Penelitian menemukan suhu yang semakin panas dan dinamika curah hujan memengaruhi masa hidup bakteri penyebab antraks. Antisipasi terhadap kesehatan hewan ternak perlu diperkuat untuk mencegah penyakit merebak menjadi wabah baru.
SEKITAR 100 meter dari peternakan kambing milik Jamaludin terbentang lokasi pemakaman hewan-hewan ternak yang dikubur pada 2001. Kala itu, kampungnya di Desa Hambalang, Kecamatan Citeureup, menjadi salah satu titik wilayah dengan endemik antraks atau sapi gila di Kabupaten Bogor.
Penyakit yang disebabkan bakteri Bacillus anthracis tersebut bukan hanya menginfeksi hewan tapi juga manusia.
“Waktu itu ada sekitar dua atau tiga orang terkena antraks, ada tiga kandang yang terpapar dan cuma tiga sampai empat ekor terkena antraks di daerah sini saja,” kata Jamaludin saat ditemui di kampungnya, Oktober 2023.
Bisnis peternakan Jamaludin sudah dimulai sejak 1980-an, turun-temurun dari keluarganya. Ia sudah memahami seluk-beluk hewan ternaknya, termasuk yang berkaitan dengan antraks. Meski memakan korban jiwa, menurutnya antraks adalah penyakit hewan yang tetap bisa disembuhkan.
“Kalau orang kampung itu bilangnya bukan antraks, tapi cenang hideung. Ada benjolan satu, ada hitamnya, dan bisa membuat meriang seluruh tubuh,” kata Jamaludin seraya melanjutkan, “Antraks, mah, penyakit hewan saja.”
Peternakan Jamaludin ramai jelang Lebaran Haji. Agar bisnis tidak merugi, Jamaludin perlu memastikan masa suram dua dekade silam tidak terulang. “Kalau mau setiap mendekati Iduladha, kambing dan sapi di sini pasti disuntik dan dicek,” katanya, menerangkan ternak-ternaknya dalam kondisi sehat.
Jamaludin tidak bisa membayangkan bisnisnya surut karena penyakit. Mengurus ternak bukan perkara mudah, apalagi belakangan musim kemarau lebih panjang menyebabkan rumput kering dan cadangan air berkurang.
“Biasanya ambil pakan masih di sekitar sini, sekarang harus ambil agak jauh ke Perumahan Sentul, jadi nambah uang bensin. Belum lagi air harus beli pakai galon, ternak butuh minum dan air untuk campuran pakan,” katanya.
Untuk setiap pembelian air galon, bapak empat anak ini harus menghabiskan Rp50.000 setiap pekan.
Memastikan kesehatan hewan ternak adalah penting untuk menghindari bahaya dari infeksi kuman spora antraks.
Agik Suprayogi, Dosen Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis Institut Pertanian Bogor (IPB), menjelaskan bakteri antraks merupakan soil borne disease yang berarti patogennya terdapat di dalam tanah. Bakteri itu bersifat zoonosis sehingga dapat menular ke manusia dan menimbulkan kematian apabila tidak ditangani segera.
Agik menjelaskan spora bakteri antraks yang bersifat dorman (tidak aktif) menempel pada rumput. Rumput dengan spora antraks yang dikonsumsi hewan ternak dapat berubah menjadi aktif dan menyebabkan infeksi pada tubuh.
“Pada sapi biasanya ada luka dan masuklah lewat celah-celah darah, pencernaan, pernapasan. Lalu masuk ke tubuh, spora yang tadinya aman di darat yang tidak terinfeksi ketika masuk darah ketemu oksigen menjadi dewasa, menjadi menetas,” kata Agik dalam wawancara daring, akhir Oktober.
Faktor Iklim dan Potensi Antraks
Sebagai penyakit zoonosis, penyebaran antraks semakin rentan dengan perubahan iklim. Kerentanan ini di antaranya ditemukan dalam penelitian yang dilakukan ilmuwan di wilayah Arktik Utara pada 2018 dan Rusia pada 2021.
Kedua penelitian menemukan ada korelasi antara peningkatan suhu dan dinamika curah hujan di daerah dataran tinggi dalam beberapa dekade terakhir, dengan peningkatan kemungkinan wabah antraks. Penelitian itu menerangkan cuaca panas dapat memodifikasi kerentanan inang dan meningkatkan siklus transmisi spora antraks.
Hal lain, penelitian juga menemukan cuaca panas membuat kadar pH atau keasaman tanah menjadi lebih tinggi. Hal ini dapat mendorong perkecambahan spora lebih cepat. Dengan kata lain, musim panas yang kering berpotensi meningkatkan penyebaran penyakit dan memperparah wabah.
Pernyataan senada disampaikan Agik yang pernah melakukan riset terkait meledaknya kasus antraks di Bogor pada 2003-2006.
“Iklim pada bulan–bulan itu tampaknya cocok untuk terjadi kehidupan kuman antraks yang disebut spora antraks di tanah. Nah, itu berkembang biak yang namanya sporulasi. Sporulasinya bagus, jadi kuman-kuman itu tumbuh secara optimum sporulasinya pada temperatur 20-32 derajat Celsius,” kata Agik merujuk bulan-bulan musim panas menuju penghujan.
Arif Wicaksono, Koordinator Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan (P3H) Kementerian Pertanian, menambahkan bakteri antraks dapat bertahan hingga puluhan tahun bahkan bisa lebih lama lagi.
