Mencari Konsep Hunian Ideal di Jakarta: Kisah Kampung Kunir dan Inisiatif Co-Housing Menteng

Mawa Kresna & Adrian Mulya
16 menit
Kampung Susun Kunir diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan tahun 2022. Berlokasi di Jl.Kemukus No.2, RT 9/RW 7, Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Bangunan terdiri dari 1 blok, 4 lantai, dan 1 lantai semi basement. Total ada 33 unit hunian dengan luas 36 m2. Setiap unit hunian terdiri dari ruang keluarga, 1 kamar tidur, kamar multifungsi, kamar mandi, dapur, dan balkon. Area Kampung Susun Kunir memanfaatkan lahan seluas 860 meter persegi yang merupakan bagian dari area lahan yang tercatat sebagai aset Kantor Kecamatan Taman Sari seluas 4.963 meter persegi. (Project M/Henry Lopulalan)

Sekelompok warga Jakarta membentuk koperasi perumahan sebagai cara untuk mewujudkan hunian layak di kota Jakarta. Koperasi ini menjadi pengejawantahan pembangunan hunian komunal di tengah harga tanah yang tak lagi terjangkau.


Dari kampung kota, tergusur, tinggal sementara di rumah bedeng, sekarang jadilah kampung susun vertikal empat lantai. Inilah sekilas kisah sekelompok warga Kampung Kunir, Tamansari, Jakarta Barat. Mereka mencari cara untuk tetap bisa tinggal di tanah tempat mereka bermukim.

Kini ada 33 keluarga tinggal di blok bangunan kampung susun vertikal itu. Lokasinya berdiri di antara deretan bangunan lama di lingkup kawasan Kota Tua. Bangunan empat lantai ini tampak kontras dengan pemukiman rumah tapak yang berdiri di sampingnya yang berdiri rapat, memanjang di bantaran kali. 

Siang pertengahan Juli 2025 lalu, tampak warung-warung makan dan minum yang dikelola penghuni kampung dipenuhi sejumlah orang berseragam dinas pemerintahan.

Beberapa anak bermain bola memanfaatkan lorong yang adem dan bersih, sementara anak yang lain sibuk dengan gawai adalah aktifitas keseharian warga yang terlihat di Kampung Susun Kunir, karena rata-rata orang tua pergi bekerja. Masing-masing lantai memiliki penghuni yang bertanggung jawab mengkoordinasi kebersihan lorong. (Project M/Henry Lopulalan)

Seorang penghuni, Marsha Chairudin keluar dari huniannya selepas istirahat, menemui kami di lorong huniannya, di lantai satu.

Lorong unit hunian Marsha terasa lapang. Ada ventilasi besar di ujung lorong yang dilengkapi pembatas berupa pagar berwarna jingga. Anak-anak meriung sambil bermain handphone, dan bermain bola di lorong itu. Sinar matahari masuk ke teras itu seiring angin sesekali tertiup, membuat hawa di selasar sama sekali tak pengap. 

“Alam ini kayaknya menyatu,” kata Marsha, yang dulu sempat menjadi pemimpin koperasi yang menjadi wadah kepemilikan bangunan ini. 

Di salah satu pojok gedung, tepat di depan hunian Marsha, ada sebuah teras yang biasa digunakan warga hunian untuk berkumpul. Di sini lah warga membicarakan semua kebutuhan bersama. Kebersamaan yang tidak dibangun semalam, tetapi melalui rapat di malam hari selama bertahun-tahun mencari cara bertahan di Kunir. 

Dari Penggusuran ke Deal Politik

Upaya warga Kampung Kunir mendirikan kampung susun vertikal ini dilatari kisah penggusuran kampung asli mereka pada 2015 lalu. Kala itu, Kampung Kunir terimbas proyek penertiban jalan inspeksi anak Sungai Ciliwung.

Penggusuran adalah cara yang dipakai pemerintah provinsi saat itu. Tak lama setelah kejadian penggusuran Kampung Kunir, wilayah lain seperti Kampung Akuarium dan Bukit Duri mengalami hal serupa.

Saat itu Marsha memilih bertahan di Kunir. Ia tinggal di bedeng di lokasi gusuran. Begitu pula sejumlah tetangganya yang memilih mengontrak di sekitar wilayah itu. Ini cara pertama mereka agar tak begitu saja tercerabut dari Kunir. Cara selanjutnya, mereka mendiskusikan bersama.

