“Hussan Sa Rezi!”
Lewat pelantang suara, aku mendengar namaku disebut. Bingung, aku melirik teman satu sel untuk memastikan. Sepanjang masa tahananku, petugas keamanan tak pernah menyebutkan namaku dengan benar. Si teman sel menganggukkan kepala, membenarkan namaku termasuk dalam daftar tiga puluh pengungsi yang akan dibebaskan dari penjara pengungsi di Balikpapan.
Aku sudah menantikan panggilan semacam ini selama 1.277 hari. Setiap kali bunyi ‘shhshhh…’ dari pelantang suara bergaung di dalam penjara, bulu kudukku meremang—menunggu namaku dipanggil. Setiap hari, sepanjang 1.277 hari, aku dibuat kecewa.
Tapi, tidak kali ini.
Hari dan waktu kebebasanku akhirnya datang juga. Seberkas kebebasan yang dihalangi tembok raksasa berkawat duri begitu tinggi mencakar langit. Pintu kebebasan yang tak pernah sekalipun luput dikunci petugas keamanan.
Penjara pengungsi Balikpapan resminya dinamakan Rumah Detensi Imigrasi. Tapi, kami, para pengungsi, menamakannya “penjara” menunjukkan apa yang kami alami di balik dinding tahanan selama bertahun-tahun. Semua penjara pengungsi di seluruh Indonesia didanai oleh pemerintah Australia.
Setiap malam, aku bermimpi menyusuri ruas jalan tanpa petugas keamanan imigrasi membuntutiku, melihat bocah-bocah saling mengejar menampakkan senyum polos di wajah mereka, membayangkan hidangan makan keluarga, para ibu menjual kue-kue rumahan di kiosnya.
Sebuah kebebasan yang menyelinap dalam tidurku setiap malam sekarang berada dalam jangkauan. Aku bahkan nyaris bisa menyentuhnya.
Beberapa hari kemudian, pada 26 Februari 2018, bus mengangkut tiga puluh pengungsi ke bandara Balikpapan. Aku masih tak percaya aku dibebaskan dari penjara. Aku ketakutan kalau-kalau bus yang aku tumpangi ini, setiap detiknya, akan berbalik dan membawaku kembali ke penjara.
Namun, mengawasi bus melaju lurus ke depan, dengan lampu terus menyala, meredakan rasa takutku. Aku masih tak bisa melihat dunia luar sepenuhnya. Di bawah sorot lampu bus, aku bisa melihat wajah-wajah santai dan tenang orang-orang yang terbangun dini hari itu.
Saat menunggu setengah jam di terminal bandara, mataku mengamati semua penumpang orang Indonesia, terpana bak bocah kecil yang baru kali pertama memasuki wahana bermain. Penjara rupanya memudarkan ingatanku atas orang-orang biasa. Sekarang, tiada lagi dinding di antara kami. Mereka menyeret koper ke konter bagasi untuk check-in dengan langkah tenang. Sebuah ketenangan yang sudah kulupakan di wajahku setiap kali aku bercermin.
Salah satu petugas imigrasi bermuka masam melambai dari kejauhan untuk memberitahu kini giliran kami memasukkan koper bawaan kami. Itu pertama kalinya aku berinteraksi sangat dekat dengan seseorang dari dunia luar.
Di konter check-in, aku menatap lekat-lekat mata perempuan yang mengambil koperku; berharap ia akan menyampaikan ucapan selamat atas kebebasanku dan menyambut kedatanganku ke dunia luar. Ia tidak melakukannya. Ia tersenyum, tapi itu senyum pura-pura, terlihat ia mengerutkan kulit di sekitar matanya; sebuah senyum yang sama yang ia berikan ke pengungsi di depanku. Lalu ia segera mengalihkan pandangan ke seseorang di belakangku, tandanya aku diharuskan secepatnya menyingkir.
Wisma Terpencil
Di atas bandara Tanjung Pinang, dari balik kabin pesawat, aku cuma melihat pepohonan dan beberapa rumah, suatu pemandangan yang sekilas mengesankan daerah pedesaan. Aku berharap pihak berwenang membebaskanku ke kota besar. Kota besar menyediakan jalan keluar yang lebih baik untuk kehidupan seorang pengungsi.
Gelombang rasa kecewa segera menyapu para pengungsi. “Mura da jungle awarda!” seorang pengungsi berseru. Kami mengangguk tanpa suara.
