‘Masa Lalu adalah Masa Lalu’: Kemenangan Prabowo & Toxic Positivity

AJI Indonesia
Fahri Salam
17 menit
Ilustrasi Prabowo dan toxic positivity. (Project M/Aan K. Riyadi - CC BY-NC-ND 4.0)
Untuk memenangkan pertarungan Pilpres 2024, kamu cukup mengubah secara total strategi kampanye, sebab hal-hal krusial lain sudah diurus Presiden Jokowi.

Hal-hal krusial lain itu adalah mengerahkan seluruh infrastruktur kekuasaan, mengucurkan dana bantuan sosial yang adalah pajak kita sendiri, serta membiarkan aparat penegak hukum yang berperan menakuti-nakuti para pendukung lawan. Presiden Jokowi adalah aktor sentralnya; dia mengunci kemenangan Prabowo Subianto, plus anak sulungnya Gibran Rakabuming, bahkan sebelum pertarungan dimulai.

Semua dari kita tahu mengenai permainan di Mahkamah Konstitusi yang memuluskan jalan Gibran menjadi pasangan wakil presiden Prabowo. Kita juga tahu mengenai seorang presiden bagi-bagi bansos ke kantong-kantong pemilih sebelum pemilihan digelar. Kita juga tahu peran polisi menakuti-nakuti kepala daerah hingga kepala desa yang menolak mendukung pasangan Prabowo-Gibran-plus-petahana. Juga menggiring PNS agar memilih Prabowo-Gibran.

Dan, sebuah lagu kampanye, ”Oke Gas Prabowo Gibran Paling Pas”, dengan joget gemoy membungkus muslihat itu; mengemasnya menjadi seakan-akan Pilpres 2024 adalah Pilpres yang paling santuy. Hasilnya 58% suara! Ini jumlah suara yang bahkan mengalahkan kemenangan Jokowi dalam dua pemilu sebelumnya. Suatu kemenangan telak.

Made Supriatma, anggota Majelis Pengetahuan dan Peneliti Senior YLBHI, menulis bahwa Pemilu 2024 kemarin adalah pemilu yang paling dekat dengan pemilu yang diadakan di zaman Orde Baru. Pemilu ini melazimkan penggunaan kekuasaan dan kekuatan petahana di luar batas norma kenegaraan yang sangat jelas terlihat. 

Kekuatan petahana yang dimanfaatkan oleh Jokowi, atau istilahnya power of incumbency, di luar strategi yang telah disebutkan, seperti merapel kenaikan gaji tunjangan pensiunan selama 3 bulan, menaikkan gaji ASN, polisi, dan militer sebanyak 12%, memiliki dampak yang sangat efektif terhadap dukungan bagi Prabowo-Gibran.

Tetapi, dibilang Prabowo tidak berusaha sama sekali ya tidak juga. Dia berusaha banget malah (menahan emosi, maksudnya). Prabowo yang dulu kita kenal temperamental, gampang emosian, dan marah-marah pada kampanye-kampanye sebelumnya, dalam Pilpres kemarin dilihat-diperagakan lebih santai, seringkali mengampanyekan ‘persatuan’, cenderung dan bahkan bersemangat menyetujui lawan debat, dan bahkan menyampaikan permintaan maaf. 

Strategi inilah yang disebut Nicole Curato, profesor politik dan sosiologi di Universitas Canberra, sebagai toxic positivity. Strategi sama yang digunakan Marcos Jr. alias Bongbong untuk memenangkan Pemilu Filipina pada 2022. 

Bongbong Marcos, anak mantan diktator Ferdinand Marcos Sr., bertandem dengan Sara Duterte, anak mantan Presiden Rodrigo Duterte. Dalam salah satu kampanye, Bongbong menyampaikan bahwa persatuan akan membuat Filipina tetap bersatu di tengah krisis, dan persatuan itulah yang akan membuat Filipina bangkit kembali. Ini mirip dengan misalnya Prabowo minta maaf kepada mantan aktivis dan politikus Agus Jabo, yang adalah pendukungnya, saat masa kampanye Januari 2024. Potongan video ini ramai di TikTok. Seperti Bongbong, Prabowo ingin kita semua berdamai dan melupakan masa lalunya, lalu fokus pada masa depan. Secara singkat, menyebarkan toxic positivity

Seperti Bongbong, Prabowo telah mengubah dirinya menjadi seorang anti-populis. Media-media luar menyebutnya sebagai cuddly grandpa, kakek 72 tahun yang imut-tembab, untuk menerjemahkan istilah gemoy. Sementara sebagian peneliti menyebutnya statesman selepas dia diajak Jokowi bergabung dalam pemerintahan periode kedua. 

Nuurrianti Jalli, asisten profesor di Oklahoma State University, mengamati negara-negara di Asia Tenggara punya tendensi untuk meniru taktik propaganda negara tetangga, yang bisa intensional bisa juga tidak. 

“Replikasi seperti ini terjadi antar-negara di Asia Tenggara terutama karena kita tidak mengetahui isu politik yang terjadi di negara tetangga, khususnya isu-isu yang bersifat sangat lokal,” celetuk Nuurrianti. 

Selain itu, perbedaan bahasa jadi penyebab masyarakat tidak begitu paham isu yang terjadi di negara tetangga karena isu-isu politik hanya dibahas dalam bahasa lokal sehingga tidak melampaui batas negara. 

“Meski sudah ada internet, tapi masalah bahasa bisa menghambat transfer informasi,” jelas Nuurrianti.

TikTok adalah Kunci

Lalu bagaimana Prabowo dan tim mengubah dirinya menjadi gemoy

TikTok adalah kunci! Indonesia menyumbang audiens terbesar kedua platform ini secara global. Selain itu, TikTok memang cocok dengan demografi voters kita yang mayoritasnya adalah Gen Z (kelahiran 1997 hingga 2012). Gen Z menyumbang 27,94% dari total pemilih Pemilu 2024 dan mereka akan menggunakan hak pilih pertamanya. 

Gen Z adalah target utama kampanye Prabowo-Gibran. Mereka adalah generasi yang tidak tumbuh dengan realitas kekerasan negara 1998 dan kiprah masa lalu Prabowo dalam kekejaman pendudukan militer Indonesia di Timor Leste dan operasi militer di Aceh. Pada 2018, laporan BBC News Indonesia menunjukkan Generasi Z bahkan belum pernah mendengar nama tokoh-tokoh aktivis 1998. 

Salah satu Gen Z yang diwawancarai BBC waktu itu mengatakan masa kelam itu hanya dibahas sebatas 1-2 halaman dan itu pun “dibahas beberapa menit doang, habis itu move on lagi topiknya”. 

Artikel ini berbasis riset mengulik konten TikTok mengenai sejarah Mei 1998 dan sejauh dan sedalam apa narasi mengenai Prabowo terkait konten 98 dikontestasikan dalam masa kampanye Pilpres 2024. 

Awalnya saya mengira hoaks atau misinformasi terkait sejarah 1998 atau masa lalu Prabowo akan sangat masif di TikTok. Asumsi ini dibentuk dari pengalaman saya sebagai jurnalis pengecek fakta bahwa hoaks politik selalu mewarnai pemilu-pemilu sebelumnya. Dengan begitu, tuduhan pelanggaran HAM yang dialamatkan kepada Prabowo juga menjadi topik politik yang gurih untuk dipelintir, dong? Dan seharusnya begitu, kan?

Asumsi lain saya: para jurnalis pemeriksa fakta maupun organisasi masyarakat sipil bisa dengan responsif mengawal potensi hoaks yang tersebar melalui platform TikTok. Sebab di TikTok pula, entah bagaimana tapi yang jelas adalah strategi kampanye yang subtile,  potongan video ibu-ibu menangis muncul saat ada yang mengolok-olok Prabowo. 

Ini adalah konten-konten yang berpotensi mengarah pada hoaks “sejarah 1998” dalam Pilpres 2024.

Hasil dari riset itu: konten-konten negatif terkait Prabowo sangat mendominasi! Jumlahnya mencapai 44,67% dan mengarah pada narasi “Prabowo harus bertanggung jawab”. Konten-konten ini mengulas kejadian masa lalu, seperti mengingatkan masyarakat tentang tuduhan pelanggaran HAM yang tidak pernah diusut negara secara tuntas.

Misalnya, akun @statebrutality dalam unggahannya menilai kasus ini bukan “dagangan politik” lima tahunan. Setiap Kamis, setiap pekan, korban HAM dan sejumlah mahasiswa, dan elemen masyarakat setia menyuarakan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Tangkapan layar konten di TikTok yang menyebut pelanggaran HAM berat masa lalu bukanlah dagangan politik lima tahunan. (Arsip Irma Garnesia)

Konten yang bersentimen positif terkait “sejarah 1998” terhadap Prabowo justru sangat sedikit, hanya 16,24%. Narasinya seperti “Aktivis dan pihak yang mengendorse Prabowo”, yang isinya dukungan dari aktivis 98, seperti Budiman Sudjatmiko dan Agus Jabo, kepada Prabowo-Gibran. 

Kemudian potongan video dukungan dari adik mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, Fifi, meski etnis Tionghoa merupakan korban kekerasan rasialisme negara pada 1998. 

Tangkapan layar konten di TikTok yang menarikan “aktivis 1998” mendukung Prabowo pada Pilpres 2024. (Arsip Irma Garnesia)

Konten-konten ini, seperti influencer yang juga dikerahkan Bongbong Marcos, berusaha secara intensional bahwa masa lalu adalah masa lalu. Saat ini masyarakat-masyarakat Indonesia hanya perlu fokus pada masa depan. Toh bahkan aktivis 98, yang dulu adalah korban penculikan dan penangkapan, juga sudah beralih mendukung Prabowo. 

Ada pula yang menegaskan bahwa pemecatan Prabowo dari ABRI bukanlah karena ia melakukan pelanggaran HAM, tapi karena keputusan politik saat itu. Selain itu, tuduhan itu dinarasikan “cuma isu musiman 5 tahun sekali”. Saat ini, demikian penegasan dari narasi tersebut, sudah saatnya kita bicara soal persatuan. 

Tangkapan layar konten di TikTok yang menarasikan pemecatan Prabowo terkait penculikan aktivis 98 “bukanlah proses hukum” tapi bermotif politis. (Arsip Irma Garnesia)

Secara umum, mayoritas konten terkait “sejarah 1998” memiliki sentimen negatif terhadap Prabowo, yakni 54,82%, disusul 41,12% sentimen positif/bersifat membela Prabowo. 

Saya mengategorikan sentimen-sentimen ini karena berlawanan dengan asumsi sebelumnya bahwa akan sangat banyak konten siar kebencian dan hoaks peristiwa 1998 atau menyalahkan korban atau mengata-ngatai aktivis. Nyatanya, tidak banyak konten bermuatan misinformasi yang ditemukan! Kebanyakan konten justru menyalahkan Prabowo.

Memang ada beberapa konten yang berpotensi misinformasi, seperti potongan video wawancara aktivis Munir. Video dari @dintannews menyesatkan potongan pernyataan Munir bahwa 11 anggota Kopassus dalam Tim Mawar melakukan penculikan terhadap 9 aktivis hanyalah kambing hitam. Mereka hanyalah eksekutor, sementara itu ada pengambil keputusan yang lebih tinggi. Mereka hanya dihukum karena menculik 9 aktivis. 

Munir menyampaikan ada dua jenderal dan satu kolonel yang dicopot jabatannya karena kasus ini. Prabowo hanya dicopot jabatan dan masa pensiunnya dipercepat tanpa prosesi hukum. 

Munir berkata saat itu pemecatan seorang jenderal tidak bisa dilakukan jika tidak pernah diadili di depan pengadilan. Sehingga, jika disimpulkan, Prabowo tidak bersalah sebelum diadili di pengadilan, yang tak pernah terjadi. (Petinggi militer saat itu memakai mekanisme ad hoc bernama Dewan Kehormatan Perwira alias DKP untuk mengadili Prabowo. Seorang anggota DKP belakangan mengakui mekanisme memberhentikan Prabowo dari militer “secara hormat” lewat DKP karena saat itu Prabowo dilindungi statusnya sebagai mantu Presiden Soeharto.) 

Tangkapan layar konten di Tiktok yang menyesatkan ucapan Munir dalam video potongan mengenai pemecatan Prabowo dan kaitannya dengan penculikan aktivis 1998. (Arsip Irma Garnesia)

Video-video penyesatan ucapan Munir berseliweran di media sosial. Pada 14 Februari, lembaga pemeriksa fakta Mafindo menyatakan video potongan wawancara Munir yang menyebut “Prabowo tak bersalah dan tak terlibat dalam pelanggaran HAM” bersifat salah dan menyesatkan

Hal serupa ditemukan pada potongan video podcast Uni Zulfiani Lubis, jurnalis senior dan pemimpin redaksi di IDN Times. Dalam sebuah video, Uni Lubis menyampaikan Prabowo, yang diwawancarainya di Bangkok pada Oktober 1998, memendam sendiri semua hal yang terjadi pada 1998 karena ia tak ingin menjelekkan institusinya. Prabowo memilih bungkam, katanya,  meski saat itu Soeharto telah lengser dari kursi presiden.

Dari riset ini, kesimpulannya: hanya ada 4,57% konten berpotensi menimbulkan misinformasi. 

Konten-konten bernada negatif kepada Prabowo diproduksi buzzer anti-Prabowo. Mereka juga biasanya anti-Jokowi dan anti politik dinasti yang dibangun Jokowi. 

Kenapa Tidak Dominan

Namun, kenyataannya, konten-konten negatif terhadap Prabowo, terutama yang terkait masa lalunya sebagai mantan perwira militer, yang juga punya rekam jejak kekejaman militer Indonesia di Timor Leste, tidak mampu menandingi jutaan konten positif yang dibungkus dengan gambaran image kecerdasan buatan/AI gemoy.  

Tujuan dari begitu banyak konten positif itu adalah untuk mengubur masa lalu Prabowo. 

“Saya memilih Prabowo karena dia gemoy,” kata pemilih pemula Pemilu 2024 kepada Reuters. “Itulah alasan utamanya.”

Seorang pemilih pemula berumur 18 tahun juga berkata kepada Project Multatuli, dalam liputan kami sebelumnya, memilih Prabowo karena sebagian terpengaruh kampanye tim Prabowo-Gibran di media sosial, yang dikesankan “memiliki kedekatan dengan anak muda”. Ia berkata tahu masa lalu Prabowo di pusaran kejatuhan Orde Baru dan kelahiran Reformasi dari pelajaran sejarah di sekolah. “Tapi,” tambahnya, “masa lalu itu sudah jadi masa lalu. Lebih baik fokus sekarang saja.”  

Kesimpulan kami adalah “Joget Gemoy” dan “Oke Gas Oke Gas” adalah bentuk kesukaan masyarakat kita pada hiburan politik di media sosial. Dan siapa yang duluan juga secara masif menggunakan strategi itu, yakni politik sebagai hiburan, berpotensi merebut suara anak-anak muda yang lelah dengan politik serius. Capres lain menggunakan gimik yang sama, tapi tidak semenarik “oke gas oke gas”. Jargon “Desak Anies” misalnya mungkin lebih disukai aktivis atau kalangan terdidik; “Sat Set Ganjar” bisa jadi dimakan oleh para akademisi; tapi Prabowo bisa bilang, “Sorry ye…” 

Intinya adalah mengeksploitasi kesukaan dan ketertarikan yang sangat generik di kalangan masyarakat terbanyak. Kampanye politik di media sosial juga beralih setiap pemilu. Sepuluh tahun lalu, Jokowi memenangkan platform Facebook. Lima tahun lalu, mengeksploitasi grup WhatsApp dan video-video di YouTube dan sangat mungkin memecah ruang gema yang sangat spesifik di Twitter dengan memainkan tagar. Tapi, Pilpres 2024 adalah kemenangan di Tiktok dan pemakaian AI yang sangat masif.

Selain itu, sekalipun seluruh platform medsos tetap digunakan sebagai tools kampanye, kekuatan uang juga bicara, sebagaimana diulas liputan kami sebelumnya. Di platform Meta, misalnya, iklan politik tim Prabow0-Gibran tembus Rp1,1 miliar; bandingkan dengan iklan Ganjar-Mahfud yang setengahnya, apalagi iklan Anies-Muhaiman yang cuma Rp18,5 juta!

Ika Karlina Idris, akademisi kebijakan publik dan manajemen di Monash University Indonesia, mengatakan konten-konten AI adalah disinformasi yang tidak terasa seperti disinformasi. 

Ika mengatakan dalam sebuah siniar: “Capres-capres yang diciptakan sedemikian rupa seolah-olah mereka keren. Padahal mereka tidak seperti itu. Misal digambarkan bahwa Prabowo menggemaskan, dengan postur lucu dan gemoy.” 

“Tapi jika kita pelajari tentang Prabowo, kita akan tahu bahwa itu bukan dia! Animasi yang dikreasikan dengan AI itu bukanlah Prabowo.”  

Ika menjelaskan hasil observasinya saat membandingkan strategi kampanye Pilpres 2019 dengan Pilpres 2024. Misalnya, politikus-pengusaha Sandiaga Uno (pasangan Prabowo) yang pergi ke 1.300 titik pada 2019, yang dalam setiap kunjungannya dijadikan konten. Sandiaga sampai disebut “papa online” saking populernya. 

Pada Pilpres 2024, Ganjar berkunjung ke sekitar 300 titik; Anies sekitar 130 titik. Sementara Prabowo paling sedikit mendatangi voters. Ia diundang tapi sering tidak datang. 

“Tapi kehadirannya itu bisa dirasakan lewat AI yang gemoy-gemoy itu, tapi itu bukan dia,” kata Ika. 

Hal ini membuat kita tidak bisa menilai program Prabowo-Gibran, kecuali saat berdebat secara resmi yang diadakan KPU. Usaha yang mereka lakukan kecil, tapi toh mereka terpilih. Menurut Ika, bahaya AI yang diketahui selama ini cuma yang bersifat destruktif. Misalnya, Presiden Jokowi dibuat bisa Bahasa Mandarin, atau suara Anies dimarahi Surya Paloh. Karena ini dianggap menjatuhkan citra seseorang. Tapi ketika politisi Golkar membuat video Suharto dengan AI dan itu dianggap kreatif, padahal justru menghidupkan kembali imajinasi baru tentang pemimpin yang pernah berkuasa selama 32 tahun, yang pernah ditumbangkan. 

“Memoles citra positif secara berlebihan ini yang berbahaya. Dan itu sangat mudah. Kamu tidak perlu pergi kampanye, bagikan saja konten AI sebanyak-banyaknya, sangat mudah!” tutur Ika. 

Dinita Putri, praktisi yang menangani berbagai isu terkait perlindungan ruang sipil dan disinformasi, tidak ingin begitu saja menganggap bahwa penggunaan AI berpengaruh secara signifikan terhadap kemenangan Prabowo, sebab banyak lapisan yang menentukan bagaimana ia memenangkan pemilu atau mengapa seseorang akhirnya memilih suatu kandidat. 

“Tapi, apakah AI yang paling mengganggu? Saya tidak bisa bilang begitu. Sebab AI membuat penyebaran disinformasi semakin masif dan mudah, tapi selain itu, ada banyak narasi, baik informasi maupun disinformasi, yang telah dibangun oleh buzzer politik. Dalam hal ini, AI hanya mengamplifikasi narasi tersebut, dan deep fakes membuat seolah-olah gambar kartun itu adalah sebuah persona yang nyata.” 

Karena, menurut Dinita, semua kandidat menggunakan AI pada kampanye mereka dalam skala tertentu.

Penjelasan Dinita tadi senada dengan strategi yang telah kami sebutkan di awal. Prabowo cuma perlu mengganti strategi dan gaya kampanye, sementara jalan kemenangannya telah diurus oleh Presiden Jokowi. 

Menutupi dengan Jutaan ‘Konten Positif’

Mira Rochyadi-Reetz, peneliti komunikasi dan media di Technische Universität Ilmenau, menyebut strategi kampanye Prabowo-Gibran sebagai missed-information. “Ketika sejarah tidak disampaikan secara populer dan konteksnya hilang untuk anak muda,” terangnya.

Kami sendiri menyebutnya tidak cuma missed-information, tapi juga missed-opportunity; organisasi masyarakat sipil, aktivis, hingga pengecek fakta lengah dan tidak bisa mengantisipasinya. Prabowo berada di depan kita semua. Kita baru mengulik, tapi Prabowo sudah berada di ujung kemenangan. 

Bisa dibilang strategi ini sangat subtile dan tidak etis, tapi masih dianggap legal. Ibaratnya, kampanye dengan AI cuma puncak gunung es dari beragam strategi di bawah laut yang jauh hari telah disiapkan Presiden Jokowi. Sementara itu, narasi masa lalu Prabowo akan selalu negatif, tapi Prabowo punya satu juta konten gemas untuk menutupinya! 

Prabowo cuma perlu berada di echo chamber dia sendiri. Tidak perlu menjawab pertanyaan wartawan setelah debat, tidak perlu repot datang kampanye. AI yang melakukan semuanya. Apalagi TikTok memang menciptakan ruang gema yang semakin memperkuat kepercayaan dan bias yang ada.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana langkah para jurnalis pengecek fakta dari pengalaman Pilpres 2024 yang minor berita palsu? Barangkali sudah waktunya untuk berhenti mengecek konten-konten receh atau pernyataan dari lapisan paling luar. Para jurnalis dan pemeriksa fakta harus mengarahkan fokus mengecek propaganda-propaganda pemerintah yang lebih tricky, dibungkus secara subtile, seperti toxic positivity dan pemakluman atas praktik dinasti politik yang dilakukan presiden, sebagaimana peran jurnalisme. Stop mengecek air yang keruh tanpa melihat sumber yang mengotori air itu. 


Tulisan ini adalah bagian dari fellowship liputan investigasi Aliansi Jurnalis Independen, “Mengungkap Di Balik Disinformasi dan Manipulasi Informasi Online Pemilu 2024”.


Ilustrasi kampanye palsu. (Project M/Aan K. Riyadi – CC BY-NC-ND 4.0)

Metodologi: Bagaimana Kami Mengumpulkan dan Mengolah data?

Bagaimana Prabowo dan tim kampanyenya mengubah dirinya menjadi gemoy dan mengesampingkan tuduhan pelanggaran HAM atas dirinya? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan sentral yang melatarbelakangi riset dan artikel ini. 

Seperti kita tahu, lagu “Oke Gas Prabowo Gibran Paling Pas” dengan joget gemoy adalah lagu virus dan viral dalam Pilpres 2024. Lagu kampanye ini serta jutaan video gemoy Prabowo di TikTok berhasil membawa Prabowo menuju Istana. 

Padahal, mantan perwira ABRI di masa Presiden Soeharto, Ketua Partai Gerindra, dan Menteri Pertahanan periode kedua Presiden Jokowi ini punya rekam jejak atas tuduhan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, meski tuduhan ini selalu disangkalnya. Pada Pilpres 2024, Prabowo tidak perlu bersusah payah untuk menjawab pertanyaan wartawan atau serangan dari kandidat lawan serta tudingan dari aktivis mengenai masa lalunya. 

TikTok adalah tempat yang strategis. Bukan cuma karena Indonesia menyumbang audiens terbesar kedua platform ini secara global, terutama Gen Z. Tapi juga karena fitur-fitur TikTok membuat platform ini berbeda dibandingkan medsos lain. TikTok memungkinkan konten menjadi viral, sereceh apapun konten itu. 

Kemudian, platform ini juga memudahkan kita menyebarkan potongan-potongan video santuy, dalam hal ini joget-joget Prabowo, tanpa konteks tertentu. Siapa juga yang mau nonton Debat Capres sampai 3 jam, misalnya? Tonton saja potongan debatnya di TikTok!  

Maka dari itu, dalam riset ini, saya mendalami  bagaimana konten-konten terkait ‘sejarah 1998’ disebarkan di TikTok. Saya berfokus pada konten-konten terkait Pilpres 2024 atau salah satu kandidat. Memantau bagaimana narasi seputar sejarah 1998 tersebar sejak September 2023-Februari 2024. 

Pengumpulan data berlangsung pada 20-30 Maret 2024. Memakai enam kata kunci mengenai sejarah 1998: “aktivis 98 Prabowo”, “Prabowo pelanggar HAM 98”, “kasus Prabowo 1998”, “Munir tentang Prabowo”, “98 Prabowo”, dan “kasus HAM Prabowo”. Per kata kunci: 50 konten. 

Saya juga mencari kata kunci “98 Indonesia”, tapi hanya menemukan dua konten yang terhubung pada kandidat Pilpres 2024. Saya memutuskan untuk tidak melanjutkannya. 

Lewat pencarian, saya menemukan 265 konten dari 6 kata kunci. Setelah pembersihan data, menghapus konten yang sifatnya berulang, ada sekitar 197 konten untuk dianalisis.

Dataset untuk analisis dapat dilihat melalui tautan berikut.

Tahap selanjutnya, saya mengklasifikasikan konten berdasarkan pengirim, jumlah pengikut, deskripsi konten, narasi, sentimen atas Prabowo, potensi misinformasi dari konten itu, jumlah likes dan jumlah komentar; dan apakah konten ini disebarkan oleh buzzer atau bukan. 

Dari seluruh konten, saya menemukan konten berputar pada narasi: “Prabowo harus bertanggung jawab”; “Aktivis dan pihak yang mengendorse Prabowo”; “Justifikasi tindakan Prabowo pada 98”; “Politisasi isu HAM 5 tahunan”; “Prabowo dicopot dari ABRI”; “Narasi pelanggar HAM di debat Capres”; “Romantisasi masa lalu Prabowo”; “Kelayakan Prabowo sebagai Capres”; “Loyalitas Prabowo terhadap rekan”; dan konten di luar narasi tersebut.

Narasi seputar “Prabowo harus bertanggung jawab” adalah konten-konten yang terus mengingatkan masyarakat tentang tuduhan pelanggaran HAM yang dialamatkan kepada Prabowo (tuduhan yang tidak pernah diusut secara serius hingga kini dalam mekanisme hukum yang tersedia di Indonesia). Konten-konten ini bersentimen negatif terhadap Prabowo. 

Konten dengan narasi “Aktivis dan pihak yang mengendorse Prabowo” berkisar dukungan dari aktivis 98 yang beralih mendukungnya adalah konten bersentimen positif terhadap Prabowo.

Melalui visualisasi data, kita bisa melihat narasi dominan masih seputar “Prabowo harus bertanggung jawab” (44,67%), disusul narasi “Aktivis dan pihak yang mengendorse Prabowo” (16,24%). Kedua narasi ini saling berseberangan. Sementara narasi “Politisasi isu HAM 5 tahunan” tidak bisa kita simpulkan sepenuhnya sebagai konten bersentimen positif terhadap Prabowo karena karena ada pula konten dengan narasi yang sama menyebut bahwa tidak seharusnya pelanggaran HAM terkait Prabowo jadi isu lima tahunan saat pemilu.

Dari narasi-narasi konten itu. saya mengategorikan ke dalam sentimen positif, negatif, netral, dan lain terhadap Prabowo. Mayoritas adalah konten bersifat negatif (54,82%), disusul sentimen positif/bersifat membela Prabowo (41,12%). 

Mengategorikan Buzzer

Saya juga mengategorikan pengirim konten sejarah 1998 dari keberpihakannya. “Buzzer anti Prabowo” adalah akun yang selalu mengunggah konten negatif terhadap Prabowo. Mereka tidak fokus pada kandidat lain, dan pada beberapa unggahannya, akun ini juga anti-Jokowi, terutama karena dinasti politik yang dibangun oleh pedagang mebel ini. Akun-akun ini selalu mengingatkan mengenai para aktivis 98 yang masih hilang; Prabowo yang dipecat Dewan Kehormatan Perwira (DKP), dan bahaya “penghilangan” yang mungkin terjadi saat Prabowo menjadi presiden–taktik fear mongering.

Selanjutnya ada kategori “Buzzer Ganjar” dan “Buzzer Anies”. Kategori ini merujuk para pelantang kandidat Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin yang seluruh unggahannya hanya berfokus membela kandidat pilihannya sembari menjelekkan kandidat lain. Selain itu, tidak ada unggahan yang bersifat personal atau non-politik. 

Sementara yang disebut “Pendukung Prabowo biasa” adalah masyarakat yang sesekali saja memposting tentang Prabowo atau konten politik lain, selagi akunnya masih sering posting konten-konten lain yang bersifat personal. 

Kemudian, kategori “bukan buzzer” adalah akun media, akun informasi sejarah, atau akun edukasi politik. Sementara “buzzer semua isu viral” adalah akun yang posting konten apa saja yang punya potensi viral dan tidak selalu berkorelasi politik.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
AJI Indonesia
Fahri Salam
17 menit