Dalam tujuh tahun terakhir, musim kemarau seperti petaka bagi warga sekitar Kecamatan Getasan di Semarang. Air untuk pertanian, peternakan, hingga kebutuhan sehari-hari semakin langka dicari.
DUA PIPA sepanjang satu kilometer membentang dari sumber mata air ke satu-satunya kolam penampungan di Kampung Kowang yang terletak di kaki Gunung Merbabu, Jawa Tengah.
Dulu, di sekitar kampung terdapat dua sumber mata air. Beberapa tahun terakhir, air di salah satunya mengering sehingga warga hanya bisa mengandalkan sumber mata air tersisa yang di sana dikenal dengan sebutan mbelik Kowang.
Yasman (46), warga asli Kowang, dengan sukarela mengurus air di kampung. Kolam penampungan air untuk warga berada di depan rumahnya. Ia tak selalu mengecek pipa dan air dari mbelik ke penampungan, hanya bila ada keluhan air mampet dari warga.
Kolam tersebut merupakan hasil swadaya warga yang terbuat dari plastik dan bambu dengan ukuran 1×3 meter dan tinggi 50 sentimeter. Air yang ditampung di kolam akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan kampung kecil yang dihuni 24 kepala keluarga ini.
Tanpa kemarau, air dari mbelik Kowang sudah tidak pernah mengalir deras. Untuk mengisi kolam penampungan dengan volume 1,5 meter kubik atau sekitar 1.500 liter itu, Yasman membutuhkan waktu berkisar lima jam. Kolam akan terus diisi sepanjang waktu.
“Di sini air memang masih belum mencukupi. Terlebih saat kemarau,” kata Yasman, saat ditemui pada awal Juni.
Yasman bersama warga lainnya menggunakan air bukan hanya untuk kebutuhan rumah tangga, tetapi juga ngombor, alias memberi minum ternak sapi dan kambing, sumber penghasilan utama warga.
“Setiap rumah setidaknya butuh maksimal 300 liter per hari,” katanya, seraya melanjutkan, “Seekor sapi saja sekitar 20 liter [kebutuhannya]. Bayangkan jika satu warga punya 13 sapi,” katanya.
Kampung Kowang merupakan bagian dari Dusun Karangombo, Kecamatan Getasan, Semarang. Salah satu sumber air yang dikenal di Dusun Karangombo yang berada di kaki Gunung Merbabu adalah Sungai Senjoyo. Namun demikian, lokasi Kowang yang lebih tinggi dari sungai membuat air tidak pernah maksimal mengalir ke kampung mereka.
***
Setiap kemarau, sekitar April hingga Agustus, rumah Yasman akan didatangi mobil-mobil pembawa toren air berkapasitas 1.000 liter secara bergantian. Setiap mobil datang, warga sudah antre dengan membawa beberapa jerigen ukuran 30 liter.
Mobil-mobil itu adalah bantuan dari berbagai pihak, mulai dari kelurahan hingga relawan. Satu mobil bisa membawa hingga dua toren. Setiap harinya, mereka akan mengirim air hingga 7.000 liter. Pasalnya, sumber dari mata air sudah tidak bisa diandalkan lagi.
Tanpa bantuan, atau bila jumlah bantuan yang datang tidak mencukupi, maka warga terpaksa membeli air.
Suramin (54), warga Kampung Kowang, mengatakan warga biasanya membeli air di daerah Bandungan di Semarang, dengan harga Rp1.000 per jerigen.
“Tujuh tahun terakhir ini semakin parah. Bulan pertama saat kemarau sudah pasti gak ada air,” kata Suramin, sambil memberi pakan ternak.
Sapi-sapi miliknya berada di belakang rumah. Di dekat kandang sapinya nampak puluhan jerigen berwarna biru, ember, serta galon bekas air kemasan. Dalam satu hari, Suramin membutuhkan 300 liter air bersih. Kebutuhan rumah tangga menghabiskan 200 liter dan sisanya untuk lima ekor sapinya.
Jarak dari Kampung Kowang ke Bandungan berkisar 40 menit dengan sepeda motor. Bila sedang tidak ada air, Suramin bakal menumpuk jerigen di keranjang motornya. Ia perlu datang lebih pagi, sebab antrean air di Bandungan akan cukup panjang.
“Kalau zaman dahulu, warga ngambil air pakai jerigen digendong jalan kaki pakai obor ke mbelik. Sekitar tahun 1980. Mereka bergantian dari sore hingga subuh,” kata Suramin.
PDAM dan Objek Kampanye Politisi
Tahun 2017, pemerintah desa sempat mengupayakan layanan Penyedia Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) untuk ketersediaan air di Kampung Kowang. Layanan itu hanya bertahan tiga tahun. Keterbatasan sumber daya jadi kendala.
“Dulu ada Pamsimas, karena saya berpikir untuk ekonomi menengah ke bawah,” kata Kepala Dusun Karangombo, Tukiman.
“Awalnya untuk Dusun Karangombo, terus ada beberapa dusun yang minta, akhirnya malah menghadapi berbagai kendala.”
Tukiman mengakui lokasi Kampung Kowang yang lebih tinggi dari kampung lainnya menyulitkan distribusi air, bahkan dari layanan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Kalaupun layanan itu ada, Tukiman mengatakan warga cenderung menolak karena tidak mampu membayar iuran bulanannya.
“2013, Kowang pernah diusulkan untuk pemasangan PDAM, namun masyarakat keberatan bayar. Akhirnya diputus,” katanya.
Kondisi kekeringan di Kowang bukan tak diketahui para pemangku kebijakan. Kowang sering menjadi objek terutama saat masa pemilihan umum.
Januari tahun ini misalnya, politisi Partai Keadilan Sosial (PKS) Wisnu Wijaya menyalurkan bantuan instalasi air bersih yang terdiri dari mesin pompa air, pipa, toren berkapasitas 1.000 liter, dan alat penjernih air di 10 titik kecamatan di Jawa Tengah, termasuk Getasan.
Begitu juga saat mendekati pemilihan presiden pada Februari, Partai Demokrat memberikan bantuan pembiayaan untuk pengeboran sumber mata air. Akan tetapi, air yang keluar dari pengeboran tersebut tidak juga signifikan dalam memenuhi kebutuhan warga.
“Mbelik itu sudah dibor sedalam 30 meter. Ya, lumayan ada airnya meskipun juga tetap keluarnya tidak banyak,” kata Yasman.
Selain politisi, kepolisian setempat juga kerap turun memberikan bantuan air. Dari mulai Polres Boyolali hingga Kapolda Jawa Tengah Ahmad Luthfi tercatat pernah menyalurkan bantuan ke wilayah tersebut pada bulan Ramadan tahun ini.
Tetapi warga sebenarnya sudah lelah bila harus mengandalkan relawan atau membeli air dari desa lain.
“Kalau kemarau panjang itu dapat bantuan dari relawan, ada juga yang minta warga lain. Ya namanya di masyarakat itu kan timbul beban moral kalau minta,” kata Tukiman.
Yasman menambahkan, jika tidak ada bantuan, warga mau tidak mau membagi air yang mengalir dari mbelik walaupun jauh dari cukup.
“Jadi, misal hari ini untuk warga bagian atas, besok yang di tengah, besoknya lagi yang bawah. Gitu. Biar adil. Itu juga dibatasi, satu rumah hanya dapat jatah 5 kenthi (wadah). Hanya cukup untuk masak dan minum saja,” katanya.
Kebakaran dan alih fungsi lahan
Tepat satu tahun lalu, kebakaran terjadi di lereng Gunung Merbabu. Luas wilayah yang terbakar mencapai lebih dari 800 hektare yang meliputi tiga kabupaten di Jawa Tengah, yakni Semarang, Magelang, dan Boyolali.
Api menyapu bukan hanya lahan pertanian milik warga tetapi juga area hutan di Taman Nasional Gunung Merbabu. Nurpana Sulaksono, Plt. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, mengatakan penyebab kebakaran karena cuaca kering dan angin kencang yang menyebabkan gesekan ranting kering menjadi api dan menjalar ke berbagai arah.
Sekitar 400 warga yang tinggal di desa-desa lereng Merbabu diungsikan. Namun, bukan hanya warga dan lahan saja yang terdampak kebakaran ini. Saluran pipa-pipa air warga di sekitaran gunung juga ikut rusak dilalap api.
Alexander Gunawan, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Semarang, menyebut terdapat total 16.000 meter pipa saluran air di lereng Gunung Merbabu yang rusak akibat kebakaran.
Satu bulan pasca-kebakaran, Bupati Semarang Ngesti Nugraha menyiarkan bahwa pihaknya bakal segera memperbaiki pipa-pipa saluran air yang terbakar. Namun, hampir satu tahun berlalu, krisis air di lereng Gunung Merbabu masih jadi dialami warga.
Berbagai upaya untuk konfirmasi terkait masalah kekeringan di lereng Merbabu kepada Ngesti Nugraha tidak membuahkan hasil. Hingga artikel ini terbit, Ngesti tidak kunjung membalas pesan.
Eric Darmawan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah mengatakan kebakaran bukan penyebab satu-satunya krisis air di sekitar lereng Gunung Merbabu.
Pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian, permukiman, hingga kawasan industri dan proyek infrastruktur juga membawa dampak yang serius terhadap kondisi ekologis di sekitar Merbabu.
“Karena alih fungsi lahan resapan sehingga menyebabkan menyusutnya debit air,” kata Eric.
Jurnal Universitas Sebelas Maret (UNS) Jawa Tengah pada 2019, mengidentifikasi deforestasi di sekitar Gunung Merbabu utamanya disebabkan oleh aktivitas pertanian dan pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan.
Dalam konteks ini, wilayah Merbabu menjadi area yang rentan mengalami krisis air karena perubahan drastis dalam pola penggunaan lahan yang mengurangi kemampuan lingkungan untuk menjaga keseimbangan hidrologis.
Studi juga menyebutkan bahwa untuk mengatasi krisis ini, diperlukan langkah restorasi lahan serta pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan, seperti reforestasi atau penghijauan kembali, agar kapasitas penyerapan air di tanah dapat kembali pulih.
Senada, Eric menggarisbawahi bahwa pemangku kepentingan perlu bersinergi untuk segera melakukan konservasi dengan penanaman pohon kembali di area tangkapan air dan juga area-area yang memungkinkan untuk ditanami.
“Saya berharap Balai Taman Nasional Gunung Merbabu (BTNGMb) lebih ketat melakukan pengawasan di areanya, terkait pembalakan hutan seandainya itu terjadi juga harus tegas dalam gakkum,” kata Eric.
Bukan hanya terkait fauna, flora pun juga harus ketat lagi pengawasannya karena disinyalir masih banyak perburuan hewan liar dilindungi di kawasan tersebut.
Pengendali Ekosistem Ahli Muda Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, Ekowati Murwaningsih, menyebut hingga saat ini terdapat sekitar 156 sumber mata air di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Namun, debit air di sumber-sumber itu saat ini semakin berkurang.
Faktor yang mempengaruhi debit air antara lain curah hujan yaitu durasi dan intensitas mempengaruhi volume air yang masuk ke dalam sistem hidrologi, tutupan vegetasi mempengaruhi infiltrasi dan aliran permukaan, adanya cuaca ekstrim atau kemarau panjang, kebakaran hutan.
“Topografi juga berpengaruh terhadap infiltrasi dan aliran air,” kata Ekowati.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Semarang tahun 2022, menunjukkan luas lahan pertanian untuk beberapa komoditas utama seperti padi mencapai sekitar 16.000 hektare. Di luar padi, perkebunan seperti tanaman kopi, teh, dan tembakau juga berkontribusi pada sektor pertanian di wilayah ini, namun dalam luasan yang lebih kecil dibandingkan dengan tanaman pangan utama.
Sementara itu, merujuk data aksesibilitas kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, sebagian besar lahan pertanian warga dikategorikan dalam wilayah enclave, yakni area miliki masyarakat yang berada di dalam atau sekitar taman nasional.
Area enclave tersebut mencakup sekitar 283,51 hektare, salah satunya mencakup wilayah Kecamatan Getasan. Selain itu, di Kabupaten Magelang juga terdapat area enclave, namun luasnya lebih kecil dibandingkan dengan Kabupaten Semarang, mencakup sekitar 24,01 hektare.
Agustus 2023, dua bulan sebelum kebakaran melanda lereng Gunung Merbabu, seorang pemuda dari Dusun Koang mengadukan masalah krisis air ke aplikasi “LaporGub!”.
Aduan itu tidak mendapat respons positif, alih-alih pihak kelurahan dikabarkan merasa tersinggung.
“Kata mereka, jangan buat masalah,” ucap Yasman, seraya melanjutkan, “Mungkin anak muda itu bahasanya kurang tepat, jadi pihak kelurahan tersinggung.”
Aduan tersebut dapat ditelusuri dari laman laporgub.jatengprov.go.id. Dalam aduan di laman itu, statusnya sudah ditangani oleh BPBD Kabupaten Semarang. Adapun pesan yang dimaksud berbunyi,
“Selamat malam bapak/ibu. Saya ingin melaporkan kalau di desa saya tidak ada saluran air bersih. Sudah hampir 1 bulan ini kami minum mengandalkan air dari sumber mata air yang punya milik pribadi. Kami tidak ada support bantuan dari perangkat desa tentang masalah kekeringan yang kami alami. Jika ingin memakai PDAM orang-orang di desa saya tidak sanggup untuk membayar karena perekonomiannya yang tidak bagus.”
Dwi Pratiwaningsih, Kepala Desa Polobogo, di sisi lain membantah jika Kowang kekurangan air bersih. Menurutnya, pasokan air bersih di Kowang bisa dengan mudah di dapat dari Dusun Karangombo yang sudah memiliki fasilitas saluran air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
“Dusun Kowang itu kan kecil, hanya 1 RT, masuknya Dusun Karangombo. Kalau di Karangombo kan ada PDAM, jadi tidak kekurangan. Bisa ambil dari Karangombo,” katanya.
Dwi mengklaim bahwa pemerintah desa terus mengupayakan air bersih di beberapa dusun yang masih kekurangan, termasuk Kowang. Namun, ia mengakui bahwa pihaknya pernah berupaya mencari sumber air di Kowang melalui pengeboran tetapi hasilnya kering. Jikapun mengupayakan sambungan air dari PDAM ke Kowang, ia mengatakan saat ini anggaran desa masih terbatas untuk itu.
“Ndak masalah sebetulnya. Cuman ya warga ki senenge sok nggedek-nggedeke (Warga itu senangnya membesar-besarkan) masalah gitu, loh. Sebetulnya tidak sampai kekurangan air, ndak sampai kekeringan,” kata Dwi.
Joko Pramono, koordinator relawan Satuan Emergency Relawan Indonesia (SERI), mengatakan setiap musim kemarau atau saat terjadi kekeringan, pihaknya bisa menyalurkan bantuan air bersih ke Kowang sebanyak 12 ribu liter per hari.
“Diangkut dengan 6 mobil, bolak-balik sampai 3 kali,” katanya.
“Airnya ngambil dari mata air Senjoyo, lalu sumber di pasar Gedangan dan Umbul Songo Kopeng.”
Sementara bagi warga seperti Yasman, ia tak punya banyak pilihan. Suplai air dari relawan adalah jalan terakhir yang bisa harapkan, terutama pada musim kering seperti saat. Selagi tidak ada bantuan dari relawan, maka air yang ada yang dimanfaatkan, “Niki pun alit, mboten cukup (ini sudah kecil tidak mencukupi).”
—