Kami mendarat di bandara terkecil yang pernah kami lihat, dan hanya pesawat yang membawa kami yang mendarat di bandara itu. Di saat penumpang lain memasuki taksi atau mobil pribadi mereka, kami digiring oleh petugas imigrasi Tanjung Pinang ke tiga gri-gri—istilah pengungsi Afganistan untuk menyebut angkot.
Mereka membawa kami mendaftar di penjara pengungsi Tanjung Pinang. Tembok dengan kawat berduri tampak jelas dari kejauhan. Petugas imigrasi membiarkan kami menunggu di luar di bawah terik matahari tengah hari. Mereka memanggil kami satu per satu. Aku berjalan mengikuti petugas bertubuh pendek ke ruangan yang muram. Satu petugas lain menyerahkan kertas berisi namaku.
Ia memerintahkanku memegang kertas itu ke dada menghadap kamera. Kemudian, ia menyuruhku menoleh ke samping menjauhi kamera. Kamera itu memotretku dua kali lagi, dua jepretan yang melengkapi penyambutanku di dunia luar. Persis seperti yang kamu lihat dalam sebuah film saat seorang tahanan memasuki penjara.
Dengan gri-gri yang sama, kami dibawa dari penjara pengungsi ke rumah penginapan. Ke suatu tujuan yang menjadi rumah impianku—kebebasanku?
Gri-gri melaju menjauhi kota memasuki seruas jalan labirin. Jalan itu semakin menyempit. Pohon-pohon segera menggantikan rumah dan toko di kedua sisi jalan, lebih tinggi dan lebih rimbun. Hutan adalah kata pertama yang kami sebut untuk menamai penginapan itu. Keterpencilannya membuatnya seperti rumah pengasingan, bukan penginapan.
Sesudah empat puluh menit, laju gri-gri memelan mendekati gerbang besi. Sebuah tanda besar terpampang, bertuliskan Hermes Agro. Ini mirip kali pertama mobil penjara membawaku melewati gerbang penjara pengungsi Balikpapan. Bedanya, tidak ada lagi pintu kokoh dan kawat berduri saat gri-gri memasuki rumah pengasingan itu. Tempat itu adalah resor yang usang. Cat putih dindingnya sudah mengelupas. Semak-semak liar menaungi bunga yang sebelumnya menghiasi tempat itu. Permukaan tanahnya tertimbun dedaunan kering.
Staf Organisasi Internasional untuk Migrasi (International Organization for Migration/IOM) memberikan setengah dari tunjangan bulanan ke setiap pengungsi. Tunjangan ini datang dari ribuan kilometer jauhnya: Australia, Amerika Serikat, Uni Eropa… mendanai penahanan kami.
Staf IOM bersikeras aku menghitung uang itu: Rp625.000. Katanya, agar tak ada masalah di kemudian hari. Mereka memberikan kebebasan bagi kami untuk membeli makanan, pakaian, peralatan mandi, ongkos transportasi kami sendiri… Jumlah yang nyaris tak akan cukup untuk biaya makan kami sekarang.
Karyawan wisma memberiku peta yang menunjukkan kamar mana yang harus aku tempati. Aku ditempatkan dengan tiga pengungsi yang berangkat bersama dari Balikpapan. Pengungsi lain dipasangkan dengan satu atau dua pengungsi yang baru dibebaskan dari penjara pengungsi.
Kamar itu kecil. Kami berempat nyaris tak muat. Ranjang dobel di kedua sisi ruangan hanya menyisakan sedikit ruang untuk berjalan ke kamar mandi. Tapi, ruangan itu lebih besar dari sel tempatku tinggal dengan sebelas pengungsi lain di dalam penjara pengungsi Balikpapan.
Dua hari kemudian, aku dan teman sekamarku berjalan ke minimarket terdekat sejauh tujuh kilometer. Tidak ada angkutan umum, tapi itu tidak mencegah kami merayakan kebebasan kami dengan berjalan kaki.
Ketika di penjara, jarak terjauh yang bisa kutempuh adalah panjang sebuah lapangan bermain yang kecil. Sekarang jaraknya merentang sejauh kaki yang bisa kuayunkan. Dan aku diberikan kebebasan melihat pemandangan pepohonan, bukan kawat berduri.
