TRISNO WIDODO adalah petani-pejuang. Dari pinggiran pesisir selatan Jawa, ia melawan korporasi tambang pasir besi yang akan mencaplok ribuan hektare lahan pertanian. Musuhnya adalah raksasa: Kasultanan dan Pakualaman, dua penguasa feodal pengklaim tanah Yogyakarta.
Demi melawan penguasa yang punya sumber daya pengaruh sangat kuat itu, dari kontrol ekonomi, birokrasi dan akademisi hingga alat kekerasan, para petani berhimpun dengan membentuk Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP). Dibentuk pada 2006, PPLP-KP bisa dibilang gerakan perlawanan agraria paling konsisten mempertahankan ruang hidup, dengan aksi-aksi terbuka dan konfrontatif.
Perlawanan bernapas panjang ini sangat jarang ditemui di ‘daerah istimewa’ Yogyakarta, yang kebanyakan warganya nrimo ing pandum; menerima pemberian apa adanya dari yang sudah digariskan nasib, tanpa mau mengubahnya meski ‘nasib’ di sini lahir dari ketidakadilan dan ketimpangan.
Gerakan perlawanan PPLP-KP, yang menerapkan model perjuangan kolektif, di mana Widodo adalah koordinator lapangan dan juru bicaranya, seorang organizer, telah menjadi magnet bagi peneliti agraria, aktivis sosial dan ekologi, dan berbagai komunitas petani di wilayah Jawa.
Lahir dari keluarga petani, Widodo atau orang-orang dekatnya akrab menyapanya Mas Wid atau Tonjeh (akun Facebook-nya bernama ‘Unduk Gurun’), mengisahkan ia dan anak-anak petani di pesisir selatan Kulon Progo sudah kenyang diejek sebagai orang udik, wong cubung (kotor, jorok, tidak sekolah), miskin, dan sering belekan.
Karena keterbatasan lahan, seperti kebanyakan anak muda dari desanya, Widodo memutuskan merantau, menjadi buruh serabutan di Sumatera hingga Malaysia. Baginya saat itu, kampungnya tidak begitu menarik sebagai tempat mencari pengalaman hidup dan pekerjaan. Namun, seiring berkembangnya pertanian lahan pantai, ia memutuskan pulang pada 1998. Memilih bertani dan menikah dengan Tri Mulyani.
Pertanian lahan pantai berbeda dengan pertanian lahan basah atau kering. Pertanian ini mengandalkan kawasan pesisir berpasir hitam—sering disebut geolog sebagai mineral pasir besi. Material pasir hitam yang mendominasi seluruh kawasan pesisir, diyakini para petani di pesisir Kulon Progo menjadi penyaring alami dan pengikat air asin laut menjadi air tawar yang dibutuhkan untuk pertanian.
Demi memaksimalkan penggunaan air di lahan pesisir yang haus air, para petani di sini mengembangkan teknologi sistem irigasi disebut “sumur renteng”.
“Untuk membangun sumur renteng, kami memerlukan blok-blok beton, pipa panjang, dan sebuah mesin pompa air,” ujar seorang petani. “Blok beton itu kami susun dengan pola tertentu dan difungsikan sebagai tempat penampungan air. Seluruhnya mengelilingi lahan pertanian, tersambung melalui pipa.”
“Selanjutnya, mesin pompa akan menyedot air dari bawah lahan pasir, mengalirkannya secara merata ke seluruh blok, lalu disemprotkan ke tanaman,” tambahnya.
Dengan demikian, persoalan ketersediaan irigasi yang kerap menjadi masalah utama selama puluhan tahun di wilayah itu telah terpecahkan. Teknologi irigasi sumur renteng dan pasir hitam ini telah menjungkirbalikkan asumsi bahwa gurun pasir susah diolah sebagai lahan pertanian produktif.
Sejak teknologi ini dikembangkan pada akhir 1990-an, beragam tanaman dapat tumbuh subur, terutama cabai. Cabai dari lahan pesisir Kulon Progo sangat dikenal dan terserap pasar. Widodo dan para petani lain juga menanam semangka, melon, dan sayur mayur lain.
Warga petani dari Desa Garongan dan desa-desa lain di sepanjang selatan Kulon Progo menikmati perekonomian pertanian yang dikerjakan secara mandiri dan kolektif itu.
PPLP-KP Melawan Korporasi Tambang Pasir Besi
Namun, warga pesisir di tiga kecamatan wilayah selatan Kulon Progo itu harus menghadapi rencana pertambangan pasir besi.
Pertambangan itu dioperasikan PT Jogja Magasa Iron. Korporasi ini dikendalikan oleh Rajawali Group, perusahaan investasi asal Jakarta, yang berkongsi dengan investor dari Australia kemudian China. Pemegang saham lain adalah PT Jogja Magasa Mining, yang dimiliki keluarga Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
Mengantongi izin kontrak karya hingga 2038, dengan wilayah konsesi seluas nyaris 3.000 hektare, pertambangan ini akan mengubah ruang hidup di enam desa, termasuk Desa Garongan, kampung halaman Widodo.
“Kami yakin jika pasir hitam yang membentang di seluruh pesisir ini ditambang, maka air tawar yang dibutuhkan untuk irigasi pertanian akan hilang. Seluruh air di kawasan ini akan berubah menjadi asin seperti air laut,” ungkap seorang petani asal Desa Garongan.
Bagi warga, pertambangan pasir besi tak cuma merusak dan mengancam seluruh kawasan pertanian, sosial-ekonomi dan ekologi, tapi juga bakal melenyapkan seluruh pengetahuan mereka akan “sistem pertanian lahan pantai”.
Maka, demi mempertahankan ruang hidup tersebut, warga Desa Garongan dan lima desa tetangganya menggalang kekuatan dan perlawanan. Mereka mengorganisasi diri dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP).
Konfrontasi atas Penguasa Feodal Yogyakarta
Dua penguasa feodal Yogyakarta, Kasultanan dan Pakualaman, berperan sebagai pihak yang mengklaim lahan-lahan sepanjang pesisir pantai Kulon Progo adalah milik mereka. Klaim lahan itu terhubung dengan sejarah Kompeni.
Kesultanan Yogyakarta dibentuk pada abad 18 oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) lewat Perjanjian Giyanti pada 1775. Ini setelah konflik internal di kerajaan Mataram, yang membagi wilayah saudaranya menjadi Kasunanan Surakarta. Melalui Perjanjian Giyanti, seluruh pergantian raja dan para pemimpin, administrasi pemerintahan, dan tata kelola wilayah pertanahannya harus tunduk pada persetujuan VOC.
Nyaris tak ada yang disebut “tanah milik” yang dipegang individu atau pihak swasta, yang ada adalah “tanah pinjam” yang diberikan VOC untuk Kesultanan.
Tanah-tanah bekas swapraja di Yogyakarta ini, yang disebut Sultanaat Ground (SG) dan Pakualamanaat Ground (PAG), tetap awet sekalipun Indonesia sudah lepas dari kolonialisme Belanda. Narasi “sejarah” yang mengawetkan kekuasaan feodal ini menyebutkan Yogyakarta berkontribusi penting dalam kemerdekaan Indonesia, sempat menjadi ibu kota negara pada 1946, sehingga layak mendapatkan status “istimewa.”
Hingga akhir 1960-an, saat banyak kerajaan disapu gelombang revolusi sosial, tanah-tanah bekas swapraja dihapus dan menjadi objek redistribusi lahan sesuai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), situasi ini tidak menyentuh Kesultanan Yogyakarta.
Siasat Mencaplok Tanah Desa Atas Nama Keistimewaan Yogyakarta
Belakangan, lewat Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta tahun 2012, klaim tanah Sultan dan Pakualaman semakin mendapatkan legitimasi. Ia memicu perluasan konflik agraria dan perampasan tanah-tanah milik rakyat di sebagian besar wilayah selatan Yogyakarta.
Karena status “istimewa” ini pula Yogyakarta adalah satu-satunya provinsi di negara modern Indonesia yang tidak mengenal pemilihan kepala daerah. Sultan Yogya dan Pakualam secara otomatis ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur, praktis menyatukan kekuasaan feodal dan pemerintahan, memperkuat hegemoni simbolik-kultural sekaligus ekonomi-politik. Simpelnya, kamu tak perlu kerja politik apa pun, toh kamu tetap menjadi gubernur.
Maka tak heran, misalnya, peneliti-cum-akademisi yang juga rekan Widodo, George Junus Aditjondro, dalam sebuah forum diskusi membahas status “Keistimewaan Yogyakarta”, pernah memplesetkan dan memparodikan Keraton sebagai “kera ditonton.” (Memicu pengusiran dan penetapan tersangka terhadap dosen lepas Universitas Sanata Dharma itu karena dianggap telah “menghina” lembaga Keraton Yogyakarta.)
Dalam konteks kekuatan raksasa semacam itulah, selama satu dekade terakhir, kekuasaan feodal Yogyakarta telah memuluskan konsolidasi perluasan geografi produksi kapital di selatan Jawa. Kekuatan kapital ini pula yang dilawan Widodo dan Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo.
Memperluas Solidaritas Akar Rumput
Melalui PPLP-KP, Widodo menjalin solidaritas perlawanan akar rumput, juga saling menempa persahabatan panjang yang tak biasa.
Pada medio Juni 2010, Widodo menghadiri sebuah forum di Deli Serdang, Sumatera Utara, wilayah sabuk perkebunan yang menjadi laboratorium eksperimen teknis dan sosial selama nyaris dua abad, di mana hierarki rasial, kelas, etnis, dan gender secara sosial direkayasa, diperebutkan, dan diubah.
Kegiatan ini adalah pertemuan antar-komunitas petani, mahasiswa, pemuda, dan pekerja seni, yang digagas secara mandiri bertujuan untuk mendiskusikan perlawanan terhadap kapitalisme, sekaligus merefleksikan pelbagai pengalaman perjuangan oleh banyak komunitas akar rumput. Pertemuan ini dihadiri juga puluhan peserta dari beberapa negara.
Bagi Widodo, pertemuan dan kunjungan lapangannya ke komunitas petani Sumatera Utara, telah membawa pertukaran pengalaman dan pengetahuan akan model perlawanan petani di Jawa dan Sumatera.
Saat memperingati lima tahun pembentukan PPLP-KP, 1 April 2011, Widodo dan beberapa pengurus mengundang delegasi petani dari pesisir selatan Jawa Tengah yang berkonflik dengan TNI AD, dan petani dari pesisir selatan Jawa Timur yang berkonflik dengan korporasi pertambangan. Di pengujung acara, pengurus tiga organisasi bersepakat membangun gerakan bersama, juga berkomitmen memperluasnya hingga ke seluruh selatan Jawa.
Selama enam bulan berikutnya, Widodo menyusuri selatan Jawa untuk menemui satu per satu komunitas warga yang berkonflik dengan industri pertambangan ataupun yang mengalami perampasan ruang hidup oleh industri lain.
Upaya itu menggerakkan puluhan komunitas warga selatan Jawa untuk saling bertemu, untuk mendiskusikan persoalan perampasan ruang hidup secara bersama, juga menggali berbagai kemungkinan untuk memenangkan perjuangan. Tepat pada 20-22 Desember 2011, sekitar 34 delegasi dari 10 komunitas akar rumput berasal dari Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten berkumpul di sekretariat PPLP-KP dan Kota Yogyakarta.
Kegiatan itu diselenggarakan secara mandiri, dan menyepakati wadah perjuangan bersama bernama Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA). Di ujung kegiatan, para peserta memberikan mandat kepada Widodo sebagai dinamisator FKMA, yang bertanggung jawab untuk membangun dan mengelola komunikasi strategis antar-organisasi serta memperluas jaringan perlawanan. Itu membuat Widodo rutin mengunjungi berbagai komunitas di selatan Jawa.
Selanjutnya, pada 8-10 Februari 2013, FKMA kembali bertemu di Yogyakarta untuk melaksanakan kongres kedua, dengan melibatkan 12 komunitas akar rumput, dihadiri lebih dari 75 orang. Dalam kongres ini komunitas dari pesisir utara Jawa dan Sumatera juga turut menjadi peserta baru. Widodo menilai benih-benih penguatan solidaritas perlawanan telah tumbuh dalam wadah FKMA. Ia meyakini perluasan geografi produksi kapital, atau sering disebutnya “pembesaran perampokan ruang hidup”, bisa disumbat pelan-pelan.
Di tengah-tengah aktivitasnya sebagai dinamisator FKMA dan petani lahan pertanian pesisir, sebulan setelah Kongres FKMA II, Widodo menghadiri kegiatan di Filipina. Kegiatan ini diselenggarakan Local Autonomous Network dan Pusat Studi Dunia Ketiga, Universitas Manila, pada 7-12 Maret 2013. Selain dihadiri mahasiswa dan akademisi dari berbagai negara Asia, Eropa dan Amerika, forum yang dikelola secara mandiri tanpa melibatkan lembaga donor ini diikuti pula oleh puluhan aktivis dan delegasi komunitas akar rumput.
Ditemani seorang penerjemah, Widodo mempresentasikan perlawanan PPLP-KP dan berbagai pengalaman komunitas akar rumput di Indonesia dalam menghadapi konflik agraria dan kapitalisme global, khususnya yang terhimpun dalam FKMA.
Baginya, pertemuan itu melahirkan dua catatan penting.
Pertama, pertemuan Filipina itu memperkaya dan merefleksikan secara bersama bagaimana dinamika gerakan perlawanan akar rumput di berbagai negara, dan pentingnya menguatkan jejaring solidaritas perlawanan dalam melawan kapitalisme global.
Kedua, forum itu mengenalkannya akan berbagai ide dan praktik “gerakan otonomi dan desentralisasi”, yang mempengaruhi gaya perlawanan PPLP-KP dalam melancarkan aksi terbuka dan konfrontatif terhadap rencana pertambangan pasir besi dan pemerintahan feodal Yogyakarta.
‘Menanam adalah Melawan’
Sepanjang 2010 hingga April 2013, Widodo secara rutin menulis catatan harian mengenai berbagai pengalaman dan aktivitasnya. Menulisnya dengan pena di buku tulis, di waktu senggang. Catatan ini semula hanya untuk pribadi, atau kadang menjadi bahan diskusi terbatas di lingkaran terdekatnya.
Namun, rekan-rekan PPLP-KP dan jaringan solidaritas mendorongnya agar catatan kegelisahan dan refleksinya itu bisa dibukukan. Harapannya, ia bisa jadi pemantik diskusi gerakan agraria dari perlawanan akar rumput yang lebih meluas. Ia juga bisa “mengkritisi” para peneliti agraria ataupun akademisi yang kerap berseberangan dengan metode dan cara berpikir PPLP-KP dalam menafsirkan gerakan perlawanan yang mereka bangun.
Catatan itu kemudian dibukukan pada 2013, berjudul Menanam adalah Melawan (MaM).
Buku ini memuat juga wawancara dengan Widodo, dokumentasi surat-surat solidaritas, laporan analisis produksi pertanian PPLP-KP, dan naskah teater “Prahara Kulon Kono” yang ditulisnya.
Metode Perlawanan PPLP-KP
Memasuki 2019, untuk menguatkan solidaritas perlawanan antar-komunitas akar rumput dan jejaring perlawanan masyarakat sipil Pulau Jawa dan Bali, model pertemuan yang digelar FKMA pada 2011 dan 2013 kembali diselenggarakan pada 15-17 November 2019 di Wadas, Jawa Tengah.
Dalam pertemuan ini, Widodo dan rekan-rekan PPLP-KP menegaskan agar setiap gerakan akar rumput mampu menghindari model perlawanan bergaya “litigasi formal”, sebuah gerakan yang bertumpu pada penyelesaian kasus melalui jalur hukum dan peradilan negara.
Alasannya, itu akan menguras banyak energi dan logistik, juga berpotensi menumpulkan dan membelokkan perlawanan menuju ke arah kekalahan besar. Dan yang paling berbahaya adalah akan mendisiplinkan cara berpikir seluruh pelaku gerakan sosial ke dalam logika negara.
Mereka menggarisbawahi bahwa pusat perlawanan dan kemenangan awal dari gerakan akar rumput berada pada sejauh mana kampung tidak dapat ditembus oleh siapa pun, serta bertumpu pada kekuatan kemandirian organisasi. Sehingga, lanjut mereka, pusat perlawanan tidak diletakkan dan digeser ke meja-meja negosiasi dalam kamar-kamar yang disediakan oleh negara, dalam hal ini justru menjadi salah satu pelaku utama penyebab terjadinya perampasan ruang hidup.
Jika sebagian besar komunitas akar rumput, dan para aktivis meyakini bahwa kekerasan, perampasan, dan krisis sosial-ekologis terjadi karena “absennya negara” dalam menjamin hak dan keselamatan ruang hidup warga, sebaliknya mereka mengatakan bahwa justru kehadiran negara yang memungkinkan terjadinya perampasan ruang hidup.
Cara berpikir demikian telah mendorong PPLP-KP berfokus pada penguatan kerja-kerja jaringan antar-komunitas akar rumput yang lebih luas. Mereka juga cukup berhati-hati untuk bekerjasama dengan berbagai elemen yang terkesan meyakini model perlawanan bercorak negara-sentris.
Mereka meyakini bahwa aliansi jejaring komunitas akar rumput merupakan bangunan terpenting untuk mewujudkan kemandirian gerakan sosial, daripada bersekutu dengan organisasi-organisasi yang terhubung dengan lembaga donor, ataupun sekelompok aktivis, peneliti, dan akademisi (yang terkadang menawarkan dan mengawetkan logika “negara-sentris”).
Untuk merawat napas panjang perjuangan dalam tubuh internal PPLP-KP, mereka mencatat seluruh peristiwa penting yang pernah terjadi di sepanjang sejarah dan garis waktu perlawanan.
Misalnya, tanggal penyerangan aparat keamanan terhadap aksi demonstrasi yang mereka lakukan, hari tani, penangkapan anggota PPLP-KP, hari ulang tahun organisasi, dan lain-lain. Momen dan ingatan kolektif itu mereka catatkan ulang dan diberi tanda khusus dalam “kalender gerakan sosial” yang dicetak dalam jumlah ribuan, dipajang di seluruh rumah anggota PPLP-KP. Dengan cara itu, garis waktu 365 hari di PPLP-KP akan dimaknai dan dirayakan sedikit berbeda.
Warisan dan Penutup
Rabu, 9 Maret 2022, Mas Wid, demikian saya menyapanya, meninggalkan kita semua, dalam usia 44 tahun. Istrinya, Mbak Tri, berkata, “Beberapa waktu terakhir sebelum sakit parah dan masuk rumah sakit, Mas Wid pernah bilang bahwa ia rindu dengan kawan-kawan lamanya.”
Tak menyangka, pertemuan kami pada Juni 2021, saat Mas Wid memaksakan diri mengunjungi teman-temannya di Jawa Timur, adalah pertemuan terakhir kami.
“Saya sudah melarangnya untuk pergi-pergi jauh, termasuk ke Jawa Timur, karena Mas Wid sudah terlihat tidak sehat. Kakinya mulai sering bengkak.”
Saya mengingat persahabatan tak biasa sejak kami berkenalan pada Mei 2010.
Bagi saya, Mas Wid tak cuma sahabat dan keluarga, tapi keberanian. Sepanjang yang saya ketahui, sejarah pembangkangan dan perlawanan terhadap penguasa di Yogyakarta, khususnya raja, kerap berpusat dari tokoh-tokoh yang lahir dari keluarga bangsawan ataupun elite tertentu, dan biasanya dilatari oleh motif suksesi.
Selain itu, kisah perlawanan di Yogyakarta biasanya tidak ditunjukkan dalam wajah gerakan yang bersifat terbuka dan konfrontatif, tapi kerap kali dengan aksi-aksi simbolik.
Widodo dan PPLP-KP memilih sebaliknya. Mereka memimpin pembangkangan dan perlawanan di luar etika “kesantunan” yang sangat hegemonik di Yogyakarta. Mereka menyimpan napas perlawanan yang panjang dan terhormat.
Begitu juga atas wajah “kuasa ruang” di Yogyakarta. Menggambarkan Keraton adalah pusat, sementara Pesisir adalah pinggiran. Konstruksi feodalisme ini yang dilawan oleh Widodo dan PPLP-KP. Direkonstruksi ulang. Bagi mereka, Pesisir adalah pusat seluruh denyut nadi kehidupan dan jantung sejarah sosial-ekologis ruang hidup mereka.
Sebagai penutup obituari ini, saya ingin menggarisbawahi beberapa poin yang mungkin layak didiskusikan kembali secara kritis, baik untuk PPLP-KP maupun untuk komunitas petani lain terkait nilai, ide, dan gagasan yang bersemayam dalam Menanam adalah Melawan (MaM).
Sebelum kalimat MaM lahir dan menjadi bahasa aksi, kami pernah mendiskusikan dan mengunci beberapa pertanyaan untuk menguji landasan dasar dan arti sesungguhnya dari ‘menanam adalah melawan’. Di antaranya:
Pertama, apa saja yang menjadi prasyarat utama untuk dapat dikategorikan sebagai Menanam adalah Melawan?
Kedua, apa dan siapa yang kita lawan sesungguhnya: kapitalisme pertambangan yang mengancam PPLP-KP atau juga termasuk kapitalisme pertanian? Poin kedua ini sebenarnya untuk memeriksa secara mendasar atas fakta umum di lapangan yang menunjukkan masih banyak petani yang terjerat benih GMO (teknik rekayasa genetika) produksi Cargill, Bayer, Monsanto, Dupont, dan lainnya.
Ketiga, bagaimana dengan sistem kepemilikan atas alat dan sarana produksi di komunitas? Poin ini selain menitikberatkan pada agenda perombakan kepemilikan, juga berusaha untuk mengimajinasikan ulang bentuk masyarakat dan komunitas petani yang dibayangkan oleh Widodo dan PPLP-KP ke depan.
Keempat, penting menempatkan secara kritis kedudukan dan relasi manusia dan alam di tengah berbagai ritual dan warisan dominasi yang turut mengawetkannya. Poin ini ditujukan sebagai ruang rekonsiliasi antara alam dan masyarakat manusia untuk menuju kepekaan ekologis baru yang bebas dari kapitalisme.
Sebagaimana Mas Wid pernah berkata:
“Ruang hidup adalah kehidupan itu sendiri. Di dalamnya, kita memenuhi kebutuhan, berinteraksi dengan makhluk hidup lain. Tidak hanya sesama manusia tapi juga semua makhluk hidup. Inilah ruang hidup yang kita pertahankan. Ruang hidup itu bagi kami adalah tanah. Bahkan kalau nanti kami mati pun akan kembali ke tanah. Kami nggak bisa membayangkan bagaimana jika tanah kami dirampas oleh korporasi atau pemodal. Apa pun itu bentuknya, tidak hanya korporasi tambang. Nantinya 100 tahun lagi akan jadi apa kehidupan setelah semuanya tergusur oleh korporasi?
Ruang hidup itu juga leluhur. Sejarah bagaimana kita menjadi ada. Kalau semuanya sudah direbut oleh korporasi, semuanya akan hilang. Sehingga bagi kami, ruang hidup harus dipertahankan sampai kapan pun dan dengan cara apa pun.”
Selamat jalan kawan, beristirahatlah dengan tenang! Sampai bertemu lagi!
Muhammad Afandi adalah peneliti independen dan Kepala Advokasi WALHI Jatim.