VICA, RATRI, dan VEN datang ke Bali bukan hanya untuk mencari penghidupan, tetapi untuk menyelamatkan diri dari tempat yang dulu mereka anggap rumah..
Di daerah asalnya, keberadaan mereka dianggap berbeda; tubuh, suara, atau cara berpikir. Mereka tumbuh dalam bayang-bayang diskriminasi. Maka mereka pergi, bukan karena ingin melupakan akar, tetapi karena tanah yang seharusnya menjadi ruang bertumbuh justru menolak mereka.
Di Bali, mereka menemukan sesuatu yang tidak mereka temukan di tanah kelahiran: ruang untuk hidup. Di tengah keberagaman budaya dan dinamika yang lebih cair, mereka belajar membangun ulang makna “rumah”, bukan sebagai tempat yang diwariskan, tapi sebagai ruang yang mereka pilih.
Cerita-cerita tentang merantau memang mencakup bermacam motivasi, pencarian akan rasa aman dan kehidupan yang lebih baik. Bagi Vica, di Bali, ia menjumpai rasa nyaman. Ia memutuskan pergi dari kampung asalnya di antaranya juga untuk menghindari anjuran mengikuti tes calon ASN dan melanjutkan kuliah S2.

Foto kanan. Vas bunga dengan tulisan “Maricón,” ungkapan idiomatik dalam bahasa Spanyol ini awalnya merupakan kata hinaan yang bersifat merendahkan. Namun, dalam konteks tertentu—terutama bagi komunitas keberagaman identitas gender dan seksual di negara-negara berbahasa Spanyol— istilah ini telah diambil kembali dan digunakan dengan makna yang lebih netral, atau bahkan sebagai ungkapan penuh kasih sayang di antara sesama teman. (Project M/Dwi Asrul Fajar)
“Rasanya di Bali lebih terbuka dan nyaman, meskipun aku sudah open di kota sebelumnya, sudah melela dan lingkunganku waktu itu juga memungkinkan. Tapi ya, Bali lebih bikin aku nyaman, sih,” kata Vica, ketika ditemui pertengahan tahun lalu.
“Then life happened, I got a dog and two cats.”
Sementara buat Ratri, pilihan untuk pergi dari kampung halaman lantaran kesadaran akan identitas seksualnya muncul.
“Jadi, mungkin aku memang perlu pergi dari kampung halaman, dan mulai bisa menerima seksualitasku,” jelas Ratri.
Awal pindah di Bali, Ratri mendapat tawaran bekerja di bidang teknologi informasi di perusahaan yang tidak mensyaratkan pekerjanya harus laki-laki. Sejak itu, ia perlahan menemukan cara untuk memahami dan merayakan identitasnya.

Migrasi memang jalinan kompleks yang menggabungkan narasi, aspirasi, dan identitas yang terjalin erat. Bagi individu keberagaman identitas gender dan seksual, migrasi kerap jadi ikhtiar untuk bertahan, bentuk perlawan dan afirmasi diri di tengah lanskap yang diskriminatif.
Sepanjang 2024, kelompok dengan keragaman gender di Indonesia menghadapi berbagai bentuk diskriminasi yang semakin meningkat. Catatan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Arus Pelangi menemukan banyaknya pemberitaan diskriminatif terhadap kelompok LGBTIQ+ yang berasal dari politisi dan pejabat pemerintah selama masa Pemilu 2024.
Bukan hanya itu, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) juga masih marak terjadi. Survei oleh LBH Masyarakat pada 2022 menunjukkan bahwa dari 401 responden LGBTIQ+, 78,8% berisiko tinggi mengalami serangan berupa doxing dan peretasan dengan maksud menghancurkan kredibilitas.

Foto kanan. Lidya, berdiri di depan satu satu stan di Pasar Badung. Baginya, pasar menawarkan wajah Bali yang berbeda—bukan tentang pantai atau pariwisata, tapi tentang keseharian orang-orang yang tinggal dan hidup di dalamnya. (Project M/Dwi Asrul Fajar)
Dalam lanskap represif tersebut, sebagian individu keberagaman identitas gender dan seksual memutuskan mencari suaka internal, agar eksistensi mereka tidak hanya ditoleransi, tetapi dirayakan meski dalam bilik anonimitas senama ruang aman.
Ven yang banyak aktif dalam kegiatan komunitas, sudah berangan-angan untuk keluar dari rumahnya sejak lama. Sebelum pindah, ia dua kali mengunjungi Bali pada 2012 dan 2015. Pada kunjungan keduanya itu, ia merasa mantap untuk menetap.
“Sejak dari SMA. Semua itu didasari oleh situasi rumah dan juga kesadaran untuk lebih bebas berekspresi,” katanya.
Bali = Ruang Aman?

Kasus Kristen Gray, seorang digital nomad asal Amerika yang pada tahun 2021 mempromosikan Bali sebagai “surga queer-friendly” bagi orang asing, memicu perdebatan panjang. Cuitannya yang menyebut Bali sebagai tempat perlindungan bagi queer dari negara-negara yang lebih konservatif justru menyoroti ketimpangan akses terhadap kebebasan itu.
“Bali sedikit lebih ramah. Tapi, pink-washing tentunya.” kata Ven yang mulai menetap di Bali sejak 2017.
Pink-washing adalah istilah kritis terhadap praktik pemasaran yang menampilkan dukungan terhadap individu keberagaman identitas gender dan seksual tetapi tidak sepenuhnya mendukung kesetaraan dan inklusi itu.
Ven juga menilai meski sedikit lebih ramah, bukan berarti aman. Ia dan beberapa orang teman di komunitas kecilnya sesekali membantu teman-teman yang menjadi korban kekerasan berbasis identitas gender dan seksual.

Foto kanan. Prisma Cahaya warna-warni di atas sebuah pohon yang tumbuh di atas batu, di dekat air terjun kecil. Bagi Sebagian teman-teman keberagaman bentang alam Bali, tidak sekadar menawarkan keindahan tapi juga menjadiakan ruang bertumbuh dan menjadi diri mereka sendiri. (Project M/Dwi Asrul Fajar)
Pariwisata dan gentrifikasi membuat ruang aman lebih mudah diakses oleh ekspatriat dan wisatawan, sementara individu keberagaman identitas gender dan seksual masih tetap harus berhadapan dengan batasan sosial dan ekonomi.
“Kalau kerjaan, prosesnya banyak up and down. Aku juga mengalami diskriminasi karena ekspresi genderku, bentuknya halus banget, semisal komentar soal pakaianku” katanya.
Di tengah keterbatasan akses pekerjaan, tuntutan biaya hidup tinggi juga membayangi mereka. Ven berujar, pada periode waktu 2017-2021, harga sewa rumah masih berkisar Rp800 ribu hingga Rp1,8 juta per bulan.
“Sekarang, wew, stres. Empat bulan nyari tempat baru. Makin mahal pula, penipuan makin marak. Efek banyak bule ngekos juga. Gentrifikasi, lha, ngaruh,” tambahnya.
Arti Rumah bagi Mereka yang Pindah


Beberapa dari mereka yang memutuskan untuk menetap dan membangun rumah di Bali lantaran merasa dipilih oleh Bali. Konsep rumah bagi individu keberagaman identitas gender dan seksual bersifat kompleks.
Dalam narasi migrasi heteronormatif, rumah sering kali dipahami sebagai ruang keluarga biologis berada. Namun, bagi banyak individu keberagaman identitas gender dan seksual, rumah justru adalah tempat yang harus ditinggalkan karena penolakan, diskriminasi, atau bahkan kekerasan. Rumah menjadi biangnya trauma.
Penelitian di Eropa tentang fenomena migrasi LGBTIQ+ di Eropa, menemukan bahwa perasaan memiliki dan inklusi sangat dipengaruhi oleh faktor sosial seperti akses ke komunitas keberagaman identitas gender dan seksual, tingkat penerimaan masyarakat, serta stabilitas ekonomi.
Banyak migran keberagaman identitas gender dan seksual yang justru menemukan rumah dalam ruang-ruang temporer: apartemen yang ditinggali bersama teman-teman satu komunitas, kafe, atau bahkan dalam hubungan dengan pasangan yang mengalami perjalanan serupa.

Foto kanan. Venon, menemukan arti rumah dari teman-teman yang selalu ada untuk satu sama lain. “Aku hidup menyama braya bersama keluarga dari komunitas yang aku temui di Bali.” (Project M/Dwi Asrul Fajar)
Rumah buat Ven adalah apapun yang memberikannya kenyamanan dan keamanan. “ (Di Bali) Aku merasa aman karena walaupun bukan datang dari peraturan atau penerimaan pemerintah. Tapi adanya teman-teman yang sejauh ini selalu ada untuk satu sama lain itu bagiku adalah rumah untukku,” jelasnya.
“Sejak 2019 hingga sekarang, Aku hidup menyama braya bersama keluarga dari komunitas yang aku temui di Bali.”
Konsep Menyama braya berasal dari dua kata, yaitu “menyama” yang berarti saudara dan “braya” yang berarti keluarga atau kerabat. Ini adalah konsep hidup bermasyarakat di Bali yang berarti bekerja sama, tolong-menolong, dan hidup rukun. Menyama braya merupakan perwujudan toleransi dan nilai penting dalam budaya Bali.
Konsep ini juga merupakan salah satu wujud dari konsep Tri Hita Karana, yaitu keharmonisan hubungan manusia dengan sesama.
“Jadi walaupun sering tinggal sendiri. Nggak terlalu merasa sepi,” tukasnya.
Bali tentu bukan utopia tanpa cela. Tapi, bagi mereka yang sudah menemukan rumahnya, pulau ini menjadi bukti bahwa ruang aman bisa hadir, meski tersembunyi dan terbatas. Ruang aman menjadi penting, bukan hanya semata tempat fisik, tetapi juga kondisi di mana seseorang merasa dihargai, diterima, dan dapat mengekspresikan identitasnya tanpa rasa takut.
Bagi individu keberagaman identitas gender dan seksual, ruang aman adalah ruang yang tidak hanya bebas dari diskriminasi dan kekerasan, tetapi juga terpenuhi hak dasarnya seperti tumbuh, berkarya, dan menjalani kehidupan dengan martabat.
