Kritik Konseptual dan Praksis atas ‘Aktivisme Borjuis’

Fahri Salam
14 menit
Peserta aksi membentangkan poster "Peringatan Darurat" dalam demonstrasi menolak revisi UU Pilkada dan kawal putusan Mahkamah Konstitusi di depan gedung DPR Senayan, Jakarta, pada 22 Agustus 2024. (Project M/Adrian Mulya)

Daripada menganggap aksi-aksi massa dari kalangan anak muda ini “sia-sia”, mengapa tidak menjadikannya sebagai satu langkah untuk pembelajaran-pembelajaran berikutnya.


Tulisan ini bermaksud mengkritisi artikel yang ditulis Rafiqa Qurrata A’yun dan Abdil Mughis Mudhoffir, “Darurat Aktivisme Borjuis”, dalam dua aspek: konseptual dan praksis.

Kritik konseptual pertama adalah penggunaan istilah “aktivisme borjuis” yang selalu digunakan Mughis. Mughis masih terkesan melakukan generalisasi sebab tidak selalu menjelaskan makna yang dimaksud, terutama bagi pembaca baru yang tidak membaca tulisan-tulisan dia sebelumnya. 

“Aktivisme borjuis” diartikan Mughis “… yang cenderung reaktif dan moralis, bertolak dari pandangan bahwa kerusakan hukum dan demokrasi diakibatkan oleh hilangnya integritas dan etika penyelenggara negara dan penegak hukum. Pandangan ini tampak valid tapi sebenarnya naif.”

Dialektika atas istilah ‘aktivisme borjuis’ oleh Mughis dan Coen Husain Pontoh sebenarnya sudah dimuat di beberapa artikel yang dirilis Project Multatuli dan IndoProgress. Meski begitu, saya hendak mengelaborasinya dari hasil bacaan saya semata-mata kita bisa menelisik perdebatan lebih mendalam.

Engels (2012) mendefinisikan borjuis (bourgeoisie, bourgeois class) sebagai kelas kaum kapitalis yang menguasai nyaris sepenuhnya alat subsistensi dan alat produksi (mesin, pabrik, bengkel, dan sebagainya). Kutub lawannya adalah proletar, kelas yang sama sekali propertyless, yang menjual tenaga kerjanya kepada kelas borjuis demi bertahan hidup. 

Tentu jika yang dimaksud Mughis soal ‘borjuis’ dalam pengertian dasarnya akan sangat membingungkan. Warga yang terlibat aksi #PeringatanDarurat adalah kelompok yang tengah melawan borjuis-borjuis penopang oligarki-penguasa.

Dejung, Motadel, dan Osterhammel (2019) menjelaskan kelas borjuis berada di antara aristokrat dan petani kecil/subsisten. Dalam berbagai analisis, rentang borjuis sangatlah luas, terdiri dari aktor-aktor dengan status sosial dan ekonomi yang beragam, termasuk akses atas kekuatan politik, mulai dari orang-orang dengan kekayaan melimpah seperti pengusaha transportasi, pemilik bank multinasional hingga masyarakat dengan latar belakang ekonomi lebih sederhana seperti penjaga toko, guru, hingga masinis kereta api. Dalam konteks luas ini, bisa jadi PNS petugas persidangan di parlemen adalah borjuis, bahkan polisi yang berhadapan dengan demonstran juga borjuis.

Saya berasumsi apa yang dimaksud kalangan borjuis oleh Rafiqa dan Mughis adalah kelas menengah. Jika istilah ini yang dipakai, mungkin akan lebih cepat ditangkap pembaca umum. Kelas menengah sudah jamak digunakan dan diakui sebagai bagian tapi tetap dibedakan dari borjuis. Marx dan Engels menggunakan istilah borjuis kecil. Dejung, Motadel, dan Osterhammel mengidentikkannya sebagai kelas menengah borjuis.

Dalam konteks Indonesia, pembahasannya pun beragam. Ben White (2014) menggunakan istilah kelas menengah yang dielaborasi dari Kalecki (1972) sebagai intermediate classes yang juga terinspirasi dari istilah borjuis kecil. Pengertian kelas ini, dalam pandangan White,  bisa sangat beragam dan berbeda. Misalkan di tingkat nasional atau urban bisa sangat berbeda di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Van Klinken (2014) menyatakan bisa saja kelas menengah di tingkat provinsi/kabupaten/kota adalah birokrat (PNS), pedagang, pengusaha skala menengah, dan pramuniaga menyandang status ‘elite’, tapi di tingkat nasional dikategorikan kelas menengah bawah.

Mughis mengakui keragaman istilah kelas menengah dalam tulisannya yang lain. Di satu sisi menganggapnya memiliki kesamaan universal terkait kepemilikan alat produksi, tapi di sisi lain bukan semata-mata terkait hal itu, melainkan ada faktor sosial-historis yang membentuknya. Hal itulah mengapa meski berada dalam kelas yang sama, peran sosialnya bisa saja berbeda.

Membaca tulisan-tulisan Mughis sebelumnya, saya berasumsi “aktivis borjuis” yang dimaksudnya adalah aktivis kelas menengah yang berwatak pluralisme-liberal, neo-institusionalisme/kulturalisme, yang sebagiannya diwujudkan melalui gerakan NGO yang didanai donor, atau melalui instrumen-instrumen hukum. Mereka inilah yang dianggap motor aktivisme borjuis (liberal) yang gerakan perubahannya terbatas atau gagal memobilisasi lebih lanjut massa yang telah teradikalisasi lewat kepemimpinan gerakan.

Anggapan ini bisa jadi tidak salah sepenuhnya secara konseptual dan memang empiris, tapi agak kontradiktif. Ia memicu pertanyaan berikutnya, sebagai contoh: “Apakah seseorang, mungkin termasuk Rafiqa dan Mughis, yang secara relasi dengan alat produksi bisa jadi bagian dari borjuis, bisa sekaligus berpandangan progresif dan radikal karena menginginkan perubahan fundamental? Apakah dimungkinkan ada aktivis dan ilmuwan borjuis yang demikian secara istilah? Apakah untuk menjadi radikal dan progresif, seseorang harus menurunkan kelasnya menjadi proletariat?”

Maka dari itu, sekali lagi, menggunakan istilah kelas secara terisolasi (apalagi ‘borjuis’ saja) secara generalis akan kontraproduktif dengan tradisi diskusi kelas yang lain. 

White menyarankan kita perlu melakukan eksplorasi relasi-relasi terkait kelas, karena memakai pendekatan isolasi akan menimbulkan kebingungan istilah (sebagaimana terjadi dalam tulisan Rafiqa dan Mughis). 

Satu contoh kebingungan lain adalah jika menempatkan ‘aktivis borjuis’ kepada kalangan pemuda, khususnya pelajar dan mahasiswa yang notabene mayoritas massa aksi Peringatan Darurat: Apa dasarnya memasukkan mereka ke dalam kelas borjuis? 

Menempatkan pemuda dalam kelas sosial tertentu, katakanlah ke dalam kelas menengah, juga problematis apalagi digolongkan sebagai borjuis. Jones (2009) menulis: “Anak muda tidak pernah berpijak di posisi sangat jelas dalam analisis kelas sosial struktural. Analisis yang ada adalah cenderung berfokus pada relasinya dengan pasar tenaga kerja, status pekerjaan, dan kesenjangan pendidikan. Terkadang kelas mereka didasarkan pada status pekerjaan dan terkadang pula pada ayahnya (atau ibunya di rumah tangga dengan orangtua tunggal).”

Dengan begitu, mengecap borjuis kepada para pemuda yang sedang menjalani mode transisi (dependensi dari keluarganya), bila tidak hati-hati, bisa salah tempat. Jika kalangan anak muda didasarkan pada kelas orangtuanya, sangat mungkin banyak orangtua dari para demonstran Peringatan Darurat adalah dari kalangan proletariat atau kelas pekerja yang bukan borjuis kecil.

Kritik konseptual kedua adalah tidak jelas pemetaan gerakan selain (mungkin disengaja oleh Mughis) secara biner: kapitalis/neoliberalis di ujung yang satu, dan radikalis di ujung lain, dengan selebihnya adalah borjuis. 

Mengambil contoh pada gerakan agraria, Holt-Giménez dan Shattuck (2011) memetakan karakteristik gerakan menjadi neoliberal, reformis, progresif, dan radikal. Mereka yang reformis cenderung disebut “dua sisi mata uang yang sama” yang ditandai keselarasannya dengan gagasan-gagasan neoliberal, hanya saja menambahkan sisi-sisi sustainability, berinteraksi dengan instrumen-instrumen badan pembangunan multi/internasional, dan melakukan standarisasi-standardisasi teknis dalam hal ‘governmentality’.

Sementara aktor progresif memiliki posisi antara mendekat ke neoliberal/reformis atau ke arah radikal. Kategori progresif kontemporer sebenarnya semakin pluralis dan mencakup beragam gerakan termasuk kebebasan berkeyakinan, gerakan lingkungan, perjuangan pemenuhan hak-hak perempuan dan buruh dengan upaya mencegah sistem politik dikuasai elite dan korporasi lewat pemajuan demokrasi, kesetaraan hak-hak sosial dan ekonomi. Salah satu mode pergerakannya mengembangkan aktivitas-aktivitas lokal atau di tingkat tapak selain di tingkat nasional, dengan motornya adalah kelas menengah dan anak-anak muda.

Yang luput dari analisis Rafiqa dan Mughis adalah tidak solidnya istilah yang mereka sebut sebagai ‘borjuis’ yang bercampur-baur dengan terma liberal, pluralis, reformis, progresif, dan radikal. Sayangnya, kedua penulis tidak menyebutkan contoh organisasi mana dengan corak yang mana dalam tulisan-tulisannya, selain hanya menyebutkan berwatak “LSM”. 

Sepanjang pengetahuan saya, dengan menggunakan pendekatan gerakan dari Holt-Giménez dan Shattuck, mungkin yang dianggap liberal/pluralis/reformis bisa jadi sebenarnya adalah elemen progresif. Misalkan, pelaksanaan Mahkamah Rakyat Luar Biasa ternyata juga dihadiri dan didukung oleh gerakan akar rumput seperti buruh, masyarakat adat, hingga aktivis advokasi konflik agraria.

Jika kedua penulis menyematkan gerakan berwatak “LSM” ini dalam spektrum liberal/pluralis/reformis, lalu siapa yang layak dianggap organ progresif dan radikal? Karena penyematan yang serba tidak jelas ini, kedua penulis pun mengaburkan beban evaluasi dan refleksi gerakan. 

Secara sederhana Rafiqa dan Mughis cuma ingin terkesan berkata: “Jika agenda-agenda kelompok progresif atau radikal tidak berhasil (bagian ini belum terjelaskan pihak yang mana dan seperti apa), maka yang salah tetap kalian para kelas menengah, LSM/NGO, karena kalian aktivis borjuis!” Tanpa pernah menunjukkan mengapa kelompok aktivis dan ilmuwan yang (merasa) radikal itu juga gagal memberikan edukasi kepada massa atau memberikan arah gerakan yang ideal menurutnya.

Saya lebih setuju dengan apa yang disampaikan Holt-Giménez dan Shattuck, berkaca dari kenyataan dan interaksinya di lapangan:

“Jika beberapa organisasi secara solid dapat dikatakan neoliberal, reformis, progresif, atau radikal, banyak juga organisasi yang sulit dikelompokkan dalam satu kategori karena mengadopsi posisi politik yang berbeda untuk isu yang berbeda—atau mengadopsi satu posisi tapi mempraktikkan posisi yang lain. Suatu pemosisian kelompok vis-a-vis proyek dan institusi neoliberal atau reformis bisa jadi merupakan taktik atau strategi. Dibandingkan menyematkan secara pasti organisasi dalam gerakan, mengapresiasi atas keberagaman dan corak politik yang fluid, diiringi analisis aliansi potensial dalam gerakan, dapat membantu kita mengidentifikasi tantangan dan kesempatan untuk perubahan.”

Kritik konseptual ketiga adalah analisis Rafiqa dan Mughis atas gerakan pemuda. Biasanya kajian pemuda dilihat dari perspektif generasi yang lebih dewasa (Parker dan Nilan, 2013). Naafs dan White (2012) menyebut pendekatan atas gerakan pemuda cenderung memakai ‘defectology’ yang secara simpel didefinisikan: “Apa yang salah dengan generasi (yang lebih) muda dan apa yang harus diperbaiki.” Memang ‘defectology’ diasosiasikan dengan pendekatan neoliberal dan biasanya tawaran solusinya adalah solusi teknis, misalnya apa yang harus dilakukan oleh pemuda agar lebih baik dengan ‘governmentality’.

Saya tidak mengetahui apakah kedua penulis sudah seminimal-minimalnya melakukan konfirmasi dengan demonstran Peringatan Darurat untuk mengetahui perspektif dan memaknai peran si pelaku sebelum kedua penulis menganalisis peristiwanya. Ini satu hal penting dalam kajian-kajian ilmu sosial. Memang kedua penulis terkesan sudah menganalisis pengalaman-pengalaman dari aksi-aksi sebelumnya, tapi perspektif langsung dari pelaku aksi Peringatan Darurat juga penting untuk mengetahui dinamika dan perdebatan atas aksi dari persepsi pelaku. 

Karena sepanjang pengalaman saya, wacana dan terutama metode dalam pembentukan narasi-narasi aksi itu tidak tunggal. Mengambil terlalu cepat kesimpulan atas aksi yang masih berlangsung dan memberikan stigma tertentu juga bisa jadi jatuh ke ‘defectology’, yang sayangnya dilakukan Rafiqa dan Mughis dengan retorika progresif. 

Kesannya adalah “kalian harusnya begini, kalian seharusnya begitu. Itu pasti tidak sesuai. Gerakan ini masih buruk” dan sebagainya. Ini tercermin dari tulisan mereka yang menyebut aksi yang masih berlangsung sebagai tindakan “merengek”, “menyedihkan”, dan “tidak punya kekuatan apa-apa selain klaim-klaim moral yang kurang berguna.”

Terasa sekali kekecewaan idealisme dari generasi terdahulu (yang lebih dewasa) terhadap generasi di bawahnya (yang lebih muda). Sebaliknya, dari sisi relasi antargenerasi, Rafiqa dan Mughis bahkan sudah menyimpulkan, dengan tesis predatory politics, bahwa gerakan massa yang menurutnya “tidak menghasilkan apa-apa” ini sudah berlangsung sejak dulu. Bahwa seseorang yang dulunya progresif dan radikal saat Reformasi, setelah masuk dalam lingkaran kekuasaan, dapat berubah seratus delapan puluh derajat. 

Itulah justru poin kritik saya. Hal yang diakui terjadi (dan dicontohkan) di dalam generasi sebelumnya (sangat mungkin termasuk pada generasi Rafiqa dan Mughis), tapi generasi saat ini seakan-akan yang menerima beban seluruhnya; bahwa “aksi kalian sia-sia dan tidak akan bisa mengubah keadaan!” Ini tidak sepenuhnya adil sebab dengan mudah bisa dibalikkan: “Ya, ini akibat kesinambungan dari generasi kalian, toh?”

Faktanya, aksi-aksi massa sejak 2019 hingga 2024 berhasil membalikkan stigma yang selama ini disematkan kepada generasi muda (khususnya kepada Milenial dan Gen Z); bahwa mereka apolitis, diasosiasikan dengan konsumerisme, hedonisme, generasi mager, rebahan, terbuai gawai dan sebagainya. Justru aksi-aksi massa hari ini menunjukkan sebaliknya: mereka memanfaatkan karakter itu secara kreatif di media sosial dan memberikan perlawanan atau pengabaian atas buzzer. Mereka dapat menerjemahkan perangkat aksi seperti poster dengan istilah-istilah kreatif sesuai bahasa simpel yang hidup di kalangan mereka dan masyarakat luas.

Daripada menganggap aksi-aksi massa dari kalangan anak muda ini “sia-sia”, mengapa tidak menjadikannya sebagai satu langkah untuk pembelajaran-pembelajaran berikutnya? Saya masih melihat ada persistensi dari berbagai elemen aliansi yang tidak kenal lelah dalam mengorganisir isu dan agenda-agenda progresif ke depan. 

Kritik Praksis

Dalam kritik praksis atas tulisan Rafiqa dan Mughis, saya harus menyatakan kekurangan saya terlebih dulu dalam praktik langsung mengkonsolidasikan dan mengorganisir aksi-aksi lapangan. Saya lebih banyak sebagai peserta aksi (itu pun sudah lama) serta menyimak aksi lewat siaran media, liputan, atau analisis akademik.

Kritik saya pertama adalah tidak muncul tawaran lebih spesifik dari tulisan “Darurat Aktivisme Borjuis” selain menyebut “membangun kekuatan politik untuk merebut kendali formal negara.” 

Pertanyaan praksisnya: Bagaimana? Dengan partai politik alternatif? Sedangkan partai politik, menurut Rafiqa dan Mughis, juga bisa saja terjerembab kembali ke dalam politik predatoris. Atau, dengan cara-cara lain yang lebih radikal? Namun, Rafiqa dan Mughis tidak menyampaikan tawaran yang jelas. Apakah cara-cara lain juga menjamin tidak akan memunculkan kekerasan dan represi lain padahal itu juga menurut mereka akan “menyia-nyiakan massa” yang telah teradikalisasi.

Yang kedua adalah aspek empiris bahwa berbagai kelompok di lapangan aksi sangatlah beragam. Untuk menumbuhkan kepemimpinan dari massa yang cair, dengan beragam latar belakang, bukanlah sesuatu yang mudah. Karena itu lebih penting membangun aliansi berbagai kelompok dalam upaya membangun diskusi ke arah lebih progresif, alih-alih membangun kecurigaan, kecuali jika sudah benar-benar dalam posisi diametral dengan agenda-agenda yang diusung peserta aksi. 

Sejak aksi Reformasi Dikorupsi 2019 sudah ada upaya dari kalangan (yang menurut saya termasuk kelompok) progresif untuk melakukan hal itu dari kawan-kawan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terutama dengan konfederasi buruh, mahasiswa, gerakan pangan/lahan/agraria, gerakan lingkungan dan masyarakat adat, termasuk aktivis gender.

Yang perlu dipahami juga adalah terkadang momentum menjadi penting dan harus diambil segera. Peristiwa sejarah mengajarkan kita tentang hal ini, bahkan saat Proklamasi Kemerdekaan. Jika aliansi sudah terbangun, saat ada momentum darurat sebagaimana dalam aksi menolak pengesahan revisi UU Pilkada dan kawal putusan MK, masalah siapa yang tampil di muka dapat disepakati. Atau, bisa dengan model strategi kepemimpinan kolektif mengingat variasi dari elemen gerakan yang ada. 

Bukankah Rafiqa dan Mughis sendiri yang menyatakan bahwa salah satu kegagalan aktivisme adalah mengandalkan tokoh individual?

Yang ketiga, apakah pada praktiknya aksi teatrikal dan seruan berbasis moralis sama sekali tidak berguna? Ini bisa jadi menimbulkan perdebatan konseptual kembali, tapi menurut saya tidaklah sia-sia sama sekali. Ini bisa saja menjadi pintu masuk atau bagian dari strategi gerakan sesuai keragaman aliansi. 

Toh, yang dianggap moralis seperti almarhum Arief Budiman karena terus-menerus menyerukan anti-KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), tidak dapat dipungkiri berhasil menjadi wacana yang menjadi dasar bagi pelengseran Soeharto dan digunakan oleh seluruh aliansi gerakan sipil pada 1990-an.

Apakah kita juga tega, misalnya, mengatakan bahwa Aksi Kamisan yang menuntut keadilan atas pelanggaran HAM berat masa lalu, yang sudah dijalani lebih dari 800 kali oleh yang kita hormati Ibu Sumarsih, itu sia-sia? Ini bukan masalah individualisme belaka, karena saya kira selain berdiri di depan Istana Negara, elemen masyarakat juga sudah menggunakan seluruh upayanya untuk menuntut keadilan, termasuk secara konsisten menjadikan Aksi Kamisan sebagai titik kumpul berbagai elemen gerakan. 

Bukan karena tidak/belum berhasil hingga saat ini, tapi karena kondisi dan aktor yang dihadapi juga rumit, yang saya yakin elemen radikal sekalipun tidak bisa seketika memberi tawaran penyelesaian.

Akhirnya, artikel Rafiqa dan Mughis terlalu dogmatis memandang persoalan gerakan massa sejak demonstrasi Reformasi Dikorupsi 2019. Kedua penulis terasa kurang menempatkan diri secara empatik terhadap aktor dan kelompok yang seharusnya menjadi mitra penelitiannya. Thus, jadi kurang sabar menempatkan gagasan-gagasan konseptual-ideal dalam tataran praksis. Yang muncul sebagai respons atas tulisan mereka, sebagaimana sudah terjadi, adalah kekecewaan para pembaca juga dari aktor dan kelompok aksi massa, yang menerima stigma dari kedua penulis. Tulisan mereka akhirnya menjadi bumerang untuk mereka sendiri.


Daftar Bacaan
Dejung, C., Motadel, D. & Osterhammel, J. (2019). ‘Worlds of the Bourgeoisie’. In The Global Bourgeoisie: The Rise of the Middle Classes in the Age of Empire (pp. 1-40). Princeton: Princeton University Press. https://doi-org.ezproxy.leidenuniv.nl/10.1515/9780691189918-004
Engels, F. (2012). ‘Draft of a Communist Confession of Faith (1847)’. In J. Isaac (Ed.), The Communist Manifesto (pp. 47-51). New Haven: Yale University Press. https://doi.org/10.12987/9780300163209-005
Holt-Giménez, E., and Shattuck, A. (2011) ‘Food Crises, Food Regimes and Food Movements: Rumblings of Reform or Tides of Transformation?’, the Journal of Peasant Studies 38(1): 109-144.
Jones, G. (2009) Youth, Polity Press, Cambridge.
Marx, K. & Engels, F. (2012). ‘The Text of the Communist Manifesto Karl Marx and Friedrich Engels, the Communist Manifesto’. In J. Isaac (Ed.), The Communist Manifesto (pp. 73-102). New Haven: Yale University Press. https://doi.org/10.12987/9780300163209-007
Naafs, S. and White, Ben (2012) ‘Intermediate Generations: Reflections on Indonesian Youth Studies’, the Asia Pacific Journal of Anthropology, 13:1, 3-20, DOI: 10.1080/14442213.2012.645796
Parker, L., and Nilan, P. (2013). Adolescents in Contemporary Indonesia (1st ed.). Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203522073
van Klinken, G. (2014). ‘Introduction: Democracy, Markets and the Assertive Middle’. In In Search of Middle Indonesia. Leiden, the Netherlands: Brill. https://doi.org/10.1163/9789004263437_002
White, B. (2014). ‘Betting on the Middle? Middletown, Mojokuto and ‘Middle Indonesia’’. In In Search of Middle Indonesia. Leiden, the Netherlands: Brill. https://doi.org/10.1163/9789004263437_003 

Zulfadhli Nasution adalah peneliti dan penulis lepas.

Catatan: Ini adalah tanggapan kelima untuk opini “Darurat Aktivisme Borjuis“. Kamu bisa baca tanggapan pertama yang ditulis Evi Mariani, pemimpin umum PM, “Aku Ingin Kita Tetap Marah“; tanggapan kedua oleh Wahyu Eka Styawan, aktivis WALHI Jawa Timur, “Kritik Terbaik adalah yang Menggugah Orang untuk Bergerak“; tanggapan ketiga oleh Ilham Saenong, aktivis yang bekerja di Humanis, “Merekat Pembelahan Aktivis”; tanggapan keempat oleh Dodi Faedlulloh, akademisi Universitas Lampung, “Aktivisme Borjuis yang Eksis Lebih Berharga ketimbang Pengorganisasian Berbasis Kelas yang Hanya di Kepala”.

Mughis pernah menulis opini dengan tesis yang sama pada 2021 di PM, dan mendapatkan opini tanggapan yang terbit di IndoProgress oleh Coen Husain Pontoh, editor IP, “Menginvestigasi Kelas Menengah“, dan Eduard Lazarus, jurnalis dan editor lepas, “Kiri Indonesia: Dihantui Warisan Komunis dan ‘Masyarakat Sipil’“. 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Fahri Salam
14 menit