Menambang Nestapa di Pegunungan Kendeng Utara

Ronna Nirmala
20 menit
Kendeng
Foto Yu Patmi sebelum dia gugur saat melakukan aksi pasung kaki dengan semen di depan Istana Merdeka. (Project M/Mawa Kresna)

Penambangan dan pendirian pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara membuat warga terpolarisasi antara pro dan kontra. Sialnya, mereka yang bakal menanggung petaka akibat kerusakan alam.


“Prin! Sini kamu!”

Suara pak Pe lantang terdengar dari pinggir jalan yang membelah ladang jagung milik Dullah dan tambang batu gamping Semen Indonesia. Dari kejauhan, kepala keamanan area tambang itu terlihat emosi, memanggil Prin yang duduk di depanku, di tengah ladang milik Dullah. Pak Pe berkacak pinggang.

“Prin! Sini kamu! Anjing!”

Mendengar umpatan itu, Prin terpancing emosi. Ia bangkit berdiri. “Sudah jadikan saja [berkelahi],” kata Prin dengan gelagat menyambangi pak Pe untuk duel.

“Jangan mas, duduk saja. Jangan ribut,” kata saya.

Ia kembali duduk. “Itu drone diamankan, dibawa ke sana,” kata Prin meminta kawannya menyelamatkan gambar hasil tangkapan drone milik awak redaksi Narasi TV. Sementara itu pak Pe masih petantang-petenteng di pinggir jalan.

Dullah dan istrinya yang sedang mencabuti rumput di pinggir ladang memilih diam mendengar cerocosan pak Pe.

“Sini!” teriak pak Pe lagi memanggil Prin.

“Kamu yang ke sini, yang sopan!”

“Sopan tahi! Sini nggak, kupatahkan kepalamu!”

Prin memilih diam, tak menanggapi ancaman itu. Kami semua tetap duduk batu-batuan di tengah ladang jagung yang baru tumbuh, menunggu pak Pe pergi. Beberapa menit setelah pak Pe pergi dengan motornya, kami berjalan ke pinggir ladang. Namun rupanya itu semacam pancingan. Pak Pe tiba-tiba balik lagi menyambangi kami.

Tanpa mematikan mesin motornya, pak Pe menghardik, “Maumu apa, Prin!”

Prin mendekati pak Pe, lalu menjelaskan bahwa ia tak bermaksud mengganggu pak Pe.

“Aku kan tidak mengganggumu, yang bermasalahkan bosmu [pabrik semen], urusanku kan dengan bosmu, bukan denganmu. Jadi kita sesama tetangga harus menyadari. Kamu itu teriak-teriak seperti sama siapa saja, begitu lho. Saudara-saudara ini semua tidak mengganggu tambang, tidak meminta pabrik berhenti, benar nggak?”

“Tapi kamu mengambil video drone ke sini. Itu masalahnya Prin!”

“Sekarang, yang namanya foto kalau dari jarak dekat ya nggak bisa. Harus tetap dari atas. Maksudnya itu membandingkan, ini lahan pertanian Dullah dan tambang itu berdekatan, kan tidak masalah.”

“Ya.”

“Lha iya, seperti orang tidak paham saja. Mana ada selama ini aku dan saudara-saudara mengganggu [tambang]?”

“Dronemu itu lho, Prin, jangan diarahkan ke tambang, aku yang kena teguran [atasan], begitu Prin.”

“Nggak apa-apa,” kata Prin meyakinkan pak Pe.

“Begini pak, nyawaku hampir putus karena nyaris kena batu [dari ledakan tambang], tapi aku nggak mau ribut dengan tetangga. Bisa saja aku buat rame, tapi aku nggak mau ribut-ribut,” Dullah menimpali.

Omongan Dullah itu menurunkan tensi suara-suara tinggi antara Prin dan pak Pe.

“Kalau kamu sama aku berkelahi, apa tidak ditertawakan orang banyak? Warga desa? Iya nggak? Coba bayangkan. Iya nggak?” Kata Prin lalu terkekeh, berusaha mencairkan suasana.

“Aku juga sudah tidak mau adu fisik, berkelahi, sudah tua,” kata pak Pe. Kali ini suaranya makin tenang. Selang beberapa menit perbincangan, ia pergi. “Clear ya, jangan ada drone-drone ke arah tambang,” pesannya.

Setelah pak Pe pergi, kami juga ikut pergi, kecuali Dullah dan istrinya yang lanjut bekerja di ladang. Sepanjang perjalanan pulang, saya sesekali bertanya pada Prin, sembari berharap sepeda motor trondol milik Prin tidak mogok atau ban kempes selama perjalanan. Prin menjawab pertanyaan saya sambil konsentrasi mengendarai motor melalui jalan-jalan sempit di antara ladang yang licin dan berbatu. Ia sedikit-sedikit menjawab, dari cerita tentang pak Pe, ladang milik Dullah, sampai ledakan-ledakan di tambang.

Menurut cerita orang-orang, pak Pe dulunya adalah seorang jawara di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Rembang. Ia sosok yang ditakuti sekaligus disegani. Singkatnya, ia punya cukup pengaruh di desa. Ketika PT Semen Indonesia berencana mendirikan pabrik dan menambang di Pegunungan Kendeng Utara, ia salah satu yang mendukungnya. Begitu penambangan dan pabrik semen beroperasi, ia lantas dipasrahi menjadi kepala keamanan di sana.

Jabatan itu yang akhirnya membawanya adu mulut dengan Prin siang itu, Minggu, 21 November, gara-gara sebuah drone yang naik di antara ladang milik Dullah dan tambang Semen Indonesia.

Jauh sebelum tambang datang, Joko Prianto, lebih akrab disapa Prin, tidak pernah cekcok dengan pak Pe. Ia tahu, pak Pe adalah jawara, tidak ada untungnya berurusan dengan jawara. Selain itu, pak Pe masih terhitung saudara. Istri pak Pe masih ada hubungan darah dengan Prin.

“Masih dulur, pak Pe sama siapa saja berani, tapi kalau sama ibu, aku hormat,” kata Prin ketika kami lanjut berbincang di rumahnya.

Namun setelah tambang dan pabrik masuk, relasi kekerabatan itu mengendur lantaran perbedaan dalam menyikapi kehadiran tambang. Prin, sebagaimana para pendahulunya di Tegaldowo, menolak kehadiran tambang dan pabrik semen.

Menurut Prin, sesama warga Tegaldowo kerap saling menyindir soal pilihan sikap itu. Misalnya, warga yang setuju ada tambang dan pabrik semen menyindir, “kamu dapat apa menolak tambang?” Sebaliknya, warga yang menolak tambang juga melontarkan sindiran serupa, “kamu dapat apa mendukung tambang?”

Sialnya, dua-duanya tidak dapat apa-apa kecuali hal-hal buruk akibat penambangan: bukit yang gundul, kerusakan lingkungan, debu di ladang yang bikin sesak napas, dan banjir kala hujan deras melanda.

Kendeng
Prin menunjukkan lokasi pabrik semen PT Semen Indonesia yang terlihat dari rumahnya. (Project M/Mawa Kresna)

Pohon hilang, banjir datang

Rabu malam, 17 November 2021. Nopet melaju menerjang hujan yang awet dan merata di Pati sejak sore dengan sepeda motornya. Berbekal mantel, ia menerobos hujan dari rumahnya di Kayen ke rumah Gunretno di Sukolilo. Ia terlihat tergopoh-gopoh masuk rumah, lalu mengenalkan diri.

“Panggil aja Nopet,” katanya menolak menjawab pertanyaan soal nama aslinya.

Nopet adalah satu dari beberapa anak muda di Pati yang aktif dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), sebuah organisasi yang menolak penambangan di kawasan karst pegunungan Kendeng. Ia, sebagaimana anggota JMPPK lainnya, khawatir bila penambangan semen dilakukan, bakal berdampak buruk pada lingkungan.

