Sekumpulan mama-mama di sebuah desa adat di Nusa Tenggara Timur menolak lokasi proyek waduk pemerintahan Jokowi. Seluas 617 ha, Waduk Lambo akan menenggelamkan tanah dan kampung ulayat tiga komunitas adat beserta kebun, kuburan leluhur, dan tempat ritual adat.
BOLA MATA HERMINA MAWA berkaca-kaca mengenang kembali peristiwa kedua tangannya diikat borgol plastik oleh aparat Brimob pada 4 Oktober 2021. Kejadian itu segera memancing amarah 20-an mama-mama yang menolak lokasi pembangunan waduk.
Mereka berteriak keras, “Borgol kami semua, borgol semua. Proses kami semua.”
“Bawa saya ke kantor (polisi), silakan proses saya,” kata Mama Mince, nama panggilan Hermina.
Sore itu sedikitnya lima anggota Brimob mengawal petugas ukur lahan masyarakat adat di Lowo Se, Desa Rendubutowe, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Lokasi desa adalah poros proyek Waduk Mbay atau Lambo, yang dijadikan proyek infrastruktur strategis nasional oleh Presiden Joko Widodo.
Kedatangan para petugas ukur itu disambut sekumpulan mama-mama yang menggelar aksi blokade di Kampung Roga-Roga. Mereka hendak mengadang para petugas saat pulang. Mama Mince duduk di tengah pintu masuk. Separuh mama-mama memagari. Sedangkan beberapa lain berbaris di pos penjagaan yang dibangun warga.
Seorang aparat Brimob memakai seragam lengkap, menenteng senjata, mengenakan masker hitam, langsung mengambil langkah tegap menangkap Mama Mince, sementara dua polisi lain memegang tangan lalu memborgolnya.
“Pergelangan tangan saya sakit waktu itu,” ucap Mama Mince. “Saya tidak bisa bergerak, karena mereka laki-laki badan kekar.”
Mama Mince bersama puluhan perempuan dari komunitas adat Rendubutowe berjuang mempertahankan tanah adat dari upaya perampasan lahan oleh negara. Setiap kali juru ukur memasuki desa mereka, setiap itu pula warga mengusirnya.
“Kami menolak lokasinya karena di sini adalah tempat ritual adat kami. Kami tawarkan lokasi baru, tapi pemerintah tidak menghiraukan,” kata Mama Mince.
Kawan seperjuangannya bernama Beatriks Nazu juga mengalami guncangan mental demi membela tanah adat Rendu dari proyek bendungan tersebut.
Pada 9 Desember 2021, dalam satu upaya mengusir para polisi memasuki desa di pintu masuk Lowo Se, enam mama sampai melakukan aksi telanjang dada di tengah teriakan, jeritan, dan tangisan histeris.
Aksi spontan itu membuat Beatriks kaget. Ia mundur dari kerumunan, memegang pagar, lalu menangis.
“Sedih. Saya merasa itu adalah puncak perjuangan perempuan adat. Pemerintah mengabaikan adat istiadat. Berkoar-koar sebagai bangsa yang berbudaya tapi faktanya adalah penindasan.”
“Menghilangkan tanah adat secara paksa, sama halnya merusak harkat dan martabat perempuan. Maka, biarlah perempuan-perempuan telanjang dada di hadapan negara.”
Alerta…‼️
Pagi ini, kembali terjadi pemaksaan yang dilakukan oleh Aparat Polri pada Masyarakat Adat Rendubutowe yang diduga untuk melancarkan Proyek Strategis Nasional (PSN) yaitu pembangunan Bendungan Lambo di Desa Rendubutowe, Nagakeo, Provinsi NTT.#SahkanRUUMasyarakatAdat pic.twitter.com/bIlbknBZnS
— Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) (@RumahAMAN) December 9, 2021
Beatriks, yang seorang guru honorer, bahkan diminta berhenti mengajar oleh pihak sekolah karena terus-menerus vokal menolak lokasi bendungan. Tapi ia tak gampang dibungkam, sebab “saya berjuang juga untuk kehidupan anak-anak ke depan.”
“Saya dikeluarkan pertama tahun 2015. Lalu tahun 2017 dan 2019. Baru-baru ini, kepala sekolah menelepon saya dan minta mengajar lagi, saya tidak mau,” ujarnya.
Lokasi Prosesi Adat Digusur Proyek Waduk
Sabtu pagi pertengahan Desember 2022, Mama Mince, iparnya Marselina, dan ibu kandungnya Mama Imelda, sedang duduk di ruang belakang rumah milik Fransiskus Dero. Fransiskus adalah saudara Mama Mince, Ketua RT 011, Dusun Malapoma, Desa Rendubutowe.
Mama Mince sudah 12 tahun tinggal bersama saudaranya. Rumah berukuran 6×10 meter persegi itu dihuni lima anggota keluarga. Ada empat sekat; dua kamar tidur dan dua ruangan. Ruang belakang biasa dipakai tempat makan keluarga, sedangkan ruang depan dijadikan ruang tamu.
Pada waktu senggang, ruang-ruang rumah itu menjadi tempat aktivitas menenun. Hari itu mereka sibuk menenun. Marselina bertenun di ruang makan, Mama Mince di ruang tamu, sedangkan Mama Imelda di samping rumah.
“Karena biaya hidup kami terbantu dengan tenun ema (anak),” ucap Mama Imelda.
Mama Imelda bergegas ke dapur yang terpisah dari rumah, lalu kembali ke ruang tengah. Ia urung membuat pagar pekarangan rumah bersama Fransiskus yang hari itu sudah mereka rencanakan. Pekarangan itu ditanami padi dan jagung.
Mama Imelda berkata tanaman dan rumah di atas lahan seluas kurang lebih 7 hektare itu sudah masuk dalam peta penggusuran untuk pembangunan Waduk Lambo. “Jadi ini kami tanam untuk terakhir kali,” ujarnya.
“Orang bilang, mau terima atau tolak, tetap angkat kaki dari sini. Kami bertahan sementara, besok-lusa tidak tahu mau pindah ke mana.”
Mama Mince duduk terpaku mendengar kalimat mamanya. Ia bersandar di kursi. Matanya menatap langit-langit rumah. Berkaca-kaca. Kemudian memandang jauh ke luar, ke arah bendera Merah Putih yang sudah ditancap petugas di pagar rumah mereka.
Di jalanan, kendaraan truk berlalu lalang mengangkut material proyek waduk. Sesekali ia melihat jejak kendaraan, memandang dalam, lalu menggeleng.
Tidak lama berselang, dari atas kursi, Mama Mince melangkah ke tempat tenun di tepi jendela ruang depan. Ia tidak ingin lama-lama terlarut dalam masa lalu perjuangannya.
Peristiwa perjuangan dalam tekanan pemerintah, intimidasi bahkan tindakan represif aparat bertahun-tahun lamanya, setidaknya membuat ia terkuras dan lelah. Ia berusaha merekonsiliasi.
“Semacam ada keserakahan di atas tanah adat kami,” kata Mama Mince, sambil mengatur peralatan menenun.
Sejak dulu, aktivitas menenun adalah pekerjaan rutin bagi perempuan-perempuan adat di desa ini, selain ibu rumah tangga dan petani. Mama Mince memperoleh pendapatan dari hasil jualan menenun, begitupun Mama Imelda dan Marselina.
Mama Mince lahir di Kawa pada 1974. Kawa adalah kampung adat tua di Desa Labolewa, 15 kilometer dari Dusun Malapoma. Sejak ayahnya menikahi Imelda, perempuan Malapoma, mereka kemudian mendapatkan kuasa dan menetap di tanah adat Rendubutowe.
Mama Mince melepas masa muda pada 1997. Setelah menjalani prosesi belis adat dan menikah sesuai tatanan Gereja Katolik, ia ikut dan tinggal bersama mertuanya di Kampung Malapoma. Ia dinyatakan sah dan diakui menjadi perempuan adat patrilokal di Malapoma.
Ia menjadi seorang janda sejak suaminya meninggal pada 2005. Keduanya dikarunia dua anak usia 20-an tahun.
“Saya berjuang ini karena saya dibesarkan secara adat. Begitu juga dengan anak-anak saya nanti,” ujar Mama Mince sambil mengatur benang-benang tenunan.
Secara personal, Mama Mince sudah didewasakan sebagai perempuan adat patrilokal Suku Rendu pada Komunitas Adat Rendubutowe. Sama halnya dengan perempuan lain di wilayah itu, ia dikukuhkan melalui ritual Tau Aee dan Koa Ngi’i. Dua ritus adat ini sebagai tanda penghormatan seorang wanita yang bakal menjadi ibu.
Ritus Tau Ae terhadap Mince saat ia masih kelas 5 SD pada 1984, sementara ritus Koa Ngi’i saat pertama kali menstruasi, lima tahun kemudian.
Matheus Bhui, tokoh adat setempat, berkata ritual adat itu untuk memberitahukan kepada lapisan masyarakat adat bahwa anak remaja putri dianggap sudah memasuki usia perkawinan.
Sedangkan bagi laki-laki, setelah proses Tau Ae, selanjutnya penobatan Tau Nuwa, ritus pengukuhan bagi seorang suami menjadi dewasa secara adat. Dalam prosesi ini, ada satu mata acara dinamakan Teba atau mandi adat dan bakar ubi di sungai terdekat.
“Kami di Malapoma, biasanya Teba di kali sini. Sedangkan warga Roga-Roga di Lowo Se. Teba itu suatu tata acara akhir dengan cara melepaskan pakaian lama lalu menggantikan pakaian baru. Ritual ini dilakukan di kali,” kata Matheus.
Lowo Se juga adalah kawasan ritual berburu masyarakat adat Rendubutowe. Di sini terdapat Maro atau tempat menginap saat berburu. Tempat ini juga pusat berkumpul masyarakat adat untuk melakukan ritual pemberian makan kepada leluhur. Selain itu, tempat mengusir hama.
“Tapi sekarang sudah digusur semua [oleh proyek waduk],” kata Matheus.
‘Kehidupan Kita sedang Dimatikan Seketika’
Mama Mince dan Beatriks Nazu bersama warga adat di tiga komunitas, yakni Rendubutowe, Labolewa, dan Ndora, menolak lokasi waduk di Lowo Se sejak tahap studi kelayakan pada 2009.
Masyarakat mengusulkan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi saat itu, Jacob Nuwa Wea yang mendatangi Mbay pada 2001, agar lokasi waduk dipindahkan di Lowo Pebhu dan Malawaka. Dari situ, mereka sempat berhasil menunda rencana pembangunan.
Namun, di masa pemerintahan Jokowi, proyek Waduk Lambo diteruskan, satu dari tujuh waduk di Nusa Tenggara Timur dengan skema proyek strategis nasional pada 2015. Jokowi mengklaim pembangunan itu akan menyelesaikan masalah kebutuhan air dan meningkatkan produktivitas pertanian.
Mulailah terjadi gelombang apa yang disebut warga adat Rendu sebagai “pengukuran paksa” oleh negara.
Demi memperkuat solidaritas perlawanan, masyarakat pun membentuk Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo, yang melibatkan komunitas adat, pemuda adat, mahasiswa hingga perempuan adat patrilokal. Forum ini didampingi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Nusa Bunga, serta Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara sebagai pendamping hukum komunitas adat.
Meski warga adat telah berkali-kali menyebut lokasi bendungan adalah jantung ritual kehidupan masyarakat adat, tapi pemerintah tidak mengakuinya dalam peta lokasi bendungan dalam dokumen analisis dampak lingkungan hidup.
Lokasi Waduk Lambo disebut bukan wilayah kawasan hutan lindung, berdasarkan Perda No 1 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Nagekeo 2011-2031. Perda ini didukung surat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang tahun 2018. Merujuk dokumen pemerintah ini, lokasi bendungan adalah padang gembala dan kawasan pertanian lahan kering.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Nusa, Bunga Philipus Kami, menyebut proyek ini “sudah cacat hukum” sejak awal. Identitas budaya tidak dimasukkan dalam peta wilayah Kabupaten Nagekeo, yang berpotensi melanggar “hak identitas budaya dan masyarakat tradisional untuk dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban,” sebagaimana bunyi pasal 28 huruf (i) ayat 3 konstitusi Indonesia tentang hak asasi manusia.
Penghilangan identitas budaya lewat rezim regulasi pembangunan, menurut Philipus, sama saja dengan tidak mengakui adanya masyarakat adat. Terlebih, dalam kasus pengambilalihan lahan di Waduk Lambo, yang paling rentan disingkirkan adalah perempuan patrilokal.
Saat wilayah adat atau tanah adat mereka digusur, perempuan adat menghadapi beban berlapis: mereka kehilangan ruang domestik, ruang pengasuhan dan pengobatan, dan ruang ekonomi dari sumber daya alam di wilayah adat tersebut.
“Mereka akan kehilangan wilayah kehidupan mereka, dan juga generasi berikut. Inilah yang kami lihat kalau pemerintah mengabaikan hak-hak mereka,” kata Philipus.
Ketua Umum Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Devi Anggraini, menyatakan apabila menoleh kembali perjalanan selama 10 tahun, perempuan adat tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Di saat komunitas akar rumput membangun masyarakat adat yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat, sebaliknya “pemerintah sedang memukul kemandirian kita,” ujar Devi dalam acara refleksi akhir tahun Perempuan AMAN di Bogor pada 6 Desember 2022.
“Bukan hanya dipukul kemandiriannya, tetapi kehidupannya pun dimatikan seketika. Hilang. Itu adalah bagian dari genosida [yang] menghabisi satu kampung. Sejarahnya hilang. Budayanya bisa hilang. Orangnya hanya diganti dengan uang. Memang hidup kita selesai dengan uang? Tidak!”
‘Tidak Ada Proses Pengukuran Lagi’
Lokasi proyek Waduk Lambo/Mbay terletak di Desa Rendubutowe, Desa Labolewa, dan Desa Ulupulu. Saat ini dalam proses pembangunan setelah kontrak Paket I dan II ditandatangani pada 19 Agustus 2021. Ia dikerjakan dua kontraktor badan usaha milik negara; Paket I dikerjakan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. yang bekerja sama dengan PT Bumi Indah senilai Rp700 miliar, sementara Paket II oleh PT Brantas Abipraya senilai Rp775 miliar.
Konstruksi bangunan waduk setinggi 48 meter, lebar 12 meter, dan panjang 436 meter. Luasnya 617,76 hektare, sesuai surat keputusan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat.
“Sebelumnya luas yang ditetapkan 592,92 hektare. Ada tingkat error alat ukur sehingga terjadi selisih,” kata Pejabat Pembuat Komitmen Lahan Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II, Benny Malelang, di Mbay.
Sekretaris Pengadaan Badan Pertanahan Nasional Nagekeo, Rizky Wahyu Nugraha, menyebut total lahan warga yang “dibebaskan” berjumlah 555 bidang. Pembayaran ganti ruginya dalam tiga tahap baru 278 bidang. Sisanya ada 277 bidang.
“Yang paling banyak belum terbayar ialah [di Desa] Labolewa dan Rendubutowe,” kata Rizky.
“Tidak ada proses pengukuran lagi, termasuk yang menolak kemarin bidangnya sudah terukur semua,” tambahnya.
Pemerintah pun menolak usulan masyarakat agar lokasi waduk dipindahkan di Lowo Pebhu dan Malawaka dengan alasan “volume tampungannya sangat kecil dan manfaat waduk tidak sebanding dengan biaya pembangunannya,” menurut Direktur Bendungan dan Danau Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Airlangga Mardjono.
Adapun, pemilihan lokasi waduk di Lowo Se dikliam bisa mendapatkan volume tampungan lebih besar, tambahnya. Lokasi pembangunan Waduk Lambo juga sudah dipayungi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, saat berada di Desa Rendubutowe, berkata apa yang dihadapi masyakarat adat Rendu adalah pemerintah melakukan proses pengadaan tanah dan pengukuran yang “sangat tertutup dan memaksa … tanpa mempertimbangkan hak-hak hidup masyarakat.”
“Karena prosesnya sangat tertutup,” kata Dewi Kartika, “masyarakat hanya bisa meraba-raba, menerka-nerka, sebenarnya rencana pembangunan itu seperti apa. Dan bagaimana nasib masyarakat yang wilayahnya akan tergusur?”
Setiap tahun, KPA mendapatkan laporan konflik agraria, kasus-kasus perampasan tanah, penggusuran wilayah adat termasuk intimidasi dan kriminalisasi yang dialami masyarakat adat, petani, dan aktivis di Nusa Tenggara Timur, tambah Dewi Kartika.
Dalam acara Refleksi Akhir Tahun Perempuan AMAN di Bogor, Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menyatakan situasi masyarakat adat saat ini mengalami tekanan sangat besar. Namun, situasi paling tertekan ialah perempuan adat karena menjadi pihak yang berdiri sampai akhir.
“Ketika para pejuang yang laki-laki sudah dikejar-kejar [aparat keamanan], yang menjaga kampung dan menjaga api perlawanan di tempat-tempat perusahaan adalah perempuan, ujar Rukka. “Dan dalam beberapa dekade, ujung tombak perjuangan masyarakat adat adalah perempuan adat.”
Mama Mince turut hadir dalam acara itu. Ia ikut buka suara merefleksikan perjalanan perjuangan perempuan patrilokal Rendubutowe dalam mempertahankan tanah adat.
“Kami titip pesan dan minta tolong bantu karena kami masyarakat kecil,” ujarnya. “Sekarang kami hanya berjuang untuk mempertahankan hak-hak kami. Kami sekarang sudah cukup lelah.”
Sedangkan Beatriks Nazu ingin mencari suasana baru dan ingin menghirup udara segar. “Kami sudah lelah menjaga tanah kami. Kami siap keluar, tapi kami tuntut untuk kehidupan kami. Negara harus bertanggung jawab.”
Liputan ini merupakan fellowship Yayasan Pantau, serta mendapatkan dukungan pendanaan bersama dengan Project Multatuli untuk serial #MasyarakatAdat.