Kapasitas dan anggaran jadi alasan Kementerian Komunikasi dan Digital menunda pembangunan PDN di Batam. Proyek yang bertujuan meningkatkan keamanan data publik dan dimulai awal tahun itu, bukan hanya ditinggal mangkrak tetapi menjadi masalah bagi nelayan dan pelaku usaha setempat.
Data publiknya tak kunjung aman, lingkungannya terus dikorbankan.
LUMPUR TEBAL memenuhi sebagian besar pesisir Teluk Mata Ikan di Nongsa, Batam, Kepulauan Riau. Siang itu, Rahmat (40) hanya bisa bisa memandangi kapalnya yang ditambat di pinggir pantai.
“Cari anak kepiting sama udang di sini sudah tidak ada lagi, sudah enggak bisa, lumpur tinggi,” kata Rahmat, saat ditemui akhir Agustus lalu.
Saat air pasang, ia membawa sampannya mendekat ke bibir pantai. Namun ketika surut, ia memilih tetap di darat, alih-alih pergi melaut. Perairan jadi sulit diarungi, karena hanya berjarak 10 meter dari bibir pantai, lumpur menggunung setinggi lututnya.
Timbunan lumpur mulai muncul sejak awal tahun ini, berbarengan dengan dimulainya proyek Pusat Data Nasional (PDN), di bawah tanggung jawab Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), yang di era Presiden Prabowo Subianto berubah nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Proyek ini dirancang sebagai bagian dari pengembangan infrastruktur digital nasional. Batam menjadi salah satu dari empat lokasi yang dipilih untuk pembangunan PDN, selain Karawang di Jawa Barat, Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, dan Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur.
Namun, pembangunan proyek yang konon untuk meningkatkan efektivitas keamanan data nasional ini justru dilakukan tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi warga sekitar lokasi.
Sejak lumpur yang diduga berasal dari hasil cut and fill proyek, membuat tangkapan laut seperti udang dan kepiting kini sulit ditemui. Setiap kali hujan turun, tanah dari proses pematangan lahan PDN tersebut terbawa air, masuk dan kemudian mencemari laut.
Nelayan seperti Rahmat terpaksa pergi jauh ke tengah laut untuk mencari ikan. Jika terlalu dekat dengan pantai, alih-alih menangkap ikan, jaring ikan mereka yang putih justru berubah warna jadi kuning karena dipenuhi lumpur tebal.
Hanya kurang dari satu tahun sejak pembangunan dimulai, proyek ini membawa perubahan yang signifikan bagi sumber nafkah nelayan. Saat ini, banyak nelayan mulai enggan mencari ikan di laut lagi.
“Dulu banyak [nelayan cari udang dan kepiting], tapi karena lumpur, tak mau lagi [mereka] ke sini,” katanya.
Daeng, nelayan lainnya, juga merasakan dampak pencemaran ini. Alat tangkap seperti bubu untuk kepiting rajungan dan jaring ikan tidak lagi efektif.
“Lumpur di laut susah hilangnya. Setiap kali kami menebar jaring atau memasang bubu, hasilnya kurang,” katanya.
Karang dan rumput laut yang dulu menjadi habitat ikan kini juga rusak parah. “Dulu, kalau saya nembak ikan di laut, karangnya bagus, rumputnya subur. Tapi sekarang sudah mati semua,” tambah Daeng.
Dampak dari rusaknya ekosistem ini sangat terasa bagi nelayan, yang ini hanya mampu menangkap sedikit ikan. “Dulu bisa dapat 15 kilo sehari, sekarang paling cuma 5 kilo sampai 4 kilo, kadang tak ada” ujarnya dengan nada kecewa.
Daeng dan para nelayan setempat telah mencoba meminta kompensasi kepada pihak berwenang. Namun, belum mendapatkan tanggapan. “Kami sudah layangkan surat ganti rugi, minta bantuan dari [anggota] dewan, tapi sampai sekarang tak ada jawaban soal kompensasi,” ungkap Daeng.
Baginya, kompensasi bukan hanya soal uang, tetapi juga tentang keberlanjutan kehidupan mereka sebagai nelayan yang dampak dari pencemaran ini.
***
Bukan hanya nelayan seperti Rahmat yang terkena imbasnya, sektor pariwisata yang juga jadi unggulan bagi warga setempat, juga kecipratan dampaknya. Saat hujan turun, air laut berubah warna menjadi cokelat akibat lumpur yang mengendap.
Jais, tokoh masyarakat sekaligus pelaku usaha wisata mengatakan wisatawan yang berkunjung jadi urung untuk main air laut dan fasilitas mereka tentu tidak digunakan karena kondisi ini.
“Kamar mandi yang kami sediakan tidak dipakai. Tak order makanan. Kami dirugikan,” kata pria 57 tahun itu.
Bagi masyarakat, pencemaran laut ini bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga masalah ekonomi. Jais menekankan pentingnya pemerintah dan perusahaan besar yang terlibat dalam proyek PDN untuk lebih memperhatikan dampak lingkungan yang ditimbulkan.
“Harapan kami, sebelum melakukan pengerjaan, perusahaan besar sudah melakukan kajian Amdal yang tepat. Ini menyangkut habitat laut dan pendapatan kami, para nelayan dan masyarakat yang bergantung pada laut,” tegas Jais.
Namun, harapan ini masih belum terwujud. Kompensasi yang diharapkan oleh masyarakat belum juga diberikan, dan upaya penanggulangan yang dilakukan oleh pihak proyek dinilai belum maksimal.
“Memang sudah karung yang disusun untuk menahan lumpur, tapi belum maksimal. Kalau tidak hujan, tidak masalah. Tapi kalau hujan, lumpur tetap terbawa ke laut,” ujar Jais.
September 2024, Kominfo mengumumkan pembangunan PDN ditunda karena berbagai kendala, dua di antaranya masalah anggaran dan kapasitas. Pernyataan ini berselang dua bulan setelah PDN mengalami peretasan besar-besaran oleh kelompok peretas, Brain Cipher.
Menkominfo, saat itu masih dijabat Budi Arie, mengatakan operasional PDN kekurangan dana. Anggaran operasional yang dibutuhkan untuk tahun ini mencapai Rp542 miliar, tetapi hanya tersedia Rp257 miliar.
Situasi ini juga memengaruhi pengelolaan cloud pemerintah, yang melayani 503 instansi dan lebih dari 11 ribu aset pemerintah. Kekurangan dana juga diproyeksikan terjadi pada tahun 2025, dengan kebutuhan Rp486 miliar tetapi hanya 5,6% dari total yang tersedia.
Kominfo diberi mandat dalam Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 untuk membangun pusat data nasional yang mendukung penyelenggaraan infrastruktur sistem pemerintah berbasis elektronik (SPBE).
Kendati demikian, bagi warga sekitar lokasi proyek, keputusan pemerintah untuk menunda pembangunan ini dipandang sebagai dalih mengabaikan dampak negatif yang ada.
“Sampai sekarang tidak ada solusi. Ini menyangkut kehidupan masyarakat, proyek besar seperti ini seharusnya lebih memikirkan dampak terhadap kami,” tukas Jais.
Warga Menanti Solusi
Proyek PDN di Batam berada dalam wilayah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Nongsa Digital Park yang dikelola PT Taman Resort Internet (Tamarin) yang didirikan pengusaha dan pebisnis hiburan asal Singapura, Mike Wiluan.
KEK Nongsa Digital Park adalah kawasan yang berfokus pada pengembangan sektor digital dan kreatif, resmi ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2021. Kawasan ini direncanakan menjadi pusat pengembangan ekosistem digital yang meliputi big data, cloud computing, kecerdasan buatan (AI), dan industri kreatif.
Berlokasi dekat Singapura, KEK dicita-citakan dapat menarik investasi asing dengan mudah dan menghubungkan dengan perusahaan teknologi internasional. Dua investor utama KEK Nongsa Digital Park adalah Salim Group dan Crown Prince Holdings (CPH) – perusahaan konstruksi dan teknologi asal Singapura.
Andi Mazlan (47), Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Teluk Mata Ikan, mengaku sudah lama melayangkan surat keberatan kepada pihak Nongsa Digital Park terkait pencemaran lumpur yang terus mengalir ke laut. Namun, solusi yang saat ini ada, dinilai belum mampu mengatasi masalah.
“Masalahnya semakin pelik,” ujarnya.
Lumpur yang semula hanya mengalir ke laut, kini telah mengendap di dasar laut, menggerus ekosistem dan menyulitkan hidup para nelayan serta pelaku wisata pantai. “Bukan hanya mengalir, lumpur sudah mengendap dan tetap tak ada penanganan.”
Pada Juni 2024, perwakilan nelayan dan pelaku wisata bertemu dengan perwakilan Nongsa Digital Park (NDP). Pihak pengembang juga telah diajak melakukan kunjungan kunjungan lapangan untuk memperlihatkan langsung kondisi yang ada, tapi ia merasa belum ada hal yang signifikan.
Bagi Andi, penundaan ini justru memperburuk keadaan. Pada musim penghujan seperti saat ini, lumpur akan semakin banyak yang terbawa ke laut, dan tanggul sementara yang hanya terbuat dari karung pasir dinilai tak efektif.
“Tanggulnya cuma dari karung berisi pasir, itu tidak akan menghentikan lumpur mengalir,” kata Andi.
Sebelum proyek ini dimulai, hutan sekitar masih utuh dan pencemaran semacam ini tak pernah terjadi. Kini, laut Teluk Mata Ikan semakin tercemar, nelayan kehilangan sumber penghasilan, dan pariwisata terpuruk.
Selain dengan pengembang, warga juga sudah dua kali mengadukan permasalahan mereka ke DPRD Kepulauan Riau tetapi dialog yang diharapkan belum juga terwujud.
“Kami kecewa. Surat-surat sudah kami kirimkan, tapi respons dari pihak PDN tak ada,” jelas Andi.
Pada pertemuan terakhir, sekitar Juni 2024, pihak proyek hanya menyampaikan perkembangan teknis, tanpa menyentuh dampak sosial dan lingkungan yang begitu dirasakan masyarakat.
Dengan kondisi yang kian memprihatinkan, Andi dan masyarakat Teluk Mata Ikan berharap pemerintah segera turun tangan. Nelayan dan pelaku wisata pantai sangat bergantung pada laut yang bersih dan sehat, namun pencemaran ini mengganggu pendapatan ekonomi warga.
“Laut adalah segalanya bagi kami. Jika terus tercemar, ekonomi pasti terganggu,” kata Andi, penuh harap agar solusi segera ditemukan, dan proyek besar seperti PDN tidak hanya fokus pada teknis, tetapi juga memperhatikan dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan.
Ketua Komisi II DPRD Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Wahyu Wahyudin, diketahui sempat meninjau lokasi pencemaran laut di Pantai Teluk Mata Ikan pada Juli 2024. Namun sejak itu, tiada kabar baik yang didapat warga mengenai keluhan mereka.
Ketika kami mintai keterangan melalui sambungan telepon terkait permasalahan ini, ia cenderung tak mau berkomentar. “Untuk lebih lanjut soal proyek itu, langsung aja ke Kemkominfo,” jawabnya singkat.
‘Moral Brutal’
Akar Bhumi Indonesia, perkumpulan aktivis lingkungan di Batam, menggarisbawahi pembangunan proyek di atas lahan berkisar 7 hektare itu memicu masalah lingkungan yang serius.
Hendrik Himawan, pendiri Akar Bhumi Indonesia, menjelaskan metode cut and fill yang digunakan dalam pematangan lahan menjadi biang keladi sedimentasi. Air hujan yang turun membawa lumpur langsung ke laut, mencemari perairan. Upaya pengembang membangun tiga kolam tampias sebagai penahan lumpur ternyata tidak cukup.
“Kolam-kolam itu terlalu kecil dan tidak mampu menampung limpasan dari lahan proyek. Akibatnya, sedimentasi terus masuk ke laut, membuat air berlumpur dan merusak ekosistem,” kata Hendrik, saat diwawancarai pada November.
Kerusakan laut ini bukan hanya soal ekologi, tetapi juga soal kehidupan manusia. Nelayan yang menggantungkan hidupnya pada laut mulai merasakan dampak nyata. Mereka mengeluhkan hilangnya udang dan kepiting dari perairan sekitar. Udang yang biasanya menjadi indikator kesehatan laut, kini semakin sulit ditemukan.
Meski proyek pembangunan PDN di Teluk Mata Ikan kini dihentikan, masalah mendasar tetap menjadi perhatian. Hendrik mengkritik proses perizinan di Batam yang dinilainya dilakukan serampangan.
“Di sini [Batam], perizinan sering dilakukan sambil jalan. Padahal, Amdal seharusnya sudah ada sebelum proyek dimulai,” kata Hendrik.
Ia juga menyoroti lemahnya penegakan hukum dan rendahnya kepatuhan pengusaha sebagai akar masalah. Menurutnya, penegakan hukum yang lemah, kepatuhan pengusaha yang rendah, dan minimnya kepedulian masyarakat menjadi tiga faktor utama kerusakan lingkungan di Batam.
“Kami sepakat menggunakan diksi ‘brutal’ untuk menggambarkan moralitas mereka. Intelektualitas tinggi tidak ada artinya jika moralitas rendah, apalagi jika sampai mengganggu nafkah orang lain,” katanya.
Akar Bhumi Indonesia mendorong pemulihan lingkungan dan perlindungan masyarakat terdampak. Perusahaan yang merusak lingkungan harus bertanggung jawab. Sanksinya bisa administratif, perdata, bahkan pidana, lanjutnya.
Ia juga menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses Amdal dan pemulihan lingkungan. Namun, yang kerap terjadi, masyarakat tak pernah diajak kala membahas dampak lingkungan, yang pada akhirnya mengganggu nafkah mereka.
Upaya untuk menggali informasi terkait proses pembangunan dan penundaan PDN tak kunjung membuahkan hasil. September lalu, di hadapan sejumlah awak media, Menkominfo Budi Arie menyinggung bahwa proyek PDN Batam sudah memperhitungkan kajian lingkungan yang baik.
Pada 3 September 2024, kami mengirimkan pesan singkat melalui Whatsapp kepada Nara Dewa, Direktur General Affairs PT Taman Resor Internet (Tamarin) sekaligus pengelola Kawasan Nongsa Digital Park. Namun, Nara menolak diwawancara.
“Ini masalah yang sangat sensitif,” ucapnya singkat.