Bedeng yang dibangun oleh warga gusuran kampung Akuarium. Pada tahun 2015 terjadi rentetan penggusuran imbas proyek penertiban jalan inspeksi anak Sungai Ciliwung, termasuk Kampung Kunir. Warga Kunir memilih bertahan dengan tinggal di bedeng di lokasi gusuran. (Project M/Henry Lopulalan)

“Setiap malam, kita kumpul, mendiskusikan bagaimana istilahnya, untuk mendapatkan hak kita kembali,” kata Marsha.

Warga sebenarnya ditawari untuk tinggal di rusun yang disediakan pemerintah provinsi. Namun, Marsha dan beberapa warga memilih bertahan, meski ada pula yang berkenan pindah ke rusun.

“Itu bukti. Bukti nyata bahwa dia (warga) itu ada keseriusan,” tukas Marsha.

Momen penggusuran menjadi perhatian banyak pihak. Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), kelompok yang turut mengadvokasi isu hak tempat tinggal warga miskin Jakarta ikut menemani rapat-rapat warga Kampung Kunir. Di kemudian hari JRMK juga ikut dalam advokasi sejumlah kelompok warga Jakarta yang tergusur.

Saat itu, kampung susun vertikal belum menjadi konsep pilihan warga. Mereka masih ingin pemerintah provinsi mengganti tempat tinggal mereka yang tergusur dengan lahan yang bisa dibangun dengan format kampung deret.

Ide itu terus digodok sampai momen pemilihan Gubernur Jakarta. Warga Kunir dan korban penggusuran lainnya memutuskan untuk membuat kontrak politik dengan calon gubernur yang bersedia dan berkomitmen mewujudkan keinginan warga untuk tetap tinggal di tempat mereka semula.

Anies Baswedan, yang mencalonkan diri sebagai gubernur, menjadi satu-satunya calon yang bersedia berkontrak politik dengan warga di daerah gusuran, termasuk warga Kunir. Mereka menuntut agar hak mereka bisa diakomodasi calon gubernur. Setidaknya untuk menjamin catatan kependudukan mereka, juga pemimpin rukun tetangga baru.

Pada 2017, Anies menang. Seiring itu, kata Marsha warga mengundang gubernur terpilih untuk singgah ke lokasi mereka bertahan untuk melihat kondisi hidup mereka. Warga Kunir bersama warga kampung dampingan JRMK lain juga bertandang ke kantor gubernur untuk kepentingan audiensi.

Saat itu warga kampung Kunir diminta untuk mencari lahan pengganti yang terimbas gusuran. Pilihannya adalah lahan atas nama PT Kereta Api, tak jauh dari lahan gusuran atau lahan lainnya milik Kecamatan Taman Sari. Warga memutuskan memilih tanah kecamatan. Marsha bilang alasannya karena lebih mudah prosesnya dibandingkan dengan harus berurusan dengan perusahaan.

Mendirikan Koperasi untuk Berdikari

Pada 2019, warga kampung pun mendirikan koperasi yang di kemudian hari menjadi wadah penguasaan warga atas lahan. Koperasi yang dibentuk bernama Koperasi Konsumen Kunir Pinangsia Sejahtera (K3PS). Koperasi ini yang menjadi landasan kebersamaan warga mengurus tempat tinggal dan juga usaha yang mereka kelola.

Papan skema struktur organisasi Koperasi Konsumen Kunir Pinangsia Sejahtera terpasang di lantai dasar Kampung Susun Kunir. Koperasi ini menjadi wadah penguasaan warga atas lahan dan pengorganisasian warga. (Project M/Adrian Mulya)

Setelah semua siap, warga mulai merancang pembangunan dan memikirkan status kepemilikan hunian. Warga bekerjasama dengan arsitek-arsitek non-profit dari Architecture Sans Frontières Indonesia untuk mewujudkan hunian sesuai kebutuhan. Setiap rumah memiliki kebutuhan yang berbeda, sehingga perlu dibicarakan secara mendetail.

“Pas lagi membuat desain itu kita bareng-bareng semua,” kata Indri Yuliani, penghuni lain, yang juga ketua koperasi.

Mereka juga menyepakati luas tiap unit hunian 36 meter persegi dan mengatur pembagian lantai berdasarkan kebutuhan. Misalnya untuk lansia bisa tinggal di lantai dasar. Kebutuhan untuk warga disabilitas juga dipikirkan dengan cermat, seperti WC penghuni dengan disabilitas pun dirancang khusus yakni tipe duduk, dilengkapi dengan pegangan.

“Prioritas untuk lansia itu di lantai dasar semua,” kata Indri, “jadi dia (penghuni) nggak perlu naik tangga.” 

Sedangkan terkait alas hukum hunian, untuk sementara hunian ini hanya beralaskan hak guna bangunan (HGB), lantaran untuk penguasaan lahan berbentuk sertifikat hak milik (SHM) prosesnya sungguh lama.

Warga lansia mendapatkan prioritas menghuni lantai dasar sehingga tak perlu naik tangga, sesuai kesepakatan bersama pada saat merancang desain hunian Kampung Susun Kunir. Biaya listrik menggunakan sistem prabayar atau token. (Project M/Adrian Mulya)

Sementara untuk biaya listrik dan air biaya ditanggung sesuai dengan besaran yang mereka pakai dengan sistem prabayar, untuk pengadaan air, mereka mengandalkan pasokan yang disalurkan perusahaan air PAM Jaya.

Biaya pembangunan kampung susun ini, menurut Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta Sarjoko menelan sekitar Rp13,1 miliar. Pembangunan dibiayai melalui dana kewajiban pengembang PT Karya Bangun.

Untuk biaya sewa kepada pemerintah provinsi, Indri menjelaskan warga dikenakan sekitar Rp35.000 per bulan. Biaya ini diproyeksikan dibayarkan selama lima tahun awal, lalu diperpanjang lima tahun berikutnya. Setelah itu mereka berharap bangunan dihibahkan kepada warga.

Sejak menempati bangunan kampung susun ini pada 2022, warga belum bisa menyetorkan uangnya, meski dana pembayaran sudah disiapkan. Hingga saat ini belum ada instansi pemerintah yang berwenang untuk menerimanya. “Kita masih dilempar-lempar,” kata Indri.

Dengan model koperasi seperti ini, para penghuni mengambil peran dalam mengurus bangunan yang digunakan bersama. Marsha mencontohkan, setiap lantai ada penghuni yang bertanggung jawab mengkoordinasi kebersihan lorong. Selain itu, ada juga penghuni yang khusus bertanggung jawab untuk pompa air.

“Kita sendiri harus bisa bertanggung jawab terhadap bangunan ini. Karena ini memang walaupun kita dibangunkan bentuk vertikal itu kita merasa ini rumah kita,” kata Marsha.

Menurut Indri, meski kehidupan sudah banyak berubah dibandingkan saat masih tinggal di kampung dulu, namun kebiasaan tetap mereka jalankan. Di bagian basement, mereka berkebun dengan menanam sayuran, seperti bayam dan kangkung, memelihara ayam, bahkan menggelar yasinan setiap Kamis malam. 

“Kita selalu ngadain acara-acara yang seperti dulu, masih kita tetap laksanain,” kata Indri. 

Di bagian basement, selain untuk lahan parkir motor, warga juga memanfaatkan lahan yang ada untuk berkebun, menanam sayuran, seperti bayam dan kangkung serta memelihara ayam. Kebiasaan yang tetap terpelihara sebelum warga kena gusur. (Project M/Adrian Mulya)

Seabrek permasalahan perumahan di Jakarta

Koperasi perumahan seperti di kampung Kunir menjadi alternatif kepemilikan rumah di Jakarta. Pemukiman yang dibangun atas dasar inisiatif warga dan political will pemerintah daerah. Model ini, tanpa perlu penggusuran, menjadi inspirasi kepemilikan hunian bagi masyarakat di tengah masalah perumahan yang rumit di Jakarta, dari ketersediaan lahan, harga tanah mahal, hingga biaya pembangunan yang tidak kalah mencekik.

Data Cushman and Wakefield, menunjukkan per kuartal IV 2024, harga rata-rata tanah di Jakarta mencapai Rp15,9 juta per meter persegi. Harga ini jauh di atas rata-rata upah bersih pekerja warga Jakarta per bulannya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, yang mencapai Rp4,79 juta per bulan.

Kondisi ini membuat hanya sedikit warga Jakarta yang bisa mengakses hunian layak. Data BPS 2024 menyebutkan hanya sekitar 39% warga Jakarta yang bisa mengakses hunian layak. Indikator hunian layak menurut BPS ini adalah tempat tinggal minimal 7,2 meter persegi per kapita, memiliki sanitasi, air, layak, dan ketahanan bangunan.

Itu pula yang menyebabkan tingkat kepemilikan rumah warga Jakarta hanya sekitar 54,44 persen pada 2024. Data ini menunjukkan salah satu yang terendah di Indonesia, meski Jakarta merupakan pusat bisnis Indonesia. 

Sebenarnya, pemerintah provinsi Jakarta sudah meluncurkan program perumahan bagi warga. Namun, masih jauh dari harapan warga. 

Misalnya program DP 0 rupiah yang dicanangkan Anies Baswedan saat menjabat sebagai gubernur Jakarta. Program ini awalnya ditujukan untuk kelompok warga dengan besaran upah Rp4 juta-Rp7 juta per bulan. Namun pada 2021 Anies mengubah ketentuan batasan gaji calon penghuni yang bisa mengakses program ini, yakni Rp14 juta per bulan.

Lagi-lagi besaran syarat pendapatan itu menjadi hambatan. 

Pada 2022, pemerintah provinsi juga sempat meluncurkan aplikasi Sistem Informasi Perumahan dan Permukiman yang diklaim dibuat dengan tujuan memudahkan pendaftaran program DP 0 rupiah dan rumah susun sewa. Namun yang terjadi aplikasi sering galat dan terdapat kuota pendaftaran harian. Pengguna memberikan rating buruk terhadap aplikasi ini dengan nilai 3,2 di Playstore.

Masalah lain, jumlah peminat unit rusun lebih banyak daripada ketersediaan unit. Pada April 2025 dibuka pendaftaran untuk 200 unit di Rusun Jagakarsa, Jakarta Selatan, namun pendaftarnya membludak lebih dari 400 orang.

Deretan masalah itu ditambah dengan persoalan hunian yang lokasinya berada di pinggiran kota Jakarta, dengan sarana transportasi umum yang tidak memadai. Lagi-lagi ketersediaan lahan di tengah kota, menjadi salah satu kendala.

Inisiatif lain: Co-Housing di Tengah Kota

Sekitar 10 km dari kampung Kunir, berdiri rumah flat di kawasan elit Menteng. Rumah flat itu terlihat menjulang di antara rumah-rumah lama. Jalur menuju rumah flat adalah jalan kecil beraspal, yang bisa dilalui satu mobil. Permukimannya teduh dengan pepohonan rindang. Lokasinya strategis, hanya lima menit dari stasiun Sudirman. 

Bangunan rumah flat dengan konsep hunian komunal atau co-housing di jalan Rembang, Menteng. Pembangunan dan prosesnya dilakukan secara swadaya oleh sejumlah orang sebagai solusi alternatif bagi para penghuninya yang ingin memiliki tempat tinggal yang terjangkau dan strategis dekat dengan pusat kota. (Project M/Henry Lopulalan)

Flat itu merupakan inisiatif sejumlah warga, untuk menghadirkan hunian komunal di tengah kota Jakarta. 

Famega Syavira Putri adalah salah satu penghuninya. Ia merupakan seorang pekerja media yang berkantor di sekitar Bundaran Hotel Indonesia. Buat Famega, flat ini menjadi wujud hunian idamannya.

“Tinggal jalan kaki jadi waktunya cuma habis 15 menit,” katanya.

Satu perubahan yang terasa sejak ia tinggal di rumah barunya adalah berkurangnya ongkos pulang pergi untuk kerja. Setidaknya sampai akhir 2024 lalu, Famega yang masih menyewa apartemen di daerah Pademangan, Jakarta Utara menyebut bahwa per bulannya pengeluaran ongkos ojolnya untuk pergi pulang pergi ke kantor, termasuk untuk keperluan lainnya, mencapai Rp800.000. Namun, kini, sejak Januari 2025, pengeluaran ojek onlinenya berkurang sekitar separuhnya. “Emang turun banyak banget,” kata Famega.

Famega tinggal di lantai tiga rumah susun flat itu bersama suaminya, luas unitnya 40 meter persegi. Hunian minimalis itu dilengkapi sebuah kamar tidur, dan sebuah kamar mandi, dan dapur. Hunian itu juga dilengkapi balkon dengan pintu kaca geser, yang memungkinkan ruangan mendapat cukup sinar matahari dan angin. Sebuah pohon yang tumbuh tanah berdiri tepat di depan balkon, hal yang menurutnya membuat hawa unitnya lebih adem.

Famega menjatuhkan pilihan pada flat ini setelah ia berpindah-pindah mengontrak atau indekos di rumah yang biasanya tak jauh dari kantornya. Ia juga sempat berpikir untuk mencari rumah di daerah Serpong, Tangerang, Banten. Hanya saja, harga pasaran rumah di sana yang membuatnya berpikir ulang untuk membeli.

“Rumah di BSD yang Rp1 miliar aja tuh, kecil banget,” kata Famega. “Yang lebih murah berarti lebih jauh,” tambahnya.

Kondisi lingkungan Jalan Rembang yang diproyeksikan sebagai lokasi pembangunan flat membuat Famega tertarik menjadi calon penghuni. 

Rumah baru ini mengantarkan Famega ke jenis kehidupan yang juga baru, di mana terbangun kedekatan antar sesama penghuni. Para penghuni rutin mengadakan pertemuan secara bergantian dari satu hunian flat ke hunian flat lainnya, atau sