YUSUF MAULANA menatap tubuh mungil putri bungsunya, Emira Tatiana, yang terbaring di ruang Pediatric Intensif Care Unit (PICU) RSUP Dr. Sardjito, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tubuh bayi berusia 7 bulan itu terpasang beraneka selang dan kabel yang sebagian tersambung ke layar monitor.
“Dengan keruwetan kabel [di tubuhnya], saya bisa merasakan, dia kesakitan banget,” tutur Yusuf melalui aplikasi percakapan, Sabtu (22/10/22).
Semalaman Yusuf terjaga. Sejak jam sepuluh malam, lelaki 44 tahun itu menata hatinya menghadapi kenyataan bahwa harapan putrinya untuk sembuh semakin tipis. Ia sadar, saat itu bisa jadi detik-detik ia menemani anaknya sebelum dipanggil Sang Pencipta.
“Kamu tampak tegar dan gagah meski dengan banyak selang di mana-mana. Kamu wariskan ketegaran menahan sakit yang amat sangat. Sejarahmu cuma sampai di sini, setelahnya Aba yang meneruskan,” ucap Yusuf.
Tatiana dinyatakan meninggal pada hari Minggu pukul 01.14 WIB, setelah lima hari dirawat di PICU RSUP Dr. Sardjito. Anak bungsu dari lima bersaudara itu didiagnosis Acute Kidney Injury (AKI) unknown origins atau gangguan ginjal akut yang tidak diketahui penyebabnya.
Butuh tiga hari bagi Yusuf berdamai dengan dirinya agar ikhlas melepas anak yang belum setahun diasuhnya. Kali ini ia telah ikhlas. Tidak ada lagi air mata.
Sembilan hari sebelumnya, Tatiana sekeluarga mengalami demam dan batuk yang oleh dokter di sebuah klinik didiagnosis Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Kondisi Tatiana tak kunjung membaik, malah semakin memburuk. Ia mengalami demam tinggi, kejang-kejang, sesak napas, urinnya berkurang, dan kesadaran menurun. Yusuf dan istrinya, Yuni Wahyu Angraeni membawa Tatiana ke IGD RS PKU Muhammadiyah Gamping Sleman, sebelum akhirnya dirujuk ke RSUP Dr. Sardjito karena mengalami syok dan kondisinya kritis.
“Tim dokter RS Sardjito menyatakan anak kami terkena AKI unknown Origins, yang belakangan disebut gagal ginjal akut misterius. Organ paru, ginjal dan organ-organ penting lainnya juga sudah kena,” ungkap Yuni, ibunda Tatiana.
Sehari sebelum kematian Tatiana, Umar Abu Bakar, lebih dulu berpulang dengan diagnosis serupa, yakni gangguan ginjal akut yang penyebabnya masih misterius. Umar meninggal di usia dua tahun 10 bulan setelah dirawat selama delapan hari di PICU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat.
Awalnya, Umar mengalami demam, batuk, dan pilek, pada Sabtu, 10 September 2022. Ibunda Umar, Siti Suhardiyati sempat menganggap Umar sakit biasa yang umum dialami balita. Ia baru membawa Umar ke klinik ketika putranya mengalami diare.
Dokter klinik meresepkan sejumlah obat, yakni Paracetamol sirop produksi PT AFI Farma, batch C19224 dengan tanggal kedaluwarsa Maret 2025 dan tanggal produksi 7 Maret 2022, dosis 4×1 sendok teh. Kemudian, Yusimox Amoxcillin produksi PT IFARS Pharmaceutical Laboratories, batch 23826, tanggal kedaluwarsa Juni 2025 dan tanggal produksi Juni 2022, dosis 3×1 sendok teh. Satu lagi, obat racikan berbentuk puyer untuk batuk pilek dengan dosis 3×1 bungkus.
Siti memberikan Umar obat-obatan tersebut sesuai dosis yang diresepkan dokter. Saat itu, kondisi Umar belum terlalu mengkhawatirkan. Dia masih mau makan, minum, serta buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) secara normal. Namun Umar mulai mengalami kesulitan BAK pada Selasa 13 September 2022 atau setelah tiga hari mengkonsumsi obat.
“Selasa pagi, nggak ada pipis. Popoknya kan biasanya pagi penuh, tapi ini sudah nggak ada pipis,” ungkap Siti saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (20/10).
Selasa siang, Siti membawa Umar ke RS Kartika Husada Jatiasih Bekasi lantaran khawatir dengan kondisi anaknya tersebut. Umar langsung menjalani berbagai pemeriksaan laboratorium. Saat itu, kondisi Umar mulai menurun dan menolak makan minum. Bahkan, tubuh Umar membengkak di bagian kaki, tangan, perut, wajah, dan mata lantaran tak kunjung BAK.
“Hari terakhir di Kartika Husada, dia pup-nya warna hijau cincau. Karena di Kartika Husada nggak ada penanganan lebih lanjut, akhirnya saya keluar. Saya masuk lagi ke RS Polri Kramat Jati Jakarta Timur. Pas saya masuk UGD, itu langsung dokter bilang ini sudah urgent. Diperiksa lagi semuanya, di-USG, sampai di perutnya itu disuntik, diambil cairan dalam perutnya pakai spuit, di-USG, dicek semuanya. Kata dokter, gagal ginjal akut,” beber Siti.
Di RS Polri Kramat Jati, Umar bisa BAK meski hanya sekitar lima milimeter. Kondisinya pun masih sadar. Namun dia terpaksa dirujuk ke RSCM yang memiliki fasilitas mesin cuci darah untuk anak.
Umar langsung dirawat di PICU RSCM. Siti mengingat, Umar dalam kondisi sadar ketika masuk ke ruangan perawatan intensif khusus anak. Itulah momen terakhir Siti melihat Umar dalam kondisi sadar. Setelahnya, Siti tidak bisa lagi melihat kondisi anaknya secara langsung.
“Kita orang tua nggak boleh masuk, cuma dengar kabar saja dari dokternya. Sampai akhirnya, kondisi makin memburuk, sudah dikasih obat yang kata dokter harganya ratusan juta, sudah dicuci darah yang 24 jam selama tiga hari, transfusi darah sudah. Semua sudah dilakukan, tapi nggak ada perbaikan. Di RSCM, benar-benar nggak ada pipis sama sekali. Pas terakhir, ada pendarahan, keluar darah lewat mulut, hidung, dan anus. Sampai akhirnya, anak saya nggak tertolong,” kata perempuan 26 tahun itu dengan suara tercekat.
Teka-Teki Penyebab Kematian
Sebelum meninggal, Tatiana dan Umar adalah anak-anak yang sehat dengan tumbuh kembang baik. Di umurnya yang baru berusia tujuh bulan, Tatiana sedang aktif bergerak, senang menggulingkan badannya, dan belajar merangkak.
“Dia tengah lucu-lucunya. Dia kan sering jadi teman. Ketika saya sedang di ruang kerja, dia belajar juga, guling-guling di belakang saya,” kenang Yusuf.
Yuni, ibu Tatiana, menyebutkan bayinya terlahir sehat, tanpa ada kelainan dan riwayat sakit berat, kecuali batuk pilek.
Sama dengan Tatiana, Umar terlahir sehat dan tidak memiliki riwayat kelainan ginjal di keluarga besarnya. Siti mengungkapkan, ia berupaya menjaga kesehatan anaknya dengan mengimunisasi sesuai jadwal, termasuk saat Program Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) pada Agustus 2022 lalu. Siti juga menjaga betul jenis makanan yang dikonsumsi Umar.
Ketika dokter menyatakan Umar mengalami gagal ginjal akut, Siti mengaku bingung. Kebingungan terus menggelayuti perasaan Siti sepanjang anaknya dirawat di rumah sakit. Tak satu pun dokter yang bisa menuntaskan kebingungannya.
“Di situ saya nggak tahu harus gimana karena dokter saja yang kita percaya bisa menyembuhkan, yang lebih tahu dari pada kita yang orang awam dan nggak tahu apa-apa, tapi dokter pun nggak tahu. Gimana kita yang orang awam, nggak tahu harus gimana? Cuma bisa berdoa saja,” ungkap Siti.
Di PICU RSCM, Siti bergabung bersama orang tua lain yang senasib. Mereka berbagi kebingungan dan kesedihan bersama. Tidak hanya Umar yang terkena penyakit tersebut, ada sejumlah anak lainnya yang mengalami penyakit serupa.
“Sekitar 80% di ruang PICU, penyakitnya sama kayak Umar. Anak-anak seumuran Umar, dokter sendiri yang bilang.”
“Dokter juga sampaikan opsi terburuk gitu. Maksudnya, sudah diceritakan yang terburuk, gimana nih keadaan Umar karena yang masuk ke PICU yang kasusnya sama kayak Umar itu belum ada yang pulang sembuh,” ujarnya.
Merebaknya kasus gagal ginjal akut pada anak pada masa pandemi Covid-19 memunculkan dugaan keterkaitan antara dua penyakit tersebut. Namun Yuni dan Siti menolak dugaan tersebut.
“Untuk (kaitan dengan) Covid-19, tes antigen anak saya negatif. Kalau mutasi Covid, mungkin saja. Soalnya ketika dokter menjelaskan, sempat bilang kasusnya hampir mirip Hepatitis akut misterius, yang hingga sekarang masih misterius. Kalau untuk vaksin Covid-19, sepertinya tidak juga. Saya ketika hamil divaksin Sinovac dua kali tanpa booster. Logikanya jika karena vaksin, si anak pasti lahir ginjalnya bermasalah, tapi ini tidak, sehat dan normal,” kilah Yuni.
Sementara Siti mengatakan, Tatiana belum pernah terinfeksi, pun belum masuk sasaran vaksinasi Covid-19. Belakangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) baru meliris bahwa paracetamol sirop produksi PT AFI Farma yang diminum oleh Umar termasuk dalam obat cemaran EG dan DEG-nya melebih ambang batas. Cemaran yang melebihi ambang batas tersebut diduga menjadi penyebab gagal ginjal.
Lamban Penanganan, BPOM Kebobolan
Tatiana dan Umar, dua di antara ratusan anak Indonesia yang mengalami gagal ginjal akut atau dalam bahasa medisnya Atypical Progressive Acute Kidney Injury (gagal ginjal progresif atipikal) disingkat APAKI. Kementerian Kesehatan per 3 November 2022 mencatat kasus gagal ginjal akut sebanyak 325 kasus dengan 178 di antaranya meninggal. Sebagian besar anak yang mengalami APAKI berusia di bawah lima tahun. Sejauh ini, kasusnya sudah tersebar di 27 provinsi.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menuturkan, kasus kematian akibat APAKI mulai naik di Agustus dengan jumlah 36 kasus, bertambah di September menjadi 78 kasus, dan terus meningkat di Oktober.
Di Depok, kasus gagal ginjal akut pada anak sudah terjadi sejak Maret 2022, namun kasus tersebut baru terungkap pada bulan Oktober ketika sudah terjadi banyak kasus. Sementara itu Budi mengklaim sebelum bulan Agustus kematian akibat gagal ginjal di bawah lima kasus. Ia juga membantah jika kasus ini terjadi sejak Januari 2022.
Ketika terjadi lonjakan kasus gagal ginjal akut di Agustus, Budi mengungkapkan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan tinjauan patologi pada anak-anak yang mengalami APAKI di September, dengan dugaan penyebabnya adalah virus, bakteri, atau parasit. Salah satu yang dicurigai adalah bakteri leptospira yang bisa merusak ginjal dan hati. Namun, hasilnya nihil.
Dugaan penyebab selanjutnya ialah Covid-19, tapi pemeriksaan menunjukkan kurang dari 1% yang positif Covid-19.
“Di bulan September terus terang kita masih menduga-duga penyebabnya apa. Karena hasil patologi di September dari kenaikan kasus di Agustus, itu tidak ada yang secara signifikan disebabkan oleh virus, bakteri, atau parasit,” beber Budi saat jumpa pers di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (24/10/22).
Misteri penyebab APAKI mulai ada titik terang, saat WHO mengeluarkan peringatan atas empat obat sirop dengan kandungan Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang dicurigai berkaitan dengan kasus kematian 70 anak di Gambia, Afrika Barat. Kemenkes kemudian melakukan komunikasi dengan WHO dan Pemerintah Gambia yang dilanjutkan dengan analisa toksikologi.
“Kita tes ke 10 anak, ternyata tujuh anak di antaranya, darahnya atau urinnya mengandung zat kimia ini. Jadi positif memang 70 persen anak yang kena itu disebabkan adanya zat kimia di tubuhnya,” jelas Budi.
Kemenkes melakukan konfirmasi kedua dengan cara biopsi ginjal pasien yang meninggal dan mendatangi rumah korban untuk mengambil obat-obatan yang sempat dikonsumsi lalu memeriksanya di Puslabfor Mabes Polri. Setelah diuji secara kualitatif, ditemukan zat kimia EG dan DEG di sebagian besar obat-obatan yang diambil di rumah pasien.
“Jadi berdasarkan rilis dari WHO, adanya zat kimia di pasien, bukti biopsi yang menunjukkan rusaknya ginjal karena zat kimia ini, dan adanya zat kimia ini di obat-obatan yang ada di rumah pasien, kita menyimpulkan bahwa benar penyebabnya adalah obat-obatan kimia yang merupakan cemaran atau impurities dari zat pelarut ini,” kata Budi.
Kesimpulan tersebut diperkuat temuan produk obat dengan kandungan EG dan DEG dengan konsentrasi sangat tinggi oleh BPOM. Obat-obat tersebut diproduksi oleh industri farmasi yang namanya belum diumumkan. BPOM dan Polri akan memidana industri farmasi tersebut.
“Dua industri farmasi, mungkin saya tidak menyebutkan sekarang karena prosesnya masih berlangsung dan akan segera kami komunikasikan kepada masyarakat, karena ada indikasi kandungan EG dan DEG di produknya tidak hanya dalam konsentrasi sebagai kontaminan tapi sangat-sangat tinggi dan tentu saja sangat toksik dan itu bisa dapat diduga mengakibatkan ginjal akut,” papar Kepala BPOM, Penny K. Lukito saat jumpa pers, Kamis (27/10/22).
Menurut Penny, hal itu dimungkinkan terjadi karena ada perubahan bahan baku. Kedua industri itu diduga mengganti bahan baku dan diindikasi kuat menggunakan zat pelarut Propilen Glikol (PG) dan Polietilen Glikol (PEG) yang nonpharmaceutical grade, tanpa melapor ke BPOM.
Adanya cemaran EG dan DEG dalam obat kemungkinan berasal dari PG dan PEG. Zat pelarut PG dan PEG nonpharmaceutical grade, menurut Penny, biasanya dipakai di industri cat. Zat PG dan PEG untuk industri farmasi harus dimurnikan sehingga memenuhi syarat pharmaceutical grade.
Hasil penelusuran BPOM, kedua industri farmasi tersebut mengubah pemasok dari pedagang besar farmasi menjadi pemasok bahan kimia. Zat pelarut PG dan PEG dipasok dari pedagang bahan kimia dan masuk dalam kategori nonlarangan dan pembatasan (nonlartas) yang kewenangannya ada di Kementerian Perdagangan. Sedangkan BPOM hanya mengawasi impor bahan baku pharmaceutical grade. Untuk mengimpor bahan baku kategori tersebut harus memiliki Surat Keterangan Impor (SKI) dari BPOM.
“Berarti dimulai dari bahan baku. Memang masalah harga karena yang phamaceutical grade akan jauh jauh lebih mahal dibanding zat kimia biasa yang bisa digunakan oleh industri-industri nonfarmasi. Itu sangat murah. Bisa jadi karena tidak ada pengawasan oleh BPOM, itu bisa masuk. Mereka bisa menggunakan sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa mix up di supplier kimia,” kata Penny.
Per 3 November 2022, jumlah industri farmasi yang dipidanakan bertambah menjadi 3 perusahaan, yakni PT Yarindo Farmatama, PT AFI Farma, dan PT Universal Pharmaceutical Industries.
Saat ini, BPOM masih terus menelusuri data registrasi seluruh produk obat dengan bentuk sediaan sirop, suspensi, maupun drop. Terakhir, BPOM merilis 198 obat yang aman. Sejauh ini, BPOM baru merilis tiga produk obat sirop yang dinyatakan tidak aman lantaran mengandung EG/DEG yang melebihi ambang batas aman. Merek ketiga obat tersebut adalah Unibebi Cough Sirup, Unibebi Demam Sirup, dan Unibebi Demam Drops. Ketiganya diproduksi PT Universal Pharmaceutical Industries.
Cuci Tangan Pejabat BPOM
Meski BPOM gagal mendeteksi cemaran EG dan DEG sejak awal, namun Penny menolak jika BPM diminta bertanggung jawab. Penny mengaku, BPOM melakukan pengawasan dan peninjauan kandungan obat, mulai prapemasaran dan pascapemasaran, bahkan membangun sistem Famakovigilans sebagai cara mengawasi efek samping obat.
“Jadi jangan minta tanggung jawab kepada BPOM karena BPOM sudah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya dalam kendala sumber daya manusia dan sumber daya lainnya yang ada,” kilah Penny.
Meski demikian Penny mengakui BPOM belum memiliki standar pengawasan kandungan EG dan DEG. Selama ini pengawasan yang dilakukan BPOM mengacu pada Farmakope Indonesia, yaitu tata cara pembuatan obat, termasuk kadar dan mekanisme pengawasannya.
“Khusus untuk cemaran EG dan DEG ini, sampai dengan saat ini, di dunia internasional belum ada standar yang mengatakan untuk diuji. Nah itulah kenapa kita tidak pernah menguji karena memang belum dilakukan di dunia internasional pun,” jelas Penny.
Persoalan itu yang kemudian, kata Penny, akan dievaluasi. Pihaknya akan mengembangkan metodologi pengawasan dan pengujian terhadap produk-produk yang mengandung zat pelarut serta disinyalir mengandung cemaran EG dan DEG, termasuk ikut mengendalikan jalur impor PG dan PEG.
“BPOM bukan tidak mau mengendalikan, tapi sudah kami usulkan dan sudah saya laporkan ke presiden. Ke depan akan diberikan (kendali) ke BPOM. Itu aspek pencegahan yang kita dapatkan plus standar yang harus diperbaiki di mana BPOM bisa melakukan pengawasan terhadap produk-produk yang sudah pasti mengandung pelarut tersebut dan disinyalir mengandung cemaran tersebut,” ujar Penny.
Menanggapi pernyataan BPOM lamban merespon kasus ini, Penny mengungkapkan, pihaknya telah mensosialisasikan Famakovigilans kepada para tenaga kesehatan juga industri farmasi. Sistem ini sebagai salah satu cara agar cepat merespon jika terjadi efek samping obat yang tidak diinginkan, seperti kasus gagal ginjal akut ini. Namun dalam peristiwa gagal ginjal akut, Penny menyebutkan, BPOM hanya menerima tiga laporan hingga 25 Oktober 2022. Saat merespon informasi WHO pada 5 Oktober 2022, Penny mengaku kesulitan mendapatkan data sehingga akhirnya melakukan penelusuran.
“Jadi membutuhkan waktu agak lama sampai akhirnya kami melakukan sendiri kriteria sampling yang meluas, walaupun akhirnya keluar 133 obat yang aman,” katanya.
Menuntut Tanggung Jawab Industri dan Pemerintah
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menyatakan dalam kasus gagal ginjal akut ini, korban sebagai konsumen bisa menuntut tanggung jawab dari sejumlah pihak, baik perdata maupun pidana. Jika mengacu pada Undang-undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dalam hal ini industri farmasi bisa dimintai pertanggungjawabannya. Sementara negara, yakni Kementerian Kesehatan dan BPOM, bisa dituntut menggunakan Undang-undang Pelayanan Publik.
Ia pun mendorong para korban membawa kasus ini ke meja hijau.
“Jadi dalam pandangan konsumen, pengadilan satu-satunya instrumen yang fair untuk menjelaskan kasus ini secara terang benderang. BPOM nanti bisa menjelaskan apa yang dilakukan. Industri juga bisa menjelaskan, termasuk Kementerian Kesehatan. Konsumen bisa menjelaskan urutan dari mengkonsumsi obat sampai sakit sampai trauma psikologis akibat dampak anaknya menderita gagal ginjal. Itu diungkap di pengadilan biar nanti hakim yang memutuskan siapa yang bertanggung jawab, siapa yang bersalah,” ujar Sudaryatmo melalui sambungan telepon, Jumat (28/10/22).
Sudaryatmo menyoroti kinerja BPOM dalam hal pengawasan. Menurutnya, ada dua skema metode pengawasan, yakni pengawasan prapemasaran dan pascapemasaran. Pengawasan prapemasaran menggunakan instrumen registrasi dan pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) sebagai langkah awal dalam memproduksi dan menjual obat.
Pengawasan pascapemasaran dilakukan BPOM setelah produk obat beredar di pasar. Sudaryatmo mengatakan, BPOM harus melakukan inspeksi rutin dengan mengambil sampel obat yang ada di pasar, kemudian diuji di laboratorium untuk memastikan kandungan obatnya sesuai dengan izin yang diberikan.
“Sebelum ada kasus, BPOM melakukan regular inspection nggak? Kalau reguler inspection hasilnya apa? Dipublikasikan nggak? Sampelnya berapa? Justru ini yang nggak dibuka, atau nggak dikomunikasikan ke publik oleh BPOM. Padahal, justru ini penting untuk mengetahui kalau katakanlah obat itu tercemar, tercemarnya itu sejak kapan? Itu bisa dideteksi melalui regular inspection. Regular inspection paling tidak setahun itu bisa tiga atau empat kali,” beber Sudaryatmo.
Dalam kasus ini, Sudaryatmo menyebutkan, paling tidak ada empat pelanggaran hak konsumen. Pertama, hak atas informasi yang menjawab kenapa obat yang membahayakan kesehatan dan menimbulkan kematian bisa beredar. Kedua, hak atas keamanan dan keselamatan.
“Di Undang-undang Perlindungan Konsumen di Pasal 4 itu dijamin bahwa konsumen berhak atas keamanan dan keselamatan atas produk termasuk obat yang dikonsumsi. Faktanya, boro-boro aman dan selamat, konsumen justru sakit bahkan ratusan meninggal dunia,” kata Sudaryatmo.
Ketiga, hak untuk menyampaikan pengaduan. Pihaknya, Sudaryatmo mengatakan, mendorong dan berharap konsumen berani untuk mengadu dan bersuara mengenai apa yang terjadi. Keempat, hak atas kompensasi dan ganti rugi.
“Kalau misalnya skema mekanisme di luar pengadilan tidak ada titik temu, ya pilihannya bisa ke jalur hukum ke pengadilan. Karena ini korbannya massal, ya salah satu alternatif yang bisa ditempuh adalah melakukan gugatan pengadilan kelompok atau class action. Cuma dalam pengadilan kelompok, inisiatifnya harus dari korban bukan dari lembaga konsumen,” pungkas Sudaryatmo.
Tak lama setelah kasus gagal ginjal akut ini mencuat, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) berinisiatif membuka posko pengaduan korban obat sirop. Posko itu ditujukan memberi layanan bantuan hukum bagi korban.
Ketua PBHI Nasional, Julius Ibrani menyebutkan, kasus ini memiliki dasar kuat untuk digugat karena ada indikasi kelalaian sistemik pengawasan peredaran obat.
“Kami melihat hal yang sistemik dari obat bisa beredar dan kemudian dikonsumsi oleh masyarakat itu semua skriningnya dari negara. Kalau sampai skrining dari negara bisa lolos begini, kemungkinan cuma dua, lalai atau ada cingcai. Baik lalai atau cingcai itu menempatkan negara ini, lewat instansinya, baik kementerian yang berwenang soal impor bahan obatnya yaitu Industri dan Perdagangan, maupun soal registrasi dan izin edarnya Kementerian Kesehatan dan BPOM, itu sebagai pelaku,” kata Julius saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (27/10/22).
Kondisi tersebut, lanjut Julius, menempatkan korban berhadapan dengan negara. Padahal negara, kata dia, justru berkewajiban dan bertanggung jawab memastikan hak atas kesehatan warga negaranya. Situasi ini dibaca PBHI sebagai situasi ketimpangan struktural, di mana korban yang tidak mengerti apa-apa dan tidak memiliki pemahaman mengenai sistem tersebut harus berhadapan dengan negara yang mempunyai kuasa dan kewenangan.
“Lalu bagaimana harapan korban jika dia tidak dibela oleh publik. PBHI merupakan bagian dari publik tersebut yang memang bentuknya organisasi yang membela hak publik,” terang Julius.
Julius mengaku telah menerima belasan pengaduan dari masyarakat. Sementara ini, PBHI masih melakukan verifikasi masalah, profil, dan data medis guna memastikan siapa saja korban yang memenuhi syarat untuk terus lanjut ke jalur hukum.
Sementara itu, Siti tidak berharap lebih, kematian anaknya lantaran gagal ginjal yang disebabkan oleh lemahnya pengawasan obat, sudah terjadi. Ia hanya bisa pasrah mengharap keadilan untuk anaknya dan ratusan anak lainnya yang mengalami nasib serupa.
“Sebenernya sudah menduga dari awal, cuma ya apa boleh buat, semua sudah terjadi. Sekarang hanya minta keadilan saja agar tidak ada lagi anak yang merasakan sakitnya gagal ginjal akut ini,” kata Siti.