Kemarau Singkat dan Nestapa Petambak Garam di Sidoarjo

Adrian Mulya, Ricky Yudhistira
9 menit

Indri (26) duduk termenung sambil menatap anaknya, Dinda (7) dan Ardi (5), yang sedang bermain. Pikiran berat menggelayut di kepalanya. Belakangan, hasil panen garamnya tak menentu akibat anomali iklim. Ia gelisah tak lagi punya simpanan untuk biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari.


Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, adalah sentra produksi  garam di Jawa Timur. Dari luas lahan 351,59 hektare (ha), 162,5 ha di antaranya adalah lahan- lahan garam produktif.

Kebanyakan petambak garam di Kecamatan Sedati adalah pekerja musiman yang datang dari Kalianget, Kabupaten Sumenep di Pulau Madura. Saban Juni, atau bila cuaca mendukung, mereka datang dengan truk untuk membawa kebutuhan hidup selama  hampir lima bulan. Tak jarang, para petambak datang dengan membawa serta istri dan anak mereka.

Mereka mengerahkan semua sumber daya yang ada untuk memaksimalkan produksi. Mereka kemudian tinggal di gubuk-gubuk sederhana yang dibangun tidak jauh dari lokasi tambak.

Salah satu tempat tidur petambak garam di Sedati. (Project M/Idealita Ismanto)
Buasan (50), Mastriani (40), dan Fitri (5) di dalam gubuk tempat tinggal di Sedati. (Project M/Idealita Ismanto)
Mastriani (42) menjemur baju di depan gubuknya. Sejak menempati gubuk pada Juni 2022, dia dan suaminya belum mulai mengolah tambak karena cuaca mendung. (Project M/Idealita Ismanto)

Indri adalah istri dari Heri, seorang petambak garam musiman. Saat bekerja di musim kemarau, mereka membawa kedua anaknya ke Sedati dan menetap di sana. Sekolah memaklumi. Anak-anak bakal diizinkan untuk mengikuti kegiatan belajar-mengajar selama enam bulan, dan enam bulan lainnya mengikuti orangtua bekerja menambak garam. Sekolah tak punya pilihan karena anak-anak tidak akan ada yang mengurus di Madura bila ditinggal bekerja orangtuanya.

Berempat mereka tinggal di gubuk kecil berdinding anyaman bambu seluas 4 x 5 meter. Ruangan tersebut berfungsi sebagai ruangan serbaguna; tempat memasak, tempat  bercengkerama, tempat bermain, dan juga tempat tidur. Ketika hujan turun, air menetes dari lubang kecil di atap gubuk.

Sejak subuh, Indri menyiapkan makanan dan mencuci baju agar dapat membantu suaminya di ladang pada siang hari. Dia menjaga kincir angin dan melihat kondisi polybag tambak garam, mewaspadai kalau-kalau ada kebocoran. Untuk mengejar ketertinggalan sekolah anak-anaknya, Indri mengajari mereka mengaji dan pengetahuan tematik di sore hari.

Di masa ini, pola makan keluarga Indri berubah. Tadinya makan ayam, kini menu berganti jadi ikan lele atau ikan asin untuk berhemat.

“Ya terpaksa menyesuaikan keadaan, biar uang dari juragan bisa cukup untuk keperluan hidup lainnya, sementara  ladang belum panen akibat hujan terus,” ujarnya.

Pemilik lahan memberi Rp400 ribu kepada Indri untuk biaya hidup selama satu minggu di gubuk bersama suami dan anak-anaknya.

Nafsidun (42), memindahkan air laut ke tambak. Para petambak garam memulai mengolah lahan sejak pagi hari. (Project M/Idealita Ismanto)
Rahmadiyah (34) mengeluarkan air yang memenuhi tambak garam, Jumat (30/09/22). Air hujan tersebut kemudian digunakan untuk kebutuhan mencuci di gubuknya. (Project M/Idealita Ismanto)
Ningsih (40) telah menjadi petambak garam selama 15 tahun di Sedati sejak menikah dengan Maskun. (Project M/Idealita Ismanto)

Kekhawatiran lain dirasakan oleh Suri (55) yang telah menjalani profesi petambak garam selama 40 tahun.

“Pada musim normal saat musim berganti  dengan semestinya, saya dapat memproduksi hingga 4.000 karung garam dan  menutup musim produksi dengan membawa pulang sekitar Rp50 juta. Namun, untuk  tahun 2022, saya hanya mampu menghasilkan sekitar 400 karung garam. Beruntung  harga jual garam saat itu masih tinggi sehingga saya masih bisa mendapatkan uang dari bagi hasil sebesar Rp4 juta,” ungkap Suri.

Satu karung berisi 50 kg garam.

“Biasanya saya selepas panen bisa  membeli baju, tetapi saya terpaksa mengurungkan niat saya dan memfokuskan uang yang dihasilkan pada pendidikan anak saya yang kedua,” kata Suhaidah (40), istri Suri.

Penghasilan dari musim produksi garam sebelumnya bagi Suhaidah sangat tidak  cukup. Apalagi anak keduanya, Muhammad Fian, sedang  menempuh pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan dan memerlukan biaya untuk praktek dan magang.

Saat tidak menjadi petambak garam, Suri bekerja sebagai buruh angkut di sebuah pabrik garam di Kalianget Madura dengan  pendapatan Rp30.000 per hari.

“Jika uang saya habis, saya terpaksa meminjam uang pada keluarga,” ungkap Suhaidah.

Mendung menyelimuti kawasan tambak garam di Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (06/10/22). (Project M/Idealita Ismanto)
Jauhari (40) memeriksa garam yang terkontaminasi lumpur setelah hujan deras malam hari (30/09/22). Hujan merusak sebagian besar garam yang siap dipanen. (Project M/Idealita Ismanto)
Munadi (kanan) bersama Rifai membantu mengumpulkan sisa garam di tambak garam milik temannya yang rusak oleh hujan, Selasa (4/10/2022). (Project M/Idealita Ismanto)

Uang hasil panen biasanya digunakan petambak untuk membuka usaha di musim hujan, membayar biaya sekolah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Malah karena cuaca tak tentu pada masa produksi, uang penghasilan juga digunakan untuk membayar hutang yang pernah digunakan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut seperti yang dilakukan Rois.

“Saat pulang kembali ke Madura, Tomo suami saya bekerja sebagai nelayan dan membuat bagan. Modal biaya untuk membuat 1 bagan  sekitar 6-7 juta, kalau biaya membuat bagan tidak cukup, saya berhutang ke keluarga,” jelasnya.

Intensitas hujan tak menentu dampak perubahan iklim adalah momok bagi petambak garam. Imam Syafi’i (41) bercerita pada 2016 hujan hampir sepanjang tahun membuat tak satupun petambak berhasil memanen garam.

“Walaupun ada panas matahari, namun jelang  panen terdapat hujan dengan intensitas tinggi satu jam saja, atau malah kurang, maka dipastikan garam yang siap panen akan rusak,” jelasnya.

Pada 2021, Imam sempat memanen walau terpaksa mengakhiri  produksi lebih awal. Setelah musim kemarau datang terlambat, ia terpaksa berhenti  produksi karena hujan turun lebih cepat.

“Dari total lima bulan, saya hanya berproduksi  selama dua bulan. Itupun dengan kondisi panas yang tidak maksimal. Saya hanya mampu menghasilkan 100 karung garam berukuran 50 kg dengan harga Rp4.000  per kilogram. Saya merasakan lima tahun terakhir ini cuaca semakin tidak  bisa ditebak, sehingga mempersulit para petambak garam musiman menentukan  waktu produksi,” tambahnya.

Toelaelah (42) memindahkan garam yang baru dipanen. Tambak garam itu sempat terkena hujan dan harus mengulang proses penuaan air dari awal. (Project M/Idealita Ismanto)
Petambak garam sedang memasukkan garam yang telah dipanen. (Project M/Idealita Ismanto)
Seorang pemilik tambak duduk di gudang penyimpanan garam hasil produksi 2021, menunggu kendaraan untuk membawa garam ke pembeli. Produksi garam tahun itu tidak maksimal akibat musim panen yang pendek. (Project M/Idealita Ismanto)

Idealnya musim produksi garam mulai dilakukan sejak bulan Juni setiap  tahunnya atau saat musim kemarau tiba. Namun, di tahun 2022 hujan masih turun hingga pertengahan  bulan Agustus. Banyak petambak menunggu di  dalam gubuk mereka tanpa bisa melakukan banyak hal terkait produksi.

Urutan produksi garam biasanya dimulai dari menyiapkan gubuk untuk tempat  tinggal disusul pembersihan lahan. Petambak meratakan tanah dengan alat  khusus. Setelah tanah rata, mereka menutupi tanah dengan plastik  besar untuk menampung air laut selama proses produksi garam.

Untuk mempermudah pemindahan air laut ke ladang, mereka membangun kincir angin yang berfungsi sebagai pompa. Jika cuaca ideal dalam satu  minggu setelah kolam terisi air laut, panen garam sudah bisa dilakukan. Namun awan kumulonimbus yang masih terlihat di masa seharusnya musim kemarau menghadirkan kekhawatiran mendalam. Hujan mencegah  penguapan maksimal sehingga air laut sebagai bahan utama pembuatan garam menjadi tawar.

Kondisi tersebut menuntut para petambak garam pandai membaca  prakiraan cuaca. Pada musim 2022, Imam ingin hasil maksimal walau produksi  harus mundur tiga bulan akibat hujan. Ia nekat menyiapkan lahan lebih awal dari  petambak lainnya. Setelah sekali rusak oleh hujan, tambak garamnya mulai  menghasilkan. Ia menjadi petambak yang panen pertama.

“Alhamdulillah perjuangan  yang tidak sia-sia. Saya berhasil panen saat harga garam tinggi yaitu Rp75.000 per karung,” kisahnya.

Suhaidah (45) dan anaknya Akbil (5) sedang makan dan beristirahat di gubuk. DIa telah memanen garam sebanyak 4 kali dan mendapatkan 300 karung. Para petambak garam sangat bergantung pada panas matahari dan angin untuk produksi garam. (Project M/Idealita Ismanto)
Buasan mengamati awan hitam yang menyelimuti kawasan tambak garam, Kamis (06/10/22). Dalam produksi garam tradisional, hujan bisa menyebabkan gagal panen atau malah menghentikan musim produksi garam. (Project M/Idealita Ismanto)

Ketika panen gagal, petambak garam tidak membawa uang pulang ke Madura. Pendapatan dari mengolah tambaklah  yang akan menutup segala kebutuhan di kampung halaman setelah kebutuhan  primer di tambak dibiayai oleh pemilik lahan. Pembagian hasilnya adalah 60 persen untuk pemilik lahan dan 40 persen untuk petambak.

Di sisi lain, banyak pemilik lahan melepas tambak garam mereka. Lahan beralih menjadi  pemukiman, sementara lainnya dibiarkan mangkrak menunggu pembeli. Menurut  Imam, jumlah kepala keluarga yang berprofesi sebagai petambak garam di wilayah Tambak Cemandi dan Karanganyar di tahun 2021 sebanyak 150 orang. Namun di  tahun 2022 harga garam mengalami penurunan. Banyak lahan ladang garam kemudian dijual dan sebagian petambak merantau ke Jakarta.

“Di dekat rumah saya, ada 40 hektar tambak  garam yang dijual dan akan segera dibangun menjadi pemukiman baru”, ujar Imam.

Sentra produksi garam di Sedati yang dulu ramai kini sepi.

Buasan, Tomo, Suri, Nasidin, Rendi, dan Bayu adalah para petambak terakhir yang meninggalkan sentra produksi garam di Kecamatan Sedati, Sidoarjo. Perkiraan hujan berhenti setelah September meleset. Mereka hanya mengalami musim produksi selama sebulan, setelah  itu hujan semakin sering turun dan merusak tambak garam. Pemilik lahan  memutuskan masa produksi tidak berlanjut. Mereka gagal memaksimalkan penghasilan. Musim kemarau datang terlambat dan sangat singkat.

Petambak melempar alat rumah tangga ke dalam truk saat akan kembali ke Pulau Madura, Sabtu (19/10/22). (Project M/Idealita Ismanto)
Petambak garam yang akan pulang ke Pulau Madura saling membantu memasukkan sepeda motor ke dalam truk di Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (21/10/22). (Project M/Idealita Ismanto)
Petambak garam dan keluarga yang akan kembali ke Sumenep, Madura berfoto di samping truk yang mengangkut sepeda motor dan perabotan rumah tangga selama musim produksi garam, Senin (21/10/22). Mereka terpaksa pulang lebih awal akibat musim hujan datang lebih cepat. (Project M/Idealita Ismanto)

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Adrian Mulya, Ricky Yudhistira
9 menit