Pada setiap langkah menjauhi wisma itu, aku masih takut akan dipanggil lagi. Tapi, tidak ada yang memanggil namaku. Sama-sama merayakan, pengungsi dari Afganistan, Sudan, Somalia, dan Pakistan berjalan di pinggir jalan. Beberapa menjauhi wisma. Beberapa menuju wisma.
Tawanan
Aku dan teman kamarku kembali sebelum jam enam sore. Pengungsi lain sudah memperingatkan jika kami tidak kembali sebelum jam enam sore, kami akan ditahan di penjara pengungsi Tanjung Pinang. Semua orang terbebani akan tanda larangan itu yang sewaktu-waktu mengembalikan kami ke penjara.
Tidak ada yang berani keluar dari gerbang wisma atau diam di luar sesudah jam enam sore. Beberapa pengungsi yang tiba sesudah jam enam sore untuk mengetes aturan ini, bukan untuk melanggar tapi untuk melihat apakah aturan ini diterapkan atau tidak, kembali ditahan di dalam penjara pengungsi Tanjung Pinang.
Minggu selanjutnya, petugas imigrasi memanggil para pendatang baru ke lobi. Mereka memberikan pengarahan mengenai banyak sekali aturan dan larangan. Kami duduk di ruang kelas seperti murid sekolah. Di depan papan tulis, petugas imigrasi menjelaskan setiap peraturan. Seorang petugas perempuan memberikan lembar peraturan kepada kami:
- Pengungsi hanya diizinkan untuk keluar dari wisma dari jam 06.00 – 18.00
- Pengungsi dilarang pergi ke pelabuhan/bandara kecuali didampingi petugas imigrasi
- Pengungsi dilarang menerima tamu yang akan menginap
- Pengungsi dilarang mengemudikan atau membawa motor ke dalam maupun ke luar wisma
- Tata tertib dan peraturan di Indonesia harus dipatuhi, termasuk tidak mencari kerja (dilarang bekerja), melakukan aktivitas yang berhubungan dengan menerima uang, mengemudikan kendaraan, dan bepergian
- Siapa pun yang melanggar aturan di atas akan ditahan di sel khusus rumah detensi Tanjung Pinang.
Efek daftar aturan itu terasa membelit dan meregang dua kali lipatnya. Setiap aturan bak kawat berduri melilit leherku: mengerutkan paru-paru. Setiap kali membacanya, napasku terasa berhenti mendadak. Seketika ruang kelas itu memerangkapku seperti sel penjara.
Perintah mengikuti pendaftaran yang merendahkan martabat manusia. Rumah penginapan yang sangat terpencil. Sekarang daftar peraturan yang begitu panjang. Segalanya membuyarkan bayangan kebebasan yang kuimpikan saat dalam penjara pengungsi Balikpapan.
Dinding dan kawat berduri yang dulu membatasi kebebasanku sekejap berubah menjadi kekuatan tak kasatmata dengan tujuan yang sama: menjadikanku sebagai tawanan di negeri ini. Bak melepaskan burung dari sangkar tapi memotong sayap-sayapnya dan berharap si burung bisa terbang.
Identitas
Setiap pagi sebelum jam enam, tiga atau empat gri-gri datang ke gerbang untuk mengangkut para pengungsi ke kota. Karena tak ada transportasi umum, para sopir gri-gri mendapatkan cara baru untuk mencari nafkah.
Aku bersemangat dan masuk berdesak-desakan dengan dua belas pengungsi lain ke gri-gri demi melihat apakah ada dunia yang lebih bebas di kota. Kota terasa seperti rute keluar yang sempurna dari lingkungan wisma yang menyesakkan dada.
Yang pertama menarik perhatianku ketika turun dari gri-gri adalah salon kecantikan. Ada dua gambar lelaki dan perempuan berukuran sangat besar menutupi setengah sisi depan salon. Aku selalu bermimpi punya keahlian memangkas rambut. Aku mempelajarinya selama masa penahanan, memangkas rambut pengungsi lain.
Aku mendorong pintu berat salon itu. Ruangan di dalam lebih gelap ketimbang di luar. Ada tiga perempuan. Kepala mereka disandarkan ke punggung kursi. Beberapa gadis muda melayani mereka. Aku bertanya apakah manajer salon ada di tempat. Seorang lelaki Tionghoa muncul dari balik meja tinggi, menyapa sambil tersenyum.
“Saya ingin bekerja magang di sini. Kalau Anda butuh asisten,” kataku.
Ia mendengarkan dengan serius. “Saya tidak mau dibayar,” kataku sembari mengingat aturan imigrasi.
“Dari mana asalnya?” Bahasa Inggrisnya sedikit beraksen.
Aku menjelaskan aku dari Afganistan, tinggal di Tanjung Pinang sebagai pengungsi.
“Oh, pengungsi! Saya tahu tentang mereka.” Wajahnya berubah seiring ia mencerocos soal pengungsi.
Aku rasa itu bukan perubahan yang menyenangkan. Dengan tidak bersemangat, ia berkata akan menghubungiku kalau aku meninggalkan nomor telepon.
Aku kembali ke wisma kehilangan semangat. Tak ada jalan keluar atas identitas yang menempel di dahiku bertahun-tahun lalu. Tak lama, seluruh kota melihat identitas itu membuntuti ke mana pun para pengungsi pergi.
Menyadari kami kesulitan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, si pedagang selalu bertanya dari mana asal kami dan kenapa kami di situ? Kebanyakan pengungsi tidak bisa melarikan diri dari kenyataan karena kami harus kembali ke kenyataan itu berulang kali.
Para sopir taksi, Gojek, dan gri-gri jadi familiar dengan wajah para pengungsi. Mereka menyerukan “Hermes Agro?” ke arah kami saban melihat kami di kota. Ketika kami tidak butuh transportasi, rasanya mengganggu dan menyinggung perasaan!
Kata “Hermes” menempel ke diri kami, mengidentifikasi diri kami, menjadi identitas lebih besar ke kami: Kami adalah pengungsi, kami adalah orang luar.
Ia mengikat kenyataan seorang pengungsi telah menyeleweng dari garis waktu normal: jauh dari keluarga, tanpa rumah selama nyaris satu dekade. Terus-menerus diingatkan soal itu, bahkan cuma lewat ajakan naik angkutan umum dari para sopir itu pun, terasa menyakitkan.
Aku pergi ke kota tiga kali di minggu-minggu selanjutnya sampai aku menghabiskan semua uang tunjangan. Aku menyadari kegelisahanku memikirkan kembali ke Hermes. Dalam diriku, ada rasa nyeri yang tajam.
Aku terus-menerus memikirkan:
Ketidakpastian dalam langkahku
Mendung di depan mataku
Kegelapan di perjalananku
Kawat yang mengikat kakiku
Jarak di antara aku dan keluargaku
… dan membandingkan dengan orang-orang luar yang menikmati secangkir kopi seraya mengisap dan mengembuskan rokoknya pelan-pelan; atau dengan anak-anak kecil yang berlarian dari gerbang sekolah main kejar-kejaran di jalan; atau dengan anak-anak muda seumuran yang akan memasuki universitas; atau dengan keluarga yang menikmati hidangan makanan di meja restoran dengan seluruh anggota keluarga.
Aku tak bisa menghilangkan
Cara mereka duduk begitu akrab
Cara mereka bicara satu sama lain dengan penuh perhatian
Kasih sayang yang terjalin di antara mereka
Dari dalam benakku sesudah aku kembali dari kota.
Apa yang kupikirkan akan aku nikmati sesudah aku dibebaskan dari kawat berduri penjara kini memberikanku rasa iri, sakit, penderitaan.
Diri Penulis
Kami akhirnya semakin jarang pergi ke kota demi tidak terlalu sering menjalani pengalaman muram ini. Gri-gri akan mampir ke gerbang Hermes hanya saat kami meneleponnya. Setiap bulan, bagiku, pergi membeli bahan-bahan makanan adalah siksaan tersendiri.
Satu-satunya tempat yang kutuju ke luar wisma berada dekat saja di sekitarnya. Karena keluar lewat gerbang utama jaraknya dua kali lebih jauh, aku memanjat tembok wisma di sebelah kamar. Aku tahu ini melanggar peraturan imigrasi. Salah satu peraturan di daftar itu adalah dilarang memanjat dinding.
Nyaris semua pengungsi melakukannya, dan petugas imigrasi tak peduli lagi untuk menghukum para pelanggar. Aku berjalan ke lapangan voli kecil yang semak-semak liarnya sudah dibersihkan. Ibu-ibu sekitar wisma memasang jaring di lapangan itu. Sorenya, bapak-bapak dan ibu-ibu sekitar bermain voli; kegiatan yang dilarang dilakukan kebanyakan perempuan di negaraku.
