Kami yang Tak Sama

3 menit

“Sesulit itu di negeri ini? Haruskah kami menikah ke luar negeri dulu baru pulang?”


Hembusan udara dingin dari AC (Air Conditioning) kamar merasuk ke setiap sudut ruang kamar berukuran 4×4 yang ditempati Taxlan (29) dan Dewi (29). Suasana hening. Keduanya termenung dengan mata terpaku pada layar ponsel tatkala mereka melihat sebuah postingan di media sosial mengenai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023.

Mata Taxlan terpaku pada layar laptop ketika membaca artikel tentang pernikahan beda agama.

Terpancar rona kecemasan. Postingan itu seakan menghancurkan mimpi yang telah mereka bangun selama tiga tahun terakhir.

“Sesulit itu di negeri ini? Haruskah kami menikah ke luar negeri dulu baru pulang?” keluh Taxlan.

Pernikahan beda agama di Indonesia tidak hanya rumit, tetapi juga ibarat jalan terjal yang harus melewati gesekan sosial dan budaya, dan kini kian diperumit dengan regulasi dari negara. Terlebih lagi, aturan baru yang menekankan pengadilan agar tidak mengabulkan permohonan pernikahan beda agama.

Keironisan tersebut seakan bertentangan dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) Deklarasi Universal HAM, yang mencakup hak untuk menikah tanpa diskriminasi terhadap keyakinan, di mana laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah.

Bayangan Taxlan terhampar di depan pintu kamar kontrakannya. Bayangan ini ibarat rasa cemas dan takut yang sering membayangi kehidupannya saat berinteraksi dengan masyarakat di sekitar kontrakannya.
Taxlan dan Dewi beriringan menuruni anak tangga kontrakan.

Di Indonesia, pelanggaran terhadap kebebasan sipil (Civil Liberty) masih kerap terjadi, baik kebebasan sipil dalam bentuk kebebasan beragama dan berkeyakinan, hingga pelanggaran terhadap kebebasan untuk berekspresi, berserikat, dan mengemukakan pendapat.

Berdomisili di Kota Palembang, Sumatera Selatan, Taxlan dan Dewi menjalani hari-hari sebagai pasangan dengan mencari secercah ruang aman sembari menanti titik terang dari negara. Rasa takut dan khawatir akan lingkungan sekitar kerap menghantui mereka. Tak jarang, keduanya sering berkelit tatkala kecurigaan menghampiri. Di balik segala kerumitan itu, pasangan ini tetap berharap dapat menjalankan hak asasi mereka tanpa terpaku pada batasan agama atau kepercayaan.

Dua buah lampu yang tergantung di Pasar 16 Ilir Palembang. Pasar ini adalah salah satu tempat favorit Taxlan dan Dewi ketika mereka libur kerja.
Taxlan dan Dewi sedang melangkah di salah satu lorong Pasar 16 Ilir Palembang. Pasangan ini kerap menikmati setiap sudut, seolah membangun cerita yang tengah mereka hadapi.

Esai foto karya Humaidy Aditya Kenedy terpilih sebagai salah satu peserta lokakarya fotografi Suara Orang Muda: Demokrasi Hari ini, program kolaborasi Photo-Demos, PannaFoto, Kurawal Foundation, Pamflet Generasi, Arkademy Project, dan Melihat Bersama.  Karya Humaidy dipamerkan untuk publik pada Jakarta International Photo Festival (JIPFest) 2023 di kawasan Blok M Jakarta hingga 24 September 2023.

Mentor: Edy Purnomo

 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

3 menit