Melawan dengan Seni: Siasat Wisata Kampung Pecinan Tambak Bayan demi Mencegah Perampasan Lahan

14 menit
Seorang pria sedang memotong besi ulir di depan bangunan tengah Tambak Bayan. (Project M/Rifki Iqbal Nizar Zidan)

Pada 1965, pasukan militer bersenjata merampas tanah seluas 3.800 meter persegi milik istri meneer Belanda yang dipasrahkan kepada komunitas Tionghoa untuk dijaga dan dikelola. Komunitas Tionghoa dipaksa membuat surat tanah atas nama perampas. Tak berapa lama, militer diduga menjual aset-aset Tambak Bayan ke swasta. Memicu konflik berkepanjangan yang menghantui warga kampung Pecinan Tambak Bayan hingga sekarang.


ROMBONGAN truk garnisun, memuat 75 personel gabungan dari polisi, TNI, dan Satpol PP, mendekati lahan parkir Pasar Besar, Kramat Gantung, Surabaya. Memecah ketenangan kampung Pecinan di Jalan Tambak Bayan Tengah.

“Jangan foto-foto!” bentak salah satu petugas. “Kalian beraninya memotret aparat!”

“Petugas kok ikut campur masalah warga,” sahut Suseno Karja. “Ini urusan kami dengan pihak hotel.”

Para aparat itu memotong satu per satu tali spanduk berisi ungkapan kritik warga terhadap pihak hotel.

“Kami pasang banner di dinding rumah sendiri. Bukan pakai dinding hotel,” keluh Seno. “Masak dibilang ganggu pemandangan dan ketertiban?”

Sejak kejadian 15 tahun lalu itu, kenyamanan warga Tambak Bayan terganggu.

Dulu sebelum separuh tanah Tambak Bayan digusur, ada sekitar 100 keluarga mendiami kampung ini. Sekarang tersisa 30-50an keluarga. Mereka tinggal di petak-petak rumah berukuran 4×6 meter persegi, yang adalah bekas kandang kuda zaman kolonial Belanda. Berimpitan dengan perabotan rumah seperti lemari, kasur, televisi, kompor, sepeda motor, dan lain-lain.

Sebagaimana perkampungan Tionghoa, rumah-rumah di Tambak Bayan, yang umurnya sudah ratusan tahun, berdiri saling berdempetan, dihubungkan gang-gang kecil selebar tak sampai 2 meter. Kita harus menuntun sepeda motor untuk memasuki perkampungannya karena melewati teras rumah, kamar mandi, dan dapur.

Suseno Karja, kini 50 tahun, besar di Tambak Bayan dari keluarga tukang kayu. Ia adalah ketua rukun tetangga. Seno sendiri kini tinggal dengan cucu dan keponakan.

Tambak Bayan memang didominasi warga Tionghoa, dan mereka sudah kawin-mawin lintas etnis dan agama dan hidup bersama di kampung tersebut. “Ada yang berjodoh dengan orang Jawa, Madura, dan lain-lain,” kata Seno.

Saya diantar Seno menuju sebuah bangunan tengah. Berkelir kuning, cat dinding bangunan ini sudah termakan umur; lampion-lampion begelantungan di plafon pintu masuk. Bangunan ini dipakai sebagai tempat memotong besi-besi ulir; ada yang sibuk menggetok kayu-kayu untuk memperbaiki atap yang bocor, ada juga yang menyapu puing-puing batu bata berserakan di lantai.

Dalam problem ruang kota di Surabaya, kampung Pecinan Tambak Bayan adalah cerita sejarah dan perlawanan, lalu keduanya dipertemukan dalam solidaritas yang membentuk Institut Seni Tambak Bayan. Kolektif antara warga, komunitas dan mahasiswa inilah yang kemudian memakai bangunan tengah itu untuk kegiatan diskusi, pameran, konser musik, dan sebagainya.

Sepanjang dinding gang kampung semarak dengan mural. Macam-macam gambarnya, didominasi ornamen naga dengan warna-warna cerah, mengubah tembok-tembok bangunan menjadi meriah; seakan merekam geliat perlawanan warga.

“Dulu warga Tambak Bayan berupaya melawan menggunakan seni,” kata Seno.

Kiri: Bagian dalam bangunan tengah yang biasa dipakai untuk kegiatan warga. (Project M/Rifki Iqbal Nizar Zidan). Kanan: Warga Tambak Bayan berkumpul di bangunan tengah untuk membahas relokasi kampung. (Institut Seni Tambak Bayan)

Bekas Istal Tuan Belanda Dirampas Tentara

Sejarahnya, pada 1866, seorang meneer Belanda memakai bangunan tengah sebagai istal kuda. Si meneer disebut punya tanah seluas 3.800 meter persegi, meliputi empat kampung termasuk Tambak Bayan dan Kepatihan.

Di areal itu, ia membangun rumah utama yang ia tempati bersama istri, tempat parkir kereta kencana, kandang kuda-kuda peliharaan, dikelilingi sumur-sumur. Syahdan, si meneer pulang kampung pada 1928. Meninggalkan istrinya yang orang Tionghoa.

Purnawan Basundoro dari Universitas Airlangga, dalam Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an, menulis gelombang migrasi orang-orang dari daratan Cina ke Surabaya terjadi pada 1920-an, akibat pergolakan politik di negaranya. Banyak dari mereka menempati kampung Songoyudan, Panggung, Pabean, Slompretan, dan Bibis. Wilayah itu disebut sebagai kampung Pecinan, tapi Tambak Bayan tidak berada di satu wilayah dengan kampung-kampung itu.

Di Tambak Bayan, mereka membangun permukiman di tanah seluas 3.800 meter persegi itu, menjalin rumah tangga, dan melahirkan keturunan. Merekalah nenek moyang warga kampung Pecinan Tambak Bayan yang ada sekarang.

“Saya termasuk anak-cucu generasi ketiga hingga keempat,” kata Seno.

Pada 1965, sekelompok pasukan militer bersenjata merampas tanah seluas 0,38 ha itu. Mereka memaksa warga Tionghoa di situ mengubah sertifikat tanah atas nama perampas. Tanah itu kemudian dikuasi barisan veteran. Dulu tanah ini secara bergantian dipakai mendirikan tiga bangunan, dua di antaranya kampus Trisakti dan kampus Hanura, yang sudah lama tidak beroperasi.

Pada 1968-1972, para veteran membangun Perguruan Tinggi Pembangunan Nasional di Tambak Bayan, kini berganti nama Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur. Kampus ini sudah lama pindah ke Gunung Anyar.

Orang-orang tua di Tambak Bayan mengingat sengketa ini, meski mereka mengingatnya sebagai peristiwa yang “sudah lama sekali.”

Sementara para pegawai UPN Veteran Jawa Timur, yang rata-rata masih muda, tidak mengetahui soal sejarah sengketa tersebut.

Seorang staf humas kampus bernama Nizwan Amin berkata kampusnya menempati Tambak Bayan sekitar 1972-1975. Mengenai detail konfliknya, “hanya orang-orang lama yang tahu,” katanya. “Ada dua guru besar yang jadi angkatan pertama, tapi mereka berdua sudah pensiun,” tambahnya.

Staf humas lain bernama Makhrus Ali berkata bahkan “baru tahu” dulunya UPN Veteran Jawa Timur “sempat ada masalah” dengan warga di Tambak Bayan.

Gang menuju Kampung Kepatihan, salah satu kampung yang ada di dalam wilayah seluas 3.800 meter persegi yang dirampas oleh pasukan militer bersenjata dari warga Tionghoa, menimbulkan sengketa tanah hingga sekarang. (Project M/Rifki Iqbal Nizar Zidan)

Konflik Baru dengan Pemilik Hotel

Saya bertemu dengan Dany Sumanjaya, yang pernah menyetop penggusuran tiga rumah warga sebelum tahun 2006-2007. Dulu ibu Dany adalah orang yang dituakan dan disegani di Tambak Bayan.

Dari pengakuannya, pria kelahiran 1968 ini punya hidup berwarna. Kuliah kedokteran di Universitas Hang Tuah Surabaya, Dany pernah menjadi komandan resimen mahasiswa pertama di kampus tersebut. Ia juga mengaku sempat melanjutkan pendidikan magister hukum. Dany kini tinggal di daerah Jajartunggal. Ia bekerja di bagian HRD di sebuah perusahaan farmasi.

Dany punya kenalan kawan-kawan lembaga swadaya masyarakat, beberapa tentara dan pengacara. Relasi inilah yang kelak membantu perlawanan warga kampung Tambak Bayan saat dilanda ancaman penggusuran, terlebih saat digugat di pengadilan.

Dany mengisahkan saat UPN Veteran Jawa Timur dibangun di Tambak Bayan, ada “oknum pembantu dekan II” yang ingin memperluas bangunan, sehingga perlu mengeksekusi tempat tinggal warga kampung Pecinan saat itu.

“Setelah dilaporkan ke rektor, langsung saat itu juga dia ditelepon. Eksekusi kampung pun dihentikan. Pembantu dekan II langsung dimutasi,” ceritanya.

Karena perkembangan politik yang tidak menentu, pihak UPN Veteran Jawa Timur agak takut dengan undang-undang yang wajib menyerahkan aset-aset yang bukan miliknya ke pemilik asal.

“Maka, cepat-cepat lahan itu dijual oleh UPN Veteran Jawa Timur ke swasta,” kata Dany.

Kepemilikan lahan seluas 3.800 meter persegi itu kemudian bergulir ke Hotel Veni Vidi Vici (V3). Hotel bintang tiga ini berada di Tambak Bayan Tengah. Pemiliknya seorang pengusaha bernama Soetiadji Yudho, yang membangun Kenjeran Park, salah satu wisata pesisir terkenal di kawasan utara Surabaya.

Suseno Karja mengingat ancaman pengambilihan lahan oleh pihak hotel pada 2006-2007.

“Tiba-tiba pihak hotel menggugat anak-anak kecil dan orang yang sudah meninggal,” kisahnya. “Gugatan yang aneh, gugatan yang nggak logis.”

Warga Tambak Bayan memang tidak memiliki surat kepemilikan apa pun terkait tanah yang ditempati di kampung Pecinan. “Cuma dari dulu, warga bayar pajak atas nama masing-masing rumah yang dihuni,” ujar Seno.

Betapapun sudah menetap turun-temurun, karena sengketa baru dengan pihak hotel ini, warga Tambak Bayan pernah dicap sebagai “penduduk liar”.

Itu bikin Seno geram, “Kalau penduduk liar, nggak mungkin kami punya KTP Surabaya.”

Salah satu bangunan rumah di Tambak Bayan yang masih berdiri setelah penggusuran untuk pembangunan Hotel V3. Pada dinding rumah tersebut terdapat mural naga memakan ekor sendiri. (Project M/Rifki Iqbal Nizar Zidan)

Seno tidak tahu jika pihak hotel mengklaim memiliki sertifikat hak guna bangunan di kampung Tambak Bayan. Ada tiga sertifikat dari pihak hotel, meliputi: 1) SHGB No. 787/Kel. Alon-alon Contong/3273 m2/2 September 1993; 2) SHGB No. 829/Kel. Alon-alon Contong/3025 m2/2 September 1995; 3) SHGB No. 389/Kel. Alon-alon Contong/4954 m2/ 14 Oktober 2004.

Meski begitu, berdasarkan surat Dinas Kebudayaan dan Pariwista No. 188.45/004/402.1.04/13 Januari 1998, tertulis bahwa Tambak Bayan termasuk situs cagar budaya kepatihan, yang artinya, kawasan ini dan seluruh penghuninya merupakan bagian dari ruang hidup dan kultur yang seharusnya dilindungi negara.

Pada 2009, pihak hotel melayangkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Surabaya. Tuntutannya, warga diminta mengosongkan rumah-rumah di Tambak Bayan.

Seno mengisahkan warga berusaha mencari berkas-berkas legal yang memperkuat posisi warga di mata hukum. Mereka mencari bantuan ke berbagai pihak, dari pemerintah kota hingga Badan Pertanahan Nasional Surabaya, dari Polrestabes Surabaya hingga Polda Jawa Timur. Mereka berharap para penguasa terketuk hatinya. Namun, hasilnya mengecewakan.

“Warga justru diamuk dan berkas yang kami bawa tidak dibaca,” ujar Seno.

“Kami sudah coba berbagai cara untuk perkuat posisi warga di mata hukum. Tapi semua serba mendadak, kami tidak punya uang cukup.”

Maka, saat menghadapi gugatan di PN Surabaya, warga Tambak Bayan mengusulkan agar hakim melakukan cek lokasi di kampung Pecinan. “Supaya hakim tidak cuma menilik batas tanahnya saja. Masak hakim tidak melihat yang hidup di kampung itu ada seberapa banyak orang?”

Di PN Surabaya, warga agak tenang mendengar putusan hakim pada 3 November 2009 yang menolak gugatan pihak hotel. Tapi, pihak hotel kemudian mengajukan banding. Dan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya pada 25 Mei 2010 memenangkan pihak hotel, membatalkan putusan PN Surabaya.

Seno dan warga lain kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. “Kami sempat cari dukungan ke komunitas, LSM, dan orang-orang di Jakarta. Kami kumpulkan uang untuk biaya transportasi ke sana, ada 5-6 orang yang berangkat,” kata Seno.

Pada 21 November 2011, putusan MA itu keluar, yakni menolak permohonan kasasi warga.

Jalan setapak di dalam permukiman warga Tambak Bayan tampak begitu sempit. Lebarnya tidak sampai 2 meter. (Project M/Rifki Iqbal Nizar Zidan)

Dalam dokumen putusan MA, di dalamnya ada Seno dan 13 warga yang mengajukan kasasi, tertulis peran Koperindo yang menguasai tanah dan rumah di Tambak Bayan, yang menyewakannya ke warga “secara turun temurun sejak zaman penjajahan Belanda” dengan harga sewa yang disepakati bersama, “jauh sebelum tanah dan rumah sengketa diterbitkan hak guna bangunan” atas nama Soetiadji Yudho, pemilk hotel V3.

Di sisi lain, dalam dokumen yang sama, terdapat pula keterangan bahwa sengketa ini malah diajukan juga di Pengadilan Negeri Muara Bungo Jambi, yang agak aneh karena objek gugatan berlokasi di Kota Surabaya.

Saya bertanya kepada Dany Sumanjaya mengapa ada keterlibatan PN Muara Bungo. Ia menjelaskan pemilihan pengadilan negeri Jambi merupakan bagian dari siasat untuk menunda ancaman penggusuran Tambak Bayan melalui bantuan relasi-relasi berpengaruh yang ia kenal.

“Hal itu membuat warga Tambak Bayan relatif aman dari penggusuran selama 12 tahun belakangan,” katanya. “Jadi putusan MA (dibikin) ngambang, padahal putusan MA isinya eksekusi, tapi (dibikin) ngambang, nggak bisa eksekusi.”

Ketika ditanya mengenai nama-nama relasi yang membantunya dalam advokasi hukum kampung Tambak Bayan, Dany tidak bersedia menyebutkan, termasuk tidak bersedia bila alasan pemilihan PN Muara Bungo ditulis lebih detail. “Yang bagian ini off the record, ya.”

Kuasa hukum warga, Hadi Pranoto, pernah berkata persil-persil di Tambak Bayan dan Kepatihan, yang jadi objek sengketa dengan pihak hotel, merupakan “tanah negara bekas eigendom verponding, dihuni warga yang tinggal secara turun-temurun.”

Dalam produk hukum agraria, eigendom verponding di kampung Pecinan Tambak Bayan merujuk bukti kepemilikan tanah yang dibuat pada era Hindia Belanda. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960, tanah-tanah berstatus hukum kepemilihan era penjajahan ini harus dikonversi menjadi hak kepemilikan sesuai hukum Indonesia, selambatnya selama 20 tahun atau September 1980. Berbeda dengan status hukum sertifikat hak milik, status verponding rentan disengketakan. Bila tanah berstatus verponding tidak bisa dibuktikan kepemilikannya, otomatis menjadi tanah negara. Ada banyak kasus sengketa tanah di Indonesia yang masih berstatus verponding.

“Mereka [warga Tambak Bayan dan Kepatihan] mempunyai izin tinggal dari kepala Huisvesting Organisatie [Jawatan Perumahan] Surabaya  sejak 1930, sampai dengan izin dari Kantor Tata Usaha Koperindo, dengan membayar uang sewa secara teratur,” kata Pranoto.

Melawan dengan Seni

Di tengah tarik ulur penggusuran dan relokasi yang semakin memanas sejak 2007, warga Tambak Bayan mendapatkan dukungan dan solidaritas dari berbagai komunitas, individu, mahasiswa, penggiat kampung kota, dan lembaga-lembaga gerakan sosial di Kota Surabaya. Mereka di antaranya Operation for Habitat Studies (OHS), Milisi Fotocopy, Redi Murti, Cahyo Prayogo, dan Kang Semut.

OHS, terdiri dari akademisi dan peneliti yang fokus mengamati kampung kota di Surabaya, sempat dicurigai warga saat datang ke kampung karena konflik dengan pihak hotel sedang memanas. Warga mengira OHS adalah mata-mata.

“OHS ternyata mengajarkan perlawanan tidak harus dengan gontokan. Melalui seni, perlawanan juga dapat dilakukan,” kata Seno.

Kalau sudah beradu fisik, ia sadar bahwa masalahnya tidak lagi urusan tanah dan pemukiman warga Tambak Bayan, tapi bisa merembet ke tindak kriminal.

Dari saran itu, warga bareng komunitas seni di Surabaya membuat mural-mural perlawanan di kampung Pecinan. Ada gambar naga memakan ekornya sendiri, gambar seseorang memakai atribut Tionghoa, dan aneka ornamen lain.

“Naga itu mewakili etnis Tionghoa. Jadi, kalau gambar naga memakan ekornya sendiri, artinya etnis Tionghoa menindas etnis Tionghoa lain,” ujar Seno.

Foto-foto banner dan spanduk di dinding-dinding rumah warga Tambak Bayan pada peristiwa perlawanan terhadap pemilik Hotel V3, Soetiadji Yudho alias Loe Tun Bie, pada 2006-2007 (Project M/Rifki Iqbal Nizar Zidan)

Warga juga melampiaskan protes dengan cat pylox di tembok-tembok rumah, juga membubuhkan kalimat-kalimat perlawanan pada spanduk-spanduk yang masih layak pakai, lalu dipasang di berbagai sudut kampung.

Lim Kiem Hau, akrab disapa Gepeng, warga Tambak Bayan, mengenang situasi di lapangan saat penggusuran mulai memakai alat kekerasan negara: “Arek-arek tekan golongan mahasiswa dan LSM datang. Warga mulai tenang dan punya kekuatan. Sempat tegang, karena kami harus bergerak untuk mengatur orang-orang agar semangat.”

Saat ini, sejak pertengahan 2022, barisan solidaritas bersama warga bersepakat membuat Institut Seni Tambak Bayan. Tujuan pendiriannya untuk mendampingi warga Tambak Bayan sampai mendapatkan legalitas atas tempat tinggal mereka. Sambil mengejar tujuan ini, Institut juga mengadakan program-program ruang belajar bersama warga.

Selain mural, mereka membuat film, melakukan riset tentang kampung, dan membuat pameran seni rupa. Ruang kegiatan mereka terpusat di bangunan tengah, tempat saya dan Seno mengobrol.

Masa Depan Wisata Kampung Pecinan

“Pihak hotel  sempat akan merelokasi warga Tambak Bayan di Kenjeran Lama. Ada daerah yang dekat makam Islam, lahan kosong di sekitar itu milik hotel. Jelas, warga Tambak Bayan tidak mau karena dekat pusara,” kata Suseno Karja.

Hotel menawarkan juga tanah di Katrungan, Banyu Urip, sekitar 6 km dari kampung Tambak Bayan, juga dekat dengan makam. Ia dan warga keberatan. “Nanti anak-anak mainnya gimana?”

Seno dan warga memilih lokasi di Pakal, kecamatan paling barat di Kota Surabaya, 20-an km dari Tambak Bayan. Ia mendapatkan harga Rp600-800 ribu per meter, letaknya strategis, ada di antara pemukiman warga lain. Akan tetapi, lokasi pilihan warga itu tidak dimanajemen dengan baik oleh pihak hotel.

“Saat itu, ada perwakilan hotel yang datang ke sana. Entah, ditawar murah atau bagaimana, kemudian harga dinaikkan jadi Rp1,5 juta per meter.”

Setelah itu, relokasi berjalan buntu.

Dany Sumanjaya sempat membahas soal relokasi dengan pihak hotel. Win-win solution ditemukan. Soetiadji Yudho berencana menyulap Tambak Bayan menjadi Wisata Kampung Pecinan. “Supaya bisa beri kesejahteraan ke warga,” imbuh Dany.

Model wisata yang direncanakan ini dapat diisi dengan menjual kuliner-kuliner lokal. Rumah-rumah warga akan dibangun mirip rumah toko (ruko), lantai atas tempat tinggal, lantai bawah tempat berjualan makanan khas Tambak Bayan.

“Jadi, warga sing penting dapat surat tanah dulu. Selain itu, bisa dibentuk spot-spot foto (untuk wisatawan), dibuat senang-senang. Kan, kampung wisata.”

Dany berkata penyelesaian harus saling menguntungkan satu sama lain. Pihak hotel untung, karena hotel bakal laku apabila ada banyak wisatawan yang datang di kampung Pecinan Tambak Bayan. Apalagi ada rencana pembangunan apartemen di lokasi yang sama.

Begitupun, sebaliknya. Warga mendapatkan untung karena surat tanah bakal dibuatkan dan dibangunkan ruko untuk mendirikan usaha rumahan.

“Untuk wilayah wisata kampung Pecinan nanti meliputi Kramat Gantung, Tambak Bayan, dan Kepatihan, serta gang dekat kali yang bernama Gang Kentong. Rencananya, Gang Kentong akan jadi wisata kali mirip di Thailand,” cerita Dany.

Adapun bagi warga Kepatihan dan Tambak Bayan, apabila tidak setuju dengan rencana pembangunan wisata kampung, kata Dany, akan direlokasi dengan ganti rugi Rp1 juta per meter.

“Saya masih belum tahu kapan rencana itu dikerjakan dan perlu waktu berapa tahun untuk selesai,” katanya.

Seno menyambut rencana itu. “Bagus,” sahutnya. Walau secara konsep wisata kampung Pecinan di Tambak Bayan masih belum matang.

Suseno Karja berdiri di samping miniatur relokasi Kampung Pecinan Tambak Bayan (Project M/Rifki Iqbal Nizar Zidan)

Sementara itu, selama lima tahun bekerja di Hotel Veni Vidi Vici (V3), Hariyanto, manajer front office hotel, merasa hubungan antara warga Tambak Bayan dan pihak hotel baik-baik saja.

“Dulu, setahu saya di sini dipakai kampus. Terus dipindah. Lalu dijadikan hotel. Kalau (konflik) yang lama itu saya nggak tahu awalnya gimana. Selama saya di sini, nggak ada konflik dengan warga.”

“Kalau memang arahnya untuk menghidupkan kampung Pecinan, pihak hotel nggak ada masalah. Support. Kan, nanti omsetnya juga ke kami. Kami sama orang-orang kampung juga nggak ada (masalah) apa-apa, area parkir juga dipakai warga. Kami beri fasilitas ke warga, termasuk buat kegiatan seperti karate atau silat.”

Bintang Putra, penggiat kampung kota dari Operation for Habitat Studies, menyambut baik rencana itu. “Tapi, sepertinya masih ada sedikit kegelisahan di hati warga. Mereka khawatir pihak hotel mengingkari janjinya.”


Laporan ini merupakan hasil fellowship Jurnalisme Aman dari Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN).

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
14 menit