Stigma dan diskriminasi membuat anak-anak dengan status positif HIV atau yang memiliki garis keturunan HIV sulit mendapatkan hak dasar mereka dalam pendidikan dan kesehatan.
SEPANJANG INGATAN, ini liputan terlama saya. Lama, bukan karena sulit menemukan kasusnya. Cerita diskriminasi terhadap anak dengan HIV positif atau biasa disebut ADHA (anak dengan HIV/AIDS), sebetulnya beberapa kali muncul dalam riset yang saya lakukan.
Misalnya ketika 14 ADHA ditolak masuk salah satu sekolah di Solo, Jawa Tengah, oleh sejumlah orangtua siswa.
Kemudian, ketika seorang ADHA di Jawa Barat didemo orangtua murid ketika masuk TK karena alasan dapat menulari teman sekolahnya. Mental anak itu jatuh hingga akhirnya menolak untuk mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) yang berguna menahan pertumbuhan sel virus. Beberapa tahun kemudian, anak itu meninggal akibat TBC dan gizi buruk, penyakit yang kerap menjangkiti pengidap HIV, sebagai efek dari berhentinya konsumsi obat.
Jawa Barat juga menyimpan kisah diskriminasi lainnya. Seorang anak di Bandung, di kota dengan predikat Layak Anak, terpaksa berkali-kali pindah sekolah karena status orangtuanya sebagai ODHIV, atau orang dengan HIV. Padahal anak tersebut HIV negatif.
Mirip dengan kasus di Jabar Selatan, seorang ADHA mengalami tekanan fisik dan psikis setelah dibocorkan statusnya oleh salah seorang guru di sekolah. Anak itu kemudian mogok minum ARV yang membuat kondisi kesehatannya semakin memburuk, hingga akhirnya meninggal.
Kasus-kasus tersebut diungkap oleh orang ketiga yang mengetahui betul kejadiannya. Ketika saya berniat mengkonfirmasi kejadian itu langsung ke narasumber utama, saya menemukan jalan buntu.
Oleh karenanya, bagian terlama dari proses liputan ini adalah menunggu kesediaan dan kesiapan narasumber utama. Beberapa kali, saya harus mengganti narasumber yang semula bersedia tetapi akhirnya mundur dengan alasan yang dapat dipahami.
Pada satu titik perjalanan, saya mendapatkan calon narasumber ADHA. Hanya saja, dengan berbagai pertimbangan, rencana itu dibatalkan.
I – LANGIT
LANGIT tahu persis perihal insiden kematian seorang ADHA di Jabar Selatan itu. Insiden itu menjadi alarm baginya untuk menyembunyikan status ia dan anak pertamanya yang positif mengidap HIV.
“Kenapa aku menutupi (status anakku dan aku) yah takutnya anakku mendapatkan stigma dan diskriminasi seperti itu,” tutur Langit saat berbincang di sebuah kafe di Kota Bandung, Selasa (6/5).
Kakak, panggilan Langit bagi si Sulung, menjalani tahun-tahun pertama bersekolah di Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) dengan kondisi fisik yang bisa sewaktu-waktu turun. Kondisinya itu kerap menjadi pertanyaan pihak sekolah tetapi Langit selalu berusaha menutupinya.
“Enggak ada kepentingannya juga, sih, di lingkungan sekolah tahu terkait status kami, sepanjang si anak itu bisa mengikuti pelajaran yang ada di sekolah,” beber ibu tunggal dari dua anak ini.
Ia merasa dunia pendidikan belum bisa menerima status ADHA, sehingga ia perlu berhati-hati dalam menjelaskan kondisi si anak.
“Di saat anak sakit, aku koordinasi kondisinya seperti apa, tapi istilahnya penyakitnya aku ganti karena itu tadi gak ada kepentingan juga buat diomongin, kalau dampaknya buruk buat psikologis anaknya,” ujarnya.
Saat ini, Kakak sudah lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) dan berhasil menjalani masa-masa sekolahnya tanpa stigma dan diskriminasi. Hal itu tentu saja dicapai dengan penuh perjuangan menyembunyikan status HIV.
Langit pun mau tak mau harus terus memberi pemahaman kepada Kakak mengenai penyakitnya dan risiko bila statusnya diketahui orang lain, sembari tetap menumbuhkan kepercayaan diri sang sulung bahwa anak dengan HIV tidak berbeda dengan anak-anak lainnya.
“Yang membedakan hanya kita tuh minum obat saja dan di tubuh kita ada virus HIV. Kakak mau jadi apapun bebas dan aku tidak pernah berpikiran bahwa anak aku anak spesial, enggak. Justru aku berpikiran anakku sama kayak yang lain. Dia bisa melakukan hal-hal yang sama, tanpa adanya batasan-batasan,” ungkap perempuan 40 tahunan ini.
II – LEMBAYUNG
Pengalaman berbeda dialami Lembayung, ibu ODHIV dengan tiga anak perempuan yang semuanya negatif HIV.
Kendati demikian, salah satu anaknya justru menjadi sasaran stigma dan diskriminasi di sekolahnya.
Status HIV Lembayung diungkap salah seorang tetangga yang kemudian tersebar dan terdengar orangtua siswa sekolah TK anak bungsunya. Akibatnya, si anak dijauhi teman-temannya.
Dedek, panggilan anak bungsu Lembayung, tiba-tiba pulang sambil menangis. Dedek bilang ke Lembayung, ia tidak ingin bersekolah lagi. Permintaan itu berkali-kali muncul selama kurang lebih tiga bulan menjelang akhir TK.
Lembayung yang semula mengira Dedek hanya adu mulut biasa dengan temannya, menjadi curiga ada sesuatu di balik kejadian itu. Hingga akhirnya Lembayung mengetahui perilaku tak biasa itu sebagai dampak dari terungkapnya status HIV dirinya.
“Posisinya tetangga itu tahu kalau saya positif. Dia ngomong ke tetangga yang baru datang pindahan, terus ngomong lagi di sekolah Si Dedek. Itu yang jadi masalah,” kata Lembayung.
“Meureun (mungkin) ini orangtuanya bilang gak usah dekat-dekat (Dedek) bisi (takut) HIV. Padahal Si Dedek mah bukan HIV positif,” keluhnya.
Kesal dan marah dengan perlakuan yang diterima anaknya, Lembayung mendatangi kepala sekolah dan menuntut agar masalah tersebut segera diatasi. Kepalang basah, Lembayung meminta sekolah memfasilitasi pertemuan dengan orangtua siswa lain guna menjelaskan status ia dan anaknya. Hanya saja, sekolah memilih untuk menyelesaikan secara tertutup.
“Sekalian saya sosialisasi, lah, kasarnya kasih informasi dan edukasi ke mereka bahwa anak saya tong (jangan) dijauhan da anak saya mah teu kunanaon (tidak kenapa-kenapa). Apa sih bedanya orang dengan HIV sama orang yang enggak, sama aja. Kita juga punya hak sekolah, dapat akses kesehatan, dan sebagainya,” beber Lembayung yang ditemui di Kawasan Bandung Utara, Sabtu (1/7).
Lembayung mengaku tidak peduli andai status HIV-nya terungkap. Akan tetapi, ia memilih untuk melindungi anak-anaknya dari stigma dan diskriminasi.
Hal itu pula yang dilakukan saat ada pemeriksaan rutin kesehatan di sekolah anak-anaknya. Pada setiap tahun ajaran, orangtua siswa diharapkan mengisi formulir riwayat kesehatan siswa dan keluarga. Lembayung memutuskan tidak mengisi poin yang berkaitan dengan status kesehatannya.
“Ketika saya open status, saya butuh rasa aman, tidak berdampak pada diri sendiri, apalagi ke anak. Ketika orangtuanya open status HIV, terus anaknya jadi dikeluarkan, ya, sudah mending saya gak ngomong,” katanya.
Lembayung berharap suatu saat situasi ini akan berubah ketika orang-orang seperti dirinya bisa diterima di lingkungan manapun. Dengan semakin tingginya harapan hidup ODHIV, Lembayung merasa perbedaan hanya terletak pada keberadaan virus yang menginfeksi sistem kekebalan tubuh. Perbedaan itu juga tidak lantas membuat ODHIV terhalang aksesnya ke pendidikan, kesehatan, juga karier, atau bahkan distigma dan didiskriminasi.
“Mendapatkan pendidikan itu sudah tanggung jawab pemerintah. Jadi jangan dilihat dari status dia anak miskin, anak dengan HIV atau orang tuanya dengan HIV. Kebayang kalau anak mau sekolah dibatasi dengan status, terus dia tidak mendapat apa-apa, di mana perlindungan pemerintah buat anak dengan HIV?” tuntut Lembayung.
Gusriyeni, seorang psikolog dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), melihat masyarakat masih sulit menerima karena menganggap HIV sebagai penyakit yang mudah menular, ditambah dengan nilai-nilai yang dianggap bertentangan.
“Dari sisi psikologis, mereka menerima kondisi penyakitnya juga sudah berat, apalagi dipaksa menyembunyikan status mereka. Itu yang nantinya bisa berdampak sangat berbahaya. Misalnya, kalau masyarakat tahu, mereka bisa saja dikucilkan, di-bully, dipandang sebelah mata, dan perilaku negatif lainnya,” kata Gusriyeni.
Upaya Mengikis Stigma dan Diskriminasi Pada ODHIV
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung mengakui masih tingginya stigma dan diskriminasi, khususnya terhadap ADHA. Sehingga dapat dipahami, bila orangtua takut mengungkapkan status HIV anaknya.
“Takut (karena) belum siapnya lingkungan masyarakat atau lingkungan sekolah menerima mereka sebagai ODHIV,” kata Maya Verasandi, Kepala Sekretariat KPA Kota Bandung, melalui jawaban tertulis yang diterima, Jumat (7/7).
Agar orangtua dan anak dengan HIV merasa aman mengungkap statusnya, kata Maya, harus tercipta lingkungan yang memahami secara menyeluruh informasi terkait HIV/AIDS.
Misalnya, informasi cara penularan, pencegahan, dan pengobatan. Saat tercapai pemahaman soal itu, menurut Maya, maka seharusnya tidak akan terjadi stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV. Informasi tersebut juga harus dimengerti oleh guru, murid, dan tentunya orang tua siswa.
Dalam menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif, lanjut Maya, Pemerintah Kota Bandung telah membentuk Warga Peduli AIDS (WPA) di 30 Kecamatan dan 135 Kelurahan yang melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum, termasuk mengajak tes HIV, serta melakukan pendampingan ODHIV di beberapa wilayah.
Sedangkan di lingkungan sekolah, KPA Kota Bandung menjalankan program Hebat Bersama Sahabat di 40 Sekolah SMP bekerja sama dengan Dinas Pendidikan. Dengan Dinas Kesehatan, pihaknya, diluncurkan ‘Kekasih (Kendaraan Konseling Silih Asih) Goes to School.’ Sedangkan dengan Satpol PP melakukan program ‘Kembali ke Sekolah.’
“Untuk ODHIV dilakukan penguatan baik dalam hal psikososial maupun tentang HIV secara general oleh pendamping sebaya dari LSM,” kata Maya.
Mewujudkan kondisi ideal bagi penderita HIV akan terus diupayakan, lanjutnya. Meski diakui ada beberapa hal yang harus ditingkatkan, seperti sosialisasi HIV di tingkat PAUD dan SD yang baru sebagian kecil saja dilaksanakan. Terlebih lagi, mengingat jumlah kasus ADHA di Kota Bandung telah mencapai ratusan anak.
KPA Kota Bandung mencatat, data kumulatif dari tahun 1991 sampai dengan Desember 2022, terdapat 94 orang (1,54 %) yang saat ini berusia 0-14 tahun dan usia 15-19 tahun sebanyak 141 orang (2.3%) dari total kasus 6.133 orang.
Minimnya sosialisasi dan edukasi HIV, dirasakan pula oleh Arif Gunawan yang lama berkecimpung di isu HIV/AIDS. Arif yang merupakan Program Manajer Female Plus, menyebut, gembar-gembor sosialisasi dan kampanye HIV hanya setahun sekali saat peringatan Hari AIDS Sedunia, setiap 1 Desember.
Iklan layanan masyarakat soal pencegahan penularan HIV pun semakin jarang ditayangkan di media massa.
Di sisi lain, ketika Arif dan teman-teman aktivis hendak melakukan sosialisasi dan edukasi beberapa kali menemui kendala. Salah satunya di lingkungan pendidikan yang menurut Arif menjadi tempat yang sulit dijangkau.
“Jujur, beberapa kali memang kami mengundang dinas pendidikan ataupun pihak yang terkait, itu sulit buat hadir. Lingkup pendidikan ini cukup sentral kalau saya bilang, cukup strategis untuk penyebaran informasi,” kata Arif.
Kendati demikian, dalam catatan Arif saat sudah ada program yang beririsan, semisalnya Dinas Kesehatan Kota Bandung mengunjungi sekolah-sekolah untuk memberi tahu cara penyebaran dan pencegahan HIV.
“Cuma terlalu kecil dan tidak menyasar semua anak. Harapannya, edukasi HIV bisa masuk ke kurikulum sekolah. Minimal kalau edukasinya sudah merata, anak-anak bisa menjaga dirinya sendiri,” tukasnya.
Arif mengatakan, ia beberapa kali menerima laporan kasus stigma dan diskriminasi pada ADHA tetapi kasusnya menguap begitu saja – sebagian besar karena keinginan korban.
Ia mencontohkan kasus terungkapnya status satu keluarga HIV positif oleh seorang kader kesehatan di lingkungan rumahnya. Arif berupaya melakukan pendampingan dan menginformasikan apa saja hak-hak yang bisa diterimanya. Sayangnya kasus itu tidak berlanjut.
“Ada beberapa laporan, tapi kemudian hilang dengan sendirinya,” ungkap Arief ketika dihubungi melalui sambungan telepon.
Dalam catatannya, di komunitas ODHIV, kasus stigma dan diskriminasi yang terjadi cukup membuat mereka semakin “tertutup” dan “bersembunyi,” lebih-lebih jika menyangkut status HIV anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang memiliki data beragam kasus pelanggaran hak anak, sama sekali tidak mengantongi data kasus stigma dan diskriminasi pada ADHA. Data yang ada hanya jumlah kasus anak dengan HIV/AIDS atau penyakit lainnya.
“Jadi belum terlalu detil. Data-data yang ada di kami masih terbatas dari pengaduan saja. Untuk tahun ini belum ada pengaduan (terkait kasus tersebut),” ungkap Restu Nayulio, pegawai Sekretariat KPAI, saat dihubungi melalui aplikasi pesan, Senin (17/7).
Jangan Sembunyikan Status HIV Anak
BAGAI disambar petir di siang bolong. Suatu hari, Kakak bertanya kepada Langit mengapa ia bisa positif HIV. Pertanyaan itu muncul saat Kakak masih berusia 10 tahun.
“Kakak tertular dari mana?” kata Langit menirukan pertanyaan anak laki-lakinya itu.
Batin Langit berkecamuk. Perasaannya campur aduk. Antara takut, sedih, heran. Dilema antara berkata jujur atau bohong. Ia tidak menyangka pertanyaan seperti itu bakal terlontar dari mulut bocah kecil yang dianggapnya masih belum mengerti soal penyakit yang menyerangnya.
“Yang dia tanyakan bukan Kakak sakit apa. Berarti selama ini, dia tahu bahwa dia terinfeksi HIV, cuma dia belum paham tertular dari mana,” ungkap Langit.
Ketika itu, Langit merasa ia belum siap untuk jujur mengatakan perihal penyakit Kakak. Namun, pertanyaan itu memaksanya membuka semua. Langit tidak memungkiri, terselip rasa takut di benaknya. Rasa takut akan munculnya kemarahan dan kebencian Kakak terhadap dirinya yang telah menulari HIV. Tetapi, untuk terus menutupinya juga bukan hal yang baik.
“Istilahnya, di saat aku gak ada, dia sudah bisa survive. Itulah yang akhirnya memotivasi aku. Ada keberanian (menceritakan), meskipun berat,” kata Langit.
Kepada Kakak, Langit menceritakan bahwa penyakitnya itu ditularkan oleh dirinya yang dulu seorang pecandu narkotika suntik, “Karena ketidaktahuan saat hamil, melahirkan, dan menyusui.”
Langit menangkap ada kekecewaan dari bahasa tubuh Kakak. Langit menebusnya dengan memberikan dukungan tanpa henti.
“Alhamdulillah, kejujuran itu tidak selalu pahit. Gak pernah ada kebencian dari anak aku dengan kenyataan yang dialami sekarang. Justru yang aku lihat, dia sangat menghargai ibunya terlepas dari latar belakang ibunya seperti apa,” ucap Langit penuh rasa syukur.
Maya dari (KPA) Kota Bandung bersepakat, memberi tahu anak soal status HIV lebih baik dilakukan sedini mungkin. Tentunya, dengan melewati beberapa tahapan. Ketika usia SD, paling tidak anak sudah dikenalkan apa itu HIV dan pengobatannya.
“Apabila merasa tidak sanggup melaksanakan sendiri bisa dibantu oleh pendamping sebaya, dokter, atau konselor di layanan perawatan, dukungan, dan pengobatan di Kota Bandung,” kata Maya, yang juga menjabat sebagai Penanggung Jawab Pokja Pencegahan HIV dari Ibu ke Anak KPA Kota Bandung.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam pedoman terkait pembukaan status HIV untuk anak pada tahun 2011, juga menemukan bahwa keterbukaan itu terbukti membawa dampak positif terhadap kesehatan anak. Hal tersebut berkaitan dengan motivasi anak untuk menjalani terapi pengobatan.
Anak juga dapat lebih memahami kondisi tubuhnya yang rentan terhadap penyakit lain sehingga menjadi peduli tentang apa yang baik untuk kesehatannya dan apa yang dapat membuat kesehatannya memburuk karena anak sudah dapat mengenal rasa sakit.
Maya mengutip lima tahapan yang harus dilakukan seorang pendamping ketika bekerja dengan keluarga dari anak yang terinfeksi HIV dari John Hopkins Medical School.
Pertama, mengumpulkan informasi. Kedua, membangun rasa percaya dengan keluarga. Ketiga, menginisiasi pembukaan status HIV/AIDS secara parsial (partial disclosure) sebagai proses asesmen yang terus berjalan. Proses ini bisa berlangsung selama beberapa pekan atau bahkan tahunan. Keempat, bersama keluarga menentukan waktu yang tepat untuk membuka status HIV/AIDS secara menyeluruh (full disclosure). Terakhir, melakukan pemantauan setelah pembukaan status (post-disclosure).
Gusriyeni menambahkan, penting untuk memberikan pemahaman kepada anak bahwa HIV bukan penyakit yang menakutkan. Seorang ADHA bisa hidup normal sebagaimana anak-anak lain, juga bisa mendapatkan hak pendidikan, hak hidup, dan hak sosial. Walaupun mengidap HIV, anak dengan HIV positif bisa hidup seperti anak nonHIV asal menjaga kondisi fisik, psikis, dan perilakunya.
“Kalau mereka mengetahui statusnya, bisa hati-hati dalam bersosialisasi dan berperilaku. Perilaku anak yang sering diajak diskusi oleh orangtuanya juga akan berbeda dengan anak yang tidak pernah diajak berdiskusi,” jelas Gusriyeni.
Hal itu juga menjadi bekal bagi si anak yang kelak akan dewasa dan suatu saat memutuskan menikah. Ia juga harus bisa menjaga agar tidak menulari pasangan dan anak-anaknya.
Tak kalah pentingnya, mental orangtua harus pula disiapkan. Sebab, menurut Gusriyeni, mengungkap status HIV pada anak bukan perkara mudah.
“Orangtua pasti ada kecemasan tertentu, kalau nanti anaknya tahu orangtuanya mengidap HIV pasti anaknya malu karena dia mendengar dari lingkungan sosialnya soal stigma negatif. Itu pasti akan berpengaruh pada diri anaknya dan perilaku anaknya. Lebih-lebih kalau anaknya tidak pernah diajak diskusi soal HIV, kalau anaknya tidak pernah disiapkan,” kata Gusriyeni.
Lain halnya bila anak sudah paham dan menerima kondisinya. Statusnya mau dibuka atau tidak ke publik, menurut Gusriyeni, tidak menjadi masalah lagi. Meski demikian, ia berpandangan, mengungkap status ke publik lebih baik dilakukan seperlunya saja, terutama terkait layanan kesehatan.
*Langit dan Lembayung adalah nama samaran.
Liputan ini adalah bagian dari serial #AnakKorbanStigma.
Editor: Ronna Nirmala
Artikel ini menggunakan lisensi – CC BY-NC-ND 4.0