Labarik Lakon: Bertemu Kembali Setelah 30 Tahun Dipisahkan

12 menit

Pada akhir November 2022, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia–Timor Leste memberangkatkan 16 orang “stolen children” atau “labarik lakon” dari Indonesia ke Dili, Timor Leste. Mereka telah dipisahkan dari keluarganya di Timor Timur pada masa pendudukan Indonesia 1976-1999.

Reuni ini kali kedelapan sejak diinisiasi pada 2013. Dari 171 orang yang sudah teridentifikasi, 96 orang sudah berjumpa dengan keluarganya. Jumlah ini tak seberapa. Menurut catatan CAVR (Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Leste), ada lebih dari 4.000 anak yang dipisahkan dari keluarganya selama pendudukan Indonesia di Timor Leste.


PESAWAT BATIK AIR bernomor ID 8060 tiba di bandara internasional Presiden Nicolau Lobato, Dili, Timor Leste. Satu persatu penumpang keluar, menuruni tangga pesawat. Di antara mereka ada seorang yang bersikap lain. Ketika menapak tanah, ia tidak langsung menuju meja pemeriksaan paspor. Ia melipir ke sebelah kanan tangga dan bersujud mencium tanah tiga kali.

Sang penumpang yang mencium tanah itu bernama Anwar Achmad Shodik. Ini adalah kedatangan pertama kalinya di Dili setelah 30 tahun lalu meninggalkan tanah Timor Leste tanpa sempat memberi tahu orangtuanya.

Anwar terbang ke Dili bersama lima belas orang lain. Seperti anak-anak yang dicuri atau dihilangkan (stolen children) pada umumnya, atau dalam bahasa Tetun disebut labarik lakon, Anwar memiliki dua nama.

Sebelum bernama Anwar Achmad Shodik, ia bernama Martino Disnofi, kelahiran 4 Maret 1983. Martino kecil berasal dari Desa Batara, Sub Distrik Laclubar, Distrik Manatuto. Orangtuanya bernama Benzamin Umar dan Eliza Soares atau Hadizah.

Ayah Martino memberi tambahan ‘Disnofi’, yang artinya tanggal 19, yaitu tanggal tertangkapnya Benzamin oleh tentara Indonesia. Benzamin dulu simpatisan Falintil, Angkatan Bersenjata Pembebasan Nasional Timor-Leste. Ia dipenjara lalu bebas, kemudian bekerja pada tentara Indonesia sebagai tenaga bantuan operasional.

Anwar Achmad Shodik (39 tahun), bersujud mencium tanah tiga kali setelah turun dari tangga pesawat di Bandara Nicolau Lobato, Dili. Ini kedatangannya pertama kali di tanah kelahirannya setelah 30 tahun lalu ia meninggalkan Timor Leste. (Project M/Adrian Mulya)
Lanskap Desa Batara yang dikelilingi perbukitan penghasil kopi. (Project M/Adrian Mulya)

Akibat perang, keadaan di kampung mengalami krisis pangan berkepanjangan. Ketika usia Martino 9 tahun, ia ikut pamannya ke Dili. Sang paman kemudian memasukkan dirinya ke Yayasan Kesejahteraan Islam Nasrullah yang disingkat Yakin, sebuah yayasan yang mendapatkan dukungan dari Majelis Ulama Indonesia dan menampung anak-anak muslim untuk sekolah di Kuluhun, Dili.

Salah satu syarat masuk selain memeluk agama Islam adalah memiliki identitas muslim. Maka, ia pun berganti nama menjadi Anwar Achmad Shodik. Selang tiga bulan kemudian, ia dikirim ke Panti Asuhan Baitul Amin di Jombang, Jawa Timur, hingga tamat sekolah dasar.

Warga sekitar panti asuhan, yaitu pasangan suami istri bernama Bambang dan Eni, menawarkan Anwar masuk ke dalam Kartu Keluarga mereka, sehingga Anwar bisa memiliki Kartu Tanda Penduduk Indonesia.

“Mereka seperti orangtua angkat,” kata Anwar.

Setelah rampung sekolah dasar, Anwar dikirim ke Panti Al-Hikmah Muhammadiyah Kedung Asem, Surabaya. Ia bersekolah hingga tamat dari SMK Islam Jiwa Nala, juga di sekitaran Kedung Asem. Kemudian, sambil bekerja, mencoba kuliah di Universitas Kartini. Akan tetapi, karena kendala keuangan, hanya bisa sampai semester tiga.

Anwar lantas bekerja serabutan. Pada 2008, ia menikah dengan Dewi Anggraeni yang berasal dari Mojokerto, Jawa Timur.

Anwar melompati aliran sungai yang jembatannya rubuh karena terjangan banjir bandang pada 2020. Ia sempat ragu akan jalan yang ditempuh karena menurutnya seharusnya ada jembatan untuk menyeberangi sungai. (Project M/Adrian Mulya)
Refleksi air dari dua menara gereja Paroki Laclubar. Dalam ingatan Anwar gereja ini masih sama seperti ketika ia pergi meninggalkan desa Batara. Yang berubah hanya kontur tanah di depan bangunan gereja, yang tadinya datar sekarang menurun akibat abrasi air hujan karena letaknya berada di lembah. (Project M/Adrian Mulya)

Pengiriman anak-anak Timor Timur seperti Anwar marak dilakukan oleh lembaga berbasis agama pada 1980-1989, sesuai catatan investigasi dalam dokumen CAVR (Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Leste).

Beberapa lembaga keagamaan yang disebutkan CAVR adalah Yayasan Kesejahteraan Islam Nasrullah (Yakin) yang dibentuk oleh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Yayasan Masjid An-Nur, dan Yayasan Cinta Damai yang dikelola oleh Pendeta Paulus da Costa dan pengusaha asal Kupang, Cornelius Banoe. Lembaga-lembaga ini mengirim anak-anak Timor Timur ke Indonesia dan ditempatkan di panti-panti asuhan yang tersebar di Jawa, Sulawesi, dan Kupang.

Dalam buku hasil penelitian Helene van Klinken berjudul Anak-anak Tim-Tim di Indonesia (2014), pengiriman anak-anak Timor Timur merupakan bagian dari “proyek integrasi” Orde Baru, yang memposisikan Timor Timur seperti anak hilang yang kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

Proyek ini dijustifikasi atas dasar banyak anak kehilangan orangtua akibat invasi dan dampak konflik, yaitu krisis pangan dan kemiskinan. Dalam banyak kasus, sering terjadi pemaksaan, ancaman, dan kekerasan oleh serdadu-serdadu Indonesia dalam proses pengiriman anak. Proyek ini tak terlepas dari tujuan membangun “citra positif” Indonesia yang “peduli dengan anak-anak Timor Timur” di mata dunia internasional.

Di bandara Dili siang itu, berbeda dengan lima belas labarik lakon lain yang disambut sanak keluarga, tidak ada seorang pun sanak keluarga yang menyambut Anwar. Ia memang tidak memberi tahu keluarga perihal kedatangannya ke Timor Leste. Ia memiliki keyakinan pasti menemukan keluarganya dan diterima dengan baik.

“Saya keluar dari sini pun bukan karena punya masalah, keluar kampung karena sekolah, masih kecil disuruh berangkat, ya berangkat,” kata Anwar.

Baginya, yang penting bisa bertemu keluarga lalu ziarah dan melihat makam bapak dan adik.

Perjalanan dari Dili menuju Sub Distrik Laclubar berjarak sekitar 113 km dengan waktu tempuh sekitar 3 jam melalui lembah yang dikelilingi pegunungan. Anwar sempat ragu akan jalan yang kami tempuh, karena menurutnya seharusnya ada jembatan untuk menyeberangi sungai. Kami berhenti sesaat dan turun. Kemudian Anwar jadi yakin setelah menemukan sisa jembatan yang rubuh karena terjangan banjir bandang pada 2020.

Akhirnya, kami melanjutkan perjalanan dengan menerjang sungai. Selang 10 menit, sampailah kami di halaman Balai Desa Batara. Sekelompok anak muda sedang nongkrong, dan ada yang bermantelkan bendera Portugal karena kedatangan kami berbarengan momen perhelatan babak penyisihan grup Piala Dunia 2022. Lalu, beberapa anak muda itu memanggil kepala desa dan keluarga Anwar.

Setengah berlari, seorang perempuan berkerudung biru muda menghampiri Anwar. Awalnya ia seperti memandang tak percaya. Perlahan mengusap pipinya, lalu memeluknya dengan erat. Anwar pun memeluknya dan pecahlah tangis di antara keduanya.

Ibunda Anwar, Eliza, lahir pada 26 Juli 1944. Eliza berasal dari Desa Bora; ia mengungsi ke Desa Batara untuk menghindari peperangan antara tentara Indonesia dan Falintil. Ia menikah dengan Benzamin Umar atas prakarsa tentara Indonesia yang menggelar nikah massal.

“Karena ada huru-hara, maka harus nikah supaya perempuan ada yang jaga,” tutur Eliza. Ia tinggal sendirian di rumah bambu beratap seng.

Pernikahannya dengan almarhum Benzamin Umar memberikan tujuh anak. Anak pertama dan kedua, Mahmud Umar dan Nurlaila, berada di Sumbawa. Anwar adalah anak ketiga, sedangkan Maliki anak keempat sudah meninggal. Husna, anak kelima, juga di Sumbawa. Maria Soares dan Buento menetap dan berjualan di pasar Taibessi, Dili. Anak ke-6 dan ke-7 inilah yang seminggu sekali mampir ke Desa Batara untuk menjenguk Eliza.

Walau tak bersua selama 30 tahun, Eliza tahu Anwar masih ada. Mereka pernah berkontak sejenak melalui panggilan video pada 2017. Setelahnya, Eliza menjadi sedih sampai sakit berkepanjangan selama empat bulan. Ia teringat anak-anaknya yang terpisah-pisah dan lama tak jumpa.

Eliza, 78 tahun, ibunda Anwar memandang tak percaya putranya, lalu perlahan mengusap pipinya, memeluknya dengan erat. Anwar pun memeluknya dan pecahlah tangis di antara keduanya. Pertemuan ini berlangsung di halaman balai Desa Batara. (Project M/Adrian Mulya)
Eliza masih terlihat sehat dan gesit ketika mempersiapkan ayam hidup untuk keperluan upacara adat penerimaan putranya kepada leluhur. (Project M/Adrian Mulya)

 

PADA USIA 78 tahun, Eliza masih terlihat sehat dan gesit saat mempersiapkan ayam hidup untuk keperluan upacara adat dan mengumpulkan bunga untuk ziarah ke makam suaminya. Keesokan hari menjelang sore, tetua adat memimpin upacara di sebuah rumah adat sebagai bentuk “salam perkenalan” kembalinya Anwar kepada para leluhur di tanah asal yang telah lama ditinggalkannya.

Keesokan paginya, keluarga bersiap melakukan ziarah ke makam Benzamin Umar. Sebelum bergerak, keluarga melakukan ritual adat di depan sebilah pisau peninggalan almarhum.

Pisau itu diletakkan di sebuah kotak dari rotan dengan latar belakang kaplet doa devosi kepada Santo dan Santa (orang suci agama Katolik). Mereka merapal doa Bapa Kami dan tiga kali Salam Maria bersama dalam bahasa Tetun.

Kompleks makam berada di kaki bukit. Perjalanan menanjak ditempuh 15 menit dengan berjalan kaki, melewati ladang jagung. Setibanya di makam, Anwar, Eliza, Maria, Buento dan keluarga lain bahu-membahu membersihkan makam. Rerumputan liar dan sisa-sisa daun kering disingkirkan.

Sesuai adat, orang Timor Leste selalu memulai ritual dengan meminum arak. Begitu juga ketika di makam. Semua yang hadir minum kecuali Anwar. Satu sloki arak sebagai tanda membuka ritual dan satu sloki lagi untuk menutup. Mereka lantas memanjatkan doa, memasang lilin, dan menaruh sesajen untuk leluhur.

Setelah ritual berjalan, Anwar memanjatkan doa sesuai keyakinannya. Seraya berdoa, ia menyeka air mata di pipinya. “Saya sangat menyesal tidak bisa bertemu ayah sampai ia meninggal,” katanya.

Penziarahan berlanjut ke makam Maliki, adik Anwar. Makamnya tidak bernisan, hanya ada tanda gundukan batu.

Sebelum bergerak menuju makam ayah Anwar, Benjamin Umar, keluarga merapal doa Bapa Kami dan tiga kali Salam Maria bersama-sama dalam Bahasa Tetun terlebih dahulu di depan sebilah pisau peninggalan almarhum. Pisau tersebut diletakkan pada sebuah kotak terbuat dari rotan dengan latar belakang kaplet doa devosi kepada Santo dan Santa (orang suci agama Katolik). Peralatan untuk ritual adat lain seperti bunga, sirih pinang, makanan untuk sesajen, arak dan kopi juga turut didoakan. (Project M/Adrian Mulya)
Anwar berjalan menuju komplek makam, di mana ayahnya pada usia 70 tahun meninggal dan dikuburkan pada tahun 2014. (Project M/Adrian Mulya)
Anwar berdoa di makam almarhum Benzamin Umar. Sebelumnya Anwar dan keluarga membersihkan makam, kemudian menaburkan bunga, membakar lilin dan memberikan sesajen di atas makam. (Project M/Adrian Mulya)

 

SETELAH KULIAHNYA mandek pada semester tiga, Anwar bekerja apa saja di Surabaya. Ia berkumpul dengan sesama pemuda Timor Timur di Yayasan Muslim Moris Hamutuk.

Dari tempat ini, ia mendapatkan informasi keadaan Timor Leste. Pada 2007, perkenalannya dengan Dewi Anggraeni dari Mojokerto berlanjut ke pernikahan pada 2008. Anwar ingat bermotor bersama sahabatnya dari Moris Hamutuk saat melamar.

Anwar dan Anggraeni dikaruniai dua anak. Anak pertama bernama Niki Amanda Rahmadani lahir pada 2009. Anwar ingat biaya persalinan sebesar Rp900 ribu adalah hasil tabungannya dari kerja proyek di Surabaya.

“Setiap Sabtu gajian, kadang Rp600 ribu kadang Rp500 ribu, saya selalu simpan Rp100 ribu. Sisanya diserahkan ke istri,” kenang Anwar.

Istrinya terkejut saat Anwar memberi uang Rp1,5 juta untuk biaya persalinan. Saat ini Amanda tinggal di pesantren perempuan dan sudah kelas 2 SMP.

Anak kedua bernama Muhammad Arham Ramelau. Kelahiran Arham bertepatan meletusnya Gunung Kelud di Jawa Timur. Maka, untuk mengingat letusan ini pada Februari 2014, Anwar memberi nama tambahan Ramelau, gunung tertinggi di Timor Leste. Arham saat ini bersekolah kelas 3 SD.

Rumah adat tempat berlangsungnya upacara penerimaan Anwar oleh para leluhur. Hanya orang yang berkepentingan saja yang boleh masuk ke rumah berdinding bambu dengan ukuran ruang dalam 2x3m2. (Project M/Adrian Mulya)
Anwar menerima sirih pinang dari pamannya, Gaspar Guteres, sebagai tanda penolak bala. Upacara adat berlangsung di rumah adat yang terletak di belakang kampung. Rumah berdinding bambu dengan ukuran 2x3m2. (Project M/Adrian Mulya)

Hingga tahun 2018, Anwar bekerja serabutan di proyek pembangunan sambil sesekali jadi sopir ojek di Surabaya. Setiap hari, ia menempuh jarak sekitar 100 km selama 1,5 jam mengendarai motor dari Mojokerto ke Surabaya dan sebaliknya. Pada 2018, ia mencoba peruntungan bekerja di Bali sebagai tenaga pemasangan alat pemancar sinyal selama empat bulan. Usai kontrak kerjanya selesai, ia kembali ke Surabaya.

Karena ingin lebih banyak waktu bersama dan dekat dengan keluarga, Anwar memutuskan mencari kerja di Mojokerto. Pada Januari 2022, ia diterima sebagai tenaga pengamanan sebuah klinik kecantikan, berjarak 12 km dari rumahnya. Anwar bekerja enam hari dalam seminggu, dari jam 9 pagi sampai 7 malam. Ia mendapat penghasilan per bulan sesuai UMK Kota Mojokerto sebesar Rp2,7 juta.

Pulang kembali ke Timor Leste mengingatkan Anwar akan masa kecilnya. Ia sering ikut  ayahnya mencari kopi, madu, dan membuat tuak. Mereka menjualnya ke pasar desa di hari Sabtu dan Minggu dengan harga Rp200/jeriken isi 2 liter.

Ketika berada di Dili pada Desember 2022, Anwar menyempatkan diri berjumpa dengan kawan lama dulu sesama penghuni panti asuhan di Jombang. Sang kawan mendorong Anwar mencari nafkah di Timor Leste.

“Kalau peluang di sini masih banyak, yang penting punya keterampilan apa saja, misalnya istrimu bisa masak, jualan di sini karena semua orang di sini hobi makan,” saran si kawan. “Mending kalau kamu mau pulang, sekarang! Jangan kalau ini sudah maju, kamu pulang, kamu jadi penonton di sini.”

Foto pada dinding rumah keluarga Anwar di Mojokerto. Pernikahan dengan Dewi Anggraeni dikaruniai dua anak, Niki Amanda Rahmadani dan Muhammad Arham Ramelau. (Project M/Adrian Mulya)
Anwar bersama keluarga di Mojokerto. (Project M/Adrian Mulya)

Saran dari kawan itulah yang terus mengusik pikiran Anwar. Selain harus mengumpulkan dolar sebagai modal pulang, Anwar juga ingin mempertemukan istri dan anak-anaknya pada keluarga di kampung kelahirannya.

“Peluang itu harus direncanakan,” kata Anwar. “Kalau belum punya anak dan istri, enak. Kumpul modal kerja, lalu pulang. Tapi, saya, kan, sudah ada ikatan.”

Kalau pun ia jadi pulang dan memilih mencari peruntungan di Dili, ia perlu beradaptasi lagi karena kini ia merasa asing saat berada di Timor Leste.

“Benar kita lahir di sana, tapi, kan, kita besar di sini,” tutur Anwar.


Adrian Mulya merekam reuni anak-anak Timor Leste yang dipisahkan dari keluarganya ini pada 23 November – 3 Desember 2022 bersama Kelompok Kerja Labarik Lakon. Adrian lantas mendatangi keluarga Anwar di Mojokerto. Ini adalah satu dari dua cerita foto yang dikerjakan Adrian dari reuni tersebut.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

12 menit