Konservatisme di Indonesia membuat edukasi seks yang komprehensif jadi barang tabu. Dampaknya, perempuan muda yang paling merasakan.
Gloria merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Hari itu, badannya terasa jauh lebih mudah lelah daripada biasanya, payudaranya sakit, putingnya mengeluarkan cairan. Setiap paginya, ia merasa sangat mual, seperti ada sesuatu yang menekan secara keras dari arah perut ke diagfragmanya hingga membuatnya batuk-batuk. Ia juga sempat mengalami demam.
“Aku gak pernah merasa sakit seperti itu sebelumnya,” ingat Gloria.
Saat itu, Gloria berusia 17 tahun. Ia tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri. Gloria merupakan siswa yang aktif di sekolahnya. Ia mengikuti sejumlah ekstrakurikuler yang membutuhkan kebugaran fisik, seperti Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibra) dan pecinta alam. Beruntungnya, di titik itu, ia baru saja melewati Ujian Nasional (UN) sehingga tak perlu terlalu banyak menghadiri kegiatan ekstrakulikulernya.
Gloria memiliki jadwal haid yang rutin. Di titik itu, ia menyadari bahwa jadwal haidnya sudah terlambat datang. “Aku langsung mikir, bisa jadi hamil ini”.
Gloria cukup cepat untuk berpikir bahwa perubahan fisik yang dialaminya kemungkinan besar disebabkan kehamilan. Pengetahuan tersebut bukan datang karena ada yang mengajarinya. Ia tak pernah mendapatkan edukasi seksual atau kesehatan reproduksi sama sekali hingga usia tersebut. Pengetahuan itu justru didapatkan karena sejak di bangku Sekolah Dasar (SD), ia sudah melihat beberapa temannya dikeluarkan dari sekolah karena hamil. Bahkan, kejadian terakhir justru menimpa teman dekatnya sendiri, Riri. Mereka sekelas selama tiga tahun di SMA. Riri hamil tepat menjelang UN. Perbedaannya, Riri tidak menyadari dirinya hamil sama sekali. Ia mengira mual-mual yang dialaminya selama sebulan terakhir hanyalah karena masuk angin atau terlalu lelah.
“Aku realistis aja karena aku ngeliat gimana temanku [Riri] yang KTD [kehamilan tidak diinginkan] dan melanjutkan itu. […] Karena emang udah sering juga dengar KTD di lingkungan aku, jadi aku langsung kayak ‘enggak ini harus langsung dicek dan nggak boleh ada denial’. Karena semakin cepat ya semakin bisa memiliki keputusan tanpa tergesa-gesa,” kisah Gloria ke Project Multatuli melalui sambungan telepon pada Sabtu (10/7/2021).
Pembahasan seputar seks masih sangat tabu di lingkungan Gloria tumbuh, yakni di Bogor. Namun, kasus seputar kekerasan seksual dan KTD merupakan hal yang terasa dekat dan familiar dalam ingatan Gloria sejak kecil. Jadi di satu sisi, para remaja aktif melakukan aktivitas seksual. Di sisi lain, pemahaman seputar seks, seperti konsekuensi, keamanan, termasuk upaya untuk mengakses alat kontrasepsi, seperti kondom, masih sangat tabu.
Bagaimana jika saat membeli, mereka menanyakan umur? Bagaimana jika ada yang melihat lalu melaporkannya ke keluarga? Bagaimana jika ada yang melihat lalu menjadikannya bahan gosip? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menghantui pikiran Gloria saat ia membayangkan dirinya membeli kondom.
Di Indonesia, mayoritas masyarakatnya yang konservatif menganggap hubungan seks di luar pernikahan adalah dosa. Dokter dan bidan sering kali menghakimi perempuan yang berkonsultasi mengenai kesehatan reproduksi jika mereka belum atau tidak menikah sehingga pil pencegah kehamilan tidak mudah diakses.