Mereka selalu ramah mengundangku dan para pengungsi untuk bergabung. Aku tidak bisa bermain voli meskipun pengungsi yang lain bisa, tapi aku sudah cukup senang dengan menontonnya.
Cara mereka bersorak begitu lepas terkadang membuatku melupakan diriku, identitasku sebagai pengungsi.
Ikatan antara pengungsi dan para tetangga semakin kuat, tak sekadar bermain voli bersama. Aku mulai berinteraksi dengan mereka, cukup akrab memanggil mereka ibu. Aku melihat bayangan ibuku sendiri di mata mereka.
Mereka mengundang kami ke rumah untuk merayakan Idulfitri, dan sekarang setiap Lebaran, aku dan teman sekamarku pergi ke rumah mereka. Kami belajar bersalaman: menyentuhkan tangan mereka ke dahi kami ketika menyapa orang tua. Kami duduk di lantai menyantap kue buatan mereka. Terkadang kami melatih kata-kata bahasa Indonesia yang kami pelajari saat itu juga, mengobrol kemiripan dan sedikit perbedaan dalam cara kami merayakan Idulfitri di Afganistan.
Perayaan Idulfitri dan Tahun Baru adalah hari tersedih dalam kehidupan pengungsi. Ini acara yang seharusnya keluarga berkumpul bersama untuk merayakan dan memperkuat ikatan kasih sayang. Jauh dari keluarga memunculkan nostalgia dalam diri kami, tapi mengunjungi rumah para tetangga untuk sementara waktu menghentikan kesedihan itu.
Seringnya saya diam di wisma. Tempat yang dulu ingin kujauhi kini menjadi perlindungan emosional dan psikologis. Menjalani bahwa apa yang tidak terlihat olehmu itu tidak nyata bagimu.
Aku membeli kursi cukup tinggi untuk rak kecil. Kupasang di sebuah lemari pojok kamar. Rak kecil itu menjadi meja belajarku. Dengan sebuah pena, kertas, dan koneksi internet, aku memulai perjalanan pribadiku dari fotografi ke psikologi hingga menulis.
Aku tersesat dalam jalan pencarian kebebasan di dunia lahiriah, tapi akhirnya aku biarkan diriku mengikuti arah gerakan pena di kertas. Siang dan malam, bulan dan tahun berlalu dengan perubahan yang tak kusangka-sangka. Rak kecil itu memberiku perasaan cukup aman untuk melupakan diriku, identitasku sebagai pengungsi. Sebaliknya, jika aku sepanjang waktu memikirkan diri sebagai pengungsi, ia terlalu melumpuhkanku. Bisa-bisa membunuhku dari proses penempaan diri ini.
Seiring waktu, aku mendapatkan keberanian menengok dunia lewat kata-kata yang diungkapkan di sini di depanmu. Menemukan kata yang tepat menjadi urat nadi pertahanan hidupku. Caraku melawan kawat berduri tak kasatmata yang telah membatasi kebebasan lahiriahku. Dan ini memberiku semacam perangkat untuk menjelaskan identitasku sebagai pengungsi. Aku mulai melihat diriku sebagai penulis terlebih dulu sebelum sebagai pengungsi.
Aku selalu marah, kecewa tapi takut ketika melihat ribuan pengungsi menderita dalam keheningannya, belum menemukan cara mengekspresikan dirinya. Saat keheningan itu menyeruak keluar, pengungsi-pengungsi ini akan menemukan dirinya dengan tali melilit lehernya atau botol bensin di tangannya menyiram tubuhnya.
Hussain Shah Rezaie, dari Afghanistan, adalah penulis dan asisten editor di the archipelago. Karyanya telah diterbitkan di The Jakarta Post, The Cincinnati Review, The Southeast Asia Globe, dan the Archipelago.
Esai ini adalah artikel perdana dari serial kolaborasi #CeritaPengungsi antara Project Multatuli dan the Archipelago. the Archipelago adalah media kolektif para penulis yang berkomitmen menjangkau para seniman dan penulis pengungsi di Indonesia. Kontak: https://www.thearchipelago.org/contact-us/
Esai orisinalnya ditulis dalam bahasa Inggris, “The Invisible Barbed Wire”. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ariyantri Tarman.