Belum lama Nopet duduk dan kopi yang disuguhkan untuknya masih panas, obrolan kami dengan Nopet terhenti. Ia mendapat kabar kalau di daerahnya banjir karena hujan yang mengguyur sejak sore.

“Lha ini banjir di Kayen,” katanya menunjukkan video dari WhatsApp Story tetangganya yang merekam banjir. Ia lantas pamit pulang, dan akan lanjut ngobrol lagi besok pagi.

Banjir malam itu tingginya 50 cm. Beruntung rumah Nopet tidak kemasukan air. Padahal di hari-hari sebelumnya, rumahnya yang berada tepat di pinggir jalan, selalu kena banjir. Banjir yang terjadi pada tahun 2020 lalu misalnya, membuat banyak rumah, sawah, dan ladang terendam air. Para petani gagal panen.

Banjir besar juga terjadi baru-baru ini. Pada 28 November 2021, sepuluh kecamatan di Pati terdampak banjir. Kecamatan itu yakni Gabus, Pucakwangi, Winong, Pati Kota, Jakenan, Jaken, Wedarijaksa, Tambakromo, Kayen, dan Sukolilo.

Kepala BPBD Pati, Martinus Budi Prasetya mengatakan banjir di Pati umumnya terjadi karena dua hal, pertama banjir kiriman dari Pegunungan Kendeng yang menyebabkan banjir bandang, kedua banjir genangan akibat melubernya air Sungai Silugonggo Juwana karena debit air terlalu tinggi.

Nopet cuma bisa geleng-geleng sambil menahan kesal saat menceritakan banjir yang terjadi di Pati. Kadang ia berharap banjir besar datang supaya orang-orang, terutama pemerintah kabupaten Pati sadar sedang ada bahaya besar mengancam lingkungan mereka.

Seingat Nopet banjir mulai melanda daerahnya pada akhir tahun 90an. Pada periode waktu itu, ia ingat pembalakan pohon mulai banyak terjadi di pegunungan Kendeng Utara. Hilangnya hutan membuat air dari pegunungan tidak lagi bisa dibendung. Ketika hujan lebat, air seperti terjun bebas ke bawah sampai pemukiman.

Semula banjir tidak pernah menyeberang jalan raya yang sejajar dengan pegunungan Kendeng Utara. Namun, seiring semakin parahnya kerusakan hutan, banjir bisa meluap merendam jalan raya dan masuk rumah-rumah warga.

“Itu kayak yang aku kirim fotonya, sawah bisa kebanjiran,” katanya dalam perjalanan mengantar kami ke Tambakromo, calon lokasi pabrik semen milik PT Sahabat Mulia Sejati (SMS), anak usaha perusahaan semen nasional PT Indocement Tunggal Prakarsa.

Tambakromo adalah desa yang asri. Sawah-sawah membentang berhektare-hektare, berdampingan dengan kebun jagung hingga ke pinggiran pegunungan Kendeng Utara. Sawah-sawah itu dihidupi dari aliran sebuah mata air di dekat pemukiman. Warga membuat parit kecil dan selang air untuk mengairi sawah. Suasana desa itu tenang, sampai suatu hari datang kabar rencana pembangunan pabrik semen di sana.

Semula, PT Semen Gresik (kini menjadi PT Semen Indonesia) berencana membangun pabrik semen di Sukolilo pada tahun 2007. Namun warga menolak pembangunan pabrik itu lantaran Sukolilo masuk dalam kawasan karst yang berfungsi menyerap dan menyimpan air. Di Pati, wilayah yang masuk kawasan karst meliputi kecamatan Tambakromo, Kayen, dan Sukolilo.

Karena penolakan dan tidak mendapat izin, PT Semen Indonesia lalu mengubah rencana. Mereka pindah ke Rembang. Setelah PT Semen Indonesia angkat kaki dari Sukolilo, giliran PT Sahabat Mulia Sejati (SMS), anak perusahaan Indo Semen, yang berencana membuka pabrik dan penambangan di Pati.

Pada tahun 2013, PT SMS dibantu pemerintah daerah Pati membuat AMDAL agar bisa mendapatkan izin pendirian pabrik. Pada Desember 2014, Bupati Pati mengeluarkan izin. Izin itu lalu digugat warga ke PTUN Semarang dan hasilnya memutuskan izin itu harus dicabut. Namun PT SMS dan Pemda Pati mengajukan banding dengan hasil dimenangkan.

Meski sudah dimenangkan, PT SMS masih terkendala untuk mendirikan pabrik di sana, lantaran hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis menyatakan bahwa lokasi pembangunan pabrik itu berada di wilayah Kawasan Bentang Alam Karst Sukolilo yang dilindungi. Kendati demikian, warga di sana masih cemas, karena sampai saat ini izin tidak pernah dicabut.

Upaya warga tidak berhenti di situ, mereka menyurati investor PT SMS, yakni perusahaan bernama Heidelberg di Jerman. Surat itu memberitahukan kepada mereka, bahwa penambangan yang bakal mereka lakukan merusak alam dan menggusur sawah-sawah warga.

“Pati hujan deras aja banjir, apalagi kalau besok ada pabrik semen dan penambangan makin banyak, bisa habis kena banjir. Begitu kok masih saja kasih izin penambangan, piye kui jal mas? Petani ladangnya bisa habis itu tenggelam banjir, remuk wis,” kata Nopet.

Kendeng
Seorang pria berfoto bersama putranya di tengah lahan persawahan di Kayen, Pati yang digenangi banjir. (Dokumentasi Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng)

Kepulan debu di ladang warga

Banjir yang merusak lahan pertanian warga seperti dalam bayangan Nopet itu sudah terjadi di Tegaldowo, Rembang. Pada 7 April 2020, hujan deras yang mengguyur Tegaldowo membuat banjir di sana. Dari kaki pegunungan, air menggenang, meluap melewati jalan yang dulunya jalur utama penambangan, lalu menggenangi kebun cabe yang sudah mulai berbuah milik Prin.

“Gagal panen lombokku,” Prin menggerutu mengingat kejadian itu. Ia tak tahu harus protes atau meminta ganti rugi kepada siapa jika kejadian seperti ini terulang kembali.

Kebun cabe milik Prin berada tak jauh dari rumahnya. Sepetak lahan ada di sebelah rumah, lainnya ada di seberang jalan. Pada kebun itu Prin dan keluarganya menggantungkan hidup. Karena itu ia benar-benar menjaganya. Pagi-pagi benar ia sudah mengurusi kebun, sebelum matahari terlalu terik. Sore hari ia kembali meneruskan pekerjaan di kebun. Aktivitas berkebun itu, ia sebut sebagai ngantor atau ke kantor, layaknya pekerja-pekerja kerah putih di kota besar.

“Kita di desa ini sudah enak, ngantor ya suka-suka kita, mau makan juga hasil bumi dari kebun kita. Enak banget. Itu orang-orang itu mungkin iri sama kita, sampai ke sini buat merusak,” kata Prin lalu terkekeh.

Di tengah perbincangan itu, Prin menyuguhkan labu dan jagung rebus. Semuanya itu hasil kebun sendiri. Kami menyantap labu dan jagung itu dengan pemandangan pabrik Semen Indonesia. Dari kejauhan, pabrik itu seperti tidak beroperasi, namun pada malam hari, bisa terdengar jelas deru mesin pabrik itu bekerja, bunyinya seperti orang yang mendengkur. Grok..grok..grok..

Ketika sedang khidmat mendengar cerita Prin, kami dikagetkan dengan dentuman ledakan dari kejauhan. Booom!

“Itu blasting, tiap hari, jam 12 siang, pasti ada blasting, kecuali hari Jumat dan hari Minggu. Ini hari Sabtu kan,” Prin menjelaskan.

Blasting adalah peledakan batuan yang akan ditambang. Caranya dilakukan dengan mengebor tanah, lalu memasukan bahan peledak ke dalam lubang tersebut, lalu diledakkan. Blasting ini memudahkan penambangan daripada dikeruk menggunakan backhoe.

Tak berapa lama setelah terdengar ledakan itu, terlihat di balik bukit kepulan debu warna agak kekuning-kuningan yang kontras dengan awan di langit. Pada musim kemarau, debu itu biasanya bertahan berhari-hari di daun-daun tanaman warga, namun pada musim hujan, debu itu segera hilang disapu hujan.

Dullah adalah salah satu warga yang ladangnya kerap terdampak blasting penambangan. Pemilik nama asli Abdullah ini sudah bolak-balik protes, namun sepertinya tak ada gunanya. Blasting tetap dilakukan, kebunnya yang jadi korban.

Antara kebun milik Dullah dengan lokasi penambangan milik Semen Indonesia hanya dipisahkan jalan. Kebun itu merupakan warisan dari orang tua istri Dullah, luasnya 2 hektare. Kebun itu sebenarnya masuk dalam incaran perusahaan semen untuk dibeli dijadikan tambang, namun Dullah tidak mau menjual tanah itu.

Kini tanah milik Dullah itu menjadi satu-satunya tanah di sekitar tambang yang belum dikuasai Semen Indonesia. Posisi terhimpit, seperti rumah kecil sederhana milik pak tua Carl di film animasi UP yang terhimpit gedung-gedung pencakar langit. Hanya ada dua jalan menuju ladang milik Dullah, pertama melalui jalan setapak berbatu dan bergelombang yang hanya bisa dilalui satu sepeda motor, kedua lewat jalur truk tambang.

Meski itu bukan ladang yang ideal karena lokasi dan kontur berbatu, namun kebun itu adalah penopang keluarga kecilnya. Di lahan itu, ia menanam jagung. Hasil dari ladang itu ia bisa makan, anaknya sekolah, dan memenuhi kebutuhan hidup.

“Kalau orang bilang di sini gersang, betul itu. Tapi lihat, jagung ini bisa tumbuh di antara batu-batu. Kalau dipikir ya nggak masuk akal, tapi nyatanya dari dulu, sebelum tambang ada, kami hidup dari kebun ini,” kata Dullah.

Setiap kali akan dilakukan blasting, satpam tambang akan mendatanginya dan memintanya untuk menyingkir dari ladang, sebab blasting akan membuat batu-batu mental tak tentu arah dan berpotensi membahayakan siapa saja yang berada di sekitarnya.

Dullah nyaris jadi korban. Suatu hari batu seukuran kepalan tangan terpental keras dan cepat, nyaris menubruk kepalanya. Hari itu ia selamat, tapi tanaman jagung yang jadi hancur tertimpa bongkahan batu yang terpelanting saat blasting.

“Aku nggak mau ganti rugi uang, aku mau pohon jagung yang patah dan mati itu dihidupkan lagi. Bisa nggak mereka?”

Kendeng
Dullah menunjukkan bongkahan batu yang terpental ke ladang jagungnya karena blasting atau aktivitas peledakan tambang. (Project M/Mawa Kresna)

Sumber mata air terakhir

Abdul Rosad mengajak saya berkeliling di ruang tamu rumahnya, pertengahan November 2021. Di dalam rumah limasan itu agak gelap meski hari masih siang. Pada dinding rumah, terpajang foto dan lukisan almarhum Patmi, istrinya. Ia adalah salah satu pejuang Kendeng yang meninggal setelah aksi pasung semen di Jakarta pada 2017. Aksi itu dilakukan untuk menolak pembangunan pabrik Semen Indonesia di Rembang.

Salah satu foto yu Patmi, begitu panggilan akrabnya, yang dipajang adalah ketika kakinya dipasung semen di depan Istana Merdeka di Jakarta. Foto itu diberikan oleh Rahma, salah satu pengacara publik yang mendampingi warga kepada Rosad sebagai kenang-kenangan. Foto itu dibingkai dengan kayu cat emas, dan dipajang persis di sebelah kiri lambang garuda Pancasila.

“Itu Patmi waktu demo di Jakarta, yang itu lukisannya, kalau itu foto cucu,” Rosad menjelaskan satu persatu foto yang ada di dinding ruang tamu.

Rosad masih ingat benar hari di mana yu Patmi pamit untuk ikut aksi pasung semen di Jakarta. Yu Patmi menelponnya yang saat itu sedang dalam perjalanan merantau ke Pekanbaru bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit.

“Patmi pamit, mau ikut berjuang, mempertahankan tanah untuk anak cucu. Waktu itu saya baru sampai Lampung,” ujar Rosad. Melihat semangat yu Patmi, ia pun mengikhlaskannya pergi ke Jakarta.

Semula perjuangan JMPPK di Jakarta sangat menyenangkan. Ketika pagi mereka berangkat ke depan Istana Negara untuk aksi, ketika malam beristirahat di kantor YLBHI. Suasananya begitu guyub. Ada yang memasak di dapur umum, ada yang berdendang di aula, ada pula yang bercengkrama dengan siapa saja yang datang dan bersimpati dengan perjuangan warga.

Semuanya berubah menjadi kelabu pada 21 Maret 2017. Saat warga memutuskan aksi sudah selesai dan mulai memecahkan pasungan semen, tiba-tiba yu Patmi jatuh sakit. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit, namun dalam perjalanan yu Patmi mengembuskan napas terakhir. Dokter menyimpulkan kematian yu Patmi sebagai sudden death.

Rosad semula tak begitu menaruh perhatian pada perjuangan warga untuk menolak penambangan untuk pabrik semen baik di Pati dan Rembang. Namun, sejak Patmi tiada, ia merasa perlu meneruskan perjuangan Patmi mempertahankan tanah mereka.

Ia kini memutuskan menetap di Tambakromo, menanam jagung di lereng hutan milik Perhutani. Dua anak mereka, Sri dan Madun, kini juga terlibat aktif dalam kegiatan warga terkait penolakan tambang. Warga biasanya berkumpul di Langgar Patmi, sebuah surau sekaligus tempat pertemuan yang dibangun untuk mengenang perjuangan yu Patmi.

Dalam peta rencana pembangunan pabrik Indocement, wilayah Tambakromo, tempat Rosad tinggal, masuk dalam area rencana tapak pabrik seluas 180 hektare. Padahal di daerah tersebut terdapat sumber mata air yang selama ini jadi andalan warga untuk kebutuhan rumah tangga dan juga pertanian. Air dari mata air itu dialirkan ke rumah-rumah warga dengan pipa sampai ke rumahnya.

Kendeng
Pipa-pipa mengalirkan air dari mata air menuju pemukiman dan lahan pertanian warga. (Project M/Mawa Kresna)

Rosad adalah orang yang ditugasi warga untuk mengurusi pipa-pipa itu. Bila ada kerusakan pipa, bocor, pecah atau tersumbat, ia yang bertanggung jawab memperbaikinya. Seperti pagi hari, sebelum saya berkunjung, ia baru saja memperbaiki pipa yang tersumbat di dam mata air. Pagi-pagi benar ia harus jalan kaki sekitar 2 kilometer ke hulu mata air menelusuri pipa-pipa untuk menemukan kerusakannya.

Untuk mendapatkan fasilitas pengairan dari sumber mata air sampai ke rumah, warga hanya cukup membayar Rp25 ribu per tahun. Biaya itu digunakan untuk perbaikan saluran bila ada kerusakan. Sementara Rosad yang mengurusi perbaikan, tidak menerima imbalan apapun, ia mengerjakannya dengan senang hati.

Usai berkunjung ke rumahnya, Rosad mengajak kami ke sumber mata air. Itu adalah sumber mata air yang besar, alirannya pun deras, lokasinya tak jauh dari kebun jati Perhutani. Tak terbayang oleh Rosad bila suatu hari nanti, sumber air ini bakal rusak atau bahkan hilang karena penambangan.

“Itu yang aku heran, kenapa ada sumber mata air begini tapi bisa dapat izin untuk penambangan?” kata Rosad.

Pada zaman kolonial Belanda, lokasi sumber mata air tersebut dilintasi rel kereta untuk mengangkut kayu-kayu jati yang banyak di Pegunungan Kendeng Utara. Masih tersisa peninggalan penopang jembatan besar di atas sumber mata air itu. Pada zaman orde baru, kayu jati di sana juga masih menjadi komoditas incaran. Sampai-sampai marak pula pembalakan liar kayu jati di sana.

“Dulu pas masih muda, belum nikah, juga sempat ikut nebangi pohon di sini, tapi sekarang sudah insyaf,” ujar Rosad mengenang masa mudanya.

Nopet yang juga ikut dalam perjalanan kami, menyambar pengakuan Rosad, “Lha ini orang yang bikin hutan gundul, sekarang dampaknya banjir.” Kami terkekeh mendengar sindiran Nopet.

Rumah tangga bubar, rukun tetangga buyar

Sabtu malam, 20 November 2021, rumah Prin riuh dengan gelak tawa warga karena mendengar pengakuan Joko, salah seorang warga di Tegaldowo yang aktif dalam kegiatan penolakan pabrik Semen Indonesia. Malam itu, dengan muka masam, ia bercerita tentang kisah rumah tangganya yang buyar gara-gara pabrik semen.

Pada tahun 2015, Joko sedang aktif-aktifnya menolak rencana pembangunan pabrik Semen Indonesia. Namun pada saat bersamaan, istrinya didekati seseorang yang bekerja untuk pabrik semen. Semula istrinya tidak pro terhadap pembangunan pabrik semen, namun setelah itu ia berubah. Menurut Joko, istrinya kemudian aktif mengajak orang untuk ikut mendukung pendirian pabrik semen.

“Ya sepertinya mendapat ongkos, gaji, berapa jumlahnya? Saya nggak tahu,” kata Joko.

Perbedaan sikap ini membuat keluarganya menjadi tidak harmonis. Alhasil, keduanya pun bercerai pada tahun 2015. Pada saat proses sidang di pengadilan agama, Joko secara tidak sengaja bertemu dengan Prin, yang rupanya mengalami kasus serupa.

“Ini aku mau bilang, ternyata yang nasibnya seperti saya nggak cuma sendiri,” sahut Prin. Belasan warga yang sedang berkumpul pun terkekeh, sementara Joko terlihat masam.

“Ini sebenarnya bukti, bahwa perjuangan kita itu berat, bahkan sampai keluarga sendiri hancur karena masalah ini. Berat ini, tapi kami teguh, tolak penambangan di Kendeng,” tambah Prin.

Kendeng
Perempuan petani di Tambakromo masih konsisten menolak rencana pembangunan pabrik semen PT SMS di Tambakromo, Pati. (Project M/Mawa Kresna)

Pertemuan malam itu menjadi agenda rutin warga yang menolak tambang. Bila pun ada masalah yang genting untuk segera direspons, mereka tak segan untuk langsung menggelar pertemuan. Pada malam itu, warga membahas masalah rencana perubahan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rembang. Kabar terbaru, DPRD Kabupaten Rembang tengah menggodok perubahan RTRW yang salah satu poinnya menambah luasan wilayah yang boleh di tambang.

“Berdasarkan draf yang saya terima, itu ada penambahan area penambangan, sekitar 10 ribu hektare, di beberapa wilayah termasuk di Gunem. Ini kita tidak berprasangka buruk, tapi sangat mungkin penambahan itu yang di wilayah kita,” kata Prin.

Yu Sukinah, salah seorang warga yang juga aktif dalam mengawal isu ini, merespons Prin dengan segera meminta audiensi dengan DPRD Kabupaten Rembang. Warga perlu segera memastikan bagian mana yang bakal berubah dalam perda RTRW dan juga memetakan dampaknya terhadap warga.

“Kalau menurutku, kita minta audiensi. Sudah ada draf, tapi kan belum ada peta yang jelas, penambahan 10 ribu hektare itu sebenarnya di wilayah mana. Kita harus berpegang pada KLHS pegunungan Kendeng. Ini tidak boleh dilanggar dengan Perda,” ujar Sukinah.

Sementara perubahan perda RTRW di Rembang masih abu-abu, di Pati, perubahan itu sudah diketok palu oleh DPRD di sana. Dalam Perda Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Daerah Kabupaten Pati 5/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pati 2010-2030, ada salah satu pasal yang krusial yang berpotensi menjadi pasal sapu jagad, yakni pasal 59B yang berbunyi:

Kawasan pertambangan mineral bukan logam dan/atau batuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 huruf b dan huruf c berada di seluruh kecamatan wilayah Daerah.

Soal perubahan dan Pasal 59B, Teguh Bandang Waluya, Ketua Pansus Perda RTRW DPRD Pati mengatakan klausul itu menjelaskan bahwa tidak berarti semua wilayah di Pati bisa ditambang.

“Kalau dibilang semuanya ada tambangnya? Tidak. Karena tidak semuanya ada tambang,” katanya.

Bila pada kemudian hari ada pelanggaran atau penambangan liar, Bandang menyerahkannya kepada Satpol PP yang memang bertanggung jawab dalam penegakan perda. “Untuk pengawasan, antara kenyataan dengan aturan, itu tanggung jawab satpol PP, ini kan perda,” ujarnya.

Perubahan itu membuat Gunretno cemas. Sebab, pada saat yang sama izin PT Sahabat Mulia Sejati (SMS) juga belum pernah dicabut oleh pemerintah. Meski demikian faktanya, sudah lebih dari tiga tahun PT SMS tidak melakukan penambangan karena adanya KLHS. Perubahan perda itu, berpotensi membuka peluang PT SMS untuk melakukan penambangan di wilayah Kayen dan Tambakromo.

“Seharusnya jika tiga tahun tidak melakukan aktivitas, maka izinnya dibekukan. Tapi mereka berkelit, bahwa mereka ada aktivitas, karena ada kantor,” ujar Gunretno.

Hal yang dipertanyakan Gunretno, bagaimana mungkin sebuah perusahaan yang pabriknya belum berdiri dan belum memiliki aktivitas, justru aktif menjalankan program Corporate Social Responsibility (CSR).

“Anehnya lagi, meski pabrik belum berdiri, PT SMS sudah membagi-bagi bergerak bagi-bagi CSR, lho ini yang disebut aktivitas bagi mereka. Mempengaruhi warga dengan uang CSR ini kan juga nggak bagus,” sambung Gunretno lagi.

Saya mencoba mendatangi kantor PT SMS di Ruko Sudirman Pati Central Point blok A-10 pada 19 November 2021, namun di sana saya tidak mendapati kantor PT SMS. Lokasi yang disebut kantor PT SMS justru alamat sebuah lembaga pendidikan anak-anak.

Kendeng
Alamat yang dicantumkan PT SMS, anak perusahaan PT Indocement di Pati, ternyata lokasi lembaga pendidikan anak. (Project M/Mawa Kresna)

PT Semen Gresik yang merupakan anak usaha PT Semen Indonesia juga banyak melakukan CSR di Rembang setelah pabrik mereka resmi beroperasi. Pada Maret 2021, mereka menjalankan program Semen Gresik Sahabat Petani. Perusahaan melakukan panen raya jagung, padi gogo, dan jambu kristal di lahan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) milik Semen Indonesia.

“Di tahun ini, Semen Gresik telah mematangkan feasibility study terkait tata kelola pelaksanaan program di bidang pertanian yang akan disinergikan dengan masyarakat di sekitar area operasional perusahaan,” kata Kepala Unit Komunikasi dan CSR Semen Gresik, Dharma Sunyata lewat siaran pers saat itu.

Prin menanggapi program CSR itu dengan sinis. Menurutnya jargon program Semen Gresik Sahabat Petani itu omong kosong. Alih-alih menjadi sahabat, keberadaan pabrik semen di Rembang malah menimbulkan jarak di antara sesama warga.

“Mereka justru membuat warga yang bersaudara, rukun menjadi renggang. Bersahabat apanya? Tidak ada sejarah di mana pun yang mencatat petani dan tambang itu bersahabat,” ujarnya.

 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
20 menit