Mama Laurensia Yame, seorang perempuan suku Awyu, menyusuri Sungai Digul sembari mencerna kehidupan masa lalunya yang jungkir balik ditelan raksasa sawit. Di tepi sungai, anak-anak berlari dan bermain di ruang hidup yang polos di masa depan hutan Papua yang tersisa. Tatkala perusahaan datang menggusur tanah yang telah mereka diami selama ribuan tahun bahkan dari nenek moyang dahulu, nyanyian Mama Lihat Awan Jatuh itu terdengar sayup-sayup, “Kami manusia tidak tahu harus ke mana”.
Sejak 1997, penggundulan hutan oleh korporasi meluas di Papua. Menyingkirkan perempuan Papua yang kehilangan akses atas ruang produksinya: dusun, hutan, dan sungai; ruang hidup yang selama ini saling bergantung sebagai kesatuan ekosistem perawatan dan penghidupan.
Di Papua Selatan, rencana masuknya PT Indo Asiana Lestari, korporasi kebun sawit, memecah belah masyarakat Suku Awyu, salah satu suku terbesar dan terluas wilayah ulayatnya yang hidup di sepanjang aliran Sungai Digul. Masyarakat Awyu terbelah. Mereka yang setuju beralasan perusahaan akan memberikan pekerjaan dan kebutuhan pembangunan.
Mereka yang menolak meyakini hutan sudah lebih dari cukup memberi kita makan dan penghidupan; perkebunan kelapa sawit justru hanya membawa penderitaan baru.
Mama Laurensia Yame, perempuan Awyu dari Kali Wosu, Kampung Ampera, Distrik Mandobo, sudah merasakan benar getirnya kerja dan hidup terasing di perusahaan sawit di Asiki.
Ia percaya hutan dan segala isinya serta sungai sepanjang alirannya adalah sebaik-baiknya pemberi hidup.
Lagu oleh Mama Antonia
Bapa, Engkau Tuhan yang menciptakan tanah ini
Tanah adalah Mama,
Yang sedang berbaring
Kami manusia berpijak di atas pundak ibu
Tatkala perusahaan datang menggusur tanah kami
Kami masyarakat Awyu mau ke mana?
Kami manusia tidak tahu harus ke mana
Film ini merupakan film pertama dari Trilogi Awyu