Konflik agraria dengan perusahaan sawit di Kalimantan Tengah berujung brutalitas aparat keamanan yang membunuh seorang warga dalam aksi protes akhir tahun 2023. Sengketa lahan belum juga tuntas meski sudah puluhan tahun.
I
TAUFIKNURAHMAN masih tergolek lemah di kasur lipat di ruang tamu rumahnya. Sudah hampir satu bulan pria berusia 22 tahun itu kesulitan tidur telentang. Ada bekas operasi sepanjang 15 cm di pinggul belakang, membujur dari bagian tulang ekor hingga punggung bagian tengah.
Hari-harinya cuma dihabiskan di tempat tidur, menonton televisi dan bermain ponsel. Ia masih kesulitan berdiri dan duduk untuk waktu lama. Buat meringankan rasa sakitnya, dokter memberikan obat pereda nyeri yang rutin diminum tiga kali sehari.
“Kalau buat duduk … paling cuma kurang dari lima menit. Berdiri juga cuma kalau mau ke kamar mandi,” kata Upik di rumahnya, akhir Oktober 2023. “Tidurnya menyamping atau telungkup.”
Kejadian nahas menimpa Upik, panggilan karibnya, terjadi pada Sabtu siang, 7 Oktober 2023, di salah satu petak perkebunan kelapa sawit bernama Afdeling 10 milik PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Sejak beberapa minggu sebelumnya ratusan warga desa memblokade jalan dan menduduki petak-petak kebun PT HMBP sebagai protes atas janji plasma sawit yang tak kunjung diberikan.
Upik bersama ibunya, Sala, turut dalam aksi massa itu. Selain menuntut hak atas plasma sawit, Sala dan Upik membuka lapak kecil menjual es kelapa muda di bawah tenda darurat. Sekira pukul 10 pagi, Upik dan Sala menggelar dagangan dan laris dibeli warga demonstran.
Pagi itu hanya segelintir aparat keamanan yang berjaga. Namun, jelang pukul 12:00, situasi memanas. Aparat gabungan TNI dan polisi Brimob dengan kendaraan pengurai massa dari Polda Kalimantan Tengah datang ke lokasi. Meminta warga membubarkan diri lewat pengeras suara. Warga bergeming.
Selang beberapa menit kemudian terdengar lagi perintah untuk membubarkan diri. Kali ini berupa ancaman. Suasana mencekam.
“Gas air mata, persiapan!” kata seorang personel Brimob dalam video yang beredar.
“Jangan terpancing,” balas seorang warga.
“Bidik kepalanya!”
“Ayo kita bermain! Rekan-rekan sudah tidak bisa diperingatkan lagi.”
“Gas air mata, tembakkan ke arah warga!”
TARR!
Selongsong gas air mata meluncur dari moncong senapan, disusul asap putih yang membuat mata perih. Aparat Brimob merangsek ke arah kerumunan warga.
Sekejap suasana berubah kaos. Warga lari tunggang-langgang. Sala dan Upik tak sempat membereskan dagangannya. Mereka terpisah, lari menyelamatkan diri ke dalam areal kebun.
Baru beberapa meter berlari dari lapak, Upik merasakan kakinya kehilangan tenaga. Ia tersungkur. Sesaat ia berpikir ia hanya jatuh tersandung. Tapi ia kesulitan bangkit lagi. Kedua kakinya lemas.
Beberapa warga di belakangnya langsung menariknya menuju ke tempat aman. Sementara situasi sudah seperti medan perang. Teriakan dan tangisan bercampur rentetan senjata yang menyalak.
Di tengah suasana penuh kepanikan itu, tak jauh dari tempatnya jatuh, Upik sempat melihat seorang demonstran ambruk dan mengerang kesakitan.
“Peluru seperti berterbangan di mana-mana, ‘zuung, zuung, zuung!’” kata Upik.
Upik dibawa menggunakan mobil milik warga yang diparkir di sekitar kebun. Ia duduk di kursi depan. Ia merasakan sesuatu yang basah sekaligus hangat di bagian pinggang, tapi tak merasakan sakit. Tangannya meraba-raba. Tangannya berlumur darah.
*
SEPENINGGAL suaminya, Sala bekerja sebagai pengepul dan pedagang ikan yang bersumber dari Danau Sembuluh, danau terbesar di Kalimantan Tengah, letaknya tepat di belakang rumahnya. Ia menikah lagi dengan pria Bugis yang bekerja sebagai tenaga sekuriti di perusahaan sawit.
Sedangkan Upik, yang sudah menikah dengan seorang perempuan berusia 20 tahun dari desa tetangga, bekerja serabutan. Kadang ia bekerja sebagai buruh panen di kebun sawit, kadang ia memancing ikan di danau. Hasil tangkapannya lebih sering untuk makan sehari-hari. Kalau ada tangkapan lebih, ia jual ke tetangga.
Sebagai buruh panen buah sawit, Upik cuma dibayar Rp200.000/hari untuk setiap ton hasil panen. Hasilnya tak menentu. Kadang bisa memanen dua ton buah sawit dalam satu hari, kadang kurang dari itu. Tergantung kondisi badan dan situasi di kebun, kata Upik.
Maka, ketika warga berdemonstrasi, Upik dan Sala melihat peluang ekonomi untuk menambah pemasukan rumah tangga dengan berjualan kelapa muda. Kehidupan keluarga Upik tak selamanya terimpit kebutuhan ekonomi. Kakek Upik, pria Dayak berusia 70 tahun bernama Sarkawi, pernah memiliki kebun seluas hampir 10 hektare yang dibuka pada 1976 di Desa Bangkal.
Sementara almarhum ayah Upik pernah memiliki sekira 12 ha lahan yang dibelinya secara bertahap. Kebun-kebun itu ditanami karet, rotan, buah-buahan serta sayur-mayur. Hasilnya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
“Dulu tak ada sawit di desa ini,” kata Sarkawi. “Mayoritas menanam pohon karet. Baru ketika PT HMBP masuk, semua berubah jadi sawit. Cuma sedikit sekali yang masih menanam karet karena harga jualnya jatuh.”
Lahan itu lenyap dirampas ketika perusahaan sawit PT HMBP masuk ke Desa Bangkal pada 2005. Sejak saat itu energi, pikiran, dan keuangan keluarga dihabiskan untuk memperjuangkan tanah mereka. Sarkawi sudah menghabiskan ratusan juta untuk menyewa tiga pengacara. Semuanya belum membuahkan hasil.
Semua berawal ketika suatu hari Sarkawi mendapati kebun karetnya dirambah perusahaan. Tanaman kebunnya rata tanah. Sarkawi memprotes tapi pihak perusahaan berdalih telah membayar tanah itu.
“Ketika saya tanya mereka membeli tanah itu dari siapa, mereka tak bisa menjawab,” ingat Sarkawi. “Semua pohon karet saya habis. Sudah besar-besar pohonnya.”
Sarkawi mengatakan ia mengantongi surat pengakuan adat dari kepala desa atas tanah tersebut. Namun, surat itu dicabut secara sepihak oleh kepala desa dan perusahaan, tanpa sepengetahuan Sarkawi. Ia malah dituduh pihak administrasi desa memanipulasi surat pengakuan adat itu. Sarkawi bilang ia dituduh menempel materai secara sepihak pada surat pengakuan adat tanahnya serta dituduh memanipulasi luas lahan.
Sarkawi terus melawan dengan tetap berkebun di lahannya. Ia juga mendirikan pondok untuk menandakan kepemilikan. Namun, setiap kali ia melawan, setiap kali itu pula perusahaan terus memusnahkan jerih payahnya.
“Saya dua kali bikin pondok di lahan saya, dirobohkan,” terang Sarkawi, air matanya meleleh. “Saya terus menanam tapi selalu dihabiskan. Lantas apa yang bisa saya makan? Saya cuma ingin tanah saya kembali. Kalau mau disewa ya tinggal bayar selama ini sudah dipakai berapa lama.”
“Saya pikir aparat datang untuk menyelesaikan masalah,” katanya, geram. “Tapi ternyata mereka cuma melindungi perusahaan.”
*
MOBIL yang ditumpangi Upik membawanya ke Puskesmas Bangkal di pinggiran desa. Ia berusaha tenang tapi tak bisa menyembunyikan ketakutan. Tangan kirinya terus memegangi luka di pinggang belakang.
Setibanya di Puskesmas, Upik segera mendapat pertolongan pertama. Sala tiba tak lama kemudian dan hanya bisa menangis di sisi Upik. Di sekitar mereka, bangsal dipenuhi isak tangis warga. Puluhan warga mendapat perawatan ringan akibat gas air mata.
Dari pemeriksaan awal, ada lubang sedalam beberapa sentimeter di dekat tulang ekor Upik, yang diduga luka tembak. Tak banyak yang bisa dilakukan dokter di puskesmas selain memberi perban untuk menutup lukanya. Upik harus segera dirujuk ke rumah sakit demi pertolongan lebih lanjut dengan kemungkinan dioperasi.
Dengan menggunakan ambulans milik desa, Upik dibawa ke sebuah rumah sakit di Kota Sampit, sekitar 1,5 jam perjalanan dari desa. Dari hasil rontgen, baru terkonfirmasi bahwa luka itu luka tembak. Peluru menembus tulang pinggul Upik dan bersarang di dekat pantat, hampir mengenai kandung kemihnya.
Dokter memerintahkan Upik puasa untuk kemungkinan dioperasi. Namun, setelah beberapa jam menunggu, ternyata dokter tak mampu mengoperasi luka Upik dan merujuknya ke rumah sakit di Kota Palangkaraya.
Selama di rumah sakit Kota Sampit, aparat kepolisian mengajukan banyak pertanyaan ke Upik. “Mereka bertanya bagaimana kejadiannya, siapa pelakunya, kamu mengenali tidak. Saya tidak bisa menjawab sebab posisi saya, kan, membelakangi mereka ketika kejadian.”
Pukul delapan malam, Upik dirujuk ke Palangkaraya dan tiba sekira pukul 12 malam. Hasilnya tak jauh beda. Dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Doris Sylvanus, Kota Palangkaraya, berkata tak memiliki peralatan memadai untuk mengoperasi Upik. Dokter enggan mengambil risiko dan menolak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada Upik seandainya tetap memaksakan operasi bedah. Sebab, lukanya mengenai jaringan saraf dan pembuluh darah. Salah-salah, kata Upik, ia bisa mengalami kelumpuhan permanen.
“Jadi saya harus dirujuk ke rumah sakit di Banjarmasin.”
Perjalanan dari Kota Palangkaraya ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ditempuh selama 4 jam dengan jarak hampir 200 km. Tidur tengkurap di dalam ambulans tak ubahnya seperti siksaan. Sebab tak jarang ambulans harus melewati jalanan rusak dengan guncangan bikin nyeri luka semakin menjalar ke sekujur badan.
Setelah lebih dari 48 jam sejak kejadian, pada Senin siang, 9 Oktober, 2023, Upik akhirnya bisa menjalani operasi pengangkatan peluru di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin. Selama lebih dari dua hari itu pula Upik harus berpuasa lantaran tak ada kepastian kapan akan menjalani operasi.
Sempat tersiar kabar di kalangan warga bahwa Upik telah meninggal dunia. Memang ia sempat memasuki fase kritis lantaran banyak kehilangan darah. Terlambat sedikit, rumor dirinya meninggal bisa jadi kenyataan. Selama perawatan hingga operasi, Upik menghabiskan enam kantong transfusi darah.
“Ibaratnya, kalau kata dokter, kalau darah normal di manusia itu 500, maka waktu itu darah saya cuma tinggal 200,” katanya.
Operasi selama hampir 4 jam itu berjalan lancar. Upik diharuskan menjalani opname satu minggu sebelum diizinkan pulang. Ia tak sempat melihat peluru yang bersarang di pantatnya. Pihak kepolisian langsung mengambil proyektil itu dengan dalih sebagai barang bukti. Namun, dari keterangan dokter, proyektil itu adalah jenis peluru tajam.
Upik menganggap nasib malang yang menimpanya sebagai bagian dari perjuangan. Ia berkata ikut demonstrasi warga tak cuma untuk bersolidaritas, tapi juga menuntut perusahaan mengembalikan tanah yang menjadi hak warga.
Upik dan keluarganya terus berharap tanah mereka kembali. Bagi Upik, tanah itu menjadi satu-satunya harapan untuk bertahan hidup dan membangun keluarga. Upik tengah menantikan kelahiran anak pertama mereka. Istrinya saat itu hamil sembilan bulan.
Tanah itu juga menjadi simbol perjuangan mendiang ayah Upik. Upik ingat ayahnya sebagai petani dan nelayan yang ulet dan pekerja keras. Ayahnya saat muda merantau dari Sulawesi Selatan. Memulai semuanya dari nol. Sedikit demi sedikit ia membeli lahan untuk digarap.
“Makanya kami ikut berjuang,” kata Upik. “Karena saya mau makan dari mana? Itu harapan satu-satunya.”
II
DI MATA keluarganya, Gijik adalah pekerja keras dan penyayang. Ia anak keempat dari enam bersaudara. Sepeninggal bapaknya, Sukai, pada Juni 2022, pria 35 tahun ini seorang diri merawat ibunya. Sebab, kakak-kakaknya sudah berumah tangga, sementara Gijik masih membujang.
Gijik punya lahan seluas 12 ha yang diurus seorang diri. Tanah yang ditanami sawit itu diakumulasinya secara perlahan. Hasilnya untuk dia dan ibunya bertahan hidup. Namun, ekspansi PT Hamparan Masawit Bangun Persada di Desa Bangkal membuat Gijik khawatir jika perusahaan itu akan menyerobot lahannya yang memang terletak saling berdekatan.
Maka, ketika warga melakukan demonstrasi menuntut plasma pada September 2023, Gijik turut serta mendukung perjuangan warga.
“Sehari-hari dia cuma urus kebun saja,” kata Rius, kakak Gijik. “Gijik jarang buang waktu nongkrong. Ia lebih memilih mengurus ibunya. Mungkin itu sebabnya dia belum menikah.”
Mengenakan celana pendek selutut dan kaos hitam dengan ikat kepala merah, pada Sabtu pagi, 7 Oktober 2023, Gijik sudah bersiap-siap bersama warga di afdeling 10 PT HMBP. Beberapa warga mendirikan tenda darurat plus dapur umum. Para perempuan merebus air dan bersiap memasak makan siang ketika pasukan Brimob dengan kendaraan taktis mendatangi lokasi demonstrasi.
Sesaat setelah aparat Brimob merangsek dan menembakkan gas air mata, Gijik bersama warga lain lari menghindar ke dalam kebun. Baru sekian meter berlari, tubuh Gijik roboh. Punggung dan dadanya berdarah.
Tubuh lunglai Gijik digotong beberapa warga, seperti yang tersiar lewat potongan video sesaat setelah kejadian. Ia dibawa menggunakan ambulans milik desa ke rumah sakit. Namun, nyawa Gijik tak tertolong sebelum sempat mendapatkan pertolongan.
“Polisi baru berhenti menembak ketika beberapa warga memohon mereka untuk berhenti setelah jatuhnya korban,” kata seorang saksi mata kepada saya.
Rius, kakak Gijik, saat itu tak ikut demonstrasi dan berada beberapa kilometer dari lokasi. Ia segera meluncur ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Murjani, Kota Sampit, begitu mendengar kabar adiknya. Di situ keluarga hanya mendapati tubuh tak bernyawa Gijik sudah ditutup kain putih. Ada lubang tepat di tengah dada.
“Kami syok. Sempat bersitegang juga dengan pihak rumah sakit. Saat itu Gijik tak diurus pihak rumah sakit, jadi kami memutuskan membawanya pulang,” kata Rius. “Akhirnya kami kembali lagi ke rumah sakit untuk diautopsi. Kami ingin bukti, apakah Gijik tewas karena peluru karet atau peluru tajam?”
Dari keterangan pihak rumah sakit, diketahui Gijik tewas lantaran peluru tajam yang tembus dari punggung hingga dada.
Menurut beberapa kesaksian warga, polisi menembak dari jarak cukup dekat, sekira 15 meter. Gijik berada tepat di belakang Upik saat berlari menyelamatkan diri. Diduga peluru yang menembus tubuh Gijik bersarang di pinggul Upik.
Pada 9 November 2023, pihak keluarga memutuskan untuk melaporkan kasus penembakan itu ke Bareskrim Polri. Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal yang mewakili keluarga Gijik mengatakan keputusan itu diambil lantaran tak ada pengusutan serius oleh Polda Kalimantan Tengah.
Pada 17 Oktober, Polda Kalimantan Tengah memeriksa 45 personel buntut kematian Gijik. Namun, fakta bagaimana peluru tajam bisa digunakan untuk merespons demonstrasi masih buram.
Sayangnya, laporan Tim Advokasi tersebut ditolak Bareskrim dengan dalih masih diusut Polda Kalimantan.
Aryo Nugroho Waluyo, salah satu anggota Tim Advokasi dari elemen Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Seruyan, berkata pihak keluarga Gijik hanya disuruh polisi agar bersabar dan mempercayakan kepada Polda Kalimantan Tengah yang akan segera merilis temuannya. Aryo berkata permintaan keluarga soal kejelasan perkembangan kasus tak pernah direspons Polda.
“Soal autopsi, keluarga juga tidak dapat informasi itu,” kata Aryo.
III
Desa Bangkal, berada di bibir Danau Sembuluh, berkembang sejak awal abad 18 di masa pemerintahan kolonial Belanda. Danau Sembuluh menjadi jalur perdagangan penting di Kalimantan Tengah, tempat para pedagang dari penjuru daerah bertemu dan berinteraksi. Nama desa itu diambil dari sebuah pohon besar bernama Bongkal.
Awalnya Desa Bangkal menjadi tempat persinggahan sementara para pedagang. Namun perlahan, peradaban sungai tumbuh di Bangkal hingga pemerintah kolonial menunjuk seorang tetua adat dengan gelar Macan Rajung untuk menjadi kepala desa pertama Desa Bangkal pada 1819.
Masyarakat adat Dayak di Bangkal saat itu mengandalkan hasil dari hutan dan danau, sambil menanam bermacam palawija serta tanaman karet yang dibawa pemerintah kolonial. Karet pun menjadi komoditas andalan warga Bangkal. Hutan dibabat demi mengakomodasi tingginya permintaan karet. Desa itu pun kian berkembang hingga sekarang dihuni 1.464 keluarga.
Sangkai, seorang tetua adat dan sekretaris desa berumur 58 tahun, cucu buyut Macan Rajung, mengatakan perkebunan sawit masuk ke desanya dengan cara-cara kotor dan manipulatif, serta menawarkan sederet janji manis mengatasnamakan kesejahteraan warga. Ia mengatakan sejak akhir 1990-an beberapa perusahaan sawit hendak membuka lahan di Bangkal.
“Namun warga menolak keras,” kata Sangkai. “Sebab kami tahu perusahaan sawit akan merugikan masyarakat.”
Pertahanan warga menolak sawit jebol ketika PT Hamparan Masawit Bangun Persada berhasil masuk ke Bangkal lewat serangkaian lobi dan dukungan pemerintah. Pada 23 Agustus 1999, Kementerian Kehutanan dan Perkebunan menerbitkan surat persetujuan prinsip untuk menyerahkan 13.500 ha kawasan hutan untuk PT HMBP.
Dalam surat yang sama, disebutkan PT HMBP wajib “menyertakan masyarakat setempat dalam wadah koperasi dengan penyertaan saham koperasi sebesar 20% yang terdiri dari 10% hibah dan 10% dicicil dari deviden”. Surat itu juga menyebutkan pada tahun ke-12 total saham yang diterima masyarakat harus mencapai 49%.
Skema itu jamak dikenal dengan istilah perkebunan plasma, yang mulai diterapkan oleh rezim Orde Baru pada akhir 1970-an. Dalam skema itu, perusahaan dan masyarakat bermitra lewat pengelolaan 20% kebun yang dikelola petani serta 80% kebun yang dikuasai perusahaan. Petani lantas menjual hasil kebun itu ke perusahaan berdasarkan harga pasar.
Janji plasma itulah yang dilontarkan PT HMBP ke masyarakat. Perusahaan itu juga berjanji mensejahterakan rakyat lewat program pembinaan, pemberian lapangan kerja, serta bantuan lain.
Namun, masyarakat tidak serta merta termakan janji tersebut. Mereka masih mencoba bertahan.
Pada Februari 2004, warga desa mengirimkan surat kepada Bupati Seruyan yang menyatakan penolakan atas upaya pengambilan lahan oleh PT HMBP. Warga menyatakan ekspansi itu menyalahi UU Otonomi Daerah No.22 Tahun 1999 tentang tanah ulayat. Sebab, warga khawatir jika perusahaan akan mencaplok tanah adat mereka tanpa kompensasi.
Permohonan warga tak digubris. Bupati Seruyan kala itu Darwan Ali justru mengeluarkan izin usaha perkebunan dan hak guna usaha (HGU) untuk PT HMBP pada November 2006 dengan luas lahan 11.229 ha. Keputusan itu diperkuat surat keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional tertanggal 7 Desember 2006
Warga tak berkutik. PT HMBP pun melenggang kangkung.
Sebagai bentuk pertahanan terakhir, warga sepakat mengajukan beberapa syarat jika perusahaan hendak beroperasi, seperti mengangkat warga sebagai karyawan perusahaan sesuai tingkat pendidikan setidaknya 50% dari total karyawan, pengembangan pariwisata dan infrastruktur desa, kemitraan dengan skema plasma, percetakan sawah, menghormati batas-batas perkebunan dengan desa, dan sebagainya. Warga juga menuntut agar tanah masyarakat yang belum dibebaskan tidak diterobos perusahaan.
Pada 12 April 2008, warga mengirim surat undangan pertemuan kepada pihak PT HMBP untuk membahas dan menindaklanjuti janji-janji perusahaan. Masyarakat menilai PT HMBP belum memenuhi semua janjinya sebelum beroperasi di Desa Bangkal.
“Dengan semua janji yang diucapkan oleh perusahaan seperti di hadapan Bupati Kabupaten Seruyan yang tersebut di atas, tidak dipenuhi oleh perusahaan, hanya janji tinggal janji. Keadaanya semua hampa yang dirasakan masyarakat,” bunyi surat itu.
“Dengan penyampaian pernyataan ini, diharapkan kepada Pimpinan/pemilik perusahaan dan jajarannya dapat memperhatikan janji yang telah diucapkan demi tercapainya program pembangunan desa terciptanya lapangan kerja serta hajat hidup orang banyak.”
Kewajiban pemberian plasma itu juga diperkuat lagi dengan keputusan Gubernur Kalimantan Tengah tanggal 4 Agustus 2011 kepada seluruh walikota dan bupati, yang menegaskan perusahaan wajib membangun kebun untuk masyarakat paling rendah 20% dari total areal kebun yang diusahakan perusahaan.
Kalimantan Tengah memiliki luas hutan lebih dari 10 juta ha, menurut pemerintah daerah. Dari total itu, lebih dari 967.000 ha telah diubah jadi perkebunan dan pertambangan, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Korporasi sawit dan tambang menjadi aktor utama pembukaan kawasan hutan, yang mencapai 793.000 ha.
Masifnya industri sawit dan tambang turut berkontribusi pada pencemaran Danau Sembuluh, yang berstatus tercemar berat. Danau seluas 7.832 ha dengan panjang lebih dari 35 km itu adalah tempat bermuaranya sungai-sungai di Kalimantan Tengah. Pencemaran itu disebabkan pembukaan lahan dan penggunaan pestisida yang larut ke dalam air, menurut Save Our Borneo, lembaga non-pemerintah yang fokus ke isu lingkungan.
IV
WAJAH James Watt masih terlihat letih, beberapa minggu selepas demonstrasi. Petani berusia 50 tahun itu baru kembali dari Palangkaraya dini hari setelah sehari sebelumnya melakukan advokasi bersama aktivis dan tim paralegal. Ada 20 warga Seruyan ditangkap sesudah demonstrasi 7 Oktober 2023.
Meski semua warga yang ditangkap sudah dipulangkan, tapi proses hukum mereka tetap berjalan. Sebagian dari mereka masih berstatus saksi. Warga dan aktivis perlu melakukan konsolidasi.
“Masalahnya jadi pelik,” kata James di awal percakapan. “Jadinya warga tak cuma menuntut plasma, tapi juga keadilan karena sudah timbul korban jiwa dan ada upaya kriminalisasi.”
James sudah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya melawan ketidakadilan industri sawit di Desa Bangkal. James juga kerap menjadi perwakilan warga ketika menghadapi perusahaan maupun pemerintah.
James turut hadir di setiap pertemuan ketika PT Hamparan Masawit Bangun Persada hendak masuk ke desanya puluhan tahun silam. Yang ia tahu perusahaan kerap tidak transparan saat melakukan sosialisasi dengan warga. Bahkan permintaan warga agar perusahaan membuka dokumen AMDAL pada 2008 tak pernah digubris sampai sekarang.
“Pendekatan ke warga supaya mau menjual lahannya juga intimidatif,” kata James. “Yang menolak akan diintimidasi dengan alasan perusahaan sudah membayar pajak ke negara sehingga yang menolak bisa dipidana. Mereka kerap mengadu domba antarwarga dan menerabas lahan masyarakat.”
Sebaliknya, warga tak kenal lelah menagih janji kesejahteraan kepada perusahaan. Setelah pertemuan pada April 2008, warga kembali menagih janji soal plasma di beberapa pertemuan pada 2011 dan 2013, yang dimediasi kepolisian hingga pemerintah daerah. Warga juga berdemonstrasi pada 2015 dan 2018 di gedung pemerintah maupun DPRD. Namun, aspirasi warga selalu mentok.
Permasalahan tambah pelik ketika pada salah satu pertemuan itu, warga mengetahui selama ini PT HMBP beroperasi di lahan seluas 1.175 ha yang berada di luar HGU.
“Hal itu kami dengar sendiri dari pihak perusahaan,” kata James. “Dan kami sudah cek ternyata memang benar. Jadi perusahaan memang sudah beroperasi tanpa izin di lahan itu.”
Setelah mengetahui fakta itu, warga tak menuntut 20% plasma lantaran tahu hal itu tak akan terjadi. Sebaliknya, warga menuntut lahan seluas 1.175 ha itu untuk dikembalikan kepada warga.
PT HMBP kembali berkelit. Pihak perusahaan awalnya hanya menawarkan 20% lahan dari total 1.175 ha atau seluas 235 ha, untuk dikelola warga dalam bentuk koperasi. Pada negosiasi selanjutnya, PT HMBP menawarkan lahan seluas 443 ha yang masuk dalam area penggunaan lain (APL) yang masih berada di luar HGU dalam bentuk sisa hasil usaha (SHU) sebesar Rp300 ribu per keluarga yang akan diberikan setiap bulan lewat koperasi warga. Masyarakat menolak dua opsi tersebut.
Dalam rapat antara perwakilan warga dan pemerintah desa pada 24 September 2023, warga mengancam akan menduduki kebun dan melakukan panen masal jika perusahaan tidak mengembalikan lahan di luar HGU tersebut.
Dalam rapat itu warga Bangkal meminta kepada pemangku kepentingan untuk menarik aparat Brimob dari desa demi “menjaga kondusifitas”. Permohonan itu tak diindahkan, yang ujungnya demonstrasi 7 Oktober 2023.
“Jadi janji perusahaan soal plasma itu tak pernah terealisasi sampai sekarang,” kata James. “Mereka juga tak mau menyerahkan lahan di luar HGU itu hingga masyarakat berdemonstrasi dari September hingga Oktober 2023.”
*
AKIBAT gerakan perjuangannya bersama warga, James dan dua rekannya sempat ditahan polisi dan diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Sampit pada 15 Juni 2020. Ia dihukum 10 bulan penjara dipotong masa tahanan dan bebas pada Desember 2020. James dan dua kawannya dinilai bersalah mencuri buah sawit milik PT HMBP.
Akibat hukuman itu, dua anaknya hampir putus kuliah lantaran tak sanggup membayar biaya. Sampai-sampai aktivis dan masyarakat membuka donasi untuk membantu keluarga James. Sebagian hasil donasi itu ia gunakan untuk beternak ayam.
Semua tak membuatnya jera. Meski tak ikut serta dalam gelombang demonstrasi pada September-Oktober 2023, James turut berjuang dari balik layar. Rumah sederhananya kerap dijadikan tempat konsolidasi warga. Banyak juga warga desa yang datang buat berkonsultasi.
Seperti siang itu, James kedatangan tamu tiga warga di rumahnya. Tiga orang itu karyawan yang bekerja di kebun PT HMBP. Yang satu namanya Pajarto, pria berperawakan sedang dengan gaya bicara diplomatis, sementara dua rekan lain berbadan gempal adalah Kusendy dan Uhing. Wajah mereka kuyu. Setelah duduk dan menyeruput kopi, tiga orang itu serempak mengeluarkan surat.
Pajarto yang pertama kali buka mulut. Ia memang lebih banyak bicara dibandingkan dua rekan lain. Pajarto menyorongkan selembar surat ke meja. Surat itu dikeluarkan secara resmi dari bagian personalia PT HMBP tertanggal 18 Oktober 2023 yang isinya keputusan untuk memutasi Pajarto ke kebun sawit lain di Kabupaten Pulang Pisau, dekat Taman Nasional Sebangau, jaraknya 400-an km dari Desa Bangkal.
Kusendy dan Uhing menyorongkan surat yang isinya sama. Surat itu baru diterima mereka dua hari sebelumnya dan mereka bertiga harus segera pindah dalam dua hari ke depan, tepatnya pada 26 Oktober 2023. Di dalam surat itu tak dijelaskan alasan atau penyebab mereka dimutasi.
Mereka panik dan kebingungan serta meminta masukan dari James. James lantas pergi ke pojok ruangan, mengambil kertas dan pena dari lemari kayu cokelat. Ia menulis surat jawaban berupa keberatan atas keputusan mutasi untuk mewakili tiga warga itu.
“Kami tidak mau meninggalkan Bangkal,” kata Pajarto. “Saya lebih baik mundur jika harus pindah Pulang Pisau. Jauh sekali jaraknya. Mau membawa keluarga juga jelas tidak mungkin.”
Pajarto sudah bekerja 18 tahun di PT HMBP. Jabatan terakhirnya mandor verifikasi. Sementara Kusendy dan Uhing bekerja sebagai mandor dan mekanik selama puluhan tahun. Ketiganya tak pernah menandatangani kontrak kerja selama bekerja di PT HMBP sehingga mereka tak tahu hak-hak pekerja selain penerimaan upah.
Pajarto menduga keputusan mutasi itu diambil karena mereka dianggap pro gerakan masyarakat melawan PT HMBP, padahal mereka berkata tak terlibat demonstrasi.
“Kalau tidak sedang bekerja kami hanya di rumah saja. Patut diduga perusahaan sedang berupaya bersih-bersih,” kata Pajarto.
“Ini jelas upaya pembungkaman buat meredam gerakan warga,” sambung James. “Mutasi ini juga menyalahi aturan kerja sebab tidak ada alasan jelas.”
Dugaan PT HMBP membungkam perlawanan masyarakat tak sekali ini terjadi. Pada 2012, 12 warga ditetapkan sebagai tersangka perusakan kebun meski peristiwa terjadi di luar lahan HGU perusahaan.
Berdasarkan data di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum di Kementerian Hukum dan HAM, PT HMBP dimiliki PT Bio Green Indonesia dan PT Best Capital Investment. Keduanya merupakan anak perusahaan Best Group yang dimiliki keluarga Tjajadi asal Surabaya. Di dalam induk perusahaan itu ada PT Best Agro International yang membawahi perkebunan sawit, beralamat di Jl. Gatot Subroto Kav. 43, Jakarta Selatan. Tercatat nama Winarto Tjajadi dan Roby Zulkarnaen sebagai Komisaris dan Direktur PT HMBP.
Dikonfirmasi ke tim legal perusahaan, Kutut Wibowo, mengenai mekanisme penyelesaian konflik kebun plasma warga Desa Bangkal dan PT HMBP, perusahaan belum merespons hingga artikel ini dirilis.
Dilansir BBC Indonesia, PT HMBP disebut kerap tersandung masalah hukum dan muncul dalam berbagai publikasi sebagai perusahaan bermasalah.
Misalnya, pada November 2016, Amnesty International dalam risetnya melaporkan PT HMBP bermasalah dalam perburuhan seperti mempekerjakan buruh anak, penerapan jam kerja berlebihan, pemberian upah murah, pengabaian kesehatan dan keselamatan buruh, serta diskriminasi gender.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang pemerintahan Joko Widodo, dari 2015 hingga 2022, 69 orang tewas dalam wilayah konflik agraria. Hal tersebut tak lepas dari pengerahan aparat dengan pola penanganan represif, menurut KPA.
“Tak heran warga mengalami krisis berlapis, sebagai korban konflik agraria juga korban brutalitas aparat dan perusahaan karena menuntut hak atas tanahnya,” ungkap Sekretaris Jenderal KPA Dewi Sartika.
Menurut ketua pelaksana harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah, Ferdi Kurnianto, skema kemitraan plasma perlu dievaluasi. Sebab, tidak ada mekanisme pengawasan di lapangan. Sehingga janji kemitraan plasma kerap tak dipenuhi perusahaan.
Di berbagai tempat di seluruh Indonesia, skema kebun plasma telah menjadi problem akut dalam konflik agraria antara warga dan perusahaan perkebunan sawit. Dalam temuan investigasi The Gecko Project, skema kemitraan plasma justru menempatkan masyarakat mendapatkan keuntungan sangat kecil, terjerumus dalam utang dan jerat kemiskinan, lebih banyak menguntungkan perusahaan, serta memicu protes yang berujung kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga setempat.
Di Kalimantan Tengah dan Seruyan saja, ada 38 perusahaan perkebunan sawit gagal memberikan kebun plasma dan sekalipun plasma diberikan perusahaan, keuntungan yang didapatkan masyarakat sangatlah kecil, menurut pangkalan data yang dihimpun The Gecko Project.
“Permasalahan plasma ini terjadi di mana-mana di Kalimantan Tengah. Yang terjadi di Seruyan dapat dikatakan luapan kejenuhan atas janji-janji yang jarang terealisasi. Polanya sama, para pemangku kebijakan baru memberikan perhatian kepada masyarakat ketika kejadian konflik telah terjadi. Harusnya sejak awal sebagai mitigasi agar hal-hal seperti ini tidak terjadi,” tutur Ferdi.
V
KEBUN AFDELING 10 terletak sekira 5 km dari Desa Bangkal. Di lokasi tewasnya Gijik itu kini dikelilingi garis polisi. Beberapa aparat militer dan tenaga keamanan perusahaan berjaga di sebuah pos di seberang jalan. Beberapa waktu sebelumnya, tim dari kepolisian telah menyisir lokasi itu untuk mengumpulkan barang bukti.
Dua anggota militer yang salah satunya berpangkat pembantu letnan satu (Peltu) kemudian muncul ke pos jaga setelah berpatroli keliling perkebunan menggunakan mobil sipil. Si Peltu datang dari Kodam Diponegoro, Jawa Tengah, sedangkan rekannya dari Kodam Siliwangi, Jawa Barat. Mereka berkata sudah hampir enam bulan ditempatkan di perkebunan PT Hamparan Masawit Bangun Persada di wilayah Desa Bangkal.
“Ada beberapa personel yang dikirim dari Jawa ke sini,” kata si Peltu. “Sisanya ada dari Kalimantan juga.”
Pengerahan aparat untuk menjaga aset perusahaan terutama perkebunan sawit telah menjadi problem setidaknya sejak dua dekade belakangan. Hal itu turut dilanggengkan pemerintah lewat pemberlakuan Undang-Undang Perkebunan No.18 tahun 2004 pasal 20 yang menyebutkan “pelaku usaha perkebunan melakukan pengamanan usaha perkebunan dikoordinasikan oleh aparat keamanan dan dapat melibatkan bantuan masyarakat di sekitarnya”.
Hal itu kerap menjadi pemicu kekerasan saat konflik agraria terjadi yang menimbulkan tak sedikit korban jiwa.
Di Mesuji, Lampung, dan Sumatera Selatan terjadi kerusuhan yang melibatkan warga dan pasukan keamanan menewaskan sembilan orang, yang dipicu persoalan lahan antara warga dan korporasi.
Di Kalimantan Tengah setidaknya ada tiga pemberitaan polisi secara terbuka menandatangani perjanjian dengan perusahaan sawit untuk mengerahkan pasukan keamanan. Salah satu landasannya ada pada kesesatan pikir yang menyebutkan kebun sawit adalah Objek Vital Nasional.
Kendati selama ini perusahaan dan pelaku usaha kerap melempar narasi tentang peningkatan status kebun sawit sebagai Objek Vital Nasional, tak ada satu aturan pun yang menyebut demikian.
Di sisi lain, pejabat justru menuding masyarakat sekitar sebagai penjarah hasil kebun. Seperti yang digaungkan mantan gubernur Kalimantan Tengah yang kini menjabat sebagai anggota DPD, Agustin Teras Narang, Desember 2023, yang mengatakan “penjarahan semakin marak” dan “dapat mengancam ekonomi Kalteng”, dan ia meminta aparat bertindak tegas melakukan pencegahan.
Made Supriatma, peneliti dan visiting fellow di ISEAS-Yusof Ishak Institute, yang fokus pada isu politik dan keamanan, mengatakan pengerahan aparat ini menjadi satu pola di banyak daerah dengan alasan pengamanan. Padahal mengamankan aset pihak swasta bukan tugas kepolisian maupun militer.
“Ini sudah menjadi tradisi sejak Orde Baru,” ujar Supriatma. “Aparat jadi centeng perusahaan. Padahal sudah jelas perusahaan tidak boleh berlindung di balik aparat negara, terutama hanya soal menjaga keamanan. Mereka seharusnya menyewa pihak swasta untuk pengamanan. Tidak ada aturan yang memperbolehkan aparat menjadi keamanan perusahaan.”
“Ini menimbulkan pertanyaan, dari mana biayanya?” kata Supriatma. “Sebab pengerahan personel membutuhkan biaya besar tentunya. Sementara anggaran polisi dan TNI juga terbatas. Jadi patut diduga ada dimensi transaksional di situ.”
“Jika dibiayai perusahaan untuk mengamankan, ini jelas melanggar hukum. Apalagi jika dibiayai negara, lebih melanggar hukum lagi sebab itu pajak yang dibayar rakyat.”
*
KESEDIHAN masih menggelayuti rumah Gijik. Halaman rumahnya masih dipenuhi karangan bunga ucapan belasungkawa. Salah satunya dari Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran. Beberapa pekan sebelumnya, Sabran turut melayat dan menyerahkan segepok uang kerahiman serta berjanji menuntaskan masalah. Namun, saat itu justru tak ada perwakilan dari Polda Kalimantan Tengah yang datang, kata Rius, kakak Gijik.
Gijik dimakamkan di makam keluarga di sebuah lahan bekas kebun tepat di seberang rumah. Makamnya berada di samping ayah dan adiknya. Beberapa pekerja masih tampak merapikan makamnya.
“Dari keluarga kami ingin keadilan, harus diungkapkan,” kata Rius. “Kalau ingat almarhum, kami sangat sedih. Dia tulang punggung keluarga satu-satunya. Ibunya belum berhenti menangis. Kami juga tak tahu bagaimana nasib kebunnya nanti. Siapa yang akan mengurus?”
Reportase ini bagian dari serial #MasyarakatAdat dan #PolisiBukanPreman