Kisah Pinggiran dari TPPAS Burangkeng: Mandi Air Lindi, Menghirup Bau Hingga Sesak di Paru-Paru

Mawa Kresna
26 menit
Sampah TPPAS Burangkeng di Kabupaten Bekasi mengepung rumah Abah Soin. (Project M/Alfian Putra Abdi)

SYARIFUDDIN dongkol melihat air lindi mengepung rumahnya. Air lindi keluar dari Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Burangkeng, mengalir deras, terdorong hujan lebat beberapa saat lalu.

Air lindi adalah cairan yang buruk paripurna, hasil pembilasan beraneka ragam sampah; itu berwarna hitam, berminyak, berbusa, dan berbau.

Tubuh ceking Syarif mondar-mandir dari teras ke ruang tengah dengan wajah gusar. Ada telepon pintar di tangannya yang berurat, seolah ia akan menghubungi seseorang tapi tak kunjung dilakukan. Zulpan, bocah tujuh tahun, anak kedua Syarif, mengintil langkah sang bapak.

“Yang jadi masalah, saya mau komplainnya sama siapa. Kita minta ama orang TPA, TPA nyerahin ke ini-inu-ini-inu, kagak kelar-kelar,” kata Syarif kepada saya pada suatu sore (16/5/2022) di kediamannya, Kampung Jati, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi.

“Pinginnya saya saluran air dirapiin lagi. Cuma tinggal dari sononya, mau atau tidak.”

TPPAS Burangkeng berdiri sejak 1995 dan satu-satunya TPPAS bagi 2,8 juta penduduk (Dinas Dukcapil Kab. Bekasi 2020) Kabupaten Bekasi. Terletak di Desa Burangkeng dan berdekatan dengan TPA Sumur Batu dan TPA Bantar Gebang.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 12 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi Tahun 2011-2031, luas area TPPAS Burangkeng tercatat sekitar 11 ha. Terbagi dalam empat zona pembuangan: Zona A, B, C dan D, yang selalu penuh sampah.

Sejak 2008, TPPAS Burangkeng kelebihan muatan. Luas ketika itu hanya 7,6 ha dan terjadi pelebaran seluas 5.000 m2. Pada 2014, kapasitas TPPAS kembali membludak. Dan tim pelaksana teknis hanya bisa menata ulang sampah menjadi pegunungan.

Dalam periode 2019-2020, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat kenaikan jumlah sampah di TPPAS Burangkeng.

Pada 2019, timbulan sampah harian mencapai 1.814,94 ton dan tahunan 662.451,28 ton. Setahun kemudian, timbulan sampah harian naik menjadi 1.900,24 ton dan tahunan 693.586,51 ton. Sementara daya tampung mereka hanya 600-800 ton per hari.

Rumah Syarif berjarak 200 meter dari gerbang tunggal TPPAS Burangkeng, dan hanya dua belas langkah untuk mendaki gunung sampah.

Sebagian gunungan berpola terasering dan sudah bersemak, itu tanda sampah lama. Sisanya masih acak-acakan dan aktif menjadi zona buang.

Ketika kami berbincang gerimis tipis turun tanpa kesejukan. Tak ada petrikor. Hidung saya malah terasa panas, tersengat bau sengit; kombinasi antara bau plastik demek, besi berkarat, dan tanah yang apak.

“Beda dengan kondisi hujan normal, kaga kecium gasnya gini. Apalagi saya punya anak kecil,” sambat Syarif.

Syarif meminta saya menunggu sampai malam tiba untuk merasakan perubahan hawa; saat bau busuk di luar berpindah ke dalam rumah dan mereka sekeluarga kewalahan. Tapi saya tak yakin mampu bertahan lebih lama di sana.

“Apalagi saya setiap hari, 24 jam. Anak saya tinggal di sini,” kata Syarif.

Dalam kondisi bau gas, Syarif dan keluarga sulit tidur nyenyak. Bisa memejamkan mata saja sudah untung. Ia mengakali dengan tiga buah kipas angin, yang terpasang nyala serentak. Untuk membuyarkan bau gas keluar rumah.

“Masuk ke napas aja beda. Kadang pintu kita buka, jendela kita bolongin, biar sirkulasinya masuk,” kata Syarif.

Air lindi mengalir deras dari gunung sampah di sisi kiri rumah Syarif. Syarif membuat tanggul sederhana, agar aliran tidak sampai ke depan rumah.

Namun hujan lebat barusan menjebol tanggul. Air lindi meluber ke depan rumah dan mengalir ke ujung jalan masuk. Meski ia sudah menambah level ketinggian tanah di halamannya, tetap saja Syarif khawatir air naik.

Syarif mengajak saya melihat bagian belakang rumah. Saya masuk melalui pintu depan, melewati ruang tengah yang minim barang tapi banyak lalat nongkrong di lantai dan tembok. Maymunah, istri Syarif sedang sibuk memasak sembari mengurus anak ketiga mereka, usia balita.

“Lihat,” kata Syarif di ujung pintu belakang. “Dapur saya bikin jadi gudang sampah. Udah kagak kepake.”

Sebagian area belakang rumah Syarif tergenang lindi sedalam lima hingga sepuluh sentimeter. Ada kemasan makanan ringan, bumbu masak, mi instan, kopi siap seduh, dan kantong plastik mengambang. Ruangan itu remang dan bau kaos kaki basah.

Dari arah pintu, kepala Maymunah nongol, setengah berteriak ia berkata, “Kalo udah gini air sumur ge kalo dinyalain, rembesan air limbah.”

Sudah sejak lama air sumur mereka tercemar lindi.

Sembari menggeleng-gelengkan kepala, Syarif berlekas-lekas menarik kaki ke depan rumah. Ia mau memperlihatkan sumber masalah kepada saya. Zulpan mengekor di belakang kemudian.

Di pinggir tanggul lindi, Syarif berhenti dan menggulung celana panjang bahan berwarna hitam sebatas dengkul. Seolah di depannya mengalir air paling jenih, ia mencemplungkan kaki tanpa ragu hingga betisnya tak lagi terlihat.

“Lompat saja,” Syarif enteng menginstruksikan saya. Zulpan tertambat di teras rumah. Syarif melarangnya ikut kami.

Syarif berhenti di pinggir gunung sampah. Telunjuknya mengarah segaris lurus menjauh. Pandangan saya menyertai arah telunjuk Syarif; hanya ada tumpukan sampah yang membentang, membentuk garis panjang dan selebar 1,5 meter. Seharusnya garis itu berfungsi sebagai saluran penampung air lindi ke sumur kontrol atau kolam leachate. Inilah biang keroknya.

Syarif sudah mengadu ke pihak UPTD TPPAS Burangkeng. Mereka sempat memeriksa. Tapi kondisi belum berubah sejak setahun terakhir.

“Emang itu saluran kecil, mau kita uruk pake cangkul ge jadi. Seharusnya mereka yang punya tangan, tanggungjawab, mereka punya kerjaan,” ujar Syarif.

Genangan air lindi yang mengepung rumah Syarif merupakan dampak tata kelola sampah yang buruk di TPPAS Burangkeng. Saat timbulan menggunung, sampah berpotensi longsor, kebakaran, dan bencana lainnya tinggal menunggu waktu saja.

“Semrawut. Kaga ada sistem pengawasan. Udah penuh pindah ke sana, pindah ke sini. Kebon abis digaruk longsor,” ujar Syarif menyoal pengelolaan TPPAS Burangkeng yang buruk.

Ruang belakang rumah Syarif yang semula dapur sekarang menjadi kubangan lindi. (Project M/Alfian Putra Abdi)

‘Moal Ada Yang Peduli Ge’

CARSA HAMDANI, Ketua Persatuan Pemuda Burangkeng Peduli Lingkungan (Prabu PL), berdiri di atas jembatan Jalan Pangkalan II—sekitar dua puluh meter dari gerbang TPPAS Burangkeng. Di depan Carsa, membentang Kali Burangkeng ke utara.

Lindi dari pegunungan sampah mengalir melalui parit-parit kecil di sekitar tepian dan menghitamkan Kali Burangkeng. Berbagai macam sampah menyembul dari dasar kali yang nyaris surut dan tertumpuk lumpur.

“Dulu tempat kita mandi. Awalnya bersih. Diminum masih enak. Sering kita berenang,” kenang Carsa. Ia lahir dan besar di Desa Burangkeng. Usianya kini tiga puluh tujuh tahun.

Carsa, melalui Prabu PL, membuat kajian mandiri terkait permasalahan di TPPAS Burangkeng. Laporannya sudah diberikan kepada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi saat audiensi pada 4 September 2021. Namun sampai sekarang belum ada tindak lanjut.

Ada beberapa persoalan yang Prabu PL sorot, antara lain: longsoran sampah ke tanah warga, tidak ada pengelolaan leachate dan gas sampah, instalasi pengolah air sampah (IPAS) tidak optimal dan berfungsi, sumur pantau minim, tidak ada uji laboratorium untuk baku mutu air lindi, pengobatan gratis dan mobil ambulans untuk warga tidak ada, tidak ada akses jalan alternatif warga, minim penghijauan di area TPPAS, nihil bantuan air bersih, ketiadaan tim pemantau dan evaluasi, dan teknologi pengolah sampah jauh dari ramah lingkungan.

“Moal ada yang peduli ge, sama masyarakat Desa Burangkeng,” Carsa kesal.

Siang (12/5/2022) itu, Carsa mengajak saya berkeliling ke beberapa titik vital TPPAS. Melihat kebobrokan dari dekat, katanya.

Kami mulai dari instalasi pengolah air sampah (IPAS) dan kolam leachate, letaknya di seberang kantor UPTD TPPAS Burangkeng. Sampah-sampah pakaian berhamburan di area pintu masuk.

Kondisi kolam leachate semrawut dan tidak aktif. Longsoran sampah menimbun kolam. Lindi meluber ke mana-mana.

Mestinya kolam bekerja dua puluh empat jam penuh, mengolah lindi hingga air membaik dan berpotensi dialirkan ke permukiman warga. Carsa bilang, kalau kondisi air sudah pulih, ikan pun mestinya bisa hidup di sana.

“Kalau gini siapa yang mau hidup. Laler juga mati nemplok situ,” lanjut Carsa.

Pengelolaan lindi memang buruk di sana. Di ujung utara TPPAS, saya melihat lindi tidak mengalir ke kolam leachate, melainkan ke kolam yang tidak kedap air dekat persawahan. Letak kolam agak sulit dijangkau, saya perlu memutar jalan dan melihat dari atas proyek Tol Cimanggis-Cibitung.

Perihal pengolahan lindi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya sudah menerbitkan Permen LHK Nomor P.59/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2016 tentang Baku Mutu Lindi Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan Tempat Pemrosesan Akhir Sampah. Isi aturan mewajibkan setiap TPPAS mengelola lindi: memantau kualitas air tanah, uji sampel air sumur pantau, dan melakukan analisa laboratorium.

Sayang sekali aturan pemerintah pusat tidak bersinergi dengan aturan pemerintah daerah. Peraturan Bupati Bekasi Nomor 53 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Persampahan tidak memuat beleid pengolahan lindi.

Carsa juga mengeluhkan area TPPAS dan permukiman terdekat warga yang minim pepohonan. Sehingga angin mudah membawa bau dan lalat-lalat sulit terkontrol ke permukiman warga.

“Penghijauan mesti dibanyakin, biar lalat nempel dulu di pohon. Sekaligus nyerap udara,” ujarnya.

TPPAS Burangkeng masih menggunakan sistem pembuangan terbuka atau open dumping, yakni sampah dibuang tanpa ada pengelolaan—sebagian dipilah pemulung dan diproses secara komposting—yang sudah dilarang dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

“Saya sebagai masyarakat, bicara menolak (TPPAS), yaudah mau gimana. Masyarakat sudah menerima, kita minta timbal balik pemerintah. Lakukan yang terbaik,” kata Carsa.

Sebelum tercemar lindi TPPAS, Kali Burangkeng memiliki air jernih yang menjadi sumber air minum warga. (Project M/Alfian Putra Abdi)

Sejak 2019, Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) sudah memprediksi TPPAS Burangkeng akan darurat sampah dalam dua tahun ke depan. Mereka mencatat, sampah yang baru masuk ke TPPAS sekitar 800-900 ton per hari atau sekitar 42-45 persen dari seluruh produksi sampah Kabupaten Bekasi.

Menyebabkan sebagian sampah berakhir ke titik pembuangan liar. KPNas mencatat terdapat 115 titik pembuangan liar di Kabupaten Bekasi.

“Kalau sistemnya model lama: kumpul-angkut-buang. Paling bertahan hanya dua sampai tiga tahun. Dibutuhkan teknologi pengelolaan sampah kapasitas skala menengah besar: 1500-2000 ton,” kata Ketua KPNas Bagong Suyoto kepada saya melalui sambungan telepon.

Prof. Enri Damanhuri, Pakar Teknologi Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan bahwa metode open dumping merupakan bentuk ketidakmampuan pemerintah mengelola sampah. “Itu hanya satu-satunya cara yang manusia bisa lakukan, alternatif terakhir, keterpaksaan. Bukan yang terbaik,” kata Prof. Enri kepada saya melalui sambungan telepon.

Perlu teknologi canggih untuk mengelola TPPAS, semisal dengan sistem refuse-derived fuel (RDF)—mengolah sampah menjadi sumber energi.

Menurut Prof. Enri sistem RDF bisa mengurangi gunungan sampah. “Paling tidak mengambil sampah yang ada di TPA. Jadi TPA bisa dipakai lagi.”

“Hanya saja biayanya mahal karena butuh pengeringan besar. Kabupaten Bekasi tak punya uang untuk itu.”

Kini, pegunungan sampah di TPPAS Burangkeng kerap menimbulkan persoalan lingkungan. Pada musim kemarau 2019, TPPAS kebakaran. Pemicunya gas metan yang keluar. Asap tebal menyelimuti permukiman warga.

Selain itu, antrean truk sampah kerap merusak akses jalan warga. Jalan menjadi macet, becek, bau, dan licin. Drainase sering pampat, jika hujan turun akan mengundang banjir datang.

Madih, Ketua RT01/03—yang wilayahnya mencakup area TPPAS, puyeng setiap ada warga komplain karena kesulitan mengakses jalan pulang akibat aktivitas TPPAS. Kadang warganya mesti memutar arah ke desa lain untuk bisa pulang ke rumah.

“Ban motor disikat rinso, baunya tetep nempel sebelom dua hari. Makanya warga ngeluhnya gitu, rumah juga jadi ikut bau,” kata Madih saat saya temui di rumahnya.

Beberapa kali Madih meminta pihak UPTD TPPAS Burangkeng berbenah. Mereka menuntut Pemkab membuatkan akses jalan alternatif, bantuan air bersih, dan jaminan kesehatan.

“Sekarang UPTD gak kerja, itungannya gitu. Gak ada penanganan sama sekali. Percuma banyak orang Pemda, sampah gak bisa dirapihin,” Madih jengkel.

Warga Desa Burangkeng tak pernah tinggal diam dan selalu berunjuk rasa.

Pada 2019, mereka menutup paksa TPPAS karena akses jalan rusak, tidak ada penerangan jalan, dan tidak ada saluran air. Setahun kemudian mereka kembali menutup paksa TPPAS, lantaran pembayaran uang kompensasi atau ‘uang bau’ telat sembilan bulan—mestinya dibayar per tiga bulan.

Saking kesal dengan tata kelola TPPAS, Kosim, warga Desa Burangkeng, pernah melakukan aksi protes seorang diri.

Sore itu hujan deras turun, drainase yang buruk menyebabkan Jalan Pangkalan II tergenang air yang sudah tercemar lindi semata kaki.

Kosim memarkirkan sepeda motor di tengah jalan. Ia mencuci si kuda besi dengan air genanganan hujan, yang tentu saja sudah tercampur lindi. Tak cukup, Kosim melepas pakaian. Ia mengguyur sekujur tubuh dengan air genangan.

“Kalo kaga digituin, gak bakal rapi. Ujan banjir, ujan banjir,” kata Kosim. Setelah itu, menurut Kosim, sempat ada perbaikan meski kondisi selalu kembali ke semula.

Kosim merupakan anggota Prabu PL, sekaligus petugas komposting di UPTD TPPAS Burangkeng. Sebagai putra daerah, ia merasa punya tanggung jawab moral untuk membenahi bijana.

“Kalo saya diem, kan, sama aja. Kalau kita nyaman buat diri sendiri, orang lain kasihan atuh,” ujar Kosim.

Kepala UPTD TPPAS Burangkeng, Jartoyo menolak memberikan komentar terkait tata kelola dan dampak TPPAS terhadap warga sekitar. Saya berulang kali menghubungi Jartoyo via pesan singkat, telepon, dan WhatsApp—terakhir ia memblokir nomor saya—tak ada respons. Saya juga mendatangi kantornya dua kali; pertama, Jartoyo tak ada; kedua, seorang ASN mengatakan Jartoyo sedang rapat entah di mana, ia hanya meminta saya meninggalkan nama dan nomor telepon di selembar kertas tanpa ada kelanjutan.

Antrian truk sampah di salah satu zona pembuangan TPPAS Burangkeng. (Project M/Alfian Putra Abdi)

Pu’un Mati Tumbuh Sampah

ABAH SOIN tidak pernah punya niatan atau sengaja memelihara kucing liar di rumah. Tapi kucing-kucing entah dari mana datang tanpa undangan, mencari sisa makanan di timbulan sampah. Adakalanya mereka menikmati sisa makanan keluarga Abah.

Abah kira banyak kucing akan terbebas dari kebadungan tikus. Perkiraan Abah meleset. Sebab selain lalat, tikus merupakan tamu tak diundang, yang rajin membuat onar di rumah Abah.

Seminggu lalu, stok padi Abah dibobol tikus atau biasa ia sebut santung. Karung padi dua belas kilogram bolong. Bulir-bulir padi berceceran di lantai ubin Abah yang adem. Sebagian padi rusak. Padahal itu stok untuk satu bulan.

“Kucingnya mah banyak, tapi kerjasama ama tikus, waduh, kucing makanin nasi, tikus makanin padinya, wah nggak bener ini mah,” kata Abah berkelakar kepada saya. Kami duduk di teras rumah Abah sembari melihat para pemulung menunggu gerobak motor datang.

Pernah juga ular bertandang ke rumah Abah. Sunih, anak bontot Abah yang lihat. Ia menduga sejenis kobra. Ukurannya sebesar tiang kipas angin. Ular menggeliat ke dalam pondasi rumah. Beberapa kali pemulung membantu mengevakuasi ular ke luar.

“Udah kaga keitung dah, ular yang masuk ke rumah sering banget. Untung si ular nggak jail,” kata Sunih.

Bentuk rumah Abah persegi panjang dengan struktur bangunan kombinasi tembok kayu dan semen; berdiri di atas tanah merah yang gembur dan seluas lapangan sepakbola. Letaknya di RT01/03 Kampung Jati.

Tidak ada rumah warga yang lain. Hanya Abah. Jarak rumah tetangga terdekat sekitar 200 meter.

Tetangga terdekat Abah ialah TPPAS Burangkeng, yang timbulan sampahnya kian merapat dan menggunung setinggi 20-30 meter.

“Tadinya, mah, jauh. Ada 20 meteran lah,” kata Abah Soin kepada saya, menjelaskan jarak rumah dengan bagian pantat TPPAS.

Kalau dilihat dari arah proyek Tol Cimanggis-Cibitung—salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) Presiden Joko Widodo, yang jaraknya hanya selemparan batu dengan Kampung Jati, rumah Abah tampak seperti sedang dilumat pelan oleh timbulan sampah.

“Saya diem di sini timbang bingung, di pinggir sampah,” kata Abah. “Kalau nggak betah, mah, nggak betah. Abis tanah kita, mau ditinggal ke mana?”

Di rumah itu, Abah hidup bersama sang istri, Marisa, berusia 77 tahun; gerak fisiknya sudah pelan dan daya dengarnya menurun. Dan Sunih, kini 39 tahun, suaminya telah meninggal dunia; ia mengurus semua keperluan keluarga. Lima anak Abah yang lain tinggal beda desa. Usia Abah sendiri kira-kira seratus tahun.

Saya mengelilingi area luar rumah Abah. Setiap tanah yang saya pijak kerap demek meski tidak turun hujan. Lindi membasahi tanah itu dan menggenang di belakang rumah Abah.

Abah memelihara beberapa ekor kambing dalam kandang berukuran 2×4 meter persegi di sisi kiri rumah. Para kambing tak ada di kandang, mereka sedang mencari makan, entah di zona mana. Abah juga memelihara ayam, entah di mana kandang mereka.

Tiga bilik kecil berdiri di depan rumah Abah. Di sana para pemulung biasa beristirahat, menunggu gerobak motor, dan memilah sampah.

Kebanyakan pemulung merupakan warga sekitar Kampung Jati seperti Kampung Sawah dan Kampung Cisaat. Ada juga yang paling jauh dari Jonggol, Kabupaten Bogor. Sementara warga Kampung Jati sendiri memulung di zona depan.

Bagian depan rumah Abah teduh. Pohon-pohon kuweni tidak produktif berdiri menjulang dengan daun yang cukup rimbun. Di atas salah satu pohon, Abah membuat kandang burung dara seukuran dua kali lipat kardus mi instan, tai burung berceceran ke tanah dan batang pohon.

“Tadinya malah kebon saya, buset, masih bala banget, adem banget. Sekarang tinggal sebelah,” ujar Abah.

Ketika kami berbincang, gerobak motor berseliweran; deru mesin mereka kasar dan laju ban mereka seret terhambat tanah merah yang pulan. Satu, dua, tiga, hingga saya tak bisa lagi menghitung jumlahnya.

Para gerobak motor datang dari berbagai lokasi pemungutan sampah sementara di Kabupaten Bekasi; mengangkut sampah yang kebanyakan limbah rumah tangga.

Setiap kali mereka menumpuk sampah baru di atas timbulan sampah lama, bau kecut yang dahsyat menusuk hidung saya. Sejurus kemudian para pemulung maju mendekat. Abah bilang, hidung orang akan kebal bau kalau sudah hidup lama di sampah.

Sudah 13 tahun, Abah memanfaatkan lahan pribadi sebagai zona pembuangan. Gerobak motor yang tak tahan antre di zona TPPAS, beralih ke zona Abah. Abah menyebut bisnis ini “buka pintu”.

“Ini Buangan Kedua namanya. Orang Pemda pada tahu semua,” Abah menjelaskan.

Setiap gerobak motor membayar Rp600 ribu per bulan kepada Abah. Ada juga yang membayar Rp30 ribu untuk sekali pembuangan. Semua keuntungan untuk menghidupi kebutuhan harian keluarga.

Sesekali keuntungan Abah comot untuk membayar sewa backhoe seharga Rp400 ribu sekali bekerja. Backhoe berfungsi untuk mendorong dan menata sampah lama menjadi gunungan.

Dulu, Abah Soin muda merupakan prajurit pengaman kampung. Ia bertugas keliling kampung saban malam, menangkap maling atau biasa ia sebut ‘bangsat’. Abah berhenti karena tak tahan karena jauh dari keluarga dan tidur di asrama berbulan-bulan.

Setelahnya Abah mencoba berkebun. Ia menyambung hidup dari berjualan melinjo, rambutan, kuweni, dan kadang kayu. Semenjak TPPAS Burangkeng kian amburadul, pepohonan Abah perlahan tidak produktif.

Pada akhirnya, Abah terpaksa membersamai sampah. Meski ia terganggu bau, bising gerobak motor, tikus nakal, ular lewat, gerombolan lalat, kekhawatiran terhadap maling ternak, dan potensi penyakit.

Sampah menambah panjang napas keluarga Abah. Ia seolah kehilangan pilihan.

“Biasanya, kan, hasil uang dari pu’un-pu’unan. Sekarang pu’un-pu’unan mati. Hasil dari ini yang pada buang [sampah]. Abis dari mana saya punya hasil? Lha, coba pikirin,” ujar Abah.

Abah Soin, sesepuh Kampung Jati, kini lebih banyak mengontrol operasional gerobak sampah dari rumah. (Project M/Alfian Putra Abdi)

Kandang Ayam dan AMDAL Siluman

WARGA DESA BURANGKENG merasa tertipu oleh pembangunan TPPAS Burangkeng. Awalnya Desa Burangkeng diperuntukkan sebagai tempat kandang ayam. Entah bagaimana prosesnya, TPPAS yang malah berdiri.

Pada dekade 70-an, menurut Abah Soin, pihak kelurahan setempat sudah mulai pengukuran dan pembebasan tanah warga. Tapi tidak semua warga mau melepas tanah, Abah salah satunya.

“Tadinya dibilang bukan untuk buangan sampah. Kalau gitu, kan, sama warga kaga dikasih. Sosialisasi kaga ada,” kata Abah.

Awal 1990, secara bertahap, orang-orang membuang sampah ke Desa Burangkeng. Belum ada truk besar seperti sekarang. Sampah masih diangkut dengan mobil bak. Sampah yang dibuang hanya limbah telur.

Carsa masih bocah saat itu. Ia dan kawan-kawan sepantaran sudah memulung limbah telur, mencari keberuntungan, menemukan ayam-ayam yang masih hidup. Jika dapat satu, ia rawat hingga gede. Carsa senang. Ia seolah-olah peternak ulung.

“Kita lari-lari ngejar mobil, sambil teriak, ‘Mobil pitik! Mobil pitik’,” kenang Carsa. “Hampir sehari bisa dua-tiga kali pembuangan mobil pitik.”

Pelan-pelan berbagai jenis sampah mulai dibuang ke Desa Burangkeng. Awalnya warga kecewa tapi lama-lama luluh, seiring mereka paham sampah bisa menjadi uang. Warga Desa Burangkeng terilhami dari warga Bantar Gebang, daerah yang lebih dulu menjadi TPPAS.

“Banyak masyarakat yang patah sekolah, bukan nggak mampu biaya. Terlena sampah, resep, duitnya kenceng,” kata Carsa.

Nemin bin H. Sain, Kepala Desa Burangkeng dua periode, membenarkan bahwa penetapan Desa Burangkeng sebagai TPPAS tanpa sosialisasi dan buram. Nemin lahir dan besar di sana.

“Dulu nggak pernah ada sosialisasi untuk TPA. Zaman Orde Baru, kan, gampang aja. Kita merasa dibohongin,” kata Nemin di Danau Perumahan Mustika Grande—lokasi air lindi TPPAS Burangkeng mengalir sejauh tiga kilometer sampai ke sana.

Bahkan Nemin menduga pembangunan TPPAS Burangkeng tanpa Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Sampai saat ini, ia belum memiliki salinan dan membaca dokumen izin lingkungan tersebut.

“Buktikan kalau emang ada, kenapa Pemda nggak pernah kasih saya copy-nya?” kata mantan anggota DPRD Kabupaten Bekasi Fraksi PDI Perjuangan ini. “AMDAL dibuat sebelum dibangun. TPA ini resmi tapi seperti ilegal.”

Dalam Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Bekasi, pernah ada tender proyek ‘Belanja Jasa Konsultansi Perencanaan-Jasa Konsultasi Mengenai Analisis Dampak Lingkungan TPA Burangkeng’ bernilai Rp288.986.000 dengan menggunakan APBD Tahun Anggaran 2016.

Saya berusaha mengonfirmasikan perihal AMDAL dan tata kelola TPPAS kepada Kepala Bidang Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Khaerul Hamid. Namun, ia tidak merespons. Sementara itu Dani Ramdan, Pejabat Bupati Bekasi teranyar, menyangsikan tudingan Nemin karena tidak mungkin “pemerintah melanggar (aturan) sendiri.”

“(AMDAL) ada, kalau saya asumsikan, kenapa sudah beroperasi berpuluh tahun? Kalau tidak, kan, bisa ditutup juga berarti TPA-nya,” ujar Dani melalui sambungan telepon, Minggu (29/5/2022).

Lindi Mengalir, Sesak Di Dada

SYARIFUDDIN memulung setiap hari. Ia bisa menghabiskan berjam-jam di atas pegunungan sampah. Sejauh ini, ia mengaku sehat-sehat saja.

Justru, Syarif merasa sakit-sakitan kalau di rumah.

“Saya mulung dari pagi, malam lembur sampe jam 1, nggak sampe batuk, nggak sampe nyesek. Begitu air limbah lewat depan rumah, napas saya sesek,” kata Syarif.

Syarif bilang Maymunah juga sering sakit. Bahkan sudah beberapa hari terakhir, tubuh sang istri meluang. Syarif memanggil tukang urut ke rumah. Pundak dan leher Maymunah banyak bekas kerokan, garis-garis itu berwarna merah pekat.

“Istri juga batuk. Bukan karena kerjaan. Setiap hari kerja di sampah, tapi karena air lindi, lari ke dada,” ujar Syarif.

Sayangnya Maymunah enggan saya wawancara. Selain sedang sakit, ia tak enak untuk berkomentar sebab beberapa petugas UPTD TPPAS Burangkeng masih kerabat dekat.

Kedua anak Syarif, Zulpan dan si balita juga sering batuk-batuk. Syarif gondok sekali kepada penanganan UPTD TPPAS Burangkeng yang lamban.

“Kita yang dewasa saja … Anda bisa rasakan sendiri, kan, gasnya. Gimana anak kecil?” kata Syarif.

Zulpan, bocah kelas 1 Sekolah Dasar. Hobi bermain sepakbola. Gerakannya lincah sekali. Ia selalu penasaran dengan saya dan bapaknya sedang melakukan apa. Sesekali ia berdiri di tengah kami atau memilih berjarak beberapa langkah, mengamati dari kejauhan.

Kepada Zulpan, saya bertanya kondisinya tinggal di permukiman sampah. Dengan enteng, ia menjawab, “Anak kecil mah tahan.”

Selain masalah polusi udara, air tanah Syarif juga tercemar lindi. Saat air mengucur dari keran, air berwarna kekuningan. Begitu air mengendap dalam wadah seharian, berubah hitam.

Air cemaran tidak Syarif pakai untuk memasak, minum, dan mandi. Ia hanya pakai untuk keperluan mencuci pakaian.

“Kalau masih bening bisa buat nyuci. Berpengaruh ke pakaian,” kata Syarif. “Jadi gampang sobek. Keras air sampah itu.”

Setiap hari Syarif membeli air galon isi ulang seharga Rp5.000, untuk masak, minum, mandi, dan berdagang. Sehari Syarif menghabiskan 5-6 galon.

“Anak yang kecil dimandiin pake galon. Kecuali kita masih kuatlah walaupun pake air sumur yang item. Bilasnya pake air galon,” kata Syarif.

Air lindi mengitari kediaman Syarifuddin. Kondisi memburuk bagi keluarganya di saat hujan turun. (Project M/Alfian Putra Abdi)

Keluarga Abah Soin juga punya masalah serupa: tercemar lindi sejak tiga tahun terakhir. Untuk masak, minum, dan berjualan, mereka pakai air galon dengan harga satuan Rp8.000; setiap hari mereka menghabiskan 2-3 galon.

Untuk mandi dan salat, mereka nekat menggunakan air tanah.

“Wudhu pake air (tanah) ini. Kata Abah, salatnya kaga sah, lah airnya begitu,” kata Sunih.

Saat saya berbincang dengan Sunih, ia sembari memasak sayur asam pesanan Abah. Kedua tangan Sunih bolak-balik antara wajan dan bagian tubuh yang gatal. Ia menggaruk secara repetitif; gatal di lengan, gatal di perut, gatal di paha, gatal di mana-mana.

“Gatel banget ampe lecet, korengan. Waktu berobat katanya, sih, jamur,” ucap Sunih sambil tak henti menggaruk. “Saya juga malu kalau pergi garuk-garuk mulu.”

Kondisi air mereka mirip seperti di rumah Syarif; jika mengendap air berubah warna kemerahan, berminyak, dan berbau.

“Semenjak TPA semakin ke sini, semakin ke sini, terus banyak yang gali tanah, jadi tambah parah,” kata Sunih.

Prof. Enri Damanhuri bilang kepada saya bahwa lindi berbahaya “meski tidak segawat limbah B3.” Lindi yang meresap ke tanah akan memengaruhi kualitas air tanah.

“Sangat buruk karena segala macam (sampah) ada. Lindi itu, kan, bilasan. Kalau kena tanaman saja, ada yang subur, tapi kebanyakan nitrogen atau amonia lalu mati,” ujar Prof Enri melalui sambungan telepon.

Pada dasarnya, kata Prof. Enri, lindi merupakan proses eko-enzim—fermentasi limbah dapur organik dan mengandung nutrisi. Namun, lindi di TPA merupakan bilasan dari bermacam-macam sampah.

“Sebenarnya tidak masalah lindinya, asal diolah,” katanya.

Nahasnya, IPAS di TPPAS saja tidak beroperasi. Bahkan Sunih dan Syarif tidak pernah mendapat penanganan serius dari pejabat terkait.

Mereka bilang pihak Pemkab Bekasi melalui dinas terkait pernah memeriksa kondisi air tanah. Namun, kondisi air mereka belum berubah baik. “Dites doang kaga ada tanggung jawabnya,” umpat Sunih. “Pengen punya air bersih biar nggak beli mulu.”

Kesehatan mereka juga tidak pernah diperiksa pihak berwenang. Syarif mendaku kalau sakit masih menggunakan cara andalan: minum ramuan tradisional.

“Untuk kesehatan, sampai saat ini belum ada sama sekali,” keluh Syarif.

“Kaga ada, kaga ada orang Puskesmas ke sini,” ujar Sunih.

Dalam dokumen Profil Kesehatan Kabupaten Bekasi Tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan setempat, mencatat penyakit terbanyak di Puskesmas, lima tertinggi ialah infeksi saluran pernapasan akut (217.377 penderita atau 31,80%); infeksi saluran pernapasan atas akut tidak spesifik (126.502 penderita/ 18,51%); infeksi usus (56.018 penderita/ 8,19%); nasofaringitis akut (49.743 penderita/ 7,28%); dan saluran pernapasan lainnya (43.917 penderita/ 6,42%).

Dinkes Kabupaten Bekasi juga mencatat kenaikan penderita tuberkulosis  dalam periode 2019-2020. Sebanyak 3.713 penderita pada 2019. Setahun kemudian naik menjadi 4.591 penderita.

Sebagai kompensasi atas aktivitas TPPAS, warga Desa Burangkeng hanya mendapatkan “uang bau” Rp300 ribu per tiga bulan. Itu pun sempat mandek sembilan bulan tidak keluar. Sampai warga unjuk rasa tutup paksa TPPAS, baru uang cair.

“Dibilang nggak betah, udah kampung sendiri, tempat lahir sendiri. Dibilang betah, ya nggak betah,” kata Sunih.

Sunih menunjukkan air tercemar yang menjadi sumber penyakit gatal-gatal yang ia derita sejak lama. (Project M/Alfian Putra Abdi)

Birokrasi Kusut Rakyat Jadi Korban

ABAH SOIN pernah mendengar rencana pelebaran area TPPAS Burangkeng beberapa tahun lalu. Ia gembira mendengar kabar itu dan berharap direlokasi oleh pemerintah. Agar ia bisa pindah dan membeli rumah di lingkungan yang lebih layak untuk hidup.

Namun, kabar itu menguap sekarang. Tidak tahu lagi kelanjutannya. Di lain sisi, ia tak bisa menjual rumah secara mandiri karena harganya pasti anjlok. Siapa yang mau membeli tanah sampah, pikir Abah.

“Mau pelebaran, mau pelebaran belum lagi. Saya, kan, timbang enek. Harga tanah, tahu sendiri, kan, makin mahal, sudah sejuta lebih di kampung,” kata Abah.

Begitu juga Syarif. Ia sempat semringah mendengar rencana relokasi. Sampai-sampai ia menunda rencana merenovasi atap kanopi rumahnya. Namun, ia tak pernah mendengar kelanjutan wacana tersebut. Kini, ia membiarkan atap asbes miliknya tergeletak di samping rumah.

“Kalau direlokasi, kita nyari tempat. Tapi kalau duitnya belom ada, pake apa kita nyarinya?” kata Syarif. “Saya juga tanda tanya, apakah kita disuruh pindah atau gimana?”

Rencana pelebaran TPPAS Burangkeng sudah bergulir sejak kepemimpinan Bupati Neneng Hasanah Yasin. Nemin bilang luas area yang baru sudah masuk dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Luasnya sekitar 20 ha.

RDTR sudah disetujui DPRD Kabupaten Bekasi. Namun terganjal karena Neneng ditangkap KPK terkait kasus suap perizinan lahan proyek Meikarta pada 15 Oktober 2018. Neneng terbukti menerima Rp10 miliar lebih dan 90 ribu dolar Singapura.

“Akhirnya RDTR kita sampe sekarang nggak keluar di Bandung,” ujar Nemin.

Kasus suap Meikarta juga melibatkan pejabat dinas Kabupaten Bekasi yang lain: Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi Sahat M Nohor, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Bekasi Kabupaten Dewi Tisnawati, serta Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi Neneng Rahmi.

Belum lagi, Kepala Bidang Kebersihan Dinas LH Kabupaten Bekasi, Dodi Agus Supriyanto, juga ditangkap Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi pada Oktober 2021. Ia melakukan korupsi pengadaan tiga unit buldoser seharga total Rp8,4 miliar.

Korupsi menyebabkan efek domino: menghambat perbaikan tata kelola persampahan dan pemulihan bagi masyarakat Desa Burangkeng.

“Kalau ada pemimpin yang korupsi, yang rugi rakyat. Program kaga jalan, sementara dia kita pilih karena visi-misi dan program,” kata Nemin.

Berikutnya, kursi bupati terus mengalami bongkar-pasang; Wakil Bupati Eka Supria Atmaja pernah menjabat Pelaksana Tugas (Plt) sebelum meninggal dunia karena COVID-19 pada Juli 2021; posisi Eka digantikan Dani Ramdan sebagai Pj. Bupati selama tiga bulan; kemudian Wakil Bupati Akhmad Marjuki naik menjadi Plt. Bupati; dan terakhir Dani Ramdan kembali menjabat Pj. Bupati setelah dilantik Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum, pada 23 Mei 2022.

“(Kabupaten) Bekasi gimana mau maju, satu periode udah berapa orang? Gimana bisa punya program?” kata Nemin. “Saya belum ketemu (bupati) yang serius menangani sampah. Dari dulu sampe sekarang.”

Usai Neneng dibekuk KPK, para penggantinya sudah mewacanakan perbaikan TPPAS. Misalnya, Eka pernah punya konsep menambah Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) di setiap desa. Sementara Dani Ramdan berwacana mengolah sampah menjadi sumber energi dan bekerjasama dengan pihak swasta.

Seiring Dani lengser, rencana kerja sama itu batal. Dani dengar kabar pihak perusahaan menarik diri karena mengalami masalah finansial.

Sebenarnya wacana mengolah sampah menjadi sumber energi sudah ada sejak lama. Pada 2015, Pemkab Bekasi sudah mulai mengadakan tender konsultasi dengan pihak swasta dan tercatat dalam Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Bekasi.

Menggunakan APBD 2015, Pemkab Bekasi mengadakan tender ‘Kajian Pemanfaatan Sampah Menjadi Biogas Bagi Masyarakat Sekitar TPA Burangkeng’ dengan nilai anggaran Rp185.515.000; dan tender ‘Penyusunan BED mining landfill to energy di TPA Burangkeng Kecamatan Setu’ dengan anggaran Rp178.211.000.

Sekarang Pemkab Bekasi akan memulai kontrak kerja sama baru dengan pihak swasta untuk membiayai pengolahan sampah menggunakan sistem RDF. Pemkab masih mempelajari dokumen perusahaan. Dani menjanjikan “dalam minggu ini akan saya paparkan.”

Sejurus kemudian Pemkab Bekasi akan memperlebar area TPPAS seluas 5 ha tahun ini. Belum diketahui area mana yang akan dilebarkan. Namun, ia memastikan tidak akan ada warga yang direlokasi.

“Saya belum melihat langsung. Tampaknya kita cari yang tidak ada relokasi rumah, nanti itu ada ongkos lagi untuk relokasi. Cari lahan yang kosong,” kata Dani.

Mengenai rencana pelebaran area, menurut Ketua Koalisi Persampahan Nasional, Bagong Suyoto, memang diperlukan untuk TPPAS Burangkeng. Namun, itu hanya solusi sementara untuk menyelesaikan masalah di hilir.

Sementara untuk menyelesaikan masalah di hulu, Pemkab Bekasi mesti mengoptimalkan pengurangan produksi sampah sejak dari sumber sampah: perumahan, perkantoran, dan pasar.

“Pemkab harus punya masterplan 15 tahun ke depan,” kata Bagong. “Kan, jelas di UU 18/2008 dan PP 81/2012. Pengelolaan sampah dari sumber sampah. Kita harus bekerja secara sistematis.”

Selain itu Bagong menilai Pemkab Bekasi mesti membuat Perda Kabupaten Bekasi tentang Pengelolaan Sampah.

“Dia sudah punya JAKSTRADA tapi belum punya perda pengelolaan sampah. Masih menggunakan perda ketertiban umum. Saya nggak paham sama kabupaten itu,” keluh Bagong.

Gunungan sampah yang datang ke TPPAS Burangkeng. Sebagian sampah diolah menjadi kompos; sebagian dikorek pemulung; dan sebagian dibiarkan menumpuk. (Project M/Alfian Putra Abdi)

Menurut Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Bekasi dari Fraksi PKS, Saeful Islam, kehadiran Perda pengelolaan sampah memang penting guna memperbaiki tata kelola. Namun, hingga saat ini pihak legislatif dan eksekutif belum duduk bersama. Mereka baru akan memulai pembahasan merevisi RTRW, salah satu instrumen hukum yang mengatur luas TPPAS.

“Rencana dalam waktu dekat kita akan mengubah (Perda) RTRW,” kata Saeful. “Cuma ini, kan, sesuatu yang seksi. Perlu kehati-hatian. Kita masih menunggu eksekutif.”

Sementara Dani Ramdan mengatakan belum mendalami aspek regulasi. Ia baru bekerja seminggu.

“Bagi saya ada regulasi bagus. Tidak ada regulasi pun, kalau masyarakat bisa kita gerakkan, itu saya kira sudah solusi lebih baik. Karena regulasi kadang hanya sebatas kertas, jika tidak diimplementasikan,” ujar Dani.

Kekusutan pada level birokrasi telah menghambat tata kelola persampahan. Pada akhirnya, orang-orang seperti Syarif, Maymunah, Abah Soin, Sunih, Kosim, dan Carsa yang menanggung derita.

Ironinya, Carsa bilang, belum banyak masyarakat Kabupaten Bekasi tahu bahwa sampah mereka berakhir di Desa Burangkeng.

“Tadinya masyarakat Kabupaten Bekasi tahunya sampahnya dibuang ke Bantar Gebang. Saya merasa terdzalimi. Jangan, kan, mereka mau empati ama kita, tahu juga kaga sampahnya dibuang ke sini,” ujar Carsa.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
26 menit