Ketika Perempuan Buruh di Bandung Melawan: Menang di Pengadilan Tapi Upah Tetap Dipotong, Harus Bayar Ganti Rugi

Ronna Nirmala
17 menit
Aan Aminah di sekretariat F-Sebumi di Sindanglaya, Kota Bandung. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Seorang perempuan buruh di Bandung bebas dari tuduhan penganiayaan saat melawan sekuriti pabrik di tengah aksi menuntut tanggung jawab perusahaan atas pemotongan upah dan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak saat pandemi COVID-19. Kendati ia tak lagi berstatus sebagai terdakwa, namun, kemenangan dalam pertarungan semut melawan gajah ini hanyalah satu kemenangan kecil di antara rentetan kekalahan yang dialami buruh di Tanah Air.


AAN AMINAH merasakan napasnya sesak. Bekas operasi tumor payudaranya terimpit, dadanya berdenyut sakit. Ia terjebak di antara tiga sekuriti pabrik dan dua polisi.

“Aing kegencet. Aing kegencet. Aing kegencet!” teriak Aminah. Perempuan buruh berusia 45 tahun itu meronta-ronta dan berteriak minta dilepaskan.

Teriakannya tidak dihiraukan. Impitan petugas keamanan tak sedikitpun mengendur. Sebaliknya, dorongan dari depan dan belakang semakin kuat. Ia berulang kali berusaha keluar dari sela-sela kaki polisi yang mengimpitnya tetapi upaya itu gagal.

Aminah semakin kesulitan bernapas. Ia lalu menempelkan mulutnya ke tangan si sekuriti sebagai upaya terakhir agar dibebaskan dari impitan. Lagi-lagi usaha itu gagal.

Ia baru berhasil lepas dari impitan setelah rekan laki-lakinya berteriak ke arah petugas, meski teriakan itu membuat polisi menarik leher rekannya tersebut.

Hari itu, Senin, 22 Juni 2020. Aminah, Ketua Federasi-SEBUMI (Serikat Buruh Militan), bersama sembilan rekannya sesama anggota serikat yang sama, mendatangi pabrik tekstil milik CV Sandang Sari di Jl. A.H. Nasution, Kota Bandung, Jawa Barat. Mereka adalah korban pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 4 Juni 2020, atau sekitar tiga bulan sejak kasus COVID-19 pertama kali diumumkan pemerintah di Indonesia.

Kedatangan mereka untuk menagih tanggung jawab perusahaan atas persoalan pemotongan upah hingga 65 persen selama pandemi, PHK sepihak, dan hak pesangon. Ini adalah kunjungan ketiga mereka.

Aminah telah bekerja selama 25 tahun. Saat dipecat, ia hanya menerima pesangon sebesar Rp10 juta. Bila merujuk UU Ketenagakerjaan, ia semestinya bisa mendapat pesangon sekitar Rp100 juta atau sekitar 19 kali upahnya.

Dalam Pasal 40 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor (35) Tahun 2021, sebagai regulasi turunan UU Cipta Kerja, mengatur perhitungan pesangon pekerja yang di-PHK dengan masa kerja 8 tahun atau lebih adalah 9 bulan upah. Perhitungan itu sama dengan aturan sebelumnya yang termuat dalam UU Ketenagakerjaan.

Perbedaannya terletak pada uang penghargaan dari perusahaan. Pada UU Cipta Kerja, masa kerja di atas 12 tahun, pekerja bisa menerima antara 4 sampai 8 bulan upah. Sementara, pada UU Ketenagakerjaan, uang penghargaan bisa diberikan hingga 10 bulan upah.

Bila merujuk Pasal 43 pada PP yang sama, perusahaan atau pemberi kerja bisa mengurangi jumlah pesangon sebesar separuh atau 0,5 kali dari besaran pesangon yang diwajibkan apabila efisiensi dilakukan karena perusahaan mengalami kerugian.

Saat kedatangan pertama, 16 Juni 2020, mereka bertemu dengan pihak manajemen dalam pertemuan bipartit tetapi berujung deadlock. Tiga hari kemudian, mereka kembali datang ke pabrik tetapi ditolak karena dianggap bukan lagi karyawan di sana. Pihak manajemen lalu menyerahkan urusan ini ke kuasa hukum perusahaan.

Aminah dan rekan-rekan buruh menilai perusahaan telah mengingkari kesepakatan yang terjadi pada pertemuan pertama. Kala itu, perusahaan mengatakan tidak akan melibatkan kuasa hukum selama permasalahan masih berada pada tingkat bipartit.

Pada kedatangan ketiga ini, Aminah dan rekan-rekannya bermaksud untuk kembali bertemu dengan manajer personalia membahas permasalahan yang belum terang itu. Petugas keamanan tidak memberi izin mereka masuk ke dalam pabrik dengan alasan manajer personalia sedang keluar.

Kesepuluh pengurus F-SEBUMI itu memutuskan menunggu di depan gerbang hingga jam kerja usai pukul 15.00 WIB. Mereka membagi posisi di tiga gerbang pabrik. Harapannya, mereka bisa masuk saat gerbang dibuka dan berkesempatan menemui personalia. Aminah menunggu di trotoar depan gerbang II.

Buruh berjalan keluar dari gerbang pabrik CV Sandang Sari di Sindang Jaya, Mandalajati, Kota Bandung. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

* * *

Jelang siang, sejumlah personel keamanan dari Kepolisian Sektor (Polsek) Antapani, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung, hingga Bintara Pembina Desa (Babinsa) datang ke pabrik.

Aminah tak curiga dengan kehadiran personel keamanan dari berbagai institusi itu. Ia baru menaruh syak ketika waktu jam pulang tiba. Tidak ada satupun dari buruh yang keluar gerbang. Bahkan hingga satu jam kemudian, saat kepulangan buruh pada sif berikutnya, pintu gerbang pabrik juga tak kunjung dibuka.

Di tengah keheranannya, seorang personel kepolisian menghampiri Aminah.

“Bu Aminah mau negosiasi, ya? Tunggu, ya, sebentar, sabar. Nanti akan saya bukakan pintu. Nanti ketika yang pulang kerja keluar, ibu silakan masuk. Itu mah hak ibu untuk bernegosiasi,” kata Aminah, menuturkan ulang perkataan polisi itu.

Sekitar pukul 16.20 WIB, polisi yang sama meminta rekannya membuka pintu gerbang dan mempersilakan Aminah masuk.

“Tapi anehnya cuma saya doang yang dipersilakan masuk,” kata Aminah, saat ditemui di kediamannya di Ujung Berung, Kota Bandung.

Aminah berjalan mendekati pintu gerbang yang terbuka. Perhatiannya tertuju pada barisan buruh di halaman pabrik. Ketika hendak masuk ke dalam pabrik itulah ia diadang oleh tiga sekuriti dan dua polisi. Pada saat bersamaan, para buruh berbondong-bondong keluar dari pabrik.

“Itu semua ternyata sudah direncanakan. Tuduhan ke saya itu, saya bentrok dan menghalang-halangi kawan-kawan yang mau pulang. Mereka gak tahu kalau ada kami di luar,” katanya.

“Di pinggir (gerbang) itu, seolah-olah saya mendorong-dorong, padahal gak. Karena memang sengaja disuruh keluar bareng dari sana,” tutur Aminah melanjutkan.

Pasca-insiden, Aminah melaporkan polisi dan sekuriti yang mengadangnya ke Polsek Antapani sekaligus meminta surat pengantar visum. Namun, permintaan surat pengantarnya ditolak berkali-kali, oleh Kapolsek Antapani, oleh Propam Polrestabes Bandung, dan bagian forensik Polrestabes Bandung. Akhirnya, Aminah batal melaporkan kasus dugaan kekerasan fisik yang melibatkan aparat tersebut karena tidak memiliki surat pengantar visum.

* * *

Dada dan beberapa bagian tubuhnya masih terasa sakit. Hasil rontgen di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bandung mendiagnosis Aminah dengan trauma thorax. Butuh sekitar dua minggu untuk rasa sakit di tubuhnya menghilang.

Namun, di ujung kesembuhannya, Aminah menerima surat panggilan dari Polsek Antapani untuk diperiksa sebagai tersangka dugaan tindak pidana penganiayaan dengan pelapor atas nama Yudi Haryadi. Yudi adalah sekuriti pabrik yang mengaku tangannya digigit Aminah.

“Mulut saya ditempelin ke tangan, saya gak merasa menggigit. Saya ngasih tahu, ‘Lepasinlah tangan kamu’,” ujar Aminah.

Pemeriksaan pertama hingga ketiga, Aminah bergeming. Bersikukuh membantah tuduhan. Ia menilai pertanyaan penyidik terus memaksanya untuk mengakui perbuatan itu. Pada pemeriksaan keempat, ia menyerah. Terlebih saat itu, penyidik juga mengatakan mereka memiliki bukti visum dan saksi-saksi.

“Saya bingung, kalau saya gak ngaku, nanti berat kalau ternyata hasil visum ternyata iya ada, dikira saya bohong. Ya, sudahlah saya mengaku saja, terserah gimana nanti saja. Pikir saya begitu. Ternyata bohong,” kata Aminah, seraya menambahkan hingga ke pengadilan pun, hasil visum itu tidak pernah ditunjukkan.

Aminah dikenakan Pasal 351 Ayat 1 UU KUHP. Ia mendekam di rumah tahanan perempuan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, selama sepuluh hari.

Kasusnya menarik perhatian dari aktivis, serikat buruh, Amnesty International Indonesia, dan kelompok masyarakat lainnya. Dukungan mengalir. Narasi yang mencuat adalah kasusnya sebagai bentuk kriminalisasi perburuhan untuk mengalihkan problem ketenagakerjaan yang sesungguhnya.

Pada 6 Juli 2021, Pengadilan Negeri (PN) Bandung membacakan vonis atas kasusnya. Majelis Hakim memutus Aminah terbukti melakukan yang didakwakan tetapi tidak bisa dipidana karena merupakan tindakan membela diri.

Aminah dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum. Putusan itu turut dikuatkan oleh Mahkamah Agung yang menolak kasasi Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Aan Aminah membaca buletin di sekretariat F-Sebumi di Sindanglaya, Kota Bandung. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

“Dibunuh pelan-pelan” 

Menuntut hak pekerja yang layak ke Sandang Sari bukan kali pertama bagi Aminah. Tahun 1998, bersama Meti Hermayanti dan Enok Sumirah, dua rekan buruhnya, juga pernah berjuang meminta hak kesetaraan dari perusahaan.

Saat itu, mereka menuntut perusahaan memberikan hak-hak dasar yang termuat dalam UU Ketenagakerjaan seperti cuti haid, cuti sakit, cuti melahirkan, tunjangan kesehatan, uang makan, dan transportasi.

Pihak manajemen mengabulkan hampir sebagian besar tuntutan mereka.

Momen itu menjadi titik awal yang menyadarkan Aminah, Meti, dan Enok, untuk bersatu dan berserikat. Tahun 1999, ketiganya mendaftar sebagai anggota serikat buruh.

Kendati begitu, hubungan harmonis buruh dengan pengusaha Sandang Sari tak berlangsung secara turun-temurun. Setiap kali ada pergantian posisi personalia, hak-hak buruh yang sebelumnya telah disepakati, sedikit demi sedikit ikut terpangkas dan semakin dipersulit.

Semisalnya untuk mendapatkan hak cuti haid. Sebelumnya, manajemen menyediakan dokter untuk memudahkan perempuan buruh yang membutuhkan surat keterangan untuk mengajukan cuti haid. Namun, fasilitas itu dihilangkan dan perusahaan mengalihkan urusan itu ke puskesmas.

Tak lama berselang, kebijakan berubah lagi. Surat keterangan untuk mengajukan cuti haid harus berasal dari dokter di poliklinik RSUD Ujung Berung Bandung.

“Yang namanya di rumah sakit, kadang kebagian kuota, kadang gak. Kalau kebagian kuota, bisa diperiksa, bisa cuti haid, bisa dibayar. Tapi, kalau tidak dapat, ya otomatis hari itu kita gak bisa kerja, jadi bolos, gak dibayar,” kata Enok.

Situasi itu membuat buruh menjadi enggan mengambil hak cuti mereka karena khawatir tidak mendapat kuota di rumah sakit.

“Akhirnya, hak cuti haid hilang. Kalau cuti sakit, diontrog fasilitas kesehatan yang ditunjuk. Kalau gak parah-parah amat, tidak boleh dikasih cuti.  Itu gimana? Apa harus nunggu ngajoprak (jatuh terkulai) dulu baru dikasih cuti. Jadi, satu persatu hak-hak itu hilang. Ya, sudah hilang semuanya hasil demo ‘98 itu,” ucap Enok.

Bukan hanya soal hak cuti haid. Sejak 1998, perusahaan juga tidak juga menambah besaran uang makan dan transportasi yang masing-masingnya sebesar Rp2.500 dan Rp3.000. Perusahaan juga tidak menyediakan ruang ibadah yang layak bagi buruh muslim.

Enok Sumirah (kiri) menerima kunjungan Aan Aminah dan Meti Hermayanti (kanan) di rumahnya di Sindanglaya, Pasir Impun, Kota Bandung. Mereka sempat merasakan kemenangan saat memperjuangkan hak buruh Sandang Sari, pada 1998. Kini hak-hak buruh yang pernah diperjuangkan itu sedikit demi sedikit dipangkas perusahaan atau tetap ada, tapi dipersulit. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Pandemi yang Memperburuk Situasi

Situasi semakin menyulitkan ketika pandemi COVID-19 melanda. Ketika pemerintah menetapkan kebijakan pembatasan jumlah pekerja buruh pabrik maksimal 50 persen, perusahaan memutuskan memotong upah hingga 65 persen dari upah minimum kota (UMK). Perusahaan berdalih hal itu lantaran jam kerja buruh tidak penuh seperti biasanya.

Pada 12 Mei 2020, para buruh Sandang Sari di bagian weaving ishikawa (tenun) mogok kerja. Aksi itu diikuti buruh dari bagian lainnya. Sehari setelahnya, hampir semua buruh menghentikan kegiatannya.

Mereka menuntut perusahaan tetap membayarkan upah sebesar 100 persen. Alasannya, libur bergilir adalah kebijakan perusahaan, bukan keinginan karyawan.

Selain itu, Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/Hk.04/Iiii/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19, juga mengatur besaran upah saat perusahaan memberlakukan pembatasan kegiatan usaha harus disesuaikan melalui kesepakatan antara pengusaha dan buruh.

Aturan yang diambil tanpa kesepakatan kedua belah pihak itu yang kemudian memicu aksi unjuk rasa dan mogok kerja buruh yang sebagian telah menjadi anggota serikat pekerja, yakni Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Federasi Serikat Buruh Militan (F-SEBUMI), dan SP2EM.

Akan tetapi, aksi protes itu berbalik dengan tuduhan hukum. Perusahaan menggugat 210 buruh dengan tuduhan perbuatan melawan hukum (PMH). Mereka digugat ganti rugi lebih dari Rp12 miliar. Meti dan Enok termasuk buruh yang terkena gugatan tersebut. Sementara, Aminah dipecat.

Meti, Enok, dan 196 buruh lainnya kalah. PN Bale Bandung memvonis mereka bersalah dan wajib membayar ganti rugi ke perusahaan senilai Rp500 juta, ditambah biaya perkara sebesar Rp69 juta. Secara tanggung renteng, setiap orang harus membayar Rp3 juta. Upaya banding juga gagal.

“Tapi, uang dari mana? Untuk sehari-hari saja susah karena masih dirumahkan,” kata Meti.

Perusahaan menjanjikan pemberian upah sebesar 35 persen kepada buruh yang dirumahkan. Namun, menurut Enok dan Meti, persentase itu terus merosot hingga 10 persen dari UMK. Sejak 2020 hingga saat ini, keduanya hanya menerima sekitar Rp170 ribu per dua pekan.

“Yang tadinya bisa menabung, ngasih ke orang tua, anak-anak dikasih uang jajan, jadi gak bisa sekarang. Uang SPP anak-anak malah sempat nunggak tiga bulan. Apalagi buruh yang rumahnya masih ngontrak, punya anak kecil, pasti lebih susah lagi,” kata Meti dengan suara tercekat.

Sama seperti Aminah, Meti dan Enok sudah sejak lama bekerja di Sandang Sari. Sejak masih gadis, hingga kini memiliki anak.

Meti curiga perusahaan sengaja menggantung status mereka: tidak kembali dipekerjakan, tidak pula di-PHK. Menurutnya, perusahaan seperti sengaja menunggu sampai mereka menyerah dan mengundurkan diri sehingga hilang kewajiban membayar pesangon.

“Kami (seperti) dibunuh secara pelan-pelan,” kata Meti.

Perusahaan pernah mengiming-imingi memberikan pesangon pada karyawan yang dirumahkan untuk mengundurkan diri sebesar Rp15 juta, tetapi jumlah tawarannya terus turun menjadi Rp6 juta.

“Saya bekerja ‘kan dari tahun ‘93, bayangkan kalau misalkan mengundurkan diri. Rugi banget gitu. Mana penghargaan perusahaan kepada saya yang mengabdi selama puluhan tahun? Padahal saya selalu berusaha bekerja sebaik mungkin,” kata Meti.

Meti berpose saat berjalan meninggalkan rumahnya di Sindanglaya, Kota Bandung. Meti adalah salah satu dari ratusan buruh yang protes atas keputusan CV Sandang Sari merumahkan buruh. Mereka digugat perusahaan dan divonis bersalah PN Bale Bandung dengan kewajiban membayar ganti rugi ke perusahaan sebesar Rp500 juta ditambah biaya perkara sebesar Rp69 juta secara tanggung renteng. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

* * *

Saya mendatangi pabrik Sandang Sari dengan tujuan mewawancarai pihak Sandang Sari terkait berbagai tuduhan yang dilayangkan ke perusahaan pada Rabu, 15 Juni 2022.

Plang nama pabrik berukuran kecil dan berkarat, nyaris tak terlihat dan kurang meyakinkan untuk sebuah pabrik dengan karyawan hingga ratusan orang. Pintu gerbang pabrik begitu tinggi, dan rapat.

Sebuah lubang kecil terbuka ketika saya menghampiri gerbang. Seorang sekuriti mengintip dan tak lama membuka gerbang sambil bertanya tujuan saya datang ke sana. Saya menyatakan hendak menemui pihak manajemen untuk melakukan wawancara. Sekuriti tersebut meminta saya menuju gerbang II yang berjarak 500 meter dari gerbang pertama.

Di gerbang kedua, pintu otomatis terbuka. Sejumlah CCTV yang terpasang di sekitar gerbang tampaknya sudah mengetahui kehadiran saya sehingga sekuriti bergegas membuka gerbang.

Saya kemudian dibawa ke ruangan sekuriti untuk mengisi daftar tamu dan menjawab lagi pertanyaan tentang tujuan kedatangan saya.

Kepala Sekuriti bernama Aceng menghampiri. Ia bilang, kunjungan media biasanya ditangani langsung oleh personalia. Sayangnya, hari itu, kata Aceng, personalia tidak ada di tempat karena sedang dinas luar. Sementara, bagian hubungan masyarakat sedang ada tamu.

“Sampaikan saya pertanyaannya, nanti saya sampaikan ke HRD,” kata Aceng.

Sekuriti menolak memberikan kontak personalia. Sebaliknya, ia menjanjikan akan memberikan kontak saya kepada personalia untuk ditindaklanjuti. Hingga artikel ini terbit, pihak personalia maupun perusahaan tak kunjung memberikan responsnya.

Kejanggalan-Kejanggalan

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung memandang tuntutan ganti rugi perusahaan ke buruh memiliki kejanggalan-kejanggalan.

Rangga Rizky Pradana, kuasa hukum dari LBH, mengatakan putusan Majelis Hakim PN Bale Bandung tidak memiliki dasar yang jelas. Pasalnya, dalam pertimbangan hakim menyatakan nilai gugatan sebesar Rp12 miliar sebagai kerugian perusahaan tidak valid dan objektif karena tidak merujuk pada audit eksternal, melainkan hanya data internal perusahaan yang tidak bisa dipastikan kebenarannya.

“Tapi di sisi lain, hakim menyatakan, tergugat dalam hal ini buruh harus mengganti rugi Rp500 juta.  Jadi Rp500 juta itu dari mana? Kalau hakim bilang Rp12 miliar ini tidak valid datanya, kenapa bisa putusannya disuruh bayar Rp500 juta? Ini suatu kejanggalan,” kata Rangga.

Prosedur pelaksanaan banding juga tidak sesuai, lanjut Rangga. Kuasa hukum berargumen perkara PMH terjadi lantaran mogok kerja yang menjadi hak buruh sesuai dengan UU.

“Kalau menurut aturannya, untuk melihat kompetensi dari mogok kerja itu, diuji di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) bukan digugat atau diuji di pengadilan negeri. Seharusnya, pengadilan negeri tidak punya kewenangan untuk mengadili itu,” kata Rangga.

Lebih lanjut, Rangga menyayangkan perusahaan membawa kasus mogok kerja ke ranah hukum. Menurutnya, kasus ini bakal menjadi preseden buruk bagi penyelesaian isu-isu perburuhan.

“Ini menjadi catatan buruk nantinya bagi buruh di wilayah lainnya, apabila mereka melakukan mogok kerja yang mana itu merupakan haknya, bisa saja mereka mendapat perlakuan yang sama,” kata Rangga.

“Bisa saja mereka digugat PMH. Putusan ini akan dijadikan yurisprudensi bahwa ada satu putusan yang menyatakan buruh melakukan mogok kerja dan digugat oleh perusahaan dan dinyatakan penggugatnya menang.”

Pemotongan upah oleh perusahaan tekstil secara tidak proporsional adalah satu dari tiga pola kekerasan yang dialami perempuan buruh selama masa pandemi COVID-19, demikian studi yang dilakukan Asia Floor Wage Alliance (AFWA) terhadap 351 perempuan buruh garmen di 61 pabrik di enam negara produsen seperti Indonesia, Bangladesh, Kamboja, India, Sri Lanka, dan Pakistan.

Pola kedua adalah pengurangan tenaga kerja dan peningkatan target produksi yang membawa dampak serius bagi perempuan di lini produksi. Perempuan pekerja dipaksa bekerja lembur tanpa dibayar dan dihalang-halangi untuk mengambil hak cuti/istirahat seperti yang sudah diatur dalam regulasi.

Ketiga, kekerasan ekonomi dari perusahaan menimbulkan efek berantai terhadap ujian lain yang dialami perempuan buruh di lingkungan rumah, keluarga, dan komunitas mereka. Di luar tembok pabrik, perempuan pekerja terpaksa mengurangi konsumsi, terlilit utang besar, hingga menjual harta benda untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarganya.

Sebuah mural perlawanan buruh terlihat pada tembok pabrik CV Sandang Sari di Sindang Jaya, Mandalajati, Kota Bandung. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Mencari Pemerintah

“Saya mah frustrasi, hukum di Indonesia sangat benar-benar bikin frustrasi. Gak ada buruh yang menang di pengadilan, kebanyakan memihak perusahaan,” kata Enok dengan wajah yang memerah.

Putusan pengadilan membuat hidupnya semakin sulit. Ia mengeluhkan harga barang-barang kebutuhan pokok yang terus naik berkali-kali lipat di tengah upahnya yang terus dipotong perusahaan. Ia juga mengisahkan keinginannya untuk menabung biaya haji yang kemungkinan gagal karena pemotongan itu.

“Kemana atuh pemerintah yang dulu (waktu pemilu) nyari-nyari kami?” tanya Enok, seraya melanjutkan, “Saya jelas-jelas tidak percaya sama pemerintah, sangat terasa sekarang seperti ini. Dulu yang mau jadi pejabat nyari kita. Sudah menjabat, kita mencari dia gak ada.”

Aminah juga enggan menggantungkan harapannya kepada pemerintah. Harapannya pupus selepas pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR pada 2019. Baginya, UU Cipta Kerja hanya menempatkan buruh di tempat yang semakin terpuruk.

“Tidak ada tempat mengadu  bagi buruh hari ini, termasuk dinas tenaga kerja. Buruh berjuang sendiri. Pemerintah yang seharusnya melindungi rakyatnya, justru melindungi kapitalis,” kata Aminah.

Ahmad Mustofa, Mediator Hubungan Industrial, Sub-Koordinator Pengupahan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Bandung, membantah pernyataan Aminah. Ia menegaskan pihaknya sudah melaksanakan tugas sesuai kewenangannya.

“Dinas tenaga kerja kewenangannya hanya mediasi. Di situ saja. Untuk hak-hak normatif mestinya ke pengawas pada saat hubungan kerja terjadi. Penindakannya di pengawas. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin supaya ada kesepakatan, tapi karena tidak ada kesepakatan, kami keluarkan anjuran,” kata Ahmad.

Ahmad mengaku pihaknya memantau kasus ketenagakerjaan yang terjadi di CV Sandang Sari, termasuk nasib ratusan buruh yang digantung statusnya. Saat terjadi unjuk rasa, Ahmad mengatakan petugas Disnaker Kota Bandung hadir di lokasi guna menengahi perselisihan antara buruh dan perusahaan. Pihaknya telah mengeluarkan anjuran agar perusahaan tetap membayar karyawan yang dirumahkan.

“Tapi itu hanya anjuran yang tidak memiliki kekuatan hukum. Kalau anjuran, salah satu pihak tidak menerima, berarti tidak bisa dilaksanakan. Bahkan kedua belah pihak menerima, tapi tidak dilaksanakan pun jadi masalah. Makanya, harus ke pengadilan sehingga ada upaya paksa hukum,” ujarnya.

Mengenai besaran angka pesangon dan upah, Ahmad menjelaskan, pihaknya hanya akan mengikuti ketentuan yang diatur UU. Mediator akan berusaha semaksimal mungkin agar terjadi kesepakatan sebagai hukum tertinggi bagi para pihak yang berselisih, lanjutnya.

Joao De Araujo Da Costa, Kepala Seksi Pengawasan Norma Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat, menambahkan, konflik pekerja di Sandang Sari telah dibawa ke Kementerian Ketenagakerjaan untuk diselesaikan. Ia juga telah berkoordinasi dengan rekannya di UPTD Pengawasan Wilayah 4 agar kasusnya segera ditindaklanjuti. Namun, Joao kesulitan menjawab penyebab lamanya penyelesaian kasus ratusan buruh yang dirumahkan hingga dua tahun lamanya.

“Sebenarnya buruh yang dirumahkan ini karena memang waktu itu terkait dengan, menurut pengawas itu, ada kesepakatan yang dibuat oleh buruh yang memang mestinya dilakukan. Tapi ini ternyata juga, menurut kawan-kawan pengawas UPTD Wilayah 4, ini kan mestinya dibayar haknya sesuai kesepakatan. Tetapi, memang kami akan coba untuk melakukan penyelesaian,” kata Joao.

Mengomentari mogok kerja yang dipidanakan, Joao menilai hal itu sebetulnya tidak boleh terjadi sebab mogok kerja termasuk hak aspirasi buruh yang dilindungi UU. Kendati begitu, ada mekanisme yang harus dilalui buruh ketika berencana mogok kerja.

“Akibat mogok tadi ada mekanismenya yang memang bisa dijawab oleh Kepala bidang Hubungan Industrial. Kenapa mereka harus mogok, apakah karena memang tidak ada kesepakatan yang dituangkan di peraturan perusahaan sehingga mengakibatkan mogok,” lanjut Joao.

Mengenai hak normatif buruh yang tidak dipenuhi Sandang Sari seperti cuti haid dan melahirkan, Joao mengaku belum menerima laporannya. Tapi ia berjanji, sebagai penegak hukum di isu perburuhan, akan berlaku netral dalam menyelesaikan persoalan sesuai dengan kewenangannya.

“Kalau menyebutkan kami tidak memihak buruh itu, tidak. Saya tegaskan, tidak. Kami sebagai penegak hukum tentunya akan berlaku secara netral untuk menyelesaikan apa yang menjadi persoalan-persoalan sesuai dengan kewenangan kami,” tukasnya.

 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
17 menit