AMANDA WAMBLOLO muda tak pernah pusing memikirkan ke mana harus mencari makan.
Amanda tinggal di Kampung Yoka, di tepi timur Danau Sentani, di antara hamparan perbukitan dan aliran belasan sungai Pegunungan Cycloop.
Beragam pilihan pangan kaya karbo tumbuh di Kampung Yoka, seperti yameha atau pohon sagu berduri, yeba atau pohon sagu halus, yara atau fam atau ninggei yang jadi sebutan untuk beberapa jenis ubi jalar, hekei untuk bete (talas), dan imfeuw untuk pisang.
Ulat sagu disebut hem, sementara jamur sagu disebut fendlum. Sagu yang sudah diolah menjadi bubur atau papeda disebut fi. Bila diolah menjadi sagu bakar campur kelapa, sebutannya menjadi ou.
Pilihan sayur-mayur juga melimpah. Hio untuk bayam lokal, manggali untuk gedi, weare untuk lilin.
Di danau juga hidup berbagai jenis ikan. Ada yang mereka sebut khayouw (ikan gabus Danau Sentani), khahe (ikan gabus merah hitam), khandei (ikan gete-gete), dan himem (ikan gabus kuning hitam). Siapa saja bebas memancing, perempuan atau laki-laki, sendiri atau berkelompok.
“Makanan yang dulu sederhana tapi bagus. Makan papeda dengan ikan danau. Cuma masak begitu saja. Makan dengan sayur juga bisa. Ada paku, bayam. Keladi bakar makan dengan ikan direbus atau bakar,” kata Amanda, kini berusia 67 tahun.
Sebelum dikenal dengan nama Yoka, kampung ini bernama Hebeibhulu. Namanya diambil dari nenek moyang suku pertama yang mendiami kampung. Nama Yoka muncul saat masa kolonialisasi Belanda. Kala itu, Yoka menjadi pusat kegiatan masyarakat, termasuk pendidikan.
Yoka diambil dari kata Yo dan Kha. Yo berarti kampung dan Kha berarti ikan.
Secara administrasi, Kampung Yoka adalah bagian dari wilayah Distrik Heram di Kota Jayapura. Letaknya bersebelahan dengan Waena, salah satu kota dengan pemukiman paling padat di ibu kota Papua itu.
Dulu, bagian utara Kampung Yoka adalah dusun sagu. Akan tetapi, program pembangunan dan pangan pada era Soeharto perlahan mengubah lanskap ekosistem dan pola konsumsi di Kampung Yoka.
Sejumlah dusun sagu ditimbun, berganti pemukiman, sekolah, tempat ibadah, bangunan berniaga, dan lainnya. Bangunan menjejal hingga ke bibir danau. Di beberapa titik, rumah-rumah tenggelam, seperti terhisap ke dalam bekas rawa sagu meski tampak sudah ditimbun berulang-ulang.
“1974 orang mulai masuk beli tapi masih dusun sagu. Belum ada rumah-rumah. Perubahan belum. 2001 baru sagu-sagu mulai dihabiskan dan ditimbun. Perubahan cepat sekali,” kata Amanda.
Ambil Sekali, Tahan Berhari-hari
Di Kampung Yoka, pasangan Kristina Suebu dan Ricky Mebri masih rutin mengonsumsi pisang, ubi, atau sagu. Semua diambil dari lahan sendiri. Tapi, tetap ada nasi di antara deretan makanan pokok itu. Katanya untuk anak-anak dan cucu-cucu mereka yang lebih memilih nasi sebagai sumber karbohidrat.
Di dapur mereka ada satu ruangan khusus menyimpan bahan makanan sebelum diolah untuk beberapa hari ke depan. Kristina bilang makanan kesukaan ia dan suami tidak pernah benar-benar habis. Kalau habis, mereka tinggal ke kebun dan menimbun kembali.
Dusun tempat mereka berkebun dan mengambil sagu bernama Boboli. Terletak jauh di selatan kampung, Boboli masih berupa hutan. Kebun dibuka di tengahnya. Binatang liar seperti babi masih sering ditemui. Mereka memasang pagar di kebun. Dalam seminggu mereka sekali atau dua kali ke kebun untuk mengambil makanan.
Mereka menyimpan tepung sagu di empat ember besar. Tiga ember untuk keluarga, satu ember lainnya untuk babi dan anjing peliharaan mereka. Agar awet, tepung sagu direndam dalam air agar tetap basah. Air sewaktu-waktu harus diganti. Biasanya tepung yang diekstrak dari sebatang pohon sagu itu bisa cukup hingga tiga bulan.
“Kalau mau makan papeda, tinggal mancing ikan, baru kitong makan,” kata Kristina.
Sebagian rumah mereka berdiri di atas danau. Hanya sedikit dari bagian depan bangunan yang menyentuh daratan. Memancing adalah urusan enteng. Cukup membuang kail dari beranda belakang, ikan bisa terjaring.
Orang Sentani turun temurun mendiami kampung-kampung yang melingkari danau, dari pinggir Kali Jaifuri di bagian timur yang mengalirkan air ke Laut Pasifik, hingga ke Yakonde di bagian barat. Mereka juga mendiami kampung-kampung yang menyebar di pulau-pulau tengah danau.
Sentani dikenal sebagai danau tektonik yang dikelilingi oleh perbukitan. Selain sabana, hutan dan rumpun sagu menyebar di bagian dataran dan perbukitannya yang landai. Orang Sentani mendapat makanan dengan meramu sagu, berkebun di hutan sekitar, dan menjadi nelayan danau.
Sejak louhan berkembang biak di danau, ikan itu paling sering dijaring selain mujair dan gabus. Kadang mereka mengambil mujair dari keramba di beranda belakang. Mujair di keramba bisa mereka jual atau konsumsi sendiri.
Ikan louhan bukan endemik di Danau Sentani. Beberapa orang Yoka bilang louhan pertama kali muncul di danau karena ditebar umat Buddha yang merayakan Imlek. Louhan disebut sebagai hadiah untuk orang Sentani.
Cerita versi lainnya, louhan yang ada sekarang berasal dari ikan hias yang lepas dari akuarium saat banjir. Louhan berkembang biak dan memakan telur ikan-ikan endemik. Louhan di Sentani memiliki sirip tajam dan sisik yang banyak.
Krisis Generasi Penerus Nelayan
Yan Pulalo (29) biasa menjaring ikan di danau sejak pagi. Sekitar pukul 6 waktu Papua, ayah tiga anak ini sudah berada di tengah danau untuk memeriksa jaring.
Ikan yang biasa dijaring adalah ikan sembilan, ikan mujair, dan ikan merah. Ikan sembilan biasanya didapat sekitar 100 atau 200 meter ke tengah danau, sedangkan ikan mujair dan merah ada di pinggiran. Hasil yang didapat akan ia bagi untuk dijual dan dimakan.
Jika tangkapan sedang banyak, ia bisa mendapat uang sampai Rp700 ribu. Bila sedang sepi tangkapan, ia paling banyak bisa mendapat Rp300 ribuan. Jika sama sekali tidak ada pembeli, ikan akan dibawa pulang, diasar, dan dijual kembali keesokan harinya.
Yan adalah satu dari sedikit anak muda di Kampung Yoka yang masih menekuni profesi sebagai nelayan danau. Ia bertahan karena modal untuk memancing tak rumit: jaring dan bahan bakar untuk perahunya. Ia juga tetap bertahan walau terkadang jaringnya terisi sampah.
“Menurut saya, jadi nelayan bisa melengkapi semua kebutuhan dalam rumah. Pagi pasang jaring bisa untuk makan dan bisa untuk jual. Secara ekonomi bisa membantu,” kata Yan.
Meski menjaring ikan dari danau, Yan tidak melengkapi isi piringnya dengan berkebun. Ia mengaku sudah jarang mengonsumsi pangan lokal seperti pisang, ubi, atau sagu. Hanya orangtuanya yang memakan papeda dari sagu yang diambil dari dusun. Sementara nasi dan sayuran lebih seringnya dibeli.
Program pangan pemerintah menjadi salah satu penyebab bergesernya pangan lokal Papua, ditambah iteraksi para pendatang yang membuat Jayapura menjadi kota yang heterogen.
Kehadiran para pendatang yang membuka toko bahan makanan maupun warung makan yang mencirikan identitas kuliner daerah di luar Papua lambat laun menggeser keragaman pangan lokal ke beras. Hal ini yang kemudian menggeser selera konsumsi generasi muda, kata Kepala Kampung Yoka, Antonius Mebri.
“Kita tidak bisa lawan zaman. Lahir di tahun yang konsumtif. Begitu masuk warung, makan. Yang penting ada duit. Sedang kita orangtua lahir di tahun produksi. Tanam sendiri, makan sendiri. Itu masalahnya,” kata Antonius.
Ia juga menyoroti fenomena menurunnya jumlah petani dan nelayan muda karena peningkatan pendapatan warga seiring dengan program pemerintah kampung yang mencanangkan satu rumah satu sarjana. Sayangnya, ketika anak-anak sudah mendapat gelar sarjana, mereka lebih memilih profesi selain petani atau nelayan.
Sama seperti Antonius, Amanda mengatakan generasi penerusnya lebih sering membeli bahan makanan di pasar atau pedagang keliling. Ada juga yang meniru kebiasaan pendatang: membeli di pasar lalu menjualnya kembali di kampung.
Dari sudut pandang Amanda, berkurangnya jumlah petani dan nelayan berdampak pula pada sulitnya warga untuk mendapat makanan lokal. Bahkan, sekarang banyak warga lokal yang lebih doyan mengonsumsi mi instan.
“Sekarang beras yang utama. Sagu sudah jarang ada. Kalau beli boleh, ada. Hasil kebun juga beli baru ada karena tidak berkebun. Dulu gampang dapat. Mama-mama yang berkebun biasa bagi-bagi,” kata Amanda.
Ikhtiar Melawan Kepunahan
SUDAH TIGA BULAN, pasangan Ulin Epa dan Fredrik Bartolomeus membuka restoran bernama Isasai. Restoran yang berada di tepi Danau Sentani ini memiliki ruangan luas dan terbuka, dengan pemandangan langsung ke arah danau dan perbukitan.
Nama Isasai diambil dari salah satu kali yang mengalir tak jauh dari restoran. Isasai berarti rumah ikan, citra yang melekat untuk Danau Sentani sebagai salah satu destinasi memancing di Papua.
Isasai menawarkan berbagai makanan lokal seperti papeda dan papeda bungkus, sagu bakar, ubi rebus, ubi tumbuk, pisang rebus, ikan asar, ikan rebus.
“Isasai mau tonjolkan makanan lokal yang sudah jarang ada. Rata-rata kota di sepanjang di jalanan hanya ketemu lalapan saja. Kita di Papua masa tidak ada makanan yang kalau kita ke kampung, dapatnya makan-makan seperti itu, makanan masa kecil,” kata Fredrik.
Bukan hanya pilihan menunya yang melokal, bahan makanan yang disajikan di Isasai semua dibeli dari mama-mama Papua. Jika Isasai terus berkembang, mereka berharap bisa menyerap lebih banyak hasil panen mama-mama yang dijual di pasar.
“Ke sini-sini lebih banyak yang datang orangtua malahan. Karena dong lihat, makanan di sini kan kebanyakan rebus dan asar. Jadi tujuannya memang supaya orang makan-makanan yang sehat,” lanjutnya.
Tak sekadar menawarkan makanan khas Sentani, Isasai juga menjadi tempat untuk belajar tentang alam dan kebudayaan.
Pada bagian tengah restoran disediakan beragam informasi terkait cara-cara konservasi tradisional orang Sentani yang mulai hilang. Dinding-dinding restoran dihiasi ukiran berbagai hewan endemik Danau Sentani.
Dengan keanekaragaman pangan Papua yang sehat, mereka berharap gerakan yang sama juga bisa dikembangkan oleh anak-anak muda Papua di wilayah lain.
Politisasi Gerakan Pangan Lokal
Fadli Rahman, sejarawan pangan dan dosen ilmu sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran di Jawa Barat mengatakan, gerakan mempertahankan pangan lokal perlu mendapatkan dukungan yang serius dari pemerintah.
Di Papua, Isasai bukan yang pertama. Sebelumnya juga ada gerakan serupa yang dilakukan kelompok Jungle Chef pimpinan Charles Toto.
“Dalam sebuah gerakan pangan lokal sebagai gerakan politik itu adalah mengedukasi masyarakat agar kembali kepada selera asal dan mengenal kembali potensi pangan lokal mereka,” kata Fadli.
Menurutnya, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal membangkitkan kembali pangan lokal demi kedaulatan pangan. Pertama, mempertahankan ekosistem pangan, dan kedua, memperkuat kebudayaan pangan lokal. Sulit membicarakan kedaulatan pangan saat ekosistem pangannya sudah hancur atau rusak.
“Kalau kedua aspek ini tidak kuat, seperti yang kita perhatikan, budayanya sudah melemah oleh kepungan industri makanan instan dan cepat saji, dan ketika budaya lemah, perhatian pada ekosistem pangan juga akan berkurang,” kata Fadli.
Kebijakan pangan yang berorientasi pada beras sejak 1970-an, telah membuat beras menjadi konsumsi pokok masyarakat Papua, di kota bahkan pedalaman. Alih fungsi lahan pangan lokal menjadi lahan padi, proyek pembangunan, maupun industri perkebunan menambah masalah, tulis Fadli dalam kolomnya tahun 2018, Kelaparan-kelaparan Tersembunyi.
Pengetahuan masyarakat Papua terhadap arti penting pangan lokal dalam keseharian hidupnya perlahan-lahan mulai terputus, bukti dari ketiadaan edukasi dan pendampingan dalam menjaga tradisi.
Di Kampung Yoka, mudahnya akses pada makanan dari luar membuat situasi rawan pangan masih bisa dihindari. Namun, ketergantungan pada uang untuk membeli pangan tanpa disadari membuat warga enggan memproduksi sendiri.
Bahkan menurut Amanda, kadang-kadang terjadi situasi warga kehabisan makanan.
“Di rumah macam kehabisan beras, itu biasa to, lapar. Aduh, hari ini tong tidak masak makanan, lapar, beras habis. Kitong jadi seperti orang-orang luar begitu karena tidak ada kebun. Beras habis, sudah, kitong tinggal bersaudara dekat-dekat, kasi saya sedikit dulu,” kata Amanda.
Sampai saat ini, belum ada penelitian khusus terkait dampak perubahan pola konsumsi jenis pangan terhadap kesehatan anak muda.
Namun, Kepala Puskesmas Yoka, dr. Melissa Hascatri, mengatakan saat ini sudah mulai ditemukan penyakit-penyakit dalam kategori sindrom metabolistik yang biasanya ditemukan pada orangtua, seperti penurunan fungsi organ pankreas yang menyebabkan diabetes, pada orang muda di Yoka.
“Kalau orang tua dulu ketemunya (diabetes) di usia 50 ke atas. Sekarang kalau di layanan ada di antara 40 sampai 50 sudah ada. Sering juga di bawah 40 sudah ada,” kata Melissa. Dugaan kuatnya karena kandungan gula pada nasi, dan bahan olahan tepung seperti roti dan mi.
Meski sulit untuk dilawan, Antonius menyadari fenomena terkikisnya pelestarian pangan lokal harus segera diatasi.
Pada akhir September 2022, pemerintah setempat menjalankan program pembangunan kebun percontohan yang ditanami aneka pangan lokal. Mereka juga membuat keramba-keramba ikan di danau.
“Sekarang sering beli. Makanya ajak. Ini namanya mengajak untuk kembali bertani konsumsi apa yang kita punya, memanfaatkan kita punya lahan sendiri tanah, air, hutan. Kita pakai sendiri, kita tidak perlu beli,” kata Antonius.
Tulisan ini adalah bagian dari serial liputan #MasyarakatAdat.