Bukan Lagi Baru dan Tabu: Perempuan Papua Bersolidaritas Saling Dukung Kesehatan Menstruasi

22 menit
Partisipan workshop Menstruasi Sehat melakukan latihan pertahanan diri sederhana yang membiasakan tubuh agar tetap waspada. Salah satu gerakannya adalah cara melepaskan genggaman tangan. (Project M/Kristina Soge - CC BY-NC-ND 4.0)

Menstruasi menjadi proses alamiah bagi tubuh seseorang yang memiliki rahim. Proses menstruasi melambangkan kesuburan seseorang yang seharusnya menjadi momen berharga dan dirayakan. Namun, membicarakan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk menstruasi, masih banyak diacuhkan atau dianggap tabu.

*Reportase ini disusun untuk ikut mengenang salah satu narasumber, Mauri Wandikbo, yang meninggal dunia pada Juni 2023.


Pengalaman Menstruasi Pertama

SUARA LARI KAKI MELANI memecah kesunyian di rumah sederhana milik keluarga Sorabut di jantung Kota Wamena. Siang itu, hanya sang mama yang berada seorang diri di rumah, menunggu kepulangan anak-anaknya dari sekolah.

Tergesa Melani memasuki rumah, mengacuhkan mama lantas memburu kamar mandi. Seketika ia terkesiap menatap nanar pada celana dalamnya.

“Saya akan meninggal ini,” kata Melani dalam hati.

Ia membuka pintu kamar mandi, memanggil lirih mamanya dan menceritakan kekhawatirannya dengan haru. Sang mama justru bereaksi sebaliknya. Girang.

Mama menghilang sebentar ke kamarnya, mengambil sesuatu yang dibungkus plastik putih tipis.

“Mama tutup pintu kamar mandi rapat-rapat lalu ajar saya bagaimana caranya pasang di celana dalam. Mama juga bilang harus cuci bersih habis pakai pembalut baru dibuang,” imbuh Melani.

Membicarakan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk menstruasi, cenderung dianggap acuh atau tabu. Alhasil individu yang bermenstruasi kalut menemukan sekresi darah menstruasi pertama kali.

Rode Wanimbo di Jayapura, misalnya. Ia mengalami menstruasi pertamanya saat duduk di bangku kelas 6 SD.

“Ini kenapa? Saya tidak ada luka kok jadi berdarah. Panik. Waktu itu saya SD kelas 6,” kata Rode.

Sang mama luput mengajaknya berdiskusi terkait ihwal proses pubertas yang dilalui perempuan. Buatnya bukan menjadi soal, sebab mamanya belajar hal yang sama dari neneknya – bahwa perempuan belum punya kesempatan untuk belajar tentang ketubuhan, dibandingkan saat ini.

“Mama saya generasi pertama mengenal pendidikan, sampai SMP lalu menikah. Mereka juga sedikit sekali mendapatkan pengetahuan dan informasi. Sekarang pun perempuan muda masih terbatas informasi yang didapatkan, termasuk menghitung siklus menstruasi. Saya baru tahu kemarin ketika ikut workshop,” kata Rode melanjutkan

Vei, bukan nama sebenarnya, perempuan pelajar lain di Wamena terpaksa absen dari sekolah selama tiga hari, saking takutnya mengamati cairan berwarna merah mengalir di pangkal pahanya.

“Saya waktu itu duduk di kelas 3 SMP. Betul-betul bingung dan takut.. Kenapa bisa begini? Bagaimana jika darah keluar terus? Akhirnya saya pilih tinggal di rumah,” kata Vei.

Berdiam di rumah juga dilakukan pada Mauri Wandikbo, seorang mama yang usianya 16 tahun di atas Vei. Penggemar musik reggae ini mengakui pengalaman menstruasinya terasa amat menyakitkan di bagian perut bawahnya.

Mauri merupakan salah satu pengambil inisiatif yang mengorganisir perempuan Gereja Injili di Indonesia (GIDI) berpartisipasi dalam workshop kesehatan menstruasi dan menjahit pembalut kain di Wamena.

“Tiga hari saya hanya tidur di kamar. Saya tidak cerita tapi mama dan saudara-saudara perempuan datang, bawa makanan. Mungkin mereka sudah tahu tapi memang tidak tanya,” kata Mauri.

Sikap Kolektif Terhadap Menstruasi

Sikap diam mama dan saudara perempuan Mauri menjadi buntut dari reaksi umum masyarakat terhadap menstruasi.

Rode adalah anak perempuan pertama di keluarganya. Ia menghabiskan masa kecilnya di Wamena, lantas berpindah menuju ibukota Papua mengikuti sang ayah berkuliah. Pengalamannya peduli terhadap isu perempuan membangkitkan refleksinya terhadap budaya berdiam diri di honai selama menstruasi.

“[Saya] melihatnya dua sisi… perempuan jadi punya waktu untuk berdamai dengan dirinya, beristirahat di honai (rumah adat) selama 5-7 hari. Namun, di sisi lain, mungkin ia ada keinginan berinteraksi dengan orang lain, teman. Mau jalan tapi dibilang masa kotor. Itu dianggap tidak layak karena menjalani hari-hari yang kotor,” kata Rode.

Rode menjadi salah satu kolaborator gerakan Perempuan Bantu Perempuan Pakai Pembalut Kain di Papua. Rode juga menjabat sebagai Ketua Departemen Perempuan GIDI.

Rode Wanimbo (tengah), salah satu kolaborator dalam gerakan Perempuan Bantu Perempuan Pakai Pembalut Kain di Papua, memanfaatkan jabatan strategisnya sebagai ketua Departemen Perempuan GIDI dengan membantu sesama perempuan dan anak perempuan mendapatkan akses edukasi terkait tubuh, kesehatan reproduksi dan menstruasi. (Project M/Narriswari – CC BY-NC-ND 4.0)

Secara saintifik, darah menstruasi sesungguhnya terbentuk dari jaringan dan sel yang terkelupas di lapisan endometrium. Kita belajar melihat menstruasi sebagai sesuatu yang hina atau kotor, seperti perenungan Rode.

Dulu, perempuan di komunitas adat terdekat dari Rode bahkan dilarang untuk beraktivitas di sungai, sementara di perkampungan akses air bersih justru dari aliran kali terdekat.

Temuan berbeda tentang menstruasi muncul dalam salah satu sesi pertemuan di Nabire. Kedatangan menstruasi pertama dalam budaya Suku Mee menyimbolkan masa depan dari seseorang melalui mimpi.

Sikap dan dukungan dari keluarga bergantung pada mimpi anak perempuan yang ia alami di malam-malam menstruasi pertama. Si ahli tafsir, yakni tetua adat perempuan lantas akan menerjemahkan mimpinya. Apabila mimpi buruk, maka keluarga membantu mengupayakan agar hal tersebut tidak terjadi di masa mendatang.

Pdt. Matheus Adadikam, satu dari dua laki-laki yang berpartisipasi dalam pelatihan itu mengatakan bahwa pengalaman menstruasi semakin mengerdilkan peran perempuan dan anak perempuan dalam adat.

“Ada rumah adat yang khusus laki-laki, perempuan, apalagi sedang menstruasi dilarang ke sana karena dalam pemahaman adat akan membuat pertentangan. Misalnya, mereka mau pergi mencari (berburu) mereka bisa gagal. Di kampung-kampung bahkan perempuan yang sedang menstruasi tidak bisa campur dalam komunitasnya,” kata Matheus.

***

Saat itu hari Minggu. Jeremina Kio di usia remaja pergi beribadah. Setibanya di gereja, sang mama justru memintanya kembali ke rumah. Celana putihnya di bagian belakang ternodai warna merah.

Mamanya berbisik, “Eh ko pulang.. ko pulang! Pergi cari ko pu anak (keponakan)!”

Ia kebingungan, tapi mematuhi anjuran mama untuk pulang dan menemui Ame, keponakannya. Jarak usia antara Jeremina dan Ame tidak begitu jauh, namun pengalaman menstruasi Ame lebih awal sehingga ia langsung sigap membantu Jeremina.

Sembari memasang produk pembalut yang dibeli dari kios terdekat pada celana dalam Jeremina, Ame menjelaskan bahwa sebagai perempuan ia akan mengalami menstruasi tiap bulannya.

Para perempuan yang mengalami menstruasi bahkan kerap enggan membicarakan kondisi mereka. Ketika memang terpaksa membicarakannya harus berbisik-bisik atau lebih baik tidak sama sekali. Kata paling sering muncul adalah “sedang halangan” atau sekadar menyebut menstruasi sebagai sesuatu yang amat liyan, yakni “itu.”

Di Papua, mereka lebih fasih mengatakan “Ot-sus” ketimbang “mens-tru-asi” meski bukan bagian dari tubuhnya.Click To Tweet

Jeremina mengakui sempat merasa aneh menceritakan pengalaman menstruasinya dalam sebuah forum publik, berhadapan dengan orang-orang yang beberapa diantaranya tidak ia kenali.

“Tapi saya begitu lihat semua perempuan bercerita, kita jadi belajar terbuka,” kata Jeremina, yang pernah mengikuti pertemuan edukasi Menstruasi Sehat dan Menjahit Pembalut Kain di Jayapura tahun 2020.

Ketika Perempuan Saling Membantu Perempuan

Seorang perempuan lanjut usia buru-buru mengangkat tangannya, meski bersusah payah. Ia duduk di bangku paling belakang, ditemani seorang perempuan lebih muda. Rupanya ia kesulitan berdiri karena kakinya membengkak akibat penyakit gula. Ketika microphone masuk dalam genggaman tangannya, ia mulai bertutur lantang.

“Ini dulu, sejak saya bertugas sebagai bidan tahun 1980-an, menstruasi jadi materi yang tersembunyi dan baru sekarang diangkat. Ibu-ibu sekalian, kita tidak boleh tabu bicara menstruasi. Barang ini milik kita sendiri,” katanya.

Workshop Menstruasi Sehat dan Menjahit Pembalut Kain merupakan bagian dari gerakan kolaborasi Perempuan Bantu Perempuan Pakai Pembalut Kain di Papua yang diusung oleh Biyung, Kewita, Perempuan GIDI, Bentara Papua, dan Elsham Papua sejak tahun 2020-2023.

Beberapa wilayah yang pernah disambangi adalah Sorong, Sorong Selatan, Pegunungan Arfak, Jayapura, Nabire, dan Wamena. Kongkalikong makin suam dengan keterlibatan 455 perempuan dan anak perempuan sebagai partisipan.

Bermula dari pertemanan, gerakan ini meluas secara organik. Dana untuk membiayai perjalanan keliling pun didapatkan melalui sokongan publik. Prinsip pada slogan “Perempuan Bantu Perempuan” nyatanya bukan hanya merangkul individu yang terlibat secara langsung dalam program workshop, juga masyarakat umum.

Westiani, fasilitator dari Biyung, mengajak partisipan mengkritisi sebuah pernyataan “anak yang sudah menstruasi boleh menikah.” Reaksi dari partisipan beragam. Sebagian menyetujuinya dan lainnya tidak. (Project M/Kristina Soge – CC BY-NC-ND 4.0)

Kehadiran Biyung di Tanah Papua melalui proses yang tidak instan. Persahabatan dua perempuan yang pernah sekelas di bangku SMP kembali terhubung membicarakan peluang bekerja sama ini. Mereka adalah Westiani dan Rosa Moiwend. Menggunakan jejaring pertemanan dan kerja, keduanya mempromosikan inisiatif dengan menawarkan produk jualan, mulai dari sepaket pembalut kain hingga baju sulaman karya tangan Westiani.

“Waktu itu, Ani ada lihat bapa (saya) punya karya lukisan tanaman. Bentuknya seperti rahim. Lalu sama Ani dibikin sulaman,” tutur Rosa.

Dua tahun kemudian impian keduanya terwujud. Kehadiran pelatihan ini membuat pembalut kain disambut antusias oleh jaringan perempuan di Jayapura. Momen ini mempertemukan Biyung dengan Perempuan GIDI, yang spontan melibatkan diri dalam gerakan Perempuan Bantu Perempuan Pakai Pembalut Kain di Papua.

Melalui gerakan Perempuan Bantu Perempuan Pakai Pembalut Kain, perempuan yang bermenstruasi bisa membantu sesama dengan memberikan bahan (kain) atau donasi senilai harga satu paket pembalut kain. Upaya ini bertujuan untuk mengakhiri period poverty, yakni keterbatasan akses mengelola kesehatan menstruasi melalui pendidikan hak kesehatan seksual dan reproduksi, penyediaan produk menstruasi, dan sanitasi.

Jalinan berlanjut dengan pelaksanaan workshop lainnya dan gagasan pembentukan kelompok produksi di Oksibil. Informasi beredar meluas, gayung bersambut dari jaringan di luar Papua. Dana mulai mengalir dari Nona Woman, sebuah organisasi yang juga fokus memberikan akses pendidikan menstruasi dan memasarkan produk menstruasi yang lebih menyehatkan.

Melalui sebuah program Giving Months di perayaan Natal dan Tahun Baru, Nona Woman menyumbang 3000 potong pembalut kain. Sebuah yayasan bernama Nabung Donasi pun berkontribusi mendukung gerakan ini dengan menyumbang uang sebesar Rp14 juta. Selain itu, Dokter Tanpa Stigma, penggerak lainnya, ikut mengajak ikatan alumni kedokteran UNAIR berdonasi lewat kegiatan secara daring. Dalam kurun waktu beberapa jam, uang senilai Rp1.320.000 terkumpul. Giat kolaborasi ini merambah penggunaan platform Kitabisa.com sehingga sumbangan publik dapat terakomodir.

Pendapatan dari ragam dukungan dana bermuara pada pendistribusian pembalut kain kepada kelompok perempuan pengungsi politik dari Nduga yang diproduksi oleh sekelompok Perempuan GIDI di Oksibil.

Akibat konflik politik yang tak kunjung usai, perempuan Nduga harus menanggung kerugian, bukan hanya kesehatan secara fisik dan mental tapi juga terkait sistem reproduksinya. Mereka kehilangan akses akan sumber pangan, kesejahteraan, hingga manajemen kesehatan menstruasinya.

Rode mengungkapkan jumlah perempuan dan anak perempuan pengungsi konflik politik tersebar di beberapa daerah, di antaranya Pegunungan Oksibil, Puncak Jaya, Wamena, Intan Jaya, hingga ke perbatasan Papua Nugini. Akses untuk mencapai wilayah pengungsian memakan biaya besar sehingga donasi pembalut kain terbatas ke tiga wilayah, yakni Oksibil, Puncak Jaya, dan Intan Jaya.

Proses produksi dan pendistribusian dilakukan oleh jaringan Perempuan GIDI, namun Rode menolak menamakannya secara khusus.

Baginya, memberikan bantuan kemanusiaan tidak harus melihat denominasi gerejanya, “Tapi kita sedang sama-sama menghadapi situasi sulit maka kita berbagi bersama karena memang perempuan membantu perempuan!”

Usai pemerintah mencabut status pandemi Covid-19, Biyung bersama Perempuan GIDI mengorganisir perjalanan kembali pada tahun 2022. Pelaksanaan pelatihan edukasi menstruasi sehat dan menjahit pembalut kain yang semula direncanakan hanya di dua wilayah, Sentani dan Wamena, menggiurkan komunitas dan organisasi lainnya.

Elsham Papua, sebuah lembaga studi dan advokasi hak asasi manusia menyambut solidaritas yang dikabarkan oleh Parapara Buku, perpustakaan komunitas dan toko buku. Lebih dari sepuluh perempuan merespon dan bersedia berpartisipasi. Antusiasme yang mengemuka tak sebanding dengan biaya bahan dan alat menjahit pembalut kain, maka butuh keterlibatan pihak lainnya.

Berbekal pertemanan, Biyung dan Parapara Buku lantas menghubungi seorang staf Elsham, namanya Ani Sipa. Dalam sekejap Elsham menyanggupi kolaborasi.

“Ini memang pertama kali Elsham terlibat dalam kegiatan terkait kesehatan reproduksi, terutama menstruasi sehat. Namun saya rasa ruang untuk perempuan belajar seksualitas dan kesehatan reproduksi tidak berlebihan. Itu sesuatu yang seharusnya mereka dapatkan tanpa bersusah payah,” tutur (Pdt.) Matheus mengungkapkan alasan menyanggupi tawaran kolaborasi.

Membicarakan dan Mendengarkan Menstruasi

Gagasan pembalut kain sebagai media untuk membuka ruang bicara menstruasi berawal dari keluhan sekelompok perempuan di Padukuhan Kelor Kidul, Gunung Kidul, Yogyakarta, terhadap harga satu paket pembalut kain yang ditawarkan Biyung.

Tahun 2018, sepaket pembalut kain dijual oleh Biyung dengan harga Rp100.000, angka yang bagi sebagian orang lebih baik dihabiskan untuk kebutuhan lainnya.

Mereka lalu bersiasat, meminta Biyung untuk mengajari cara pembuatannya. Alhasil, selain gratis mereka turut membangkitkan evaluasi personal Biyung.

Di sisi lain, perempuan kerap ditunjuk menjadi salah satu penyumbang sampah melalui penggunaan pembalut sekali pakai.

Westiani Agustin, Direktur Biyung, menjawab persoalan tersebut dengan mengajukan pembalut kain sebagai salah satu solusi menghentikan polusi sampah. Namun, apabila solusi justru tidak aksesibel, hanya dapat dijalani oleh sekelompok orang maka tak berarti apapun.

Seorang partisipan workshop Menstruasi Sehat, menggambar pola potong untuk menjahit pembalut kain. Workshop diadakan Suara Grina dan Organisasi Perempuan Adat (ORPA) Namblong di kampung Benyom. (Project M/Narriswari – CC BY-NC-ND 4.0)

Westiani menjelaskan sesi perkenalan bertujuan sebagai pemantik pembicaraan menstruasi. Tidak sedikit wajah meragu timbul ketika mendengar metode perkenalan menggunakan tanya jawab terhadap teman sebelahnya tentang nama, judul lagu yang disukai, dan cerita pengalaman menstruasi pertama. Mereka mengakui, itu kali pertama kata ‘menstruasi’ bebas dikatakan dan didengarkan di depan umum.

Bisa jadi, menurut Westiani, kekikukan partisipan pelatihan menceritakan ulang pengalaman menstruasinya secara publik dan menggunakan pengeras suara juga ditengarai minimnya keterlibatan mereka dalam pertemuan.

“Dalam pertemuan desa atau sosialisasi pada umumnya, mereka dilibatkan sebagai peserta saja. Mereka diundang untuk hadir, tapi sampai sana hanya duduk, mendengar,” kata Westiani.

Pertemuan publik memungkinkan perempuan untuk sejenak menyisihkan beban pekerjaan rumah tangga sekaligus bersua dengan teman-teman. Undangan yang menghadirkan perempuan sebatas pengisi daftar absen tetap disambut dengan semangat, sekadar duduk melepas penat.

Format kegiatan yang kaku, misalnya mengikutsertakan perempuan sebagai partisipan pasif justru mengurungkan keberanian berlatih berbicara di depan umum.

Metode pembelajaran yang partisipatif menjadi corak tersendiri dalam pelatihan ini. Memasuki ruang pelatihan, partisipan sudah mendapatkan sekantong paket alat bahan pembalut kain, spidol, dan buklet dua lembar berisi panduan pembuatan dan perawatan pembalut kain serta ilustrasi siklus menstruasi yang digunakan untuk berlatih menghitung siklus menstruasi, termasuk penjelasan tiap fasenya.

Mata berbinar dari partisipan menyambut proses unboxing kantong berisi alat dan bahan untuk menjahit pembalut kain. Satu persatu, Westiani mengenalkan nama-nama peralatan, disongsong celetukan dari beberapa partisipan yang sudah terlebih dahulu mengenalnya. Ada benang, jarum jahit, pendedel, mata nenek, empat bahan kain, dan contoh pembalut kain ukuran panty (kecil).

“Wah.. kalau warna begitu saya mau! Cantik-cantik sekali..,” partisipan saling melempar komentar sembari menatap lekat-lekat terhadap deretan bahan kain yang digunakan, lantaran bercorak atau bermotif terang.

“Orang bisa tanya-tanya… eh, mama ada jemur kain apa itu? Bukan lagi disebut kain kotor,” celetuk partisipan lainnya.

Pelatihan berlanjut dengan belajar menghitung siklus menstruasi, yang dipertegas oleh Biyung sebagai bagian dari siklus hidup. Rode menarik kesimpulan dari partisipan pelatihan bahwa pengetahuan tentang menghitung siklus menstruasi baru pertama kali mereka dapatkan.

Siklus menstruasi merupakan periode antara hari pertama menstruasi terakhir menuju menstruasi berikutnya. Dalam satu siklus menstruasi dapat berlangsung selama 28 hari. Durasinya amat beragam, bisa kurang atau lebih dari 28 hari, tergantung individu yang mengalaminya. Selama siklus berjalan, tampak fase-fase yang menyiratkan polah tingkah seseorang.

“Ada yang pernah mengamati, anak perempuan di rumah tiba-tiba dandan cantik, ada anyam (kepang) rambut macam-macam gaya… Baru kita sebagai mama keluar kata-kata, “Ih cakadidi apa (genit)?” Padahal bisa jadi dia sedang ada di fase ovulasi karena merasa bergairah dan ingin menata diri sebaik mungkin,” kata Westiani.

Penjelasan ini memicu senyum malu dari wajah para mama. Mereka mengiyakan pernah menyaksikan anak perempuan di rumah sekonyong-konyong mempercantik diri.

Berlatih menghitung siklus menstruasi merupakan salah satu sesi wajib dalam workshop Menstruasi Sehat yang difasilitasi oleh Biyung. Menghitung siklus menstruasi membantu individu untuk mengetahui kapan menstruasi berikutnya dan memetakan fase-fase tubuh sehingga dapat menentukan bentuk dukungan terhadap diri sendiri. (Project M/Narriswari – CC BY-NC-ND 4.0)

Rode menyambung, “Saya juga baru tahu kalau perempuan itu punya dua otak. Semua peristiwa yang terjadi dalam kita punya diri ternyata direkam oleh rahim. Kita perempuan itu unik. (Pada situasi perempuan sedang hamil) harus hati-hati karena apa yang kita pikirkan, rasakan, dan sikap kita terhadap orang lain karena direkam oleh janin.”

Perempuan lantas menyadari kelincahan mereka mengerjakan dua atau tiga pekerjaan sekaligus dalam satu waktu merupakan bagian dari keistimewaan individu berahim karena kepemilikan sistem kerja ganda yang dikelola otak dan rahim.

Pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti pelatihan tidak berhenti pada partisipan, tetapi membantu sesama perempuan lainnya di luar lingkaran pertemuan. Para mama yang terlibat lantas menyelidiki kembali pengalaman mereka hidup dengan anak-anak perempuan.

Pembalut Kain: Usang dan Solusional

PEMBALUT KAIN bukan temuan baru. Butuh penelusuran jeli siapa penciptanya, mungkin saja sesungguhnya malah dikonkretkan oleh perempuan lalu berkembang dengan masing-masing inovasinya sesuai konteks wilayah.

Perempuan yang terlibat dalam pelatihan menunjukkan ragam reaksi terhadap pembalut kain, tapi bukan ketakjuban akan sesuatu yang mutakhir. Mereka jamak mengenalnya sebagai duk atau “kain kotor.” Istilah duk, menurut Rosa yang melacaknya melalui sang mama, dipromosikan oleh misionaris.

Rupanya duk diterima dengan hangat. Selain proses penyebarannya melalui ajaran agama, komposisi bahan pembalut kain mudah didapatkan oleh perempuan kendati lokasi tinggalnya jauh dari perkotaan.

Febe Mabel, seorang tenaga kesehatan yang kerap bertugas di kampung-kampung Pegunungan Jayawijaya, mengungkapkan perempuan kini jauh lebih mengenal pembalut sekali pakai, padahal jauh dari akses perdagangan produk-produk pabrikan. Maka dalam sehari penuh mereka bisa hanya menggunakan satu pembalut sekali pakai.

Ia mengkhawatirkan pemakaian pembalut sekali pakai justru makin memperkuat kerentanan perempuan-perempuan di kampung mengalami infeksi di bagian genital, bahkan berujung infertilitas.

Hal ini ditengarai oleh minimnya informasi dan pengetahuan terkait produk pembalut sekali pakai, meskipun bukan hanya dialami perempuan di perkampungan – bahkan juga perkotaan.

“Kenapa kok pihak produsen pembalut ini tidak pernah memberi tahu konsumennya kalau ternyata bahan-bahan pembalut yang mereka bikin berbahaya?,” gugat seorang ibu dalam pelatihan di Sentani, September tahun lalu.

Kegeramannya muncul seketika mendengar pemaparan dari tim Biyung perihal komposisi pembalut sekali pakai yang mengandung bahan pemutih dan hasil daur ulang kertas untuk menurunkan biaya produksi sepadan dengan harga penjualan.

Usai terpapar informasi utuh tentang komposisi pembalut pabrikan membangkitkan komitmen Jeremina beralih pada pembalut kain. Berulang ia mendengar pengalaman perempuan terdekatnya yang mengalami infeksi kesehatan reproduksi, seperti ruam, gatal, hingga infertilitas, akibat penggunaan pembalut pabrikan. Buatnya, memakai pembalut kain membuatnya lebih kritis dan peduli terhadap tubuh maupun lingkungan.

Selain itu, penggunaan pembalut kain membuatnya berhemat banyak untuk tidak mengikuti godaan iklan pembalut sekali pakai yang menawarkan beragam kategori, misalnya day, night, berbau sirih, bersayap atau tanpa sayap. Konon tiap bulan ia harus membeli dua jenis pembalut pabrikan.

“Saya harus beli yang malam sendiri, yang pagi sendiri. Sudah beli mahal, baru iritasi dan gatal-gatal!” kata Jeremina.

Febe, sementara itu, mengatakan sejak menstruasi pertama, ia belajar tidak menggunakan pembalut sekali pakai. Sang mama angkatnya sudah mengenalkan pembalut kain berbahan dasar kain perban yang diisi kain lalu dijahit tangan. Febe pernah tergiur menggunakan pembalut sekali pakai, tapi rasanya kurang nyaman.

Ia mengeluh hal serupa dengan Jeremina, “Saya tidak tahu pasti bahan-bahannya apa tapi rasanya tidak nyaman, bikin gatal. Kalau pakai pembalut kain itu hemat biaya, meminimalisir pengeluaran.”

Dua partisipan mempraktikkan cara membalik pembalut kain agar bagian kain katun yang digunakan sebagai permukaan pertama menampung darah menstruasi berada di posisi luar. Mereka berasal dari kampung Ayapo, sebuah kampung apung di tengah danau Sentani, dan tertarik mengikuti workshop antara lain karena prihatin terhadap kampung yang mulai terancam polusi sampah. (Project M/Narriswari – CC BY-NC-ND 4.0)

Jika membandingkan dengan produk manajemen kesehatan menstruasi lainnya, pembalut kain merupakan teknologi yang usang. Namun, keputusan memilih pembalut kain adalah kuasa individu atas dirinya.

Jeremina dan Febe, sebagai perumpamaan, yang menolak merasa tidak nyaman atau infeksi akibat pemakaian pembalut sekali pakai. Selain itu, Jeremina menggunakan pembalut kain sebagai upayanya menjaga kelestarian lingkungan dari sampah pembalut sekali pakai.

Pembalut kain berkaitan erat dengan kebutuhan air bersih untuk mencucinya. Partisipan pelatihan dari Wamena dan Oksibil mengakui cukup kesulitan mendapatkan air yang tidak berwarna dari sumur.

Di Oksibil, warga menyiasatinya dengan membangun tangki-tangki air penadah hujan sehingga dapat dimanfaatkan untuk mencuci ataupun mandi. Sementara di kota Wamena, Febe membiasakan menguras bak mandi karena ia mempercayai endapan air yang terlalu lama berpotensi menjadi sarang bakteri berkembang biak.

Bantuan pembalut kain untuk perempuan dan anak perempuan pengungsi konflik politik di Papua secara seksama dipilah. Dengan berat hati, Perempuan GIDI menjangkau wilayah pengungsian dengan akses air yang cukup untuk mendukung penggunaan pembalut kain.

Akses air bersih sesungguhnya menjadi kebutuhan bersama, bukan hanya gender tertentu. Melalui kampanye menstruasi sehat menggunakan media pembalut kain, Biyung menyelipkan pesan tuntutan terkait kewajiban penyediaan sanitasi yang sewajarnya menjadi tanggung jawab komunal.

“Sanitasi bagian dari advokasi kita. Penyediaan sanitasi wajib dilakukan pemerintah sehingga mempermudah air bersih untuk pembalut kain, terutama di Tanah Papua. Kamu (pemerintah) bilang ada program-program pembangunan di Papua tapi hasilnya mana.. Karena ini berkaitan dengan tuntutan pemenuhan HKSR juga,” Westiani menandaskan.

Keluarga sebagai Agensi Seseorang Mengenal Tubuh

“Saya punya anak perempuan dua, mereka memang masih kecil-kecil tapi sekarang saya lebih siap untuk ajak mereka bicara soal masa yang akan mereka lalui ke depan,” komentar seorang ibu dari Oksibil, namanya Romauli Situmorang.

Romauli merupakan penanggung jawab untuk kelompok produksi pembalut kain pertama di Papua. Usai keterlibatannya dalam pelatihan tahun 2020, ia tekun membagikan pengetahuannya di kota asalnya dengan menggandeng kelompok perempuan sekitar rumah, gereja maupun Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A).

Apabila seseorang telah mengantongi bekal pengetahuan tentang tubuhnya lebih awal, maka ia jauh lebih siap menghadapi situasi beragam mendatang.

Meri, seorang pegawai di kota Wamena diam-diam mempelajari proses menstruasi melalui kebiasaan tantenya merendam celana dalam hingga bersih dari noda darah.

“Waktu itu saya sempat tanya, ‘itu kenapa?’ lalu mama adek (sebutan untuk adik dari mama) jawab, ‘ini perempuan punya.. Nanti umur-umur berapa juga akan dapat.’ Jadi pas saya dapat, tidak kaget. Saya tahu ini yang namanya menstruasi,” kata Meri.

Membenarkan peribahasa “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya,” pun dengan tradisi pewarisan antar-perempuan untuk mengatur proses alamiah bulanan. Saya sendiri mengenal pembalut kain sebagai produk manajemen menstruasi pertama. Perjumpaan kami melalui ajaran ibu saya, yang diwariskan oleh nenek.

Ibu saya menampilkan pembalut kain buatan sendiri dari potongan kain katun putih dan dilipat layaknya lumpia, isinya handuk kecil lalu ujung atas dan bawah dibikin jalur untuk tali pinggang. Pemakaiannya mirip dengan cawat. Sementara nenek saya mendemonstrasikan pembalut kain menggunakan sisa-sisa kain jariknya yang menua, penuh motif.

Mama dari Rosa mengajarkan pada kedua anak perempuannya untuk bersiaga membawa handuk kecil tiap pergi sekolah sebagai pertolongan pertama ketika menstruasi datang tiba-tiba.

Tiap keluarga memiliki cara tersendiri untuk menyediakan ruang ramah untuk saling belajar mengandalkan dan mengeluh. Pdt. Matheus menyampaikan pengalaman personalnya dalam keluarga dengan mayoritas didominasi perempuan.

“Saya belajar mendukung dan membantu kakak perempuan justru mulai dari keluarga. Bikin kue… main mainan yang disebut mainan perempuan itu saya kuasai. Kepedulian terhadap kesetaraan sebetulnya sudah tumbuh sejak kanak-kanak,” katanya.

Sejumlah suku di Papua menubuhkan tradisi inisiasi terkelompok, yaitu perempuan dan laki-laki. Inisiasi dilakukan ketika seseorang mulai menginjak masa akil balik sehingga anggota keluarga berjenis kelamin sama menemani secara intensif, yang dapat berlangsung selama beberapa hari dan bertempat di satu rumah khusus.

Salah satunya kewita, istilah untuk menyebut rumah perempuan dalam budaya Suku Mee. Tutur Rosa, kewita menjadi ruang personal bagi perempuan – mulai dari nenek hingga perempuan termuda untuk belajar kehidupan sebagai sosok perempuan. Mereka bisa berlatih membuat noken, berkebun, memasak, mengelola kekuasaan dalam politik kesukuan, termasuk memahami pengetahuan tentang tubuh.

Prinsip rumah kewita sebagai tempat untuk belajar, mengajar, dan saling membantu menginspirasi Rosa melakukan hal serupa dalam bentuk organisasi dengan nama yang sama.

Bagaimana Laki-laki Dapat Terlibat dalam Diskusi Menstruasi Sehat

April 2022, sebuah percekcokan hangat memecah kesunyian kampung Sira di kabupaten Sorong Selatan. Pasalnya, kelompok perempuan yang terdiri dari 30 mama dan perempuan muda menolak keras kehadiran laki-laki dalam workshop edukasi menstruasi sehat dan menjahit pembalut kain.

“Eh.. Tidak! Laki-laki tidak boleh ikut di sini!” bantah seorang mama, diikuti penolakan lainnya.

Asal muasalnya, beberapa laki-laki sempat datang menyambut rombongan Biyung dan Bentara Papua lalu membantu mempersiapkan ruangan untuk pelaksanaan workshop. Usai persiapan, sebagian dari mereka tinggal di suatu pojok ruangan, mungkin berharap dapat bergabung. Westiani lantas menanyakan kepada partisipan mengenai kemungkinan keterlibatan kelompok laki-laki dalam workshop, yang dengan cepat dibalas dengan protes oleh mama-mama.

Resistensi ini sangat beralasan. Pihak Bentara Papua menyampaikan kepada Westiani bahwa ruang pertemuan bagi perempuan di kampung Sira tidak pernah ada. Ketika kelompok perempuan mendengar adanya peluang berkegiatan dan berbicara tentang kesehatan reproduksi, kegembiraan mereka menjadi eksklusif.

“Selama ini acara kampung dan adat selalu yang diundang laki-laki. ini satu bentuk upaya mereka keluar dari kotak mereka,” kata Westiani.

Menutup sesi workshop Menstruasi Sehat, Westiani dari Biyung menunjukkan gerakan yoga untuk mengurangi kram menstruasi. Salah satunya, child pose, yang membantu otot dan tulang pinggul lebih rileks. Westiani menjelaskan child pose membantu keterhubungan otot rahim dan pinggul sehingga membantu melancarkan aliran darah dan energi apana saat menstruasi. Dalam yoga, energi apana berarti mengalir ke bawah dan keluar. (Project M/ Narriswari – CC BY-NC-ND 4.0)

Cerita tersebut mengingatkan saya pada pengalaman serupa ketika terlibat dalam pelatihan di sebuah gereja GIDI di Kota Wamena. Sembari menunggu kedatangan teman lainnya, tim Biyung bersama Perempuan GIDI berbincang dengan beberapa partisipan dan seorang pendeta laki-laki, bernama Niko Mabel.

Kehadirannya sebagai laki-laki satu-satunya sempat memicu keraguan dari partisipan untuk ikut berdiskusi. Biyung dan Perempuan GIDI mengupayakan pertemuan awal sebagai jembatan menuju sesi workshop, maka obrolan yang mengemuka terkait situasi kesehatan reproduksi perempuan di Wamena.

(Pdt.) Niko tampaknya menyadari suasana kaku dalam ruangan dipicu olehnya, dengan perlahan beliau berpamitan keluar.

Tema kesehatan reproduksi memang lekat pada gender tertentu, meskipun persoalan sistem reproduksi dapat dialami semua gender. Namun, pada konteks wilayah yang menunjukkan lemahnya pengalaman aktual perempuan untuk memiliki ruang aman berbicara, maka penyelenggaraan pelatihan seperti ini menjadi peluang yang harus direbut oleh individu bermenstruasi.

Selain itu, menciptakan ruang aman untuk berbicara ketubuhan bagi perempuan mustahil dilakukan oleh segelintir orang atau kelompok tertentu, butuh simpul yang beragam dan pengeras suara untuk mendengungkan, misalnya para pemilik wewenang. Salah satunya dari pengalaman personal ibu Romauli terhadap suaminya.

Sebagai seorang pendeta, suaminya mendayagunakan posisinya untuk mendukung kerja sang isteri dalam mengkampanyekan menstruasi sehat. Saat berperan membuka workshop menstruasi sehat dan menjahit pembalut kain yang difasilitasi mandiri oleh ibu Romauli, beliau menggarisbawahi bahwa kita tidak boleh menutup telinga mendengarkan informasi tentang tubuh maupun malu membicarakannya.

Sedari awal, gerakan kolaboratif Perempuan Bantu Perempuan Pakai Pembalut Kain di Papua terwujud berkat ketekunan dua sahabat, yang bertumbuh bersama teman lainnya. Namun, proses untuk merawatnya menciptakan jejaring kepedulian lintas denominasi gereja maupun fokus isu kelembagaan.

“Perempuan Papua harus selamat! Tapi tangan saya pendek. Saya berharap ada lebih banyak orang bersemangat meneruskan kerja-kerja ini… Kalau pemerintah konek (responsif), hal seperti ini cepat ditanggapi..,” tutup ibu Romauli.


Editor: Ronna Nirmala

Artikel ini adalah bagian dari serial #PendidikanSeksual dan menggunakan lisensi CC BY-NC-ND 4.0.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
22 menit