Kondom, sebuah alat sederhana yang bisa melindungi orang dari kehamilan tak diinginkan dan penyakit menular seksual, sebenarnya mudah sekali diakses bahkan di wilayah semi rural sekalipun. Tetapi keyakinan di masyarakat menganggap kondom sebagai pintu masuk kegiatan dosa sehingga secara kultural banyak orang, bahkan yang sudah menikah sekalipun, enggan membeli kondom di mini market. Pejabat pun kerap menebalkan tabu dengan merazia mini market yang berjualan kondom meski menjual kondom bukan pelanggaran hukum.
Mitos-Mitos Pengguguran
Gloria gelisah untuk segera mengetahui apa yang terjadi pada tubuhnya. Ia mengecek urinnya menggunakan test pack yang selama ini dia simpan untuk jaga-jaga. Hasilnya, dua garis merah. Positif hamil.
Gloria segera menelpon kekasihnya, Ari, untuk mengabari, “Ari, ini tadi aku tes, dan ada garis dua. Kira-kira gimana ya?”.
Saat itu, Ari sudah berusia 24 tahun. Ia meminta Gloria untuk mengirimkan foto hasil tes yang memiliki garis dua. Selepas melihat fotonya, Ari langsung mengajak Gloria untuk bertemu secara langsung di luar rumah. Dalam pertemuan tersebut, Gloria pun menyampaikan keinginannya, “aku nggak mau lanjutin ini, tapi masalahnya harus gimana?”
Ari langsung memaparkan sejumlah opsi, mulai dari memberikannya nanas hingga minuman bersoda, yang mana di kemudian hari, Gloria mengetahui bahwa cara-cara tersebut hanyalah mitos untuk menggugurkan kandungan. Namun, saat itu, ia menerima semua tawaran pacarnya.
“Kita nyoba beli sekotak nanas, terus ngemil gitu di depan mal. Aku suka nanas, tapi ini sampai lidah berdarah, lecet,” ujar Gloria mengingat betapa banyak nanas yang ia konsumsi hari itu.
Usaha tersebut gagal. Ia tak kunjung menstruasi. Akhirnya, Gloria meminum minuman bersoda dalam takaran yang banyak. “Aku nggak suka minuman bersoda jadi kayak ew, udah manis, terus karbonasinya itu bikin mules. Ini sih namanya nyakitin diri sendiri,” kisah Gloria.
Riri, yang sudah mengandung janin sekitar 4 bulan, menyarankan Gloria untuk segera mengeceknya ke dokter. Namun, agar tak ketahuan atau mendapatkan stigma, Riri menyarankan agak memalsukan umur dan bilang bahwa statusnya sudah menikah. Gloria pun menjalankan saran dari Riri.
Gloria mendatangi rumah sakit dalam keadaan gugup karena lokasinya berdekatan dengan sekolahnya, tetapi ia tak memiliki pilihan lain. Ia mengikuti langkah-langkah yang disarankan Riri, seperti mengaku usianya sudah 21 tahun, serta Ari adalah suaminya.
“Untungnya, nggak ditanyakan KTP”.
Saat dicek, ternyata kandungannya sudah berusia hampir dua bulan. Gloria melihat bahwa Ari sangat panik dan terlihat sangat bingung dalam menjalani situasi tersebut. Gloria justru mencoba untuk terlihat tenang di depan Ari. Ia menahan segala kebingungan dan emosinya agar situasi tidak semakin runyam.
“Aku justru merasa paniknya kalau lagi sendiri,” ingatnya.
Dalam keadaan sendiri, segala pikiran muncul dalam kepalanya, kenapa kehamilan ini terasa sangat menyakitkan? Apakah perlu untuk memberitahu ibu? Ini pasti bisa melukai hati ibu. Bagaimana dengan persiapan tes untuk masuk kuliah? Bagaimana dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler? Bagaimana dengan kegiatan komunitas? Termasuk pikiran terkait ketidakyakinan Gloria atas hubungannya dengan Ari. Rasanya, ia tak pernah benar-benar bahagia dalam relasi tersebut.
Namun, tak banyak waktu untuk memikirkan semua itu. Gloria langsung mengambil tindakan lanjutan selepas serangkaian saran dari Ari yang tidak berhasil. Ia mencari obat untuk menggugurkan kandungannya di internet. Pilihan yang muncul cukup banyak. Ia tak yakin untuk memilih mana yang asli dan mana yang penipuan.
“Terus, kita coba tembak satu waktu itu. Waktu dicek, ya untungnya banget waktu itu bukan tipu-tipu. Akhirnya, dikirim tuh. Barangnya nyampe ke kosan mantanku,” kisahnya.
Keesokannya, Gloria langsung menggunakan pil tersebut di pagi hari, tak lama selepas ibunya pergi dari rumah. Ia menjalani segala prosesnya seorang diri. Memasuki pukul 11 siang, ia mulai merasakan kontraksi dan rasa sakit yang luar biasa. “Aku nggak nyangka kalau sesakit itu. Rasanya kayak ditonjok”.
Gloria juga merasa sangat mual. Ia minum air putih secara terus-menerus untuk mengurangi rasa mualnya. Sekitar pukul 2 siang, mulai keluar jaringan yang luruh dari dalam rahimnya. Ia mengalami pendarahan selama beberapa lama. Di tengah kondisi tersebut, ibunya pulang. Gloria langsung pura-pura seolah tak terjadi apa-apa. Namun, wajahnya terlalu pucat untuk menutupi keadaannya. Ibunya langsung menanyakan, “kenapa wajahmu pucat banget?”
Gloria hanya membalas, “hari pertama menstruasi”.
Permasalahan tak benar-benar selesai di sana. Gloria tak sepenuhnya memahami apa yang sebetulnya terjadi pada tubuhnya. Setidaknya selama tiga bulan, beberapa kali ada semacam jaringan yang keluar dari vaginanya.
“Jadi bebannya adalah kesehatan sendiri pasca melakukan prosedur berbahaya yang seharusnya pakai tenaga profesional, tapi karena sendiri dan dipenuhi ketidaktahuan tuh menyebalkan kan, dan membuat cemas dalam jangka waktu panjang,” ungkap Gloria.
Impian Kandas Satu Per Satu
Sementara, di sisi lain, teman dekatnya Gloria, Riri, memilih jalur yang berbeda, yakni melanjutkan kehamilan. Saat itu, Riri lebih banyak mengurung dan menyakiti diri sendiri karena membayangkan masa depannya yang harus terputus. Ia akan memiliki bayi. Ia akan menjadi seorang ibu. Ia tak siap untuk menjadi seorang ibu.
“Kalau keputusanku sendiri sih, waktu itu, sebenarnya nggak mau, maunya digugurin, tapi orang tuaku nolak, dan orang tua dari partner-ku juga nolak. Jadi mau nggak mau, ya nikah,” kisah Riri.
Kejadian tersebut telah terjadi lima tahun yang lalu. Kini, Riri telah berusia 22 tahun. Ia hidup bersama suami, anak, dan mertuanya. Namun, apa yang terjadi di usia 17 tahun tersebut telah banyak mengubah hidup Riri. Hingga saat ini, ia merasa bahwa dirinya belum benar-benar siap baik secara mental, maupun ekonomi.
“Sampai sekarang juga mental aku tuh masih nggak bagus gitu, nggak sehat gitu. Kayaknya itu tuh berdampak banget ke anak aku,” ujar Riri ke Project Multatuli saat dihubungi pada Selasa (13/7/2021).
“Aku tuh jadi lebih sering marah-marah jadi kalau ada masalah dari luar itu kenanya ke anak. Malah kadang anak jadi protes ke aku, ‘Mama kenapa sih marah-marah terus?’ Ya, mungkin sebenarnya karena saking nggak siapnya punya anak dan menjalankan rumah tangga kayak gini”.
Riri merasa kehilangan banyak hal karena ketidaktahuannya mengenai hubungan seksual yang aman sewaktu masih sekolah, termasuk impiannya. Semasa sekolah, Riri sudah mulai merencanakan hidupnya. Ia ingin melanjutkan pendidikan di ilmu administrasi fiskal. “Dulu tuh, aku pengen kuliah, terus pengen kerja. Aku pengen jadi orang kaya,” ujarnya sembari tertawa.
Riri membayangkan dirinya menjadi perempuan karier dan mandiri secara finansial. Kala itu, pernikahan belum menjadi bagian dari impiannya. Riri juga ingin menjalani masa kuliah dengan menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermain dengan teman-temannya.
“Punya plan [sewaktu masih sekolah], makanya pas tau hamil kaya, ‘hah? Gimana nih?’” ujarnya sembari mengingat momen di mana impiannya kandas satu-persatu.
Keseharian yang kini dijalankan Riri jauh berbeda dari apa yang ia bayangkan. Ia tak bisa untuk segera melanjutkan kuliah selepas SMA karena harus mengurus pernikahan, hingga proses melahirkan. Selepas melahirkan pun, fokusnya berpindah untuk mengurus bayinya.Click To Tweet“Waktu-waktu masih muda yang kayak hilang aja gitu buat main. Kayak, temenku ada yang bisa main sampai larut, tapi aku gak bisa, harus pulang cepat. Sama, aku masih pengen ngerasain apa yang ada di luar sana,” kisah Riri.
Selain mengurus anak, Riri juga mengurus suaminya yang memiliki masalah dalam kesehatan mental. Riri bolak-balik ke rumah sakit untuk mengantar suaminya berobat. Suaminya pun tak dapat bekerja, maupun kuliah, karena masalah mental yang dihadapinya.
Di sela-sela waktunya mengurus keluarga, Riri bekerja paruh waktu sebagai bidan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya. Pendapatan Riri dari pekerjaannya sekitar Rp300.000 hingga Rp500.000 setiap bulannya. Jika sedang banyak yang melahirkan, maka pendapatan terbanyaknya adalah Rp.1.000.000/bulan.
“Benar-benar finansial aku tuh ancur makanya masih di-cover sama keluarga partner. Kalau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ya sama mertua”.
Sekali pun pilihan yang akhirnya diambil oleh Gloria dan Riri berbeda, tetapi bagi keduanya, melewati KTD di usia anak, merupakan beban yang berat. Keduanya pun berharap setidaknya memiliki bekal pengetahuan mengenai seksualitas dan akses untuk pelayanan kesehatan reproduksi yang lebih baik sewaktu remaja agar hal tersebut tidak terjadi.
Hasrat Seksual Mulai Muncul, Pengetahuan Minim
Kisah Gloria dan Riri merupakan bagian fenomena yang masih menggunung di Indonesia. Angka KTD meningkat hingga sekitar 420 ribu (17.5%) saat memasuki pandemi Covid-19. Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), KTD yang ditemukan pada kategori usia 15-19 tahun mencapai 16 persen.
Ketua BKKBN Hasto Wardoyo mengakui bahwa angka KTD masih terhitung tinggi di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah masih kurangnya edukasi seksual dan kesehatan reproduksi di kalangan remaja.
“Perilakunya semakin maju, bagaimana cara kontak seksual mereka semakin maju, usianya semakin maju, semakin mengenal sexual intercourse, dan sebagainya, tetapi pengetahuannya tidak maju […] inilah yang sangat menyedihkan, sehingga unwanted pregnancy menjadi angka-angka yang lambat menurunnya, sementara di global, ada penurunan yang signifikan,” ujar Hasto dalam Pertemuan Ilmiah Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi (KR) secara virtual pada Senin (28/6/2021).
“Anak-anak yang memiliki informasi mencukupi soal kesehatan reproduksi justru lebih terhindar dari perilaku berisiko,” tambahnya.
Dalam pertemuan ilmiah yang sama, Peneliti dari United Nations Population Fund (UNFPA) Margaretha Sitanggang menjelaskan bahwa saat orang memasuki usia remaja, mereka memang umumnya memiliki keingintahuan yang tinggi atas hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. Hal tersebut pun merupakan fenomena yang normal.
“Periode remaja adalah masa saat hasrat seksual dan keinginan untuk memulai hubungan romantis dimulai, dan ini adalah suatu perkembangan yang normal. Sayangnya, masih banyak remaja di Indonesia yang tidak memiliki bekal yang cukup untuk melindungi diri mereka dari risiko terhadap kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman, perkawinan anak, pelecehan dan kekerasan seksual, dan penyakit menular seksual (IMS), seperti HIV,” jelas Margaretha.Click To TweetMargaretha juga menegaskan bahwa edukasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi merupakan hak bagi setiap remaja. “Setiap negara wajib memenuhi hak kesehatan remaja, termasuk informasi kesehatan seksual dan reproduksi,” tegasnya.
Ketidaktahuan masalah kesehatan reproduksi, termasuk melakukan hubungan seksual yang berisiko, seperti tidak menggunakan pengaman, memiliki efek domino yang panjang, termasuk di antaranya adalah KTD dan penularan IMS. KTD pun memiliki beberapa dampak lainnya, di antaranya adalah aborsi tidak aman, tingginya angka kematian ibu dan anak, anemia pada ibu hamil, malnutrisi pada ibu hamil dan janin, bayi lahir prematur, berat bayi lahir rendah, stunting, hingga pernikahan anak.
Pendiri Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Ninuk Widyantoro juga menjelaskan bahwa edukasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi kerap kali masih terbentur banyak hal, salah satunya adalah nilai-nilai moral dan agama. “Hambatannya adalah nilai-nilai lagi. Kemudian nilai-nilai yang sempit, ketidakseimbangan gender, dan itu diperkuat kadang-kadang oleh interpretasi agama, budaya,” jelasnya.
Pembahasan soal seksualitas menjadi sangat tabu karena dipandang sebagai hal yang “kotor” dan “dosa”. Dampaknya, jelas Ninuk, edukasi kesehatan reproduksi kerap kali menghapus bagian tentang “seks” itu sendiri. “Gimana caranya bicara soal kehamilan tidak diinginkan, bicara soal IMS, tapi gak mau bicara soal seksnya?” tanyanya.
“Padahal kan kalau gak mau tertular IMS atau HIV, ada dua pilihannya. Satu, gak perlu berhubungan seks sama sekali. Kedua, kalau tetep mau berhubungan seksual, pakai kondom. Hanya kondom yang dapat mencegah IMS,” tegas Ninuk.
Ketabuan ini tak hanya berasal dari nilai-nilai, norma, atau penggunaan agama di masyarakat, tetapi juga diperkuat oleh pemerintah melalui sejumlah kebijakan di daerah yang mempersulit akses terhadap alat kontrasepsi, khususnya kondom. Bahkan, aparat juga beberapa kali melakukan penggerebekan atau penyitaan terhadap penjualan kondom. Salah satunya adalah penyitaan kondom yang dilakukan dengan alasan untuk mencegah seks bebas di kalangan anak muda saat perayaan tahun baru di Makassar.
Tak ketinggalan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun turut berkontribusi, salah satunya melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas. Pasal 414 dalam RKUHP menjelaskan tentang ancaman pidana bagi, “orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak”.
Namun, terdapat pengecualian yang diatur dalam pasal 416, yakni apabila yang memberikan adalah “petugas yang berwenang”, atau “relawan yang kompeten yang ditugaskan oleh Pejabat yang berwenang”.
Dalam analisis Peneliti dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Riska Carolina, pasal tersebut bisa memperkuat hambatan dalam pemberian informasi edukasi kesehatan reproduksi. “Pasal ini bahkan bisa mempidanakan orang tua apabila memberikan informasi alat pencegahan kehamilan sebagai bekal,” tulisnya.
Tak hanya itu, pasal tersebut juga akan menghambat banyak program pemerintah, termasuk program keluarga berencana, program edukasi kesehatan reproduksi dan program penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV dan AIDS. Dalam implementasinya, ketiga program tersebut dapat dipromosikan dan diedukasikan oleh setiap lapisan masyarakat, seperti guru, orang tua, jaringan ibu-ibu PKK, kader kesehatan, tokoh agama dan tokoh masyarakat.
“Pasal ini secara jelas akan mengkerdilkan upaya penanggulangan kesehatan yang hanya dapat dilakukan oleh petugas berwenang,” jelas Riska dalam analisisnya.
Saat dikonfirmasi mengenai pasal tersebut, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyampaikan bahwa ia memang telah mendengar dan membahas kekhawatiran tersebut. Dengan itu, mereka memberikan pengecualian terhadap “petugas berwenang” sebagaimana yang diatur dalam pasal 415.
“Memahami pasal ini memang tidak bisa dengan kerangka berpikir dan budaya barat. Ini KUHP Indonesia yang mesti consider Indonesian culture,” ujar Arsul kepada Project Multatuli saat dihubungi pada Rabu (21/7/21).
Pornografi Mengisi Kekosongan Edukasi Seks
Saat edukasi seksual tak dihadirkan baik oleh sekolah, atau orangtua, apalagi malah ditabukan, maka beberapa remaja memilih untuk mempelajarinya secara otodidak dari sumber alternatif yang lebih mudah untuk diakses di internet, pornografi.
Begitu pula yang terjadi pada Gloria. Gloria pertama kali menonton video pornografi justru karena dikerjai oleh temannya di Sekolah Dasar (SD). Salah satu teman Gloria meminjam telepon genggam Gloria dan memasangkan subscription atau langganan video pornografi. Saat Gloria menontonnya, ia bertanya-tanya, kegiatan apa yang dilakukan oleh orang di video tersebut.
“Jadi aku dari awal emang udah in a wrong way untuk mengenal seksual,” ungkap Gloria.
Ketika memasuki usia SMP dan SMA, Gloria baru mulai belajar secara otodidak dengan cara membacanya di internet. Namun, artikel-artikel yang umumnya ditemui dalam media massa pun hanya membahas seputar tips dan trik dalam hubungan seksual, hingga teknik-tekniknya.
Gloria justru tak menemukan hal-hal yang menurutnya penting untuk diketahui oleh dirinya saat remaja, seperti soal persetujuan dalam hubungan seksual atau consent, bentuk-bentuk kekerasan seksual, hubungan toksik, kekerasan psikologis, pentingnya penggunaan kontrasepsi atau kondom, hingga informasi seputar pelayanan kesehatan reproduksi.
Begitu pun selama menjalani hubungan dengan Ari, Gloria tak tahu bahwa segala kegelisahan yang ia alami sebetulnya dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual dan psikis. Ia terperangkap dalam hubungan toksik tersebut selama tiga tahun. Ia baru memahami itu saat sudah masuk kuliah dan mendapatkan lingkungan kampus yang terbuka untuk membahas masalah-masalah tersebut.Click To TweetSetelah mulai memahami dan mendapatkan edukasi seksual yang lebih komprehensif, Gloria kembali memutar balik ingatannya sejak awal dekat dengan Ari, termasuk ke ingatan yang paling melekat tentang kisah awal dari hubungan mereka.
Gloria sempat membantu Ari untuk pindah kosan. Selepas kosannya sudah rapi, Gloria hendak pulang, tetapi Ari menahannya. Mereka berdua pun berakhir berbincang cukup lama di sana. Namun, di sela-sela itu, Ari secara tiba-tiba mulai memegang tubuh Gloria. Gloria sempat mendorong, tetapi Ari tetap melakukannya. Gloria merasa risih, tetapi tak paham harus melakukan apa. Jadi, ia memilih untuk membiarkannya.
“Bahkan dia pernah jatuhnya kayak memperkosaku waktu tidur di bulan puasa. Jadi menyebalkan banget,” ujarnya dengan nada kesal.
Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, definisi kekerasan seksual adalah perbuatan seksual yang bertentangan dengan kehendak seseorang, salah satunya ketika orang tersebut tidak mampu memberikan persetujuan. Dengan definisi ini seseorang yang sedang tidur termasuk keadaan tidak bisa memberikan persetujuan.
Tak berhenti di sana, Ari kerap kali terus membujuk rayu apabila ditolak untuk berhubungan seksual. Akhirnya, Gloria sempat memberikan seks hanya karena bingung bagaimana cara untuk menolaknya.
Namun, dari semua kumpulan pengalaman tak menyenangkannya dengan Ari, Gloria merasa paling sulit untuk memproses fakta bahwa saat itu dirinya masih masuk dalam kategori usia anak, sementara Ari sudah dewasa, sehingga perilaku yang Ari lakukan tak lain adalah pemerkosaan terhadap anak.
Gloria menyadari bahwa hubungannya dengan Ari sebetulnya tidak menyenangkan. Namun, saat itu, Gloria masih trauma dengan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya sewaktu kecil. “Jadi aku merasa tidak berharga, dan merasa rusak, merasa gak utuh, dan dia memanfaatkan itu”.
Ari terus meyakinkan Gloria bahwa dia akan melindungi dan memberikan yang terbaik untuknya. Sementara, yang dirasakan Gloria, justru Ari sebatas menginginkan seks darinya. Namun, saat Gloria meminta untuk putus, Ari malah menyampaikan bahwa tidak akan orang ada yang bisa bertahan bersama Gloria.
“Aduh, aku pengen nampar banget aku yang dulu!” ujarnya sembari jengkel mengingat betapa naif dirinya kala itu.
Gloria memang tak memiliki banyak pengalaman dalam relasi romantis. Tak pernah pula ada yang menyampaikan bagaimana hubungan romantis yang ideal. Ia juga bukan tipe orang yang menceritakan masalahnya ke orang. Namun, ada satu titik di mana Gloria sudah benar-benar tidak kuat dengan perilaku Ari. Ia sempat menceritakan masalahnya ke salah satu teman sekolahnya. Reaksi teman sekolahnya justru menormalisasi apa yang dilakukan Ari.
“Temanku adalah orang yang juga punya hubungan toksik. Jadi menurut dia, itu adalah hal yang wajar. Jadi aku kayak, oke ini satu hal yang wajar dan masih bisa dimaklumi,” ujarnya.
Lagi-lagi, Gloria menyesal karena tak memahaminya banyak hal yang dialaminya. Ia merasa harus belajar tentang relasi, hingga seksualitas, dengan cara yang menyakitkan, tanpa pernah ada yang benar-benar memberitahukannya.
“Aku pernah jokes gitu waktu lagi kesel sama dia [Ari]. Aku jokes, ‘lo kalau mau macem-macemin gue, bisa gue laporin karena grooming anjir. Udah gitu bikin hamil gue lagi’. Tapi tentu saja itu adalah jokes karena enggak mungkin. Itu kejadiannya sudah lama, dan buktinya apa, dan balik lagi, stigma terhadap perempuan itu lebih besar daripada laki-laki”.
Norma-Norma yang Bertentangan
Ketidaktahuan yang Gloria alami bukanlah fenomena individu, melainkan masalah yang juga sempat disinggung dalam penelitian kolaborasi yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Rutgers WFP Indonesia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak muda di Indonesia harus mencari jalan mereka sendiri di tengah norma-norma yang berkonflik.
Di satu sisi mereka menganggap seks sebelum menikah adalah dosa, tapi di sisi lain mereka mengakui memiliki keinginan berhubungan seks juga wajar sebagai manusia. Di tengah norma-norma yang saling bertentangan, ketiadaan edukasi seks yang menyeluruh membuat anak muda mencari-cari informasi secara diam-diam dan salah satu informasi yang mudah diakses, terlepas dari sensor ketat, adalah bahan-bahan pornografi.
Penelitian ini menemukan bahwa pengetahuan minim tentang seks mendorong terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual.
“Nah, remaja kadang tidak memahami seperti itu, sehingga yang dipahami aspek erotisnya dan aspek kesenangan [dari pornografi], bukan pada aspek bagaimana keamanan, kesehatan, etika, dan sebagainya,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah kepada Project Multatuli saat dihubungi pada Kamis (15/7/2021).
Menurut Alimatul, salah satu dampak yang bisa terjadi saat kelompok remaja tidak memiliki pendidikan seksual yang komprehensif adalah mereka rentan menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual. Mereka juga belum tentu menyadarinya, sebagaimana yang dialami oleh Gloria.
Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2021), terdapat sebanyak 79% atau 6.480 dari 8.234 total pelaporan kasus di 120 lembaga layanan adalah kekerasan di ranah personal (KDIP). Kekerasan dalam pacaran (KDP) menempati sekitar 20% atau 1.309 kasus, sementara kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) menempati posi 15% atau 954 kasus dalam porsi tersebut.
*Nama asli Gloria, Ari, dan Riri disamarkan untuk perlindungan narasumber
Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #PendidikanSeksual tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi di kalangan anak muda yang didukung oleh program fellowship jurnalistik dari Rutgers WPF Indonesia.