“Bakteri ini memiliki salah satu sifat unik, mampu membentuk spora yang tahan luar biasa di dalam tanah, dalam pemanasan suhu 100 derajat pun masih mampu bertahan,” kata Arif.
Untuk mencegah dan menekan penyebaran bakteri antraks, diperlukan prosedur yang tepat, Arif menambahkan. Jika ada ternak terkena antraks, maka harus dikubur dan dibakar dengan teknik khusus dengan dilapisi kapur.
Bakteri resisten terhadap kapur dan harus ditimbun kurang lebih sedalam 3 m. Maka dari itu, sebelum dikubur, tanah harus dilapisi kapur, begitu juga lapisan tanah atas. Setelahnya, kuburan ternak perlu dilapisi lagi dengan campuran semen.
Semen, kata Arif, berfungsi agar antraks tidak menyebar saat ada aliran air. “Apalagi saat musim pancaroba, mudah sekali bakteri menyebar, dikhawatirkan nanti dapat menempel pada pepohonan dan rumput,” katanya.
Hewan yang terkena bakteri antraks dapat dilihat dari ciri fisik seperti mengeluarkan darah dari hidung, mulut, dan lubang anus.
“Jika sudah ditemukan kasus–kasus seperti itu, tolong jangan dikonsumsi atau langsung dimatikan, tapi jangan sampai mengeluarkan darah berceceran, sebab darah itu sebagai wahana penyebaran spora antraks jika menyentuh tanah,” kata Arif.
Sementara pada manusia, terdapat tiga gejala yang muncul apabila terkena atau mengkonsumsi daging yang positif terjangkit bakteri antraks, yakni muntah darah, pendarahan akibat luka dalam paru-paru, dan luka kehitaman pada lapisan kulit atau dikenal dengan istilah ideng.
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) dalam situsnya menyebut semua jenis hewan ternak harus divaksin antraks secara teratur dua kali dalam setahun. Bagi ternak yang sehat tapi tinggal dengan sekelompok yang sakit, perlu diberi suntikan serum atau antibiotik terlebih dulu baru divaksin.
“Nah, karena sifatnya bakteri, jika ada manusia terkena antraks, cukup diberi obat antibiotik dengan dosis tinggi. Namun, dengan catatan belum terlambat.”
Jangan Sampai Lesu
Empah, peternak lain di Tajur Tapos, Hambalang, punya ramuan khusus untuk menjaga ternaknya agar tetap sehat.
Empah menyebut ramuannya dengan nama lempuyang, berupa batang pohon dari hutan dicampur air. Katanya, lempuyang berfungsi sebagai penambah nafsu makan. Selain lempuyang, ia tak punya perawatan khusus untuk ternaknya.
“Cuman dikasih rumput saja di sekitar. Tapi, sejak kemarau ini cari rumput agak lebih jauh soalnya rumput-rumput di sini mulai kering,” katanya.
Empah menjadikan usaha ternaknya sebagai sampingan. Empah adalah mantan buruh pabrik yang kini bekerja buruh harian. Saat ini ia punya 4 ekor kambing. Saat Iduladha, Juni 2023, seekor kambingnya dipotong, sementara satu lain dijual untuk menambah kebutuhan.
“Sempat berhenti satu tahun karena kehabisan modal, maka saya jadi kuli saja sama buruh harian. Kalau ada uang, baru saya belikan kambing lagi. Paling banyak di kandang ada 6-7 kambing,” kata Empah.
Ketika disinggung mengenai antraks dan kesehatan ternaknya, Empah berkata hanya memantau kondisi ternaknya dari pola makan.
“Kalau kambing mulai banyak melamun dan lemas, paling saya kasih lempuyang dicampur air biar nafsu makannya nambah. Kalau soal antraks, saya tidak tahu jelas,” katanya.
Berbeda dari Jamaludin yang memiliki peternakan lebih besar, Empah berkata tidak pernah didatangi otoritas setempat untuk mengecek atau memberikan vaksin untuk ternaknya.
“Dari awal punya kandang belum pernah ada orang desa atau dokter ke sini buat dikasih vitamin, disuntik, atau dicek gitu,” kata Empah.
Tjahyadi Ermawan, peternak lain di Kota Bogor, mengkritik minimnya pengawasan pemerintah setempat terkait kesehatan hewan ternak. Bukan hanya terkait penyakit antraks tapi juga penyakit hewan lain.
“Selain antraks, penyakit mulut dan kuku (PMK) pada sapi berpengaruh. Penjualan sapi hancur sehancur-hancurnya,” kata Tjahyadi.
Pada Juni 2022, Pemerintah Kota Bogor mencatat sebanyak 40 ekor sapi positif PMK, sementara ratusan lain suspek PMK.
“Padahal PMK itu tidak menular seperti antraks, bahkan waktu itu saya sempat memohon kepada Muspida Kota Bogor dan instansi terkait untuk membeli sapi saya sebagai bukti bahwa sapi di sini itu aman, tidak menular,” kata Tjahyadi, menambahkan para peternak di Kota Bogor tidak mungkin menjual sapi yang sakit, bahkan sapi yang pincang saja tidak dijual.
“Sebelum ada penyakit, para peternak sudah kalah dengan sapi impor. Karena HPP (harga pokok penjualan)-nya itu murah. Bayangkan, sapi impor dari Australia dijual murah daripada sapi lokal,” tukasnya.
Laporan ini adalah bagian dari Program Pelatihan Jurnalis Muda 2023 yang diadakan AJI Indonesia.