Pendidikan seks sejak dini masih dianggap tabu; dihindari dari lingkungan keluarga hingga sekolah. Anak-anak remaja Indonesia mencari pengetahuan seksualitas via internet dan terpapar pornografi yang bermasalah.
Imel berusia sekitar 9 tahun saat tanpa sengaja menemukan majalah dewasa milik ayahnya. Imel membuka dan membaca sejumlah tulisan di majalah itu, termasuk kisah pengalaman seks antara mahasiswi dan kakak tingkat di kampus. Itulah momen pertama muncul imaji dalam memori Imel mengenai aktivitas seksual.
Tak lama setelah itu, Imel terbangun dari tidur sekitar pukul 2 dini hari. Ia keluar dari kamar dan, tanpa sengaja, memergoki ayahnya sedang menyetel tayangan pornografi di televisi ruangan keluarga. Imaji dalam pikiran Imel seketika tervisualisasikan lebih gamblang.
Memasuki sekolah menengah pertama, barulah Imel mulai menjelajahi informasi seputar seksualitas termasuk lewat konten pornografi di internet. Pada saat bersamaan, ia mulai membangun relasi romantis dengan laki-laki berusia 20-an tahun. Bersama pasangannya, Imel mulai mencoba aktivitas seksual, “tapi bukan seks [penetrasi], hanya pegang-pegang, cuma make out doang.”
Ketika sekolah menengah atas, Imel berganti pasangan dengan lelaki berusia hanya terpaut satu tahun. Imel dan pasangannya, Andi, sama-sama belajar dan memahami aktivitas seksual dari materi pornografi.
Andi mengenalkan video-video pornografi produksi Jepang kepada Imel. Menuntut Imel mempraktikkan berbagai adegan dalam video-video itu.
“Ada beberapa hal yang gue ngerasa nggak cocok atau gimana, tapi dia pushy,” ungkap Imel.
Andi memaksa Imel melakukan dan membandingan apa yang diperagakan oleh para aktor pornografi itu. Imel dibuat merasa ada yang salah atas tubuhnya. Imel tak mampu mempraktikkan atau mengalami squirting, memuncratkan cairan dari vagina selepas berhubungan seksual, sebagaimana sering ditampilkan dalam pornografi. Faktanya, memang tak semua orang dengan vagina mengalaminya.
“Gue nyari tahu dan jadi tahu kalau nggak semua perempuan bisa squirt, yang ditampilkan di bokep itu, kan, lebay,” ujarnya.
Imel, selama 3,5 tahun pacaran dengan Andi, dituntut menjadi seperti objek perempuan dalam tayangan pornografi selera Andi, termasuk melakukan adegan lubang vagina atau anus seharusnya bisa fleksibel dan bisa dimasukkan segala sesuatu seperti bola pingpong atau bekel.
Pada saat yang sama, tumbuh kesadaran pada Imel bahwa banyak aktivitas seksual yang ditampilkan dalam pornografi itu justru menyakiti tubuhnya. “Kalau di bokep,” kata Imel, “nggak ditunjukin ada efek luka atau apa. Misalnya, sehabis melakukan anal lalu sakit. Berdarah.”
Imel kemudian memahami seks dari pornografi bukanlah pengalaman menyenangkan. Ada banyak kekosongan pengetahuan mengenai seks yang aman dari pornografi
“Gue nggak tahu harus marah ke diri gue sendiri atau siapa. Banyak pilihan buruk yang gue ambil sejak SD, SMP, SMA […] misalnya, nggak boleh seharusnya ketika gue SMP melakukan itu dengan orang yang umurnya 20 tahun lebih,” ungkap Imel.
Pornografi memang menjadi materi begitu melimpah di internet. Tak perlu usaha besar bagi para remaja di Indonesia untuk mengaksesnya. Pemblokiran situs pornografi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika juga tak mampu membendung akses ke pornografi.
Misalnya, situs pornografi sangat populer Pornhub dikunjungi 130 juta orang setiap hari dan mayoritasnya laki-laki (sekitar 68%). Ini belum menghitung konten-konten porno dari situs lain, juga dari media sosial, GIF, dan banyak lagi. Siapa saja bisa secara mudah mengaksesnya dari mana saja, termasuk oleh kalangan remaja melalui telepon genggamnya.
Ridho, yang tinggal di Jakarta dan gampang mengakses internet, belajar mengenai seks lewat pornografi, dan tidak mendapatkan akses pendidikan seksual. Ia mulai mengakses pornografi sejak umur 13 tahun. Umur 14 tahun, ia mulai melakukan aktivitas seksual. Rujukannya saat itu hanyalah pornografi dan cerita-cerita dari teman sebaya.
Ridho dan pacarnya sama sekali tak memahami apa itu persetujuan atau consent dalam seks, murni karena mereka tidak tahu. Dalam usia remaja yang sangat rentan itu, kita belum bisa memutuskan secara matang mana baik dan buruk; kebanyakan tindakan kita di usia remaja didorong oleh bacaan serba terbatas dan pengaruh teman seumuran.
Dalam pengalaman Ridho, yang mungkin juga dialami oleh mayoritas remaja di Indonesia, orangtua maupun sekolah tak pernah membuka percakapan mengenai edukasi seksual yang benar dan aman.Click To TweetIa masih mengingat pengalaman saat sekolah dasar ketika materi mengenai organ reproduksi dalam pelajaran ilmu pengetahuan alam justru secara sengaja dilewati tanpa dibahas oleh gurunya.
Ridho baru memahami seks yang aman, termasuk penggunaan kondom, saat usia 17 tahun, juga melalui internet. Dan ia baru mengetahui konsep atau bagaimana memberikan persetujuan dalam hubungan seksual saat usia 19 tahun. Sekalipun kini ia sudah belajar dan memahaminya, tetapi ia menilai ada banyak informasi yang diketahuinya sangat terlambat.
“Kalau masalah consent, kadang gue mikir, selama berhubungan sama pacar gue, ada nggak ya batasan-batasan yang selama ini gue langkahi. Dan, seandainya ada, kayaknya sekarang gue bener-bener … aduh, feeling guilty,” ujarnya.
Tanpa Edukasi Seksual, Remaja Indonesia Rentan Jadi Korban & Pelaku Kekerasan Seksual
Penelitian kolaborasi antara Rutgers WPF Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menyebut salah satu alasan anak muda Indonesia mengakses pornografi adalah rasa penasaran atas seksualitas mereka.
Di sisi lain, pendidikan seks masih menjadi hal tabu. Padahal, edukasi seks yang komprehensif sangat dibutuhkan oleh para remaja dan anak muda agar mereka mampu melindungi diri, termasuk bisa menyaring dan mengkritisi informasi dan konten eksplisit dalam pornografi.
Seks yang digambarkan dalam pornografi bisa sangat bermasalah. Dalam satu penelitian terhadap film-film pornografi yang populer atau banyak diakses, mayoritas menggambarkan agresi fisik yang menempatkan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Juga penggambaran seks dalam pornografi mengandung perilaku bermasalah seperti hubungan seks berisiko, video-video memuat pemaksaan atau pemerasan, pemerkosaan terhadap anak, dan sebagainya.
Pornografi juga membuat remaja laki-laki yang mengonsumsinya cenderung menerima nilai-nilai bahwa perempuan sebagai “objek permainan atau alat seksual demi memenuhi libido laki-laki.”
Tanpa bekal memadai bagi remaja memahami perkara mendasar dalam seksualiatas, termasuk seks yang aman–berdasarkan kesepakatan satu sama lain serta penuh perhatian—maka penggunaan pornografi sebagai sumber untuk edukasi seks perlu mendapatkan perhatian yang ketat.
Industri pornografi sesungguhnya memproduksi banyak konten menampilkan hubungan seksual tanpa persetujuan. Tanpa persetujuan, aktivitas seks itu masuk kategori kekerasan seksual. Click To TweetLebih dalam lagi, pornografi turut menyuburkan kultur pemerkosaan melalui sejumlah mitos; misalnya, perempuan menolak aktivitas seksual justru dianggap menginginkannya; menciptakan anggapan bahwa boleh berhubungan seksual dengan seseorang dalam keadaan tidur atau tak sadar.
Baca juga: Ketika Tak Ada Edukasi Seks, Korban-Korban pun Berjatuhan
Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah berkata remaja-remaja Indonesia tidak dibekali edukasi seksual yang komprehensif, sehingga risikonya apa yang mereka lihat lewat pornografi rentan dijadikan rujukan utama dalam melakukan aktivitas seksual, sekalipun itu tidak nyata. Jelas sekali, katanya, pornografi tidak bisa menggantikan edukasi mengenai seksualitas.
“Remaja kadang tidak memahaminya sehingga [melalui pornografi] apa yang dipahami adalah aspek erotisnya dan aspek kesenangan, bukan pada aspek bagaimana keamanan, kesehatan, etika, dan sebagainya [dalam seks]” ujar Alimatul.
Alimatul berkata salah satu dampak dari nihilnya pendidikan seksual komprehensif di kelompok remaja Indonesia adalah mereka rentan menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual. Bahkan, mereka belum tentu menyadarinya karena ketidaktahuan itu sendiri.
Laporan Komnas Perempuan tahun 2021 merangkum dari 8.234 total pelaporan kasus di 120 lembaga layanan, 6.480 di antaranya adalah kekerasan di ranah personal; 1.309 kasus adalah kekerasan dalam pacaran; dan 954 kasus adalah kekerasan terhadap anak perempuan.
Komnas Perempuan menekankan tingginya angka kekerasan terhadap anak perempuan itu karena minim pendidikan seksualitas di masyarakat-masyarakat Indonesia, dari lingkungan keluarga hingga sekolah. Click To TweetGisella Pratiwi, psikolog dari Yayasan Pulih, menjelaskan faktor yang mendorong seseorang menjadi pelaku kekerasan seksual sebetulnya kompleks, bisa bersifat internal maupun eksternal. Faktor eksternal di antaranya kekosongan edukasi seksual yang malah diisi pornografi. Terlebih saat konten porno itu justru memperkuat mitos bias gender.
“Paparan pornografi tanpa penjelasan seperti itu, termasuk paparan konten seksualitas yang mengandung kekerasan, mungkin selain nggak menunjukkan ada konsensual juga menggambarkan relasi seksual yang kurang setara dan tidak sehat,” ujar Gisella.
Dampaknya, jelas Gisella, bisa membentuk persepsi kurang tepat mengenai relasi seksual yang setara dan sehat, di dalamnya termasuk relasi seksual yang konsensual, di kalangan remaja. Idealnya, ungkap Gisella, informasi mengenai relasi setara dan sehat didapatkan melalui edukasi seksualitas yang komprehensif.
Pemerintah Mengaku Melakukan Edukasi Seksual
Saat kami bertanya mengenai masalah kekosongan edukasi seksual di kalangan remaja Indonesia dan peran pornografi yang menggantikannya, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi berkata pemerintah terus melakukan pendekatan edukasi.
“Edukasi pencegahan yang komprehensif diberikan kepada remaja umum melalui, misalnya, kampanye Aku Bangga Aku Tahu. Kemudian sosialisasi ke anak SMA untuk mengetahui tentang HIV dan IMS (infeksi menular seksual) serta pencegahannya,” ujar Nadia.
Kementerian Kesehatan menyedikan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) untuk kesehatan reproduksi, tambah Nadia, termasuk di dalamnya edukasi seks.
Sementara Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Jumeri, berkata Kementerian Pendidikan tengah menyiapkan panduan-panduan untuk edukasi seksualitas dan kesehatan reproduksi.
“Rencana sosialisasi ke kabupaten atau kota sesuai tugas fungsi direktorat,” ujarnya. “Kami juga melakukan webinar-webinar. Masih sebatas itu. Materi buku panduan bisa diunduh.”
Saat kami bertanya apa upaya Kemendikbud supaya edukasi seksual bisa diterima masyarakat ketika perkara sepenting dan seprioritas ini masih ditabukan, dan adakah koordinasi antara Kemenkes dan Kemendikbud dalam pemberian edukasi seks untuk remaja, Jumeri tak menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
‘Perlu Edukasi Seksual Sejak Dini’
Alimatul Qibtiyah dari Komnas Perempuan menjelaskan edukasi tentang seksualitas perlu dilakukan sejak kecil, bahkan saat usia di bawah lima tahun, dengan penjelasan secara bertahap.
Contohnya, penjelasan pada usia balita adalah jenis-jenis sentuhan yang orang lain berikan kepadanya, misalnya menyampaikan mana yang termasuk sentuhan baik atau buruk atau jahat. Tujuannya, agar anak mengetahui saat dirinya mengalami atau akan mengalami kekerasan seksual dan apa yang perlu dilakukan.
Dengan begitu, Alimatul menekankan pentingnya pemberian edukasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi dari sekolah dan orangtua kepada anak maupun remaja.
“Jadi, pendidikan seksualitas dibutuhkan agar remaja, atau siapa pun itu, tidak menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual,” ujar Alimatul.*
*Nama asli Imel disamarkan demi perlindungan narasumber
Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #PendidikanSeksual tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi di kalangan anak muda yang didukung oleh program fellowship jurnalistik dari Rutgers WPF Indonesia.