Kenangan-Kenangan Sipon

Ronna Nirmala
24 menit
Dyah Sujirah, istri Wiji Thukul, biasa dipanggil Sipon. (Project M/Henri Ismail)
Artikel ini pertama kali terbit pada 2005. Dimuat ulang untuk mengenang Mbak Sipon yang meninggal pada 5 Januari 2023.

Ia bersikukuh selama belum melihat suaminya, maka selama itu pula akan terus mencarinya.


DYAH SUJIRAH bingung sendirian sepanjang perjalanan di kereta menuju Jakarta. Ia tak tahu mesti berkata apa kepada Sayem dan Kemis Harjosuwito, orangtua suaminya. Ia tahu selama ini telah berbohong kepada mereka. Meskipun yang ia lakukan demi kebaikan, tapi saat itu ia merasa amat bersalah.

Sipon, ia biasa dipanggil, gamang. Terasa terdampar di persimpangan: Apakah ia harus berkata jujur saat itu juga atau memendamnya dan membiarkan mereka mengetahuinya dari mulut orang lain. Toh, pikir Sipon, tanpa ia mengutarakan langsung, mereka akan tahu saat hari penghargaan itu tiba, hari yang menjadi alasan mereka pergi ke Jakarta.

Perempuan kelahiran 21 September 1967 ini teramat mengerti jika ia mengatakan secara jujur, seketika itu akan menghancurkan perasaan Sayem dan Wito. Bagi mereka, keberangkatan ke Jakarta adalah untuk bertemu si anak sulung tersayang. Sebab sekian tahun mereka tak pernah bertemu. Sebab itu mereka rindu. Sangat rindu.

Mereka hanya tahu melalui kabar yang disampaikan Sipon bahwa si sulung tersayang dalam keadaan baik. Mereka tidak mengira terlalu jauh Sipon selama ini telah berbohong.

Jauh sebelumnya, saat mereka bertanya mengenai kabar anaknya, Sipon selalu menjawab suaminya baik-baik saja. Tak lupa, untuk menutupi kesalahan sekaligus meyakinkan mereka, Sipon kerap membawa oleh-oleh seraya berkata itu kiriman dari anak sulung mereka. Dan peristiwa ini terjadi berulang-ulang.

Sampai akhirnya tibalah suatu hari yang menentukan berupa undangan penghargaan bagi anak sulung tersayang. Sampai akhirnya terbitlah dalam dada Sipon akan situasi perasaan bimbang yang menekan. Suatu perasaan bersalah dan bingung setengah mati.

“Udah kayak kesobek dadaku,” kenang Sipon.

Sipon yang duduk di bangku kereta itu sejatinya sangatlah gelisah. Ia dihadapkan situasi membingungkan. Sehari di kereta itu pikirannya cuma berkutat untuk berkata jujur bahwa sebetulnya sudah lama ia tidak bertemu suaminya. Namun, sebelum sempat terucap, cerita itu terhenti di ujung kerongkongan. Akhirnya, Sipon mengambil sikap diam.

“Wah… itu aku kayak orang gila. Aku merasa aku membohongi mertuaku sekian tahun.”

Selain mertuanya, turut juga Wahyu Susilo, adik suaminya. Sipon membawa kedua anaknya, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah, saat itu usia mereka 13 dan 9 tahun.

Wani akan membacakan puisinya sendiri dalam penghargaan itu. Sebelumnya, puisi itu dikirim lewat faks.

Sang penerima penghargaan adalah Wiji Widodo alias Wiji Thukul. Tapi, sosok wadak Thukul tak ada. Thukul tak pernah naik podium itu.

Sementara advokat Todung Mulya Lubis mengumumkan nama Thukul, Sayem terkesiap dari kursinya. Ia menggigit lengan Sipon, “Kamu ngapusi aku!”

Lampu sorot kamera merekam kejadian itu. Seluruh keluarga terlihat tak kuasa lagi menahan emosi.

“Di videonya  itu … aku kayak orang gila. Aku merasakan diriku bukan diriku. Aku melihat mataku kok kosong. Jadi aku melihat di video itu kayak bukan aku. Aku bener-bener kayak orang gila. Shock betul!”

Sebelum sertifikat kehormatan diserahkan, Sipon diberi waktu naik podium. Namun, itu cuma sebentar. Selepas berkata “jangan sampai terulang lagi kejadian hal seperti ini,” Sipon rebah. Sekujur tubuhnya lemas. Jatuh pingsan. Akhirnya, Wahyu Susilo mewakili prosesi penyerahan tersebut.

Puisi berjudul “Untuk Bapakku dan Orde Baru” yang dibacakan Wani, rupanya menerbitkan rasa kaget tak dinyana oleh Sipon. Ia bilang, “Lho kok serem, Nduk?”

Esok harinya, Todung Lubis berkomentar, “Yang kemarin itu kemarahan anaknya Mbak Pon. Biarin aja supaya dia nggak down. Kalau nggak, mungkin dia pingsan juga.”

Begitulah acara puncak Yap Thiam Hien Award 10 Desember 2002.

Penghargaan itu diberikan kepada orang-orang yang dinilai berjasa besar demi tegaknya keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Di tengah wajah busuk kekuasaan Orde Bangkrut Soeharto yang suka bertindak biadab dan kurang ajar, Wiji Thukul adalah salah satu korbannya. Ia perwakilan absolut yang menentang segala macam mulut besar para penguasa otoritarian; penguasa yang doyan melahap orang-orang yang dianggap penyempal.

Dalam sambutannya, Todung Lubis berkata Wiji Thukul sangat layak mendapatkan penghargaan ini. Thukul adalah representasi pejuang kemanusiaan sejati. Thukul tidak hanya berjuang untuk hak-hak kemanusiaan, melainkan mengangkat daya martabat manusia.

“Di negeri yang hak-hak hidupnya dikhianati, Wiji melawannya lewat kata-kata. Menjadi senjata ampuh bagi para aktivis dan mahasiswa dalam setiap gerakan.”

“Puisi-puisi Wiji mengandung bahasa sederhana dan bijaksana, penuh permenungan, terasa pahit dan peka, dan sangat politis. Suara Wiji menyiarkan ketidakadilan dan menyingkap wajah asli otoritarianisme.”

Sebelum perhelatan di gedung Museum Nasional itu dimulai, Sipon berkata mengenai suaminya, “Hari-hari pahit saat rumah kami dirampok dan diawasi telah selesai, walaupun keluargaku akhirnya harus rela membayarnya dengan hilangnya seseorang yang begitu dicintai anaknya, kedua orangtuanya, dan adiknya.”

”Bagaimanapun,” kata Sipon, ”aku beruntung karena masih bisa menyaksikan anak-anakku tumbuh besar. Tapi aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan suamiku yang tidak dapat menyaksikan anak-anak kesayangannya tumbuh besar.”

Wani berkata, ”Aku bangga bapakku, tapi aku tidak ingin seperti dia. Dia tidak kembali dan itu menyebabkan nenek dan ibuku sangat sedih.”

Dari penghargaan ini, Sipon merasa sangat bersyukur.

“Aku terima kasih sekali atas bantuan teman-teman. Sangat menguatkan. Aku melihat aku punya banyak teman, karena ternyata aku tidak sendirian.”

Masa Kehilangan dan Pencarian

Sipon dan Thukul menikah pada 2 Oktober 1988. Mereka setahun pacaran, setahun berikutnya memiliki Fitri Nganthi Wani. Selang empat tahun kemudian Fajar Merah lahir.

Dalam ingatan Sipon, saat Fajar masih kecil, Thukul pernah bercanda, “Aku ingin punya anak sebanyak-banyaknya dengan kamu.”

“Wah, kaya arep mati wae. Sapenake dhewe, kene sing meteng, ha.. ha..ha…”

Sekian tahun kemudian, setelah Thukul tak kunjung kembali, Sipon mengenang dan berpikir, ”Mungkin dia keroso.”

Benar atau tidak dugaan Sipon, kenyataan yang menimpa suaminya membikin catatan sejarahnya sendiri.

Pada 1992, bersama warga Jagalan-Pucangsawit, Thukul berdemonstrasi menentang pencemaran lingkungan pabrik tekstil Sari Warna Asli. Tahun-tahun berikutnya, ia terlibat dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat yang jadi bagian gerakan bawah tanah Partai Rakyat Demokratik. Pada 1994, Thukul bergabung dalam aksi perjuangan petani di Ngawi. Ia ditangkap dan dipukul militer.

Maret 1995 adalah mimpi buruk. Kala memimpin aksi pemogokan buruh PT Sritex di Sukoharjo, sebelah mata Thukul nyaris buta dipopor senjata. Kelopak mata kanannya robek. Retinanya terganggu. Ia beberapa kali menjalani perawatan di Rumah Sakit Mata Dr. Yap di Yogyakarta.

Lalu terjadilah peristiwa celaka itu. Sabtu, 27 Juli 1996, massa bayaran yang didukung aparat tentara dan polisi, mengenakan kaos “PDI Pro-Soerjadi”, menyerbu markas besar Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Mereka mengambil alih secara paksa kantor tersebut sambil merusak dan membakar.

Suhu politik nasional memanas. PRD dituduh dalang penyerangan itu. Para aktivisnya diburu, ditangkap, dan dijebloskan penjara. Pemerintahan Soeharto melalui Soesilo Soedarman, menteri koordinator politik dan keamanan saat itu, mengumumkan nama-nama aktivis PRD yang harus diburu. Thukul termasuk di antaranya.

Cepat-cepat Thukul bergegas. Di sekian hari kemudian, Thukul hanya berwujud sebuah puisi yang muncul dari internet. Nada puisi masa pelarian itu terkesan murung. Tak lagi pekik membahana yang kerap menghiasi aksi-aksi di jalanan. Tak lagi menggelora. Puisi itu petunjuk jejak Thukul. Hayati, salah satunya.

…..

hayati
bapak mamak ingin bawa kau
ke madura
tanah bapaknya bapakmu
tanah mamaknya mamakmu
tapi kapal-kapal sudah berangkat hayati
dari pontianak
ke madura
ratusan kali
pulang pergi
tapi kapal-kapal sudah berangkat hayati
karena beaya
selalu tertunda-tunda
karena beaya hayati
lebaran sepuluh hari lagi

Ada kata “Madura” dan “Pontianak”. Namun, tiada yang tahu di mana Thukul menulisnya. Dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru (IndonesiaTera, 2004), puisi itu dibuat 6 Januari 1997. Ini sepenggal rentang masa pelarian Thukul.

Linda Christanty, kawannya di PRD dalam artikel “Wiji Thukul dan Orang Hilang” menulis, “Thukul pergi ke Kalimantan dan hampir setengah tahun tinggal di sana.” Sekembali dari Kalimantan, “Thukul diminta membantu kawan-kawan di Jakarta.”

Christanty kembali bekerja bersama Thukul. Pada November 1997, Thukul meminta izin pulang ke Solo dengan maksud menemui keluarganya. Christanty tak menyangka saat itulah kali terakhir berkontak dengan Thukul.

Pada Desember 1997, Thukul secara diam-diam menemui Sipon dan kedua anaknya.

Awal Februari 1998, Sipon hanya bisa meyakini suaminya masih hidup lewat sehimpun suara dari ujung telepon. Namun, bersamaan itulah kontak terakhirnya dengan Thukul.

Sipon mengenang hanya bertemu beberapa kali, “Tidak bisa lama-lama. Kucing-kucingan.”

Situasi perjumpaan mereka terasa berat. Hanya lewat bahasa tubuhlah mereka saling melepas dan menangkap kangen. ”Inginku ketemu langsung dan bisa enak, tapi nggak tahunya sulit.”

Pada Mei 1998, Soeharto jatuh. Merebak kekerasan etnis dan komunal. Bermula di Jakarta, lalu menyebar ke kota-kota kecil di luar Jawa. Namun, saat situasi agak mereda, Thukul tak lekas kembali. Tak juga berbentuk suara. Tidak pula raganya. Thukul seakan tertelan dalam riuh rimba kekacauan itu.

Sipon menanti cemas. Perasaan rawan menyergapnya.

Masa-masa kritis dimulai. Sampai-sampai Sipon tak mengenal mana kawan mana lawan. Orang-orang di lingkaran aktivitas suaminya saling melempar tanya: Ke mana larinya Thukul?

Kawan-kawan Thukul mengira Sipon tahu; mungkin saja disembunyikan. Sipon mengira mereka malah lebih tahu. Ia bertanya ke semua teman yang pernah bertemu dengan Thukul. Mungkinkah Thukul pernah singgah ke tempat mereka? Tapi mereka pun tak tahu. Tak ada yang lebih tahu. Segalanya berkabut.

Sementara tanda-tanda kemunculan Thukul tak kunjung tiba, di rumahnya Sipon bingung harus berusaha menenteramkan Wani dan Fajar. Ia berusaha memberikan apa saja yang diminta oleh anak-anaknya. Ia berusaha keras supaya mereka merasa tenang.

“Tapi kalau minta ketemu bapaknya,” kata Sipon, “Matilah aku!”

Satu hari Wani hanya diam membatu. Wani kerap bersikap begitu jika ada sesuatu yang menggelisahkan hatinya. Karena bingung, Sipon minta Wani menulis di kertas buku.

“Kamu tulis aja keinginan kamu apa, ibu akan bantu.”

Wani tertidur di halaman buku tulis. Sipon segera membacanya. Rupanya Wani rindu bapaknya.

Dalam ingatan Sipon, tulisan itu berbunyi:

“Pak, kowe neng endhi, ora mulih-mulih. Aku pengen sinau karo kowe, aku pengen garep PR karo kowe. Pak, kowe ora mulih-mulih. Sesuk mulih, yo… Aku kangen. Ibu kangen…”

[Pak, kamu di mana, Kok belum pulang? Aku pengin belajar sama bapak. Aku pengin mengerjakan PR bareng bapak. Pak, ayo pulang. Besok pulang, ya…]

Sipon terhenyak. Ia menangis tersedu.

Demi mencari Thukul, dan tak ingin seterusnya menunggu, Sipon bergerak. Sekeras-kerasnya. Sesekali terhenti. Tapi, itu hanya perhentian sementara. Ia berputar lagi. Menemui teman-teman yang pernah bersentuhan dengan kehidupan suaminya. Semua-muanya.

Ia telah menancapkan tekad, dan bersikukuh, bahwa selama suaminya belum terlihat dengan mata sendiri, maka selama itu pula pencariannya tiada henti. Sekeras-kerasnya.

Namun, Sipon tetaplah manusia. Seperti halnya Thukul. Suaminya berbadan kurus, ringkih, tak berotot. Tapi, justru karena itulah Thukul melawan tidak lewat tubuhnya, melainkan dengan kata-kata. Penguasa takut. Penguasa terancam. Penguasa marah. Penguasa lantas membungkam suara kebenaran; suara yang bernada lapar yang telah terkuras tandas buat mengganjal perut buncit kaum penindas.

Sebab tubuh Thukul kurus, maka perlawanannya dengan cara lain. Semampu-mampunya. Tapi, manusia tetap memiliki keterbatasan. Dan pada titik itulah Sipon terhenti. Bukan berarti ia menyerah. Sama sekali bukan. Hanya capek. Sangat capek.

Sipon berkata, ”Memang sulit untuk menemukan Thukul.” Kemudian dengan suara tertekan, “Yah… akhirnya aku kembali lagi. Apa ya… hmm… pasrah. Aku harus pasrah dan mau menerima…”

Di rumah, Wani dan Fajar mulai bisa menerima kebingungan ibunya. Mereka berkata, ”Sudahlah, Bu. Itu terserah ibu. Tergantung ibu.”

Sipon lega mendengarnya.

Pada April 2000, Sipon melaporkan hilangnya Thukul ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), lembaga yang didirikan aktivis Munir Thalib. Beberapa bulan kemudian KontraS mengumumkan Thukul termasuk korban politik penghilangan orang secara paksa oleh pemerintahan Orde Baru.

Sipon berkata, “Bayanganku, kalau dia masih hidup, mungkin dia sekarang jadi orang yang disembunyikan, atau dihormati atau dihargai, yang tidak bisa ke mana-mana. Terus apa mungkin dia jadi gelandangan yang harus menyamar jadi orang gila? Terus apakah dia memang benar-benar mati? Kadang aku nggak bisa inilah… karena aku nggak tahu pasti.”

”Kepastian itu sulit.”

Diah Sujirah, istri Wiji Thukul, bersama kedua anaknya, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah, berpose di depan lukisan Wiji Thukul pada malam penganugerahan Yap Tian Hien Award di Museum Nasional, Jakarta, 18 Desember 2002. (TEMPO/ Bismo Agung)

Masa Perkenalan

Sipon anak kelima dari enam bersaudara. Ia mengenal Thukul saat berteater. Jika Thukul sempat sekolah hingga kelas dua Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), Sipon hanya mencicipi pendidikan sampai kelas lima sekolah dasar.

Mereka bertemu pertama kali di Sanggar Teater Jagad pimpinan Cempe Lawu Warta di Kampung Jagalan. Awal pertemuan mereka di lokakarya teater di Pantai Glagah, Yogyakarta, yang dibikin budayawan Emha Ainun Nadjib dan Halim HD.

Sipon kepincut hati dengan Thukul. Selain sama-sama menyukai aktivitas membaca dan menonton teater, Sipon melihat Thukul punya cara lain dalam memandang tiap persoalan.

Bagi Sipon, Thukul memiliki cara berpikir jauh berbeda dari orang yang dikenal di kampungnya. Ini terkait puisi-puisi Thukul yang isinya sekumpulan gugatan terhadap penguasa.

Teman-teman mereka yang bekerja sebagai buruh pabrik, tukang parkir, dan penarik becak bukanlah karena perkara takdir semata. Pekerjaan mereka itu lebih karena akses ekonomi tidak adil, ujar Thukul. Itu menciptakan jurang lebar golongan si miskin dan si kaya. Itu eksploitasi dan perampasan hak-hak kehidupan layak.

Thukul tidak sedang berteori. Ia merasakan sendiri kehidupan pahit sekaligus keras ini. Beragam puisinya adalah jeritan hatinya, fragmen kehidupan dari lingkungan sekitar.

Ia berpuisi mula-mula bukan dari “pengalaman melihat” melainkan merasakannya sendiri, menanggungnya sendiri. Puisi yang lahir darinya berasal dari tubuh yang sakit, tubuh yang diterjang penderitaan hidup dan dikebiri tangan jahat kaum penguasa.

Di sinilah Thukul sosok pribadi yang selalu gelisah. Pribadi yang getir ketika bersitentang dengan kesewenang-wenangan. Di sini pula Sipon masuk ke dalam kehidupan Thukul. Dan keduanya bersikap.

Sipon mengenang dengan bercanda, “Mungkin aku menyalahi takdir ya, ha…ha..ha…”

Semasa pacaran, Sipon sering diingatkan teman-temannya. Ada yang pernah bilang, “Kamu jangan dekat-dekat dengan Thukul, kamu nanti menyesal.”

Ia heran. Bahkan almarhum ayahnya, Atmojuhari, melarangnya.

Sipon tambah tak mengerti, “Lho, Thukul itu tidak ngapa-ngapain, kok!”

Sampai suatu saat Thukul melamar Sipon.

“Kamu mau jadi istriku?”

Sipon tergagap, ”Oh, gila kamu! Kacau kamu!”

Beberapa bulan Sipon tidak menanggapi lamaran Thukul.

Lain waktu, saat tak punya pekerjaan, Thukul berkata, “Aku itu sulit cari pekerjaan.”

Sipon menanggapi, “Tidak ada yang sulit kalau ada niat. Kerja apa pun bisa kalau ada niat.”

Thukul lantas bekerja sebagai tukang pelitur. Ia menunjukkan kepada Sipon. Sipon kagum.

Ada satu peristiwa bikin Sipon semakin bersimpati kepada Thukul. Mereka tengah latihan teater. Cerita teaternya tentang raja-rajaan Jawa. Thukul jadi rajanya. Ia diharuskan berteriak lantang. Padahal Thukul tak bisa mengucapkan huruf ‘r’. Ia dikenal penyair cadel.

Sipon disuruh mendengarkan dari jarak jauh. “Kamu dengar nggak suaranya?”

Sipon melihat Thukul di kejauhan bersusah-payah mengucapkan: Akulah Raja Jawa. Akulah Raja Jawa.

Melihat ini, Sipon menimpali temannya, ”Gila! Dia bisa mati.” Teman-teman mereka tertawa.

Awak teater sudah istirahat, tapi Thukul masih saja berteriak-teriak. Sipon merasa kasihan. Ia menghampiri Thukul. “Udah yuk kita keluar aja. Kita makan ke mana lah.” Benih cinta kian bersemi.

Sipon mengenang, ”Lama-lama aku kasihan. Karena setiap orang membenci dia. Setiap orang harus menjauhi dia. Mungkin di situ ya, karena kasihan itu, aku punya.. hmm… empati. Masak sih tidak boleh bergaul dengan Thukul?”

Akhirnya, mereka menikah. Saat acara pernikahan, teman-teman Thukul dari seniman jalanan menghadiri. Ada yang dari Solo, Klaten, dan yang paling banyak dari Yogyakarta. Kota-kota ini jadi tempat mengamen Thukul.

”Pengamen Malioboro itu duaateng semua ke sini pas mantenan itu,” Sipon tergelak.

Sebelum menikah, Atmojuhari memberi restu kepada Sipon. Sebagai bekas tentara pejuang, ia paham aktivitas calon menantunya. Itu rentan bagi kehidupan keluarga anaknya di tengah kekuasaan jahat Orde Baru.

Pesannya:

”Ini pilihan kamu sendiri. Aku melihat dari suamimu itu, yang harus kuat kamu. Yang bisa memilih itu kamu. Kalau suamimu itu orang politik, kamu siap ditinggal pergi. Tapi kalau suamimu seorang seniman, kamu siap mempunyai suami sebagai orang gila.”

Ia terngiang terus ucapan ayahnya. Ia memberitahu pesan ayahnya kepada Thukul. “Wah, ndak lah, aku bukan siapa-siapa,” Thukul menimpali.

Sampai sekarang nasihat itu selalu diingat Sipon. “Mungkin sampai mati pun aku ingat terus.”

Masa yang Terbelah

Sipon berkata “sungguh bahagia” menjalin kehidupan rumah tangga bersama Thukul.

Thukul adalah “suami yang baik, pengertian, dan bertanggung-jawab kepada anak-anaknya.” Sebab itulah, saat Thukul jauh dari rumah semasa pelarian hingga dihilangkan paksa oleh negara, ia dan anak-anaknya terpukul.

Seperti ada palu besar menggodam jantungnya. Melumat bangunan kehidupan keluarga tersebut hingga pecah berkeping. Serasa dunia di selingkar kehidupan Sipon menyempit, makin menyempit dan menyempit; sudah terlalu lama mereka tak bisa bernapas lega, sudah terlalu lama mereka tak mampu berpikir jernih.

Waktu bagi Sipon dan anak-anaknya kemudian terbelah: ada masa sebelum kehilangan, ada masa sesudah kehilangan. Namun, semuanya menerbitkan ketidakwajaran. Sipon mencatatnya sebagai kenangan-kenangan.

Ia ingat setiap kali Thukul pulang setelah pergi berhari-hari, yang ia sendiri kadang tak tahu benar untuk apa dan ke mana, selalu yang hadir di ambang pintu adalah sosok dengan sepotong pakaian kumal.

Ia melihat pakaian yang melekat di sekujur tubuh suaminya dan pakaian lain yang dibawa dalam kepergian itu seperti berhari-hari tak pernah tersentuh air.

Dengan sigap, Sipon menyiapkan air hangat ke dalam bak cucian. Ia merendam semua pakaian kotor. Dengan air hangat pula Thukul mandi. Kemudian jatuh tertidur lelap. Seakan suaminya tak mengenal nikmatnya tidur sekian lama.

Di sela-sela istirahat, Thukul tiada henti menulis. Isi tulisan itu tentang penderitaan. Sipon memperhatikan secara dekat. Setengah bercanda, ia berujar, ”Urip awak dhewe wis rekoso, nulis penderitaan kayak gitu-gitu lagi.”

Thukul membagi pengalamannya. Ia bercerita penderitaan yang ia saksikan dan ia rasakan. Sipon pedih mendengarnya.

Saat bercerita, suatu kali, Thukul menangis.

Lebih dari kebiasaan sebelumnya, Sipon melihat suaminya “sangat capek.” Sembari terisak, Thukul berkisah, “Di pelosok sana ada banyak orang yang makan masih dengan garam dan nasi jagung.” Banyak dari mereka yang tidak sekolah dan kekurangan makan, padahal zaman sudah merdeka.

Cerita-cerita itu membuat Sipon paham. Bahwa penderitaan buruk yang dijumpai Thukul harus dimengerti setiap orang; bahwa pemerintah selama ini berbohong di setiap siaran di setiap pertemuan tentang “Indonesia yang kaya raya.”

“Dari situ,” kata Sipon, ”Suamiku sosialis banget!”

Honor yang diterima Thukul dari aktivitas berkesenian yang tak seberapa itu, oleh Thukul dibagi-bagi. Sebagian untuk keluarga. Sebagian lagi, ucap Thukul kepada Sipon, digunakan buat membeli kertas gambar bagi anak-anak. Baik anak-anak di sekitar lingkungan rumah maupun tempat persinggahan aktivitasnya. Sipon senang mendengarnya. Ia nilai itu perbuatan baik. Tindakan mulia.

Namun, solidaritas sosial Thukul tidak membuatnya lupa dengan rumah. Ia rajin melakukan apa saja yang bisa meringankan pekerjaan sehari-hari rumah tangga. Thukul mencuci pakaian, membersihkan rumah, memandikan anak-anak.

“Aku enak punya suami dia. Kita saling menghargai bahwa itu kewajiban kita,” kenang Sipon.

Suatu malam, ketika Sipon mengandung anak kedua, Thukul pergi diam-diam membeli makanan. Ia tahu kebiasaan Sipon yang suka ngidam malam-malam. Setelah mendapatkan nasi angkringan dan segelas teh hangat, Thukul kembali dan membangunkannya, lantas menyuruhnya makan.

Sipon memakannya masih dengan kedua mata yang mengantuk. Nasi angkringan yang dibeli Thukul itu tanpa sambal. Padahal orang ngidam biasanya suka makanan pedas. Thukul ingin anaknya tumbuh sehat.

Soal anak-anaknya, Sipon berkata, Fajar Merah masih sering sakit-sakitan sampai kelas dua sekolah dasar, sementara Fitri Nganthi Wani punya tubuh yang rentan hingga remaja. Wani lebih lama mencicipi kebersamaan dengan ayahnya dan terbiasa dimanja.

Anak-anak inilah yang di saat-saat tertentu sangat ingin bertemu dengan bapaknya.

Menjelang perayaan Natal, mereka kerap mengajak ibunya pergi ke mana saja asalkan bisa berjumpa dengan ayah mereka. Maka, bila dalam situasi seperti itu, Sipon selalu bilang kepada mereka, “Kita nggak mungkin ketemu bapak lagi. Walaupun orang bilang bapakmu masih—apa ya, hidup, bapakmu belum meninggal, tapi nggak jelas dia di mana. Kita harus menerima saja kenyataan ini. Kita memang harus bisa mengerti, memahami…”

Sipon melanjutkan, ”Kita hanya kita, tanpa bapak. Jadi hanya ada kamu dan aku. Aku ibumu, kamu anak-anakku.”

Terkadang, dalam kondisi lelah, Sipon bingung memahami semua peristiwa yang menimpa suaminya.

Kenapa suaminya diburu? Apa yang telah diperbuatnya? Kekuasan macam apa yang tega membuat suaminya harus berlari sejauh mungkin dari rumah?

Ia mengenal suaminya melalui sesuatu yang terasa dekat; kesan mendalam dari tindakan-tindakan sederhana yang menetap di rumah. Dan tiba-tiba saja, tanpa isyarat, hal-hal sederhana itu lenyap, menyisakan lubang hitam di hatinya.

“Demi Allah, aku ndak ngerti. Yang aku tahu, aku adalah ibu rumah tangga. Suamiku aktivis. Seniman. Yang aku tahu gitu. Karena aku kenal dia sudah seperti itu. Yang aku tahu dia baik di rumah.”

Sipon harus melewati tahun-tahun tanpa kepastian untuk mencapai batas kesimpulan mengenai kekuasaan sekejam apakah yang menghilangkan suaminya; keinginan seperti apakah yang diidam-idamkan Thukul.

Satu hari, ketika suaminya ditangkap gara-gara menggelar acara kesenian yang menggugat negara, Sipon datang menjenguk ke penjara. Batinnya, “Apa salah suamiku sampai ditangkap?”

Jauh setelah kejadian itu, setelah Thukul dihilangkan, Sipon menyadari: “Ternyata, setelah lama dan dipelajari sampai sekarang, aku tahu bahwa dia menginginkan sebuah demokrasi.”

* * *

MASA PELARIAN suaminya, dilanjutkan masa kehilangan, hanya dipisahkan sehelai pintu rumah. Sebuah rumah tempat Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah lahir, tempat anak-anak mengenali dunia kali pertama, tempat Sipon bersama Thukul menghidupi mereka dengan ketekunan.

Mereka menumbuhkan kesadaran bahwa rumah adalah selasar tanah lahir, tempat yang menarik-narik si penghuninya agar segera pulang ketika berada di luar.

Dalam puisi-puisi Thukul sewaktu jauh dari rumah, kesan kerinduan akan tempat yang tetap itu begitu terasa. Ia sangat ingin untuk kembali, meski hanya sesaat. Kemewahan untuk jadi diri sendiri di sebuah masa kekuasaan yang penuh tipu daya ternyata amat mahal harganya. Menjadi diri sendiri semacam tindakan subversi. Meski kemudian harus memakai baju dan celana lain, nama dan identitas lain, buku yang dibaca dan bahan percakapan lain, tapi Thukul tetap “menolak untuk patuh.”

Sehelai pintu tak hanya sekadar pelengkap; satu dari rangkaian bagian yang menyusun sebuah rumah. Ia tak hanya berfungsi pengusir udara jahat atau debu jalanan atau penghalang para tamu yang berniat melukai penghuni rumah. Sehelai pintu adalah pemisah; sesuatu yang menandakan mana yang privat dan mana yang publik.

Tetapi, imajinasi pemisah itu dihancurkan oleh negara. Negara yang melenyapkan warganya dengan cara sesuka-suka dia. Negara yang mengontrol ucapan, pikiran, dan tindakan warganya.

Pemerintahan Soeharto, dengan mesin militernya yang brutal, telah melenyapkan apa saja dan siapa saja yang menentangnya. Suara-suara oposisi diberangus. Arus informasi diatur. Harus sesuai hati dan pikiran si Tuan Besar.

Soeharto, si Gali dari Kemusuk, yang berkuasa dengan membunuh ratusan hingga jutaan orang, sampai-sampai sungai-sungai di Jawa banjir darah dan menciptakan kuburan-kuburan massal, membangun tembok kekuasaan yang hanya kerabat dan menteri-menteri kepercayaannya saja yang boleh memasuki lingkaran terdekatnya. Dari jenis kekuasaan semacam itu, selama 32 tahun lamanya, kekayaan dari hasil berkongsi dengan pengusaha pilihannya yang ditopang tangsi dan partai penguasa, dengan menguras sumber daya alam dari Aceh hingga Papua, ditimbun, bertumpuk-tumpuk dan, bak kue ulang tahun, dibagi-bagikan kepada sanak keluarga, saudara, dan sejawat serta kenalan yang loyal.

Wiji Thukul berpuisi:

….
jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!
….
(Bunga dan Tembok, Solo 87-88)

Orde Baru tumbang, memang. Namun, memakan korban. Terlalu banyak.

Mei 1998, Soeharto limbung. Menyusun kekuatan militernya. Komando Pasukan Khusus, di bawah petunjuk menantunya Prabowo Subianto, membentuk regu bernama Tim Mawar. Tim ini menculik orang-orang pro-demokrasi. Sebagian dilenyapkan. Sebagian hilang tak berjejak.

Data KontraS menyebut sepanjang 1997-1998 setidaknya 23 orang telah diculik. Sembilan orang kembali, satu ditemukan meninggal. Selebihnya dinyatakan hilang, termasuk Wiji Thukul.

Istri korban penculikan Wiji Thukul, Sipon (kedua dari kanan) mengikuti jumpa pers bersama anggota DPR di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu, 28 September 2011. Dalam jumpa pers tersebut mereka menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai telah melakukan pembangkangan terhadap konstitusi, karena tidak melaksanakan rekomendasi Panitia Khusus DPR tentang Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997/1998. (TEMPO/Imam Sukamto)

Pada akhir 1998, Mahkamah Militer menggelar pengadilan untuk mengungkap kasus penculikan disertai penghilangan itu. Namun, hanya perwira muda Kopassus saja yang diadili. Sementara perwira tinggi, yang jelas-jelas merancang kebijakan membentuk Tim Mawar, dibiarkan melenggang seenaknya.

Prabowo Subianto disidang lewat mekanisme tidak lazim bernama Dewan Kehormatan Perwira alias DKP, yang hasilnya “diberhentikan dari dinas keprajuritan.” Dokumen keputusan DKP pada 21 Agustus 1998, memuat penilaian Prabowo salah menafsirkan perintah atasannya sehingga, secara lisan dan tertulis, menginstruksikan anak buahnya di Grup 4 Kopassus melakukan “operasi khusus” penculikan. Prabowo mengaku menculik sembilan aktivis yang sudah dikembalikan.

Penyelidikan Komnas HAM 2005-2006 tentang kasus penghilangan orang secara paksa menyimpulkan kemungkinan logika operasi Tim Mawar bekerja di bawah struktur komando daerah militer (Kodam), sehingga ditengarai ada praktik “peminjaman” melalui bawah kendali operasi (BKO) di dalam unit-unit lebih kecil dan efektif di lapangan. Temuan lain adalah Tim Mawar dan unit-unit pendukung lain berada di bawah struktur keamanan tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Tim penyelidik Komnas HAM memanggil 34 saksi dari TNI, tetapi hanya Letjen Yusuf Kartanegara, dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Dewan Kehormatan Perwira, yang bersedia menyambut panggilan itu. Komnas HAM mengirim pemanggilan paksa kepada para saksi kunci dari TNI, termasuk Wiranto, Feisal Tanjung, Prabowo Subianto, Sjafrie Sjamsoeddin, dan Chairawan Nusyirwan, pada 3 Juli 2006. Tetapi, mereka menolak hadir.

Zoemrotin Susilo, salah satu anggota tim penyelidik, berkata bahwa orang-orang yang menolak bersaksi “memilih mengamankan masa depan karier dan politik mereka” dari peristiwa masa lalu tersebut. Tim merampungkan laporan penyelidikannya pada 30 Oktober 2006.

Pada 28 September 2009, Panitia Khusus Orang Hilang yang dibentuk DPR merekomendasikan kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc (sementara tapi mendesak) dan meminta pemerintah serta pihak terkait untuk segera mencari 13 orang yang dinyatakan hilang.

Meski begitu, Jaksa Agung bolak-balik menolak berkas penyelidikan Komnas HAM dengan dalih “tidak lengkap” tanpa menjelaskan bagian-bagian mana saja dari dokumen penyelidikan setebal 1.075 halaman itu yang dianggap kurang.

Sipon berkata, ”Setiap ada pengulangan baru, akan ada korban baru. Ada pengulangan baru, ada korban baru. Selalu saja kayak gitu. Paling tidak, kan, aku [seharusnya] melihat keseriusan mereka untuk menemukan, mencari fakta-fakta walaupun [suamiku] belum ditemukan.”

”Apa Mbak Sipon tidak capek bercerita tentang suami Mbak?”

”Aku mikirnya gini: jangan sampai mereka mengalami hal-hal sepertiku. Karena imbasnya kalian sendiri. Karena kalau aku punya pengalaman kayak gini aku diam, aku malah nggak suka. Mungkin bisa juga orang lain yang nggak mau menceritakan itu, tapi kalau ada korban yang lain lagi, bagaimana?”

Masa Bertahan dan Berusaha

Tujuh tahun berlalu selepas Mei 1998. Belum banyak kemajuan berarti. Sipon masih tetap berusaha mengetuk pintu-pintu keadilan.

Di rumahnya yang kecil di Kampung Kalasan, sebuah permukiman padat di jantung Kota Solo, ia selalu berusaha, berusaha, dan berusaha.

Ia membuka usaha menjahit. Ia taburi kesehari-hariannya dengan menyibukkan diri lewat bekerja. Ia melampiaskan kekesalan dan kegundahan serta rasa sakitnya lewat bekerja. Ia memohon kepada Tuhan supaya selalu diberi pekerjaan dikasih kekuatan. Ia tak ingin kekecewaan itu berdampak kepada kedua anaknya.

Ia bekerja untuk membiayai sekolah Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Ia masih punya tanggung jawab kepada mereka. Ia tak ingin terus-menerus diam dan menangisi sesuatu yang lewat. Ia kuatkan jiwa dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, minta bantuan untuk dibimbing, diarahkan, agar tidak selalu bingung dan bingung dan bingung.

Sipon membuka usaha jahit di rumahnya di Kampung Kalasan, Kota Solo untuk membiayai sekolah Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. (Project M/Henri Ismail)

16 Desember 2004, saat saya datang ke kediamannya, Sipon terlihat sering mengumbar tawa. Ia bercerita tentang kenangan-kenangan yang lewat, tentang suatu masa sebelum dan sesudah suaminya hilang.

Sesekali ucapannya mendadak terhenti. Bibirnya kelu. Sesekali melaju cepat. Sesekali sepasang matanya menerawang. Menangis. Sesekali wajahnya lepas, berseri, lalu terhenti lagi, dan tergelak mengenang suaminya di-ingatan-dan-di-hatinya.

Rumahnya kini dipasang bilik kayu tipis. Membagi ruangan depan dan dalam. Di ruangan depan itu kami duduk di atas selembar karpet merah menutupi sebagian lantai bersemen.

Ada lukisan wajah suaminya tergantung di tembok. Ada sosok suaminya berupa patung perunggu mungil buatan pematung Dolorosa Sinaga di atas meja kayu kecil di sudut ruangan.

Suaminya itu dipahat tengah menelengkan muka ke atas, mulut terbuka, menatap lembaran kertas yang dipegang salah satu tangannya dan tangan lainnya mengepalkan tinju ke udara. Seperti tengah memekik. Seperti tengah menggugat.

Kursi-kursi merapat ke tembok di ruangan yang sempit itu. Seperangkat alat jahit terpacak membelakangi pintu rumah yang terbuka lebar itu. Ada gundukan kain-kain bekas jahitan dekat pintu, di muka lorong, tempat rak buku memanjang berdiri di dinding lorong tersebut.

Buku-buku yang berderet dan berserak itulah salah satu peninggalan dan buah hati kesayangan dan istimewa Thukul.

Kenangan-kenangan bergulir. Kenangan-kenangan mengendap. Kenangan-kenangan melekat di tiap-tiap benda di rumah itu. •


Ralat: Kami meralat tanggal pernikahan Sipon dan Thukul, yang ditulis pada 21 September 1988; semestinya 2 Oktober 1988.  

Artikel ini dipublikasikan pertama kali di majalah mahasiswa Himmah Universitas Islam Indonesia pada 2005; kemudian dimuat dalam buku Kebenaran akan Terus Hidup (IKOHI, 2007), kumpulan tulisan mengenang Wiji Thukul. Naskah ini disunting kembali demi akurasi dan ketepatan serta menambahkan beberapa informasi yang relevan.

Masa pelarian Wiji Thukul menjadi inspirasi film fiksi berjudul Istirahatlah Kata-Kata (Yosep Anggi Noen, 2016). Kisah Fajar Merah bermusik dan menggubah puisi-puisi ayahnya menjadi inspirasi film dokumenter berjudul Nyanyian Akar Rumput (Yuda Kurniawan, 2018).

Munir Thalib meninggal diracun pada 7 September 2004. Suciwati menulis kenangan bersama Munir berjudul Mencintai Munir (2022).

Pada 2020, Fahri Salam bersama sejumlah wartawan, peneliti, dan aktivis merilis serial penculikan dan penghilangan orang di Tirto.id. Mereka menyimpulkan Wiji Thukul kemungkinan dihilangkan pada akhir Mei 1998, setelah Soeharto lengser. Mengenai bagaimana Tim Mawar menculik aktivis, bisa baca di sini. Mengenai kisah ‘PRD bawah tanah’ bisa dibaca di sini.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
24 menit