut hak-hak supremasi sipil. Prabowo dengan segala niat baik di kepalanya percaya kalau demonstran warga sipil adalah masa bayaran.