Beredar kabar bahwa Rakernas Projo berantakan. Jokowi hanya pidato sebentar. Terus ngacir. Demikian juga anaknya, Gibran Rakabuming, yang kabarnya akan jadi cawapres Prabowo Subianto. Dia datang sebentar dan hilang tak tentu rimbanya.
Ada juga insiden relawan Projo ramai-ramai buka baju. Dan ketua umum Projo, Budi Arie Setiadi, tampak tidak bungah saat melakukan deklarasi dukungan Projo ke Prabowo. Prabowo pun tampak tidak terlalu antusias.
Yang menarik untuk saya adalah Jokowi sendiri. Jauh-jauh hari Jokowi sudah mengirim banyak sinyal untuk mengarahkan dukungan ke Prabowo Subianto. Persis, itulah yang dilakukan Projo. Ketuanya menunjukkan dukungan ke Prabowo.
Hal yang sama dilakukan PSI, yang mengaku “tegak lurus bersama Jokowi”. Petinggi partai ini menerima kunjungan Prabowo di kantor pusatnya. Namun, akhir-akhir ini, walaupun sudah diakuisisi Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, partai ini kelihatan mulai “undlap-undlup” (maju mundur) dalam hal dukung-mendukung capres. Bahkan Kaesang cs di PSI pun tampak menunggu, sekalipun ada sinyal kuat ke koalisi Prabowo.
Saya tidak punya informasi yang akurat tentang apa yang terjadi. Tetapi, semua ini membuat saya bertanya-tanya: Apakah Jokowi meninggalkan Projo setelah melihat realitas politik akhir-akhir ini? Apakah Mahkamah Konstitusi akan menolak permohonan untuk menurunkan syarat usia cawapres? Atau, MK mengabulkan tapi mengingat tingginya resistensi akhir-akhir ini, bahkan di kalangan pendukung Jokowi sendiri, akhirnya Jokowi harus menyelamatkan keluarganya dengan tidak mencalonkan Gibran menjadi cawapres Prabowo?
Ada dua hal yang saya baca dari semua peristiwa ini.
Pertama, kekuatan Jokowi sedang melemah, sekalipun tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahannya masih tetap tinggi. Ia tidak bisa lagi menjadi pengikat koalisi para pendukungnya.
Kalangan kaum urban liberal yang dulu menjadi pendukung setianya, karena percaya dia akan menjamin pluralisme, kebebasan, dan terutama pasar bebas, sudah berani mengekspresikan kegusarannya terhadap politik dinasti Jokowi. Seorang jurnalis dan intelektual senior sudah terang-terangan menolak politik dinasti ini.
Di kalangan urban liberal yang berada di PSI pun sudah pecah. Bahkan, setelah diakuisisi oleh Kaesang, saya merasakan penurunan antusiasme di kalangan PSI. Untuk saya, ini tidak terlalu mengherankan. Para kader PSI adalah anak-anak muda kelas menengah atas urban. Mereka sangat terdidik dan biasa berpikir rasional. Agak ajaib bagi saya ketika mereka mengatakan “tegak lurus bersama Jokowi.” Juga ada di antara mereka yang mengatakan ideologinya adalah “Jokowi-isme” yang tidak terlalu jelas wujudnya kecuali pemujaan kepada Jokowi.
Kontradiksi utama dari tingkah laku PSI adalah mereka partai kaum terdidik dan kemudian menjerumuskan dirinya pada ‘kultus individu’? Kalau itu dilakukan partai lain, saya bisa maklum. Tapi, PSI? Tidak heran kalau terlihat ada enthusiasm gap di kalangan kader-kader PSI.
Sementara, koalisi yang lain adalah Islam tradisional. Ini ditunjukkan hengkangnya PKB dari koalisi Gerindra dan Muhaimin Iskandar menjadi calon wakil presiden dari Anies Baswedan. Jika Jokowi benar-benar memiliki pengaruh sebagai king maker, perpindahan ini tidak seharusnya terjadi.
Sekarang PKB ke Anies; dan PBNU sudah mengatakan bahwa NU netral. Sekalipun demikian, orang-orang PKB selalu mengatakan PBNU netral, tapi NU bebas masuk PKB.
Jelas, Jokowi tidak lagi memiliki pengaruh atas kelompok yang membuatnya menang Pilpres 2019 karena saat itu ia mengangkat Rais Aam NU, KH Ma’ruf Amin menjadi cawapresnya.
Jika Jokowi punya pengaruh terhadap koalisi Prabowo, tentu ia bisa mencegah pindahnya Muhaimin ke koalisi Anies Baswedan. Dari situ saya lihat menurunnya pengaruh Jokowi secara signifikan.
Posisi Jokowi bahkan bertambah lemah dengan tidak ada dukungan dari PDIP. Dalam hal ini, bukan PDIP yang menjauh dari Jokowi, tetapi Jokowi yang ingin “mandiri” dari PDIP. Perlu diingat bahwa PDIP adalah partai yang mendukung Jokowi untuk menang dalam lima pemilihan umum. Partai ini juga menjadi partai utama yang memenangkan anak dan menantunya sebagai Wali Kota Solo dan Medan.
Tidak terlalu heran bahwa kalangan PDIP pun menggertakkan giginya melihat akrobat politik Jokowi, dengan “permainan bawah mejanya”, dalam mendukung Prabowo. Banyak kader partai ini yang sudah ingin adu tanduk dengan pendukung Jokowi.
Yang mengherankan adalah sikap matriarch PDIP sendiri, Megawati Soekarnoputri, yang hubungannya dengan Jokowi dikabarkan merenggang dan kerap tegang. Megawati tampak tidak bereaksi dengan semua langkah Jokowi. Ia dengan disiplin tidak memperbolehkan kader-kadernya menyerang Jokowi.
Mengapa PDIP tidak konfrontatif terhadap Jokowi? Saya kira partai ini belajar dari pengalaman bahwa tidak ada gunanya beradu dengan presiden yang sangat populer. Tampaknya, PDIP juga tahu persis bahwa kekuasaan yang terlalu percaya diri akan memakan dirinya sendiri.
Partai yang sudah punya pengalaman berkuasa dan sekaligus menjadi oposisi (dan direpresi di zaman Orde Baru) tampaknya cukup mafhum bahwa Jokowi akan terjerat dalam popularitasnya sendiri.
Akumulasi dari situasi ini bermuara pada satu hal: pelemahan posisi politik Jokowi.
Sebenarnya hal ini adalah sesuatu yang normal dalam sistem demokrasi. Sebagai presiden yang akan berakhir masa jabatannya dan tidak bisa terpilih kembali, Jokowi berada pada posisi lame duck. Artinya, kekuatan pengaruhnya jauh berkurang agar nanti penggantinya bisa mengambil alih kekuasaan dengan mudah dan tanpa bayang-bayang kekuasaan dari presiden sebelumnya.
Agaknya Jokowi berusaha menafikan kondisi ini. Ia yakin ia akan mampu membangun kekuatan. Namun, bagaimanapun, hukum alam kekuasaan berlaku untuknya, yakni ia tengah berada dalam situasi yang lumpuh. Ia akan kehilangan seluruh kekuasaannya setahun dari sekarang.
Jokowi bukannya tidak sadar akan hal itu. Ia tahu ia hanya akan mampu menyelamatkan dinastinya hanya semasa ia masih menjadi presiden. Sesudah ia pergi dari Istana Negara, ia tidak akan lagi memiliki pengaruh politik sebesar sekarang.
Bagaimana dengan Gibran Rakabuming? Apakah yang akan terjadi bila tidak menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto?
Saya kira, hanya dengan dipertimbangkan menjadi calon wakil presiden, Gibran sudah mendapatkan perkenalan politik secara nasional. Jika ia tidak menjadi calon wakil presiden, Gibran masih bisa menjadi gubernur di tempat yang ia pilih. Atau, ia bisa menjadi menteri, walaupun jabatan menteri tidak sekuat jabatan kepala daerah yang tidak bisa dipecat oleh presiden.
Anak-anak dan menantu Jokowi akan tetap bisa mencalonkan diri untuk menjadi kepala daerah. Hanya saja persoalannya: Apakah anak-anak dan menantu ini punya cukup kekuatan untuk maju sendiri tanpa proteksi dari payung kekuasaan kepresidenan? Itulah yang meragukan.
Namun, rupa-rupanya, jalan keluar pun sudah disiapkan. Beberapa pihak sudah mulai mendesak agak pemilihan kepala daerah (Pilkada) dimajukan dari November ke September 2024. Jokowi masih menjadi presiden pada bulan September tahun depan. Tentu tidak terlalu sulit untuk menghubungkannya dengan proteksi yang dibutuhkan oleh anak-anak dan menantunya dalam bertarung di Pilkada.
Sekalipun demikian, kekuasaan Presiden Jokowi sudah akan sangat melemah ketika presiden baru sudah terpilih pada Februari atau Juni (kalau dua kali pemilihan) tahun depan. Presiden baru akan mengkonsolidasikan kekuasaannya. Sekalipun yang terpilih adalah koalisi yang didukung Jokowi, ia tetap harus memberi jalan kepada penggantinya.
Dengan logika seperti ini, kalau ingin tetap punya pengaruh, Jokowi harus menempatkan anaknya, Gibran Rakabuming, dalam posisi sebagai wakil presiden. Jika itu terjadi, Jokowi tetap bisa mempengaruhi kekuasaan dengan Gibran sebagai proxy-nya. Dan, itu tidak terlalu baik untuk presiden terpilih yang baru.
Made Supriatma adalah peneliti pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura.