Wardhanie, 35 tahun merupakan gambaran dari generasi milenial kelas menengah di Indonesia yang mendambakan memiliki hunian layak. Tetapi bagi Wardhanie yang bekerja di media, memiliki hunian yang terjangkau kantong dan di lokasi strategis ibarat menegakkan benang basah.
Keinginan Wardhanie sebenarnya sederhana, ia ingin memiliki apartemen di kawasan Transit Oriented Development (TOD) yang terjangkau dan strategis.
Wardhanie awalnya tertarik dengan Apartemen Samesta Mahata Tanjung Barat milik Perum Perumnas. Dengan berbagai promo yang menjanjikan, seperti cicilan ringan sekitar Rp2 juta per bulan, keamanan dan kenyamanan, apartemen ini tampak seperti jawaban atas keinginan Wardhanie untuk memiliki hunian di Jakarta. Namun, bayang-bayang pengalaman buruk dengan Apartemen Meikarta membuatnya lebih berhati-hati.
“Aku tidak berencana tinggal di Jakarta sampai hari tua, tapi ingin punya hunian terjangkau,” kata Wardhanie saat ditemui Project Multatuli di kawasan Tebet pada Mei 2024.
Keunggulan utama apartemen TOD bagi Wardhanie adalah akses yang mudah ke berbagai moda transportasi seperti KRL dan busway, yang sangat penting bagi mobilitasnya di Jakarta Selatan. Namun, keraguan mulai muncul ketika bangunan apartemen tersebut belum jadi, meski sudah banyak janji cicilan ringan, keamanan dan kepastian dari pihak Perumnas.
“Aku tunggu sampai jadi dulu, biar dapat kejelasan walaupun dijamin sama Perumnas,” ujarnya, mencerminkan trauma masa lalu.
Wardhanie juga merasa ragu dengan sistem kredit pemilikan apartemen (KPA) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pada awalnya, dia diberitahu bahwa cicilan untuk tipe studio sekitar dua juta rupiah per bulan dalam jangka waktu 20-25 tahun, namun ini berubah drastis. Pada 2022-2023, harga cicilan naik sekitar 3-4 juta untuk unit studio yang sama. Ini membuat Wardhanie berpikir ulang, apakah program ini benar-benar untuk MBR.
Di pameran, Apartemen Samesta Mahata Tanjung Barat dipasarkan dengan klaim cocok untuk MBR. Namun, realitas di lapangan mengecewakan. Wardhanie dengan tegas menanyakan, bagaimana bisa apartemen ini disebut untuk MBR sementara cicilan bulanannya mencapai 3-4 juta rupiah? Ini jelas tidak sesuai dengan kondisi kehidupan warga MBR.
“Jadi, rumah murah bersubsidi dari pemerintah terasa tidak sebanding dengan kebutuhan pekerja yang mencari hunian terjangkau dan mudah diakses,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) periode 2014-2019, Rini Soemarno, mengungkapkan pembangunan apartemen yang terintegrasi dengan stasiun kereta ditujukan untuk masyarakat MBR. Bahkan Rini meminta perusahaan pelat merah untuk menambah luas unit apartemen MBR yang awalnya 20 meter persegi menjadi 32 meter persegi.
Rini juga mengatakan, sekitar 30-35 persen dari unit apartemen tersebut dapat dibeli dengan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) bersubsidi dengan bunga 5% per tahun. Usai Rini lengser, tak ada kejelasan soal implementasi dari program Rini yang dimulai tahun 2017. Menteri BUMN Erick Thohir, tak pernah menyinggung janji soal apartemen untuk MBR. Ia hanya menyebut, 41 persen pembeli apartemen TOD adalah milenial.
Batas Atas Apartemen TOD untuk MBR
Tujuh tahun lalu, pemerintah melalui Menteri BUMN Rini Soemarno mengupayakan pembangunan apartemen berkonsep TOD untuk kalangan MBR. Catatan Project Multatuli, ada sembilan proyek TOD yang sudah groundbreaking di stasiun kereta komuter Jabodetabek, yaitu Tanjung Barat (Jakarta Selatan), Bogor, Pondok Cina (Kota Depok), Pasar Senen, Juanda, dan Tanah Abang (Jakarta Pusat), Juramangu, Rawa Buntu dan Cisauk.
Di Rawa Buntu, Perum Perumnas akan membangun enam tower apartemen dengan total 3.632 unit hunian, 30 persen di antaranya untuk MBR alias subsidi. Pada tahap pertama, akan dibangun tiga tower dengan 1.816 unit, terdiri dari 330 hunian subsidi dan 1.486 hunian non-subsidi. Kemudian di Cisauk, PT Adhi Commuter Properti, anak usaha PT Adhi Karya, akan bangun enam tower dengan 2.641 unit hunian di atas lahan seluas 1,6 ha. Tahap pertama akan mencakup 832 unit, terdiri dari 300 unit hunian subsidi dan 532 unit non-subsidi.
Cisauk Point terdiri atas 2 menara hunian bersubsidi, yaitu tower Jasper dan Agate, setinggi 19 lantai dengan jumlah unit mencapai 640 unit dan 4 menara apartemen komersial setinggi 26 lantai akan dikembangkan untuk hunian kelas menengah bawah, dengan total unit 2001 unit. Cisauk Point dibanderol dengan harga mulai dari Rp285 juta hingga Rp393 juta per unit.
Di Juramangu, PT Hutama Karya akan bangun enam tower dengan 4.510 unit di atas lahan seluas 4,6 ha, di mana 30 persen dari total unitnya untuk MBR.
Di Tanjung Barat, Perum Perumnas juga membangun tiga tower apartemen di atas lahan seluas 1,2 ha dengan total 1.232 unit. Hunian untuk MBR disiapkan sekitar 25 persen atau 298 unit dengan harga jual mulai Rp200 juta. Perumnas juga bangun apartemen TOD di Pondok Cina dengan luas lahan 2,7 hektare. Nantinya akan disiapkan empat tower dengan total 3.440 unit, 30 persen diantaranya untuk MBR dengan harga Rp200 juta.
Di Bogor, Waskita Karya akan bangun delapan tower apartemen TOD di atas lahan seluas 6,6 ha dengan total 2.050 unit. Sebanyak 500 unit diantaranya diperuntukkan untuk MBR, sementara sisanya untuk masyarakat umum.
Janji pemerintah untuk membangun hunian untuk MBR cukup menggiurkan, tapi tak semuanya ada. Dari sembilan lokasi apartemen direncanakan dibangun, hanya empat apartemen yang berjalan; Pondok Cina, Tanjung Barat, Rawa Buntu dan Cisauk Point. Itu pun belum selesai semua unitnya terbangun, bahkan ada berbagai masalah yang dihadapi konsumen dalam pembelian unitnya.
Sekjen Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi), Bambang Setiawan, mengungkapkan bahwa pemerintah memang memiliki kewajiban menyiapkan hunian untuk masyarakat, khususnya kalangan MBR. Namun, dengan berbagai carut marut permasalahan apartemen di Indonesia, baik yang subsidi maupun komersil menyebabkan implementasi sulit dijalankan di lapangan.
“Harga jual subsidi dipatok, pembeli harus memenuhi persyaratan tertentu,” kata Bambang, Mei 2024.
Apartemen subsidi (MBR) atau dikenal sebagai Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami), dikhususkan bagi masyarakat yang belum memiliki rumah dipatok dengan harga tak lebih dari Rp250 juta dengan luas 21-36 meter persegi. Batasan harga itu berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 269/PMK.010/2015 tentang Batasan Harga Jual Unit Hunian Rusunami dan Penghasilan Bagi Orang Pribadi yang Memperoleh Unit Hunian Rusunami.
Syarat lainnya, penghasilan pokok pemohon tidak melebihi Rp7 juta per bulan. Yang menjadi permasalahan, tidak ada lembaga yang mengawasi agar hunian MBR tersebut tepat sasaran. Bambang mengungkapkan, ia pernah bertemu dengan pemilik apartemen MBR yang sudah memiliki rumah ketiga dan keempat. Kondisi ini menurutnya disebabkan pemerintah tidak memiliki data soal kepemilikan rumah perorangan.
Selain itu, Bambang juga menggarisbawahi tentang biaya iuran pengelolaan lingkungan (IPL) untuk kalangan MBR. Ia mengatakan biaya IPL biasanya ditagih setiap enam bulan hingga satu tahun, dan belum termasuk biaya service charge apartemen. Menurutnya, hal ini perlu diperhitungkan dan diberitahukan lebih awal kepada pemilik unit MBR.
“IPL sekitar Rp3 jutaan per enam bulan, apa gak pusing. Bisa mundur teratur,” ujarnya.
Pernyataan Bambang memang benar. Pembeli MBR seperti Wardhanie harus mengubur mimpinya memiliki hunian murah dan layak di tengah kota. Ia merasa kesal setiap mengingat promo apartemen di acara pameran properti yang katanya ditujukan untuk MBR. Menurut Wardhanie, konsep MBR seharusnya untuk masyarakat yang berpenghasilan mendekati UMR, yaitu Rp4-5 juta per bulan. Namun, kenyataannya tidak demikian.
Ia pun bercerita, harga satu unit apartemen dengan 1 kamar tidur dikenakan cicilan Rp5,86 juta per bulan dalam jangka waktu 20 tahun. Sementara untuk 25 tahun dikenakan cicilan Rp5,2 juta per bulan. Sedangkan untuk dua kamar tidur dibanderol Rp1 miliar lebih dengan cicilan Rp6,5 juta untuk 25 tahun dan Rp7,5 juta untuk 20 tahun.
Tingginya harga unit apartemen menggambarkan target hunian tersebut bukan diperuntukkan untuk kalangan MBR. Ridwan Sholahudin dalam tesis Sarjana, Universitas Pembangunan Jaya, Kajian Implementasi Konsep Transit Oriented Development (TOD) pada Kawasan Apartemen di Cisauk (2023), disebutkan hunian itu tidak bisa untuk MBR karena ada minimal penghasilan. Untuk tipe studio penghasilan minimal Rp8 juta dan untuk dua kamar tidur minimal penghasilan Rp12 juta. Dengan demikian, penyediaan hunian bagi kalangan MBR yang mana pengembang harus menyediakan minimal 20 persen dari luas lantai vertikal tidak terimplementasi di Apartemen Cisauk Point.
Permasalahan Apartemen TOD
Berbagai janji promo ditebarkan pengembang properti pelat merah kepada masyarakat, baik kelas MBR maupun komersial. Namun, berbagai masalah terjadi mulai dari cicilan lebih tinggi dibandingkan promo yang digembar-gemborkan, kemudian unit yang telat serah terima, tidak transparan, lempar tanggung jawab dan pemalsuan surat pemesanan atas nama konsumen.
Fitra, 29 tahun, contohnya, ia memesan dua unit apartemen komersial di Cisauk Point, Tangerang- kawasan BSD City. Perempuan asal Ambon itu bilang, memang berniat untuk investasi, tapi masih bingung investasi dalam bentuk apa. Atas saran temannya, akhirnya Fitra membeli apartemen di Cisauk Point. Daripada uangnya habis, ia berpikir investasi apartemen adalah keputusan yang tepat.
Pada awal Oktober 2021, ia sempat mendatangi marketing Cisauk Point untuk melihat unit apartemen yang ingin dibelinya. Pada saat itu, sales marketing Cisauk membawanya keliling ke lokasi pembangunan dan langsung meminta dirinya untuk mentransfer uang agar unitnya tidak diambil orang lain. Fitra tak yakin dengan omongan salesnya sehingga enggan melakukan transaksi langsung.
Ia sempat mendatangi lagi lokasi pembangunan Cisauk Point, sebelum memutuskan pembelian apartemen. Kali ini, sales Cisauk Point, Sebastian menjanjikan, jika KPA ditolak oleh bank, pihaknya akan mengembalikan uang tersebut. Akhirnya, Fitra luluh dan melakukan transaksi dua unit apartemen dengan uang booking Rp20 juta.
Fitra diminta oleh Sebastian untuk mentransfer uang booking untuk 1 unit apartemen ke rekening Cisauk Point sebesar Rp10 juta pada 13 Oktober 2021, sementara Rp10 juta lagi ditransfer ke rekening manager sales Cisauk Point pada 15 Oktober 2021 atas nama Glan. Alasan transfer ke rekening pribadi, klaim sales karena unitnya sudah dibeli sama orang dengan jumlah besar, yakni 10 unit hingga 20 unit. Mereka membeli ketika apartemen itu masih dalam rencana pembangunan, setelah pembangunan, mereka jual lagi.
“Gini aja, transfer aja bookingannya. Kalau mba berubah pikiran, uangnya langsung ditransfer 1×24 jam,” kata Fitra meniru ucapan Sebastian saat melakukan pertemuan di marketing Apartemen Cisauk Point. Sebelum ditransfer, Fitra berulang kali memastikan uangnya bisa dikembalikan jika unit tidak jadi beli atau ditolak sama KPA bank.
Belum sebulan melakukan transfer ke Cisauk Point, Fitra membatalkan pembelian unit apartemen karena mulai ragu dengan omongan sales marketingnya. Pasalnya, usai melakukan transfer tidak ada surat-surat yang diberikan kepadanya. Bahkan hingga Fitra balik ke luar negeri pertengahan November 2021, surat terkait pembelian unit atau pemesanan tidak diberikan kepadanya. Ia pun meminta pengembalian dana juga karena kantornya di Turki tak ada cabang di Indonesia sehingga KPA Bank di Indonesia menolaknya.
Usai memberitahu kepada sales, Fitra berpikir persoalan telah selesai. Tinggal menunggu uang kembali dari pengembang dan manajer sales. Enam bulan kemudian, Fitra mendapatkan email dari tim legal Cisauk Point terkait surat peringatan pertama (SP1) pembayaran cicilan yang telat. Email yang ditandatangani Project Director, Teguh Waskhita Wicaksana pada 13 April 2022 membuat Fitra kaget, pasalnya dia sudah meminta membatalkan pembelian unit sebelum ada SP1.
Yang mengejutkan Fitra adalah manajemen bilang tidak bisa membatalkan karena sudah menandatangani surat perjanjian pemesanan unit (SPPU) pada 13 Oktober 2021.
Fitra merasa selama ini tidak pernah melakukan penandatanganan dokumen apapun terkait pembelian unit apartemen Cisauk Point. Ia menegaskan, hanya melakukan transfer booking fee unit apartemen ke rekening Cisauk Point dan Glan. Setelah aktivitas transfer tersebut, tidak ada pertemuan lagi karena Fitra pulang ke Ambon dan harus balik ke luar negeri karena pekerjaannya.
“Aku gak pernah tandatangan surat apapun dan aku gak pernah dapat SPPU,” tegas Fitra.
Sementara itu, manajemen Cisauk Point pusat, kata Fitra, tidak akan mengembalikan booking fee miliknya jika tidak bisa menunjukkan SPPU asli. Padahal, Fitra sendiri menegaskan tidak pernah melakukan tandatangan SPPU tersebut. Artinya manajemen Cisauk Point menerima SPPU dengan tanda tangan palsu atas nama Fitra dalam pemesanan unit apartemen.
Persoalan lainnya adalah kebanyakan konsumen tak disuguhi informasi lengkap dan tak paham risiko jangka panjang apartemen di atas tanah milik orang lain alias hak pengelolaan lahan (HPL). Bila tanah berstatus HPL, konsumen hanya berhak menghuni selama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun dengan rekomendasi persetujuan pemilik lahan. Masalahnya, hak guna konsumen akan hilang apabila pemilik lahan tidak menyetujui perpanjangan.
Status tanah HPL cuma mendapatkan sertifikat kepemilikan bangunan gedung satuan rumah susun (SKBG Sarusun). Akibatnya, nilai bangunan lebih murah dibandingkan sertifikat hak milik satuan rumah susun (SHM Sarusun).
Fitra, salah satu korbannya. Ia bilang, sales marketing Cisauk Point tidak pernah memberi informasi terkait alas tanah apartemen yang rencananya memiliki enam tower tersebut. Bahkan soal perpanjangan HPL setelah 30 tahun tidak ada pembahasan sama sekali kepada konsumen. Diketahui, Apartemen Cisauk Point dibangun oleh PT Adhi Commuter Properti (ADCP) di atas tanah milik PT KAI.
Kondisi hampir serupa juga terjadi di Apartemen Samesta Mahata Tanjung Barat. Ketika ditanya tentang status tanah dan perjanjian hak tinggal, sales marketing hanya memberikan jawaban samar-samar kepada Wardhanie saat mendatangi kantor marketing di Stasiun Tanjung Barat pada medio 2019.
“Dia bilang ini tanah pemerintah, kalau ada apa-apa, kita dapat ganti rugi. Tapi tidak dijelaskan secara rinci,” jelas Wardhanie.
Lia, 29 tahun, seorang pekerja di salah satu kampus swasta di BSD, mengungkapkan kekesalannya terhadap kebijakan booking fee yang dirasa tidak transparan. Pada saat memesan unit di Cisauk Point, tidak ada informasi jelas bahwa dana booking fee akan hangus jika pembelian batal. Ia baru menyadari aturan tersebut saat menandatangani Surat Perjanjian Pemesanan Unit (SPPU), yang menurutnya adalah cara licik untuk mengumpulkan uang dari konsumen.
Sebagai konsumen Cisauk Point, Lia berbagi pengalamannya. Ia diminta membayar booking fee sebesar Rp10 juta tanpa penjelasan mengenai kebijakan pengembalian dana. Sales hanya memberikan jawaban samar seperti, “Enggak apa-apa kak, transfer dulu aja, nanti bisa kami bantu,” tanpa menjelaskan secara eksplisit bahwa booking fee tidak bisa dikembalikan jika pembelian batal.
Setelah menandatangani SPPU, barulah Lia menyadari bahwa aturan booking fee yang tidak dapat dikembalikan sudah diketahui sales sejak awal, namun tidak dijelaskan kepada konsumen. Menurut Lia, ada kecenderungan dari pihak sales untuk menipu calon pembeli dengan tidak memberitahukan bahwa uang tersebut tidak akan dikembalikan jika pembelian dibatalkan.
Selain itu, Lia menemukan banyak keluhan serupa di google review dari konsumen lain yang merasa dirugikan dengan kebijakan ini. Mereka juga mengeluhkan bahwa booking fee mereka tidak dikembalikan. Lia menyimpulkan bahwa praktik ini seperti mekanisme penipuan, di mana perusahaan mencoba mengumpulkan 10 juta dari berbagai konsumen yang batal membeli, tetapi uangnya tidak dikembalikan.
“Saya rasa ini malah jadi satu mekanisme penipuan tersendiri,” kata Lia di kawasan BSD Mei 2024. “Mereka mencoba mencari Rp10 juta dari berbagai konsumen yang ternyata tidak jadi membeli, tapi uangnya tidak dikembalikan.”
Persoalan lainnya adalah keterlambatan penyerahan unit apartemen kepada konsumen. Dalam perjanjian antara konsumen dan Cisauk Point, ia dijanjikan serah terima kunci pada Juni atau Juli 2022 dengan harga Rp600 juta untuk satu kamar tidur. Hingga Mei 2024, belum ada kabar pasti mengenai kapan serah terima unit akan dilakukan.
Lia bukan satu-satunya yang mengalami keterlambatan ini. Dalam grup konsumen yang diikutinya, banyak yang membeli sejak 2021 atau bahkan sebelumnya dan menghadapi penundaan serupa. Lia mengaku, jika ia memeriksa google review sebelum membeli, mungkin ia tidak akan jadi membeli karena banyak konsumen yang mengeluhkan keterlambatan yang sama.
Ia mengungkap, keputusan membeli apartemen di Cisauk Point juga dipengaruhi oleh strategi pemasaran yang menciptakan kesan keterbatasan stok. Sales marketing menyampaikan bahwa hanya ada satu unit tersisa karena ada pembatalan dari konsumen lain. Cara-cara ini membuat konsumen dilematis, sehingga masuk perangkap sales properti. Apesnya, ketika sudah bayar cicilan, pengembang telat dua tahun dalam penyerahan unitnya.
Ketika konsumen telat bayar cicilan down payment (DP) dan cicilan pembayaran lainnya, konsumen bakal diberikan penalti yang besar sesuai dengan aturan yang berpihak kepada pengembang. Sebaliknya, jika pengembang yang telat menyelesaikan kewajibannya, mereka dengan gampangnya memberikan kompensasi sesuai dengan keinginannya tanpa persetujuan konsumen. Di kasus Cisauk Point, contohnya, pengembang hanya memberikan gratis biaya IPL setelah tiga bulan dari serah terima.
Kompensasi itu menurut Lia tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan selama ini. Menurutnya, kompensasi yang layak adalah memberikan gratis IPL sesuai dengan keterlambatan penyerahan unit dari waktu yang dijanjikan.
Ia juga mengkritik kompensasi yang dijanjikan pengembang hanya melalui pesan WhatsApp, bukan surat perjanjian resmi. Ia merasa hal ini tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mengikat seperti layaknya penalti kepada konsumen yang disebutkan dalam perjanjian. Jika terjadi masalah, pengembang bisa saja beralasan bahwa informasi tersebut keliru.
Selain itu, Lia juga mendapat informasi bahwa ada konsumen yang mendapat surat peringatan karena menolak menandatangani surat serah terima unit. Alasannya, unit tersebut masih memiliki beberapa kerusakan yang belum diperbaiki pengembang, sehingga dia tidak mau menandatangani sampai semuanya diperbaiki.
Lia lupa detail kerusakan di unit konsumen tersebut. Setelah beberapa bulan, konsumen itu diberitahu bahwa jika dia tidak menandatangani surat tersebut, akan ada penalti. Kondisi itu membuat konsumen merasa bingung karena belum mau menandatangani akibat kerusakan yang belum diperbaiki. Dia khawatir jika menandatangani, akan dianggap menerima unit dalam kondisi rusak.
“Saya rasa sistem ini sengaja dibuat untuk menjebak konsumen,” katanya.
Kasus keterlambatan juga terjadi pada Monique, konsumen apartemen TOD Samesta Mahata Tanjung Barat. Ia dijanjikan penyerahan unit apartemen akan berlangsung pada pertengahan 2021. Namun, dengan alasan Covid-19 bakal mundur dari jadwal. Hingga kini, kata Monique, pihaknya tidak mau menerima unit apartemen karena tidak sesuai dengan akadnya.
“Ibaratnya, kalau beli barang tidak ada cacat. Layak untuk serah terima kan. Kondisi unit (cacat),” ujar Monique lewat pesan singkat Juni 2024. “Pokoknya kapok, kesannya lepas tangan dan janji-janji terus.”
Kekesalan konsumen Samesta Mahata Tanjung Barat juga dituangkan dalam google review apartemen. Fani, pertengahan Mei 2024, mengungkapkan jika bisa berikan bintang minus lima, ia bakal berikan minus lima kepada pengembang. Ia bilang, dari pengembang hingga building management tidak bisa bisa memenuhi timeline yang mereka janjikan sendiri. Building management responsnya lambat, mulai dari pengajuan furnished sampai detail-detail tahap penghunian.
Bahkan bagi pembeli yang mau menghuni harus mengisi form pernyataan yang berisi bahwa penghuni menempati unit dengan kondisi; pertama belum tersedia jaringan Listrik dari PLN, kedua belum ada jaringan air PDAM, ketiga belum ada sekuriti, house keeping dan teknisi bertugas, keempat masih banyak pekerjaan dan pekerja proyek saat ini sedang menyelesaikan pembangunan apartemen, kelima kondisi parkir L3-L6 dan stasiun belum bisa digunakan, begitu juga dengan fasilitas umum lainnya.
Ia juga menyebutkan, pihak manajemen belum bisa memastikan sampai kapan proses berlangsung. “Silakan pikir-pikir jika mau membeli unit dan tinggal di apartemen ini,” kata Fani memberi himbauan kepada konsumen lainnya.
Project Multatuli telah berusaha mengonfirmasi mengenai implementasi apartemen subsidi dan keterlambatan penyerahan unit apartemen. Namun, hingga artikel ini diterbitkan, Corporate Secretary Perum Perumnas belum memberikan respons.
Selain itu, Project Multatuli juga mencoba mengonfirmasi berbagai masalah di Apartemen Cisauk Point kepada PT Adhi Commuter Property dan Project Director Cisauk Point. Namun, hingga artikel ini diterbitkan, pihak pengembang belum memberikan respons.
Rumah Subsidi Jauh dari Lokasi Kerja
Indonesia masih mengalami kesenjangan total rumah terbangun atau backlog dengan jumlah yang dibutuhkan masyarakat. Data Survei Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023, angka backlog hunian secara nasional mencapai 12,71 juta, dengan 2,9 juta di antaranya tersebar di wilayah Jabodetabek.
Untuk mengatasi persoalan backlog, pemerintah membangun rumah subsidi bagi pekerja MBR dengan mayoritas rumah berada jauh di pinggiran kota. Contohnya, Maja, yang dibangun oleh pengembang Ciputra. Perjalanan dari Stasiun Maja-Palmerah membutuhkan waktu 1 jam 20 menit.
“Kalau pulang kerja dengan naik publik transport 1 jam lebih, itu nggak worth it,” kata Wardhanie, yang memilih untuk mengontrak di Jakarta daripada menghabiskan waktu dan tenaga untuk perjalanan panjang setiap hari.
Selain itu, pemerintah juga membangun apartemen TOD subsidi. Langkah ini dikritik Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja. Ia bilang, pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman masa lalu, Wakil presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) pernah buat program pembangunan 1.000 tower rumah susun (rusun) yang digulirkan pada 2004-2009.
“Jadi janji yang sama dan kegagalan yang sama,” kata Elisa kepada Project Multatuli, Mei 2024.
Elisa menjelaskan, saat itu pemerintah memaksa peningkatan koefisien lantai bangunan untuk mengakomodasi keinginan developer, yang akhirnya menghasilkan proyek-proyek apartemen rusunami seperti di Kalibata dan Kelapa Gading. Namun, janji-janji untuk kalangan MBR berakhir dengan kegagalan karena proyek tersebut tidak tepat sasaran dan bubar jalan setelah JK tidak lagi menjabat.
Program hunian rusun MBR kembali dihidupkan usai Presiden Joko Widodo dan JK terpilih kembali menjadi Presiden dan Cawapres pada 2014-2019. Menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, pengadaan hunian murah terutama untuk MBR masuk ke dalam Program Nasional Pembangunan Sejuta Rumah yang dicanangkan pemerintah sejak 2015 lalu.
“Indonesia jatuh ke lubang yang sama berkali-kali. Kebijakan ini menunjukkan betapa bodohnya pemerintah yang terus mengulangi kesalahan yang sama,” kata Elisa.
Janji-janji serupa terus berlanjut, bahkan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan pernah menghadiri seremoni tutup atap dua menara Apartemen Meikarta, di Cikarang, Jawa Barat pada 27 Oktober 2017. Proyek besar ini digadang-gadang untuk menekankan pada pengurangan backlog perumahan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan pengembang properti terus mengeluh karena tidak ada pembeli, sementara pemerintah terus berbicara tentang backlog perumahan.
“Ini menunjukkan bahwa properti ada, tetapi tidak bisa diakses oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah,” ujar Elisa.
Menurutnya, rumah subsidi yang dibangun di Jawa Barat lebih banyak ketimbang kebutuhannya. Data Sistem Informasi Kumpulan Pengembang (Sikumbang) Kementerian PUPR, ketersediaan (supply) rumah subsidi pada 2023 mencapai 128.585 unit. Namun, kebutuhan rumah subsidi di daerah tataran Sunda itu sangat rendah, yakni 54.610 orang.
“Jadi rumah subsidi yang terbangun di Jawa Barat, itu kayaknya 100 persen lebih besar daripada permintaan pembelinya,” katanya.
Kondisi sebaliknya terjadi di Jakarta. Provinsi dengan jumlah penduduk 11,23 juta jiwa itu memiliki angka kebutuhan rumah subsidi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ketersediaannya. Pada 2023, ketersediaan rumah subsidi di Jakarta 225 unit. Sementara kebutuhan rumah subsidi mencapai 804 orang. Artinya kebutuhan rumah subsidi di Jakarta mencapai 300 persen.
Ironi lain adalah mengingat pemerintah sebetulnya memiliki banyak potensi dalam pemenuhan hunian layak, yang lebih tepat sasaran dan bermanfaat bagi kelas MBR. Pemerintah memiliki aset tanah yang tersebar dan kerap berlokasi strategis di dalam kota. Contohnya, aset Kementerian PUPR di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, seluas 1,6 ha hanya berjarak sekitar 2 km dari MRT Benhil.
Alih-alih menyelenggarakan hunian terjangkau kepada kelas MBR, Kementerian PUPR malah kerja sama dengan pengembang yang akhirnya rentan jadi objek spekulasi dan finansialisasi. Bahkan pembangunan apartemen itu mangkrak dan diputuskan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Artinya makin jauh dari pemenuhan hunian layak bagi MBR.
Menurut Elisa, selama ini pemerintah tampaknya lebih berpihak kepada pengembang properti daripada rakyat. Selain itu, pengembang lebih mudah mendapatkan fasilitas subsidi bunga, yang seharusnya mengalir ke konsumen tetapi pada akhirnya lebih menguntungkan perbankan dan pengembang.
Setiap tahun, pemerintah menyalurkan uang subsidi ke pengembang dan perbankan sebesar Rp15-30 triliun untuk membangun rumah MBR. Tapi lokasi perumahannya jauh-jauh sekali, seperti rumah subsidi Jokowi di Cikarang yang terbengkalai. Rumah yang dibangun PT Arrayan Bekasi Development itu menempati lahan seluas 105 hektar dengan jumlah 8.749 unit. Bayangkan selama periode Jokowi menjabat, sudah berapa banyak dana yang dikucurkan untuk produk gagal tersebut.
“Aksesnya hanya ke produk rumah subsidi yang jauh, di tengah sawah. Berarti jelek. Kamu buang uang subsidi ke sana. Uang sampah itu namanya. Kemarin sempat viral kan soal nasib rumah subsidi Jokowi,” kata Elisa.
Masalah lainnya adalah penetapan harga rumah tapak MBR yang terus meningkat dengan alasan kenaikan harga bahan bangunan. Kondisi ini membuat pemerintah menaikan syarat gaji pokok maksimal penerima Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tidak melebihi Rp8 juta per bulan untuk rumah sejahtera susun atau tiga kali UMK Yogyakarta 2024; 2,49 juta. Sebelumnya, pemerintah menetapkan gaji maksimal Rp7 juta per bulan untuk penerima FLPP.
Elisa menjelaskan bahwa pemerintah cenderung menaikkan batas penghasilan MBR untuk menyesuaikan dengan kenaikan harga rumah, yang dipengaruhi oleh mahalnya harga bahan bangunan dan tanah, serta meningkatnya suku bunga perbankan. Kondisi itu membuat para pekerja informal dengan penghasilan harian, mingguan maupun UMR dianggap tak layak oleh perbankan. Bahkan hampir tidak ada program pembiayaan perumahan bagi mereka.
“Akibatnya, orang yang benar-benar membutuhkan rumah, dengan penghasilan Rp4-5 juta, tidak mampu membelinya. Mereka kalah bersaing dengan mereka yang berpenghasilan lebih tinggi, yang seharusnya tidak menjadi target program MBR,” kata Elisa.
Terbaru, Kementerian BUMN tengah mengkaji segmen pekerja yang berhak menerima MBR, dengan gaji Rp8 juta hingga Rp15 juta per bulan. Kajian itu atas usulan bank pelat merah, PT Bank tabungan Negara (BTN) Tbk. Naiknya batas penghasilan penerima MBR bakal menjadi momok menakutkan bagi pekerja yang belum memiliki rumah.
“Ya, karena tidak match antara supply developer dan demand, maka solusi pendek ala pemerintah, naikkan batas (MBR),” pungkasnya.
Laporan ini merupakan bagian dari serial liputan #SusahPunyaRumah yang didanai oleh Kawan M.