Pesawat dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, melaju ke wilayah adat Apau Kayan untuk mengantarkan obat-obatan dan masker. Tak ada cara yang lebih cepat dan mudah untuk masuk ke wilayah tersebut selain dengan pesawat. Dengan pesawat pun, masih butuh waktu lebih dari satu jam untuk dapat ke Apau Kayan.
Hingga pertengahan Juli 2021, kasus di sejumlah kecamatan di Apau Kayan terus meningkat. Dengan total populasi sekitar 7.000 jiwa, total kasus yang tercatat di Apau Kayan hingga saat ini mencapai 700 kasus (terkonfirmasi via hasil pemeriksaan laboratorium PCR dan antigen) dan 16 orang meninggal dunia. Tak ada yang tahu pasti asal muasal virus masuk ke wilayah adat yang sebelumnya bebas Covid-19 ini.
Ada beberapa kemungkinan. Pertama, sebelum kasus pertama muncul, seorang warga Apau Kayan berangkat ke kabupaten tetangga, Kabupaten Bulungan, untuk mengunjungi hajatan keluarganya. Ia berangkat dan pulang dalam keadaan sehat. Hanya saja, orang lain yang berkontakkan dengannya justru mengalami gejala Covid-19 dan terkonfirmasi positif.
Kemungkinan kedua, ada warga lain yang memutuskan keluar kampung untuk melayat kerabatnya yang meninggal dunia di ibukota Kabupaten Malinau.
Kemungkinan lainnya, warga terpapar karena arus perdagangan dan interaksi para pedagang yang masih kencang—dari Kota Samarinda, ke Kabupaten Kotawaringin Barat, ke bandara Long Ampung—yang merupakan pintu masuk ke tiga wilayah terluar Apau Kayan: Desa Nawang Baru, Long Nawang, dan Long Temuyat. Ada pula aktivitas aparat desa hingga TNI/Polri yang kerap keluar masuk wilayah Apau Kayan.
Wilayah adat Apau Kayan meliputi empat kecamatan di Malinau: Kecamatan Kayan Selatan, Kayan Hulu, Kayan Hilir, dan Sungai Boh. Tiga desa terluar wilayah adat Apau Kayan yang termasuk dalam Kecamatan Kayan Hulu menjadi yang pertama terinfeksi, kemudian virus terus menjalar ke kecamatan terdekat, yaitu Kecamatan Kayan Selatan—menyasar Desa Lidung Payau dan Long Uro.
“Perkembangan Covid-19 di sini luar bisa cepatnya,” ujar Robinson Tadem, anggota DPRD Kabupaten Malinau.
Annas Radin Syarif selaku Gugus Tugas Covid-19 di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan bahwa laporan-laporan baru tentang kasus Covid-19 di masyarakat adat mulai mencuat sejak Juni 2021. Sejak awal pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, masyarakat adat telah mengambil langkah sigap dengan memberlakukan karantina atau lockdown di masing-masing wilayah mereka. Karena itu, hampir tidak ada kasus yang dilaporkan oleh masyarakat adat.
“Tahun lalu ada beberapa laporan, tapi mereka terpaparnya ketika sedang beraktivitas di luar wilayah adat mereka,” papar Annas.
Mereka yang terkonfirmasi positif Covid-19 ini mesti dirawat atau melalui karantina dahulu di rumah sakit sebelum diperbolehkan kembali ke wilayah mereka.
Namun, kemunculan varian Delta dan situasi Covid-19 di kabupaten/kota yang memburuk juga mempengaruhi situasi masyarakat adat. “Sejak Juli, kami sudah mendapatkan kabar warga yang meninggal dunia. Ada beberapa kasus klaster keluarga yang meninggal pada saat menjalani isolasi mandiri karena fasilitas dan layanan kesehatan yang jauh dari jangkauan.”
Selain di Apau Kayan, AMAN juga menemukan angka positif Covid-19 yang signifikan juga terdapat di Lamandau, Kalimantan Tengah; Tana Toraja dan Toraja Utara, Sulawesi Selatan; Sigi, Sulawesi Tengah; dan Kepulauan Aru, Maluku.
“Pada awalnya, lokasi yang terpencil dan relatif terisolasi, kehidupan mandiri, dan kearifan lokal membuat masyarakat adat relatif aman dari Covid-19. Namun seiring perkembangan varian virus yang lebih dahsyat dan mudah menular, pertahanan masyarakat adat mulai jebol,” kata Annas.
Wilayah Terjal, Akses dan Fasilitas Kesehatan Terbatas
“Ada dua sosok yang paling dihormati di kampung: lembaga adat dan agama,” kata Robinson saat memaparkan bahwa kasus Covid-19 di Apau Kayan telah turun dalam waktu relatif singkat. “Bisa disimpulkan bahwa sekarang sudah tidak ada lagi kasus di Apau Kayan,” katanya, ketika dihubungi pada 9 Agustus 2021.
Menurutnya, hal ini berkat koordinasi yang baik antara pemerintah daerah, lembaga adat, tokoh-tokoh agama, dan masyarakat adat. Pemuka adat dan Hamba Tuhan (pendeta) mengimbau agar masyarakat menahan diri melakukan aktivitas di luar rumah. Ibadah tidak lagi dilaksanakan di gereja. Sebagai gantinya, para Hamba Tuhan melantunkan doa melalui toa setiap pagi dan malam. Setiap warga melakukan isolasi mandiri di rumah masing-masing, tak peduli mereka terkonfirmasi positif atau tidak. Mereka juga dengan sigap menutup seluruh pintu masuk ke wilayah adat mereka.
“Ini membuktikan masyarakat kami luar biasa patuh terhadap protokol kesehatan,” tambahnya.
Terlepas dari kesuksesan yang diraih masyarakat adat Apau Kayan, mereka bukan tidak sempat mengalami kendala. Di Kabupaten Malinau, pemerintah setempat sempat mengkhawatirkan stok oksigen yang terbatas karena kenaikan kasus Covid-19 yang pesat di hampir seluruh kecamatan, termasuk Apau Kayan.
Ada 120 stok tabung oksigen yang dimiliki kabupaten dengan jumlah populasi sebanyak 82.519 jiwa. Namun, setiap harinya, rumah sakit di Malinau hanya bisa mengisi 45 tabung. “Selama beberapa hari, Kabupaten Malinau sempat kehabisan oksigen,” ujar Robinson. Mengantisipasi ini, pemerintah setempat kemudian mencari tambahan tabung oksigen di luar Kalimantan dan mengisinya di Berau, Kalimantan Timur, yang memiliki kapasitas pengisian lebih besar.
Masyarakat Adat Apau Kayan tak sempat mendapatkan jatah oksigen. Semua kematian akibat Covid-19 terjadi di rumah.
Selain dengan pesawat, Apau Kayan hanya bisa diakses dengan jalur darat dari Samarinda yang membutuhkan waktu 3-4 hari. Sementara itu, jumlah fasilitas kesehatan di wilayah tersebut terbatas: terdapat satu puskesmas di Long Ampung, Kayan Selatan; satu puskesmas di Long Nawang, Kayan Hulu; dan satu RS Bergerak di Kayan Selatan.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, hanya terdapat satu dokter umum di Sungai Boh, dua dokter umum di Long Ampung, dan dua dokter umum di Long Nawang. Sementara itu, tidak ada dokter spesialis sama sekali. Kabupaten Malinau sendiri hanya memiliki 10 dokter spesialis, yang semuanya terpusat di RS Umum Daerah Kabupaten Malinau.
Untuk itu, sekitar 10 tenaga kesehatan dari Kabupaten Malinau dan Provinsi Kalimantan Utara diturunkan ke Apau Kayan. Begitu pula dengan obat-obatan, masker, dan kebutuhan terkait Covid-19 lainnya. Pengangkutan obat-obatan ini jadi tantangan tersendiri, sebab kapasitas pesawat yang terbang ke wilayah Apau Kayan terbatas, yaitu hanya dapat ditempati oleh 7-11 orang.
“Pengangkutan obat-obatan dengan pesawat butuh biaya yang tinggi. Karena, tidak bisa ikut rombongan penumpang umum,” jelas Robinson.
Selain di Apau Kayan, Masyarakat Adat Enggano di Pulau Enggano, Bengkulu Utara, juga tak lagi merasa tenang. Setelah bertahan selama 15 bulan tanpa kasus, Covid-19 mulai menyerang warga di Kecamatan Enggano sejak awal Juli lalu. Celakanya, kasus warga yang terinfeksi terus bertambah. Bahkan, satu orang meninggal dunia pada akhir Juli.
Warga yang meninggal bernama Rukiah, warga Desa Kaana. Ia diperkirakan tertular Covid-19 saat berada di Kota Bengkulu. “Saat akan pulang ke Enggano, sempat di-rapid test di pelabuhan, namun hasilnya negatif. Setelah tiga hari di Enggano, dia mulai terinfeksi dengan gejala sesak napas. Sempat dibawa dan dirawat di Rumah Sakit Lapang Enggano. Informasi yang kami terima, dia memiliki riwayat penyakit jantung,” terang Salpina, Kepala Puskesmas Enggano.
Jumlah warga yang terinfeksi Covid-19 per 10 Agustus di Enggano sebanyak 17 orang. Salpina merasa khawatir dengan terus bertambahnya jumlah warga yang terinfeksi Covid-19. Puskesmas Enggano bukanlah puskesmas perawatan, begitu pula RS Lapang Enggano yang bukanlah RS rujukan Covid-19. Sementara itu, alat tes antigen yang tersisa di Puskesmas Enggano hanya 35 buah.
Tabung oksigen yang tersedia pun hanya berjumlah 2 tabung ukuran besar dan 5 tabung ukuran kecil. “Untuk mengisi atau mengganti tabung oksigen yang sudah terpakai, kami sangat kesulitan. Tidak ada di sini. Harus ke Kota Bengkulu atau Argamakmur [Ibukota Bengkulu Utara],” kata Salpina.
Selain kendala dalam penanganan, proses pengetesan dan tracing yang tidak berjalan baik di wilayah adat, khususnya wilayah-wilayah terpencil, juga jadi masalah besar. Hingga kini, belum dapat diketahui secara pasti jumlah kasus Covid-19 di kalangan masyarakat adat.
Desa Rantau Langsat, misalnya, bagian dari wilayah adat Talang Mamak, Indragiri Hulu, Riau tidak pernah tersentuh petugas kesehatan karena wilayahnya yang masuk dalam Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan hanya bisa dilalui dengan menyebrang sungai.
Encep, petugas puskesmas di wilayah Citorek, Lebak, Banten, juga mengeluhkan akses ke sejumlah wilayah Kasepuhan Citorek yang sulit, seperti Kampung Cisiih yang berjarak 16 km dari puskesmas dan hanya bisa dilalui dengan motor trail, atau Kampung Cibeledug yang satu-satunya akses adalah melalui jembatan gantung.
“Jadi, kalau ada pasien di sana yang membutuhkan pertolongan medis, ia mesti ditandu atau naik motor dulu melalui jembatan gantung. Baru setelah itu bisa dijemput dengan ambulans.”
Sementara itu, jumlah tim tracing untuk seluruh wilayah Citorek hanya berjumlah tiga orang. Tenaga kesehatan pun kewalahan karena mereka ikut terpapar Covid-19. “Dokter, perawat, bidan, hingga petugas https://projectmultatuli.org/wp-content/uploads/2021/06/5668A357-39CA-4B12-902A-DAE1F707FCD7-1.jpegistrasi ikut terpapar Covid-19. Mereka sering berkontakan dengan pasien dan bolak-balik merujuk pasien ke rumah sakit,” jelas Encep.
Minim Akses Informasi dan Kepercayaan “Di-Covid-kan”
Keterbatasan akses dan SDM juga berpengaruh terhadap informasi yang diterima warga terkait Covid-19. Netty, seorang perempuan adat di Desa Marlasi, Kabupaten Kepulauan Aru, mendengar rumor bahwa beberapa tokoh perempuan adat meninggal dunia karena “di-Covid-kan”. Mama Do, atau Dolfintje Gaelagoy, meninggal dunia pada awal Juli. Mama Do terkenal atas keberaniannya melawan konsesi perkebunan gula di Kepulauan Aru.
Mama Do yang memiliki riwayat asma sempat mengalami sesak napas dan dibawa ke rumah sakit oleh keluarga dan tetangganya. Setelah diperiksa, Mama Do divonis positif Covid-19, dan meninggal dunia tak lama kemudian.
Mama Anatje Siarukin, tokoh perempuan adat yang kerap memperjuangkan hak-hak masyarakat adat Aru dan sering memimpin demo-demo menyangkut pelestarian lingkungan dan hak masyarakat adat, juga dipercaya telah “di-Covid-kan”.
Menurut keterangan Netty, Mama Siarukin sempat dibawa ke rumah sakit setelah jatuh dari kamar mandi. Setelah diperiksa, Mama Siarukin terkonfirmasi positif Covid-19. Keluarga tidak terima dan memaksa untuk mengeluarkan Mama Siarukin dari rumah sakit. Dua hari kemudian, Mama Siarukin meninggal dunia di rumah.
Netty dan sejumlah warga lain di Kepulauan Aru sulit percaya bahwa Covid-19 mematikan. Warga merasa gejala flu, batuk, demam setiap pergantian cuaca adalah hal yang biasa dan mereka sudah tahu cara mengatasinya. “Kenapa hampir dua tahun belakangan ini jadi heboh dan diberi nama berbeda [Covid-19]?”
Encep selaku petugas kesehatan di Kasepuhan Citorek, Lebak, Banten, juga mengeluhkan pengalaman serupa. Kepercayaan dan ketakutan akan “di-Covid-kan” membuat masyarakat enggan untuk melakukan tes Covid-19.
Sejak Maret-Juli 2021, kasus Covid-19 yang terdeteksi di Citorek terdiri dari 11 kasus. Encep memperkirakan jumlah kasus sebenarnya jauh lebih banyak dari angka yang tercatat.
Namun, membujuk masyarakat untuk melakukan tes tidak mudah. Jika ada seseorang yang telah terkonfirmasi positif Covid-19 dan pihak puskesmas berusaha melakukan tracing kepada kerabat atau anggota keluarga terdekat, tidak sedikit warga yang menolak dan bahkan melawan tenaga kesehatan. “Mereka bilang, ‘Nggak mau. Saya baik-baik saja.’ Sampai mengajak berkelahi jika para petugas masih membujuk.”
Apa yang membuat masyarakat setempat percaya disinformasi “di-Covid-kan”?
“Ya, itu, kekurangan akses informasi yang valid. Mereka tahunya, kalau ke rumah sakit, meninggal, langsung dibungkus plastik,” ujar Encep.
Istilah “di-Covid-kan” mengacu kepada ketidakpercayaan masyarakat terhadap pihak rumah sakit dan pemerintah. Pihak-pihak ini dianggap memiliki motif tertentu sehingga sengaja untuk membuat publik sakit, contohnya berupaya mendulang keuntungan dengan semakin banyaknya pasien yang tertular Covid-19.
Berdasarkan data Google Trends, istilah “di-Covid-kan” mulai muncul ke permukaan pada September 2020. Perbincangan “di-Covid-kan” tepatnya mulai memuncak pada 3-4 Oktober 2020, yaitu beberapa hari setelah Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko, mengimbau rumah sakit agar, “Jangan sampai semua kematian itu selalu dikatakan akibat Covid-19.”
Moeldoko juga memberikan contoh kasus rumah sakit yang menurut klaimnya telah menetapkan seseorang positif Covid-19, padahal ia meninggal dunia karena sakit biasa atau kecelakaan. “Perlu diluruskan, agar jangan sampai menguntungkan pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan dari definisi tersebut.”
Semakin ke sini, istilah “di-Covid-kan” semakin ramai diperbincangkan, dan mencapai puncaknya pada Juni dan Juli 2021 lalu. Pejabat publik lain ikut memberikan tudingan rumah sakit “Covid-kan” pasien, termasuk Bupati Banjarnegara Budhi Saworno pada Juni 2021. Lapor Covid-19 juga menyatakan bahwa disinformasi “di-Covid-kan” ini telah membuat banyak warga enggan dibawa ke rumah sakit ketika dalam keadaan sakit, hingga tidak sedikit yang berakhir meninggal dunia di rumah.
“Vaksinasi Malah Menambah Penyakit”
Mamak-mamak dari Talang Mamak, tepatnya dari Desa Sungai Ekok, Indragiri Hulu, Riau, datang ramai-ramai ke kantor desa. Mereka dipanggil untuk melakukan vaksinasi. Hanya saja, bukannya memenuhi permintaan itu, mereka justru membawa parang ke kantor desa—memberikan tanda keras bahwa mereka menolak untuk divaksinasi.
Di tengah kasus Covid-19 yang meningkat di sejumlah kota/kabupaten, sejumlah wilayah masyarakat adat enggan untuk melakukan vaksinasi. Perangkat desa di Talang Mamak mengeluhkan sakit setelah melakukan vaksinasi: badan lemas, demam, hingga ada yang setengah bagian badannya mati rasa.
“Kepala desa di Talang Parit jadi sakit-sakitan setelah divaksin. Sudah sebulanan berlalu, badannya masih lemah sampai sekarang,” papar Gilung selaku bagian dari masyarakat adat Talang Mamak dan pengurus harian AMAN. “Tidak ada penjelasan yang benar, jadi banyak yang memutuskan untuk nggak mau divaksin.”
Salah seorang Batin (tetua adat) di Talang Mamak menganggap, “Pemerintah sudah keterlaluan” karena “dengan vaksin malah menambah penyakit”.
Terlepas dari alasan ketakutan atas efek samping vaksinasi, Gilung mengatakan bahwa sejumlah Batin juga menaruh ketidakpercayaan kepada pemerintah, sehingga berimbas pada keengganan untuk melakukan vaksinasi.
Telah lebih dari tujuh tahun masyarakat adat Talang Mamak mendorong pemerintah agar keberadaan mereka diakui, sehingga mereka berhak untuk mengelola lahan dan hutan yang berada di wilayah mereka. Ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada 2012 yang menyatakan bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat: “Hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukanlah hutan negara.”
Berdasarkan hasil laporan “Masyarakat Adat Talang Mamak” yang diterbitkan oleh LBH Pekanbaru pada 2021, perjuangan tersebut belum membuahkan hasil. Sejumlah wilayah justru telah dikuasai oleh beberapa perusahaan perkebunan sawit, tambang, dan telah dijadikan Taman Nasional Bukit Batu yang berimbas pada tergerusnya tempat tinggal dan sumber daya alam sebagai sumber penghidupan mereka.
Lantas, para Batin ini khawatir vaksinasi justru dapat membuat mereka sakit, atau bahkan jadi terpapar Covid-19 (“di-Covid-kan”), dan mesti dilarikan ke rumah sakit. “Siapa tahu kami-kami yang banyak menentang pemerintah, jadi sakit, mesti dibawa ke rumah sakit—rumah sakit kan ada di bawah naungan pemerintah, nanti kami malah ditangkap atau diapa-apakan.”
Sebagai upaya pencegahan terhadap Covid-19, para masyarakat adat di Talang Mamak memilih menggunakan cara yang sudah mereka pahami. Mereka melakukan ritual adat di hutan keramat dan sejumlah ritual lainnya—yang berfungsi untuk menolak virus datang ke kampung.
Untuk penanganan, kebanyakan warga di Talang Mamak juga cenderung lebih percaya dan lebih sering berobat ke para tabib. AMAN telah memetakan setidaknya 29 tabib yang terdapat di wilayah Talang Mamak yang memiliki keahlian pengobatan. Ditambah lagi, warga di kampung juga telah memiliki pengetahuan turun-temurun tentang setidaknya 200 tumbuh-tumbuhan yang mereka percaya bisa dijadikan obat.
“Kami siap memberikan obat ramuan asli Talang Mamak yang dapat meredakan demam atau penyakit lainnya,” ujar salah satu Batin.
Tenaga kesehatan ikut mengeluhkan sulitnya membujuk warga di kampung untuk melakukan vaksinasi. Encep yang bertugas sebagai petugas Covid-19 di Citorek, termasuk Kasepuhan Citorek, Lebak, Banten mengatakan bahwa banyak masyarakat yang takut ketika dihampiri oleh petugas puskesmas. Mereka bilang, “Boleh kalau mau melakukan pengobatan, asal jangan disuntik.”
Beredar rumor di Kasepuhan Citorek bahwa terdapat tetua adat di wilayah kasepuhan lain, Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat yang meninggal dunia setelah divaksinasi. Rumor ini membuat tugas tenaga kesehatan menjadi semakin sulit dalam meyakinkan warga Citorek untuk divaksinasi. “Pada lari, kabur. Pemerintah dianggap mau membunuh mereka.”
Ketika dikonfirmasi ke Yoyo selaku bagian dari masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, ia membenarkan bahwa terdapat salah satu warganya yang meninggal dunia beberapa waktu lalu. Namun, bukan karena vaksinasi. “Tidak ada kasus yang meninggal setelah divaksinasi. Banyak yang sakit, iya.”
Yoyo selaku jambatan atau juru komunikasi kasepuhan mengatakan bahwa kebanyakan warga di tempatnya yang sudah vaksin dosis pertama menolak untuk melanjutkan karena efek samping vaksin yang membuat mereka tidak bisa beraktivitas.
Terdapat sekitar 130 orang di Ciptagelar yang telah melakukan vaksinasi tahap pertama. Yoyo menceritakan salah satu warganya mengeluh, “Ini gimana? Badan saya jadi nyeri dan napas jadi sesak sejak vaksin. Sudah satu minggu saya nggak bisa tidur.”
Ditambah dengan keyakinan bahwa daerah mereka sepi Covid-19 dan termasuk dalam zona hijau, warga di Kasepuhan Ciptagelar merasa tidak ada urgensi untuk melakukan vaksinasi. “Kami, kalau bisa, nggak usah divaksin, lah. Nggak butuh juga. Kecuali butuh ke kota, misalnya,” tutur Yoyo. Pihak kasepuhan juga mempercayai bahwa vaksinasi sama saja dengan, “Memasukkan sesuatu yang kotor ke tubuh kita yang bersih.”
Kasus Covid-19 masih meningkat di Kabupaten Sukabumi. Per 10 Agustus, terdapat 444 kasus aktif dan 161 kasus suspek yang sedang menjalani isolasi. Meski wilayah Kasepuhan Ciptagelar telah dikepung Covid-19 dari luar, masyarakat adat di sana percaya bahwa mereka akan tetap aman.
Kasepuhan Ciptagelar percaya bahwa tingginya penyebaran virus di luar wilayah adat disebabkan oleh lingkungan yang tidak dihormati lagi. “Di sana, tradisi ruwat bumi sudah hilang. Tanah dieksploitasi, sumber mata air banyak yang ditutup,” ujar Yoyo.
“Sementara, kami di Kasepuhan Ciptagelar masih memelihara tatanan kehidupan: kami saling menghormati makhluk hidup, tidak memperlakukan binatang semena-mena, dan membayar sedekah ruah—sedekah kepada ruh dan arwah. Kami harus menghormati sang penunggu lingkungan—penunggu tanah dan air—yang telah dimandatkan oleh Allah SWT. Ketika kami masih memelihara tatanan itu, kami akan diberi keselamatan.”
Sementara itu Annas selaku Gugus Tugas Covid-19 di AMAN mengonfirmasi bahwa hoaks dan misinformasi membuat banyak masyarakat adat menolak untuk divaksinasi. “Di masa awal pandemi, aman. Banyak yang mau divaksinasi. Kami di AMAN mendata terdapat lebih dari 535 ribu masyarakat adat yang mau divaksinasi. Tapi, sekarang-sekarang ini, jumlah yang mau mendaftar jadi stagnan. Mereka termakan hoaks dan takut dirinya kenapa-kenapa,” ujar Annas.
Selain itu, tidak seperti masyarakat di perkotaan yang rutin berkunjung ke fasilitas kesehatan, tidak banyak masyarakat adat yang pernah ke rumah sakit, sehingga tidak banyak yang mengetahui riwayat kesehatan mereka. Sementara itu, proses screening vaksinasi tidak melalui pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh. “Kita tahu sendiri proses screening-nya hanya ditanya riwayat penyakit dan ditensi. Masalahnya kita nggak tahu apakah orang ini punya komorbid atau tidak,” lanjut Annas.
Jangan Nodai Kepercayaan Masyarakat Adat
Vaksinasi jadi harapan untuk menekan kenaikan kasus Covid-19 di kalangan masyarakat adat, apalagi dengan keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan yang membuat kemunculan kasus sulit ditangani.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses bagi masyarakat adat dan Kelompok Rentan menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk mendorong kemudahan akses vaksinasi bagi masyarakat adat. Untuk mencegah terjadinya kejadian tidak diinginkan setelah menerima vaksinasi, koalisi ini mendorong tersedianya fasilitas pemeriksaan kesehatan awal untuk masyarakat adat dan kelompok rentan lain—untuk mengetahui kondisi komorbid calon penerima vaksin.
Koalisi ini juga mendorong adanya edukasi dan sosialisasi terkait program vaksinasi yang konstruktif, mudah didapat, dan mudah dipahami—termasuk agar pemerintah dapat aktif meluruskan misinformasi dan hoaks yang berkaitan dengan vaksinasi.
Selain itu, kendala lain dalam melakukan vaksinasi adalah kewajiban memiliki Nomor Induk Penduduk (NIK). Padahal, kebanyakan masyarakat adat yang tinggal di daerah pedalaman atau pulau terluar tidak memiliki NIK. “Kami mohon Bapak Presiden memerintahkan kepada jajaran aparat terkait untuk mengambil langkah terobosan, yakni dengan mengganti persyaratan NIK dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh RT, RW, kepala desa, kepala adat, atau organisasi tempat seseorang bernaung,” ujar koalisi dalam surat terbuka.
Koalisi menambahkan bahwa persyaratan NIK untuk vaksin dapat menjadi persoalan bagi kelompok rentan lain, seperti kelompok disabilitas, anak-anak dalam berbagai kondisi yang tak memiliki akta kelahiran, lansia, transpuan, ataupun tunawisma.
Merespons surat terbuka ini, Kementerian Kesehatan pada 2 Agustus 2021 telah mengirimkan surat edaran Nomor HK.02.02/III/15242/2021 yang berisikan imbauan untuk mempercepat pelaksanaan vaksinasi Covid-19 bagi masyarakat rentan dan masyarakat lainnya yang belum memiliki NIK. Dalam surat edaran, Kemenkes mengimbau agar dinas kesehatan setempat dapat berkoordinasi dengan dukcapil (dinas kependudukan dan catatan sipil) setempat dan dinas-dinas terkait agar pelayanan vaksinasi dapat dibarengi dengan registrasi identitas, sehingga, “Masyarakat dapat terlayani dan kebutuhan NIK dapat terpenuhi.”
Terlepas dari itu, vaksinasi masih terkendala di sejumlah tempat karena kekurangan stok. Salpina di Puskesmas Enggano memaparkan bahwa jadwal vaksin justru tertunda. “Kami mengalami keterbatasan stok vaksin. Vaksinasi dosis kedua yang dijadwalkan pada 26 Juli 2021 terpaksa ditunda karena tidak ada stok vaksinnya,” papar Salpina. “Baru sekitar 40 persen warga Enggano yang telah mendapatkan vaksin dosis pertama. Sementara yang lengkap baru 20 persen.”
Terkait masyarakat adat yang telah termakan hoaks, Gilung di Talang Mamak menyatakan bahwa, “Masyarakat terlanjur tidak mau divaksin. Jadi, bahasan ke situ [kendala NIK dan stok vaksin], nggak ada,” ujar Gilung. “Ini jadi pelajaran: mestinya kepercayaan masyarakat tidak dinodai—perangkat desa tahu-tahu dipanggil ke kantor desa, disuntik, tanpa ada sosialisasi. Mestinya diajak baik-baik. Dilakukan pemeriksaan kesehatan sebelum kegiatan vaksinasi dilaksanakan.”
Reporter di Kepulauan Aru, Maluku: Lelimara Katipana
Reporter di Pulau Enggano, Bengkulu: Dedek Hendry
Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #MasyarakatAdat dan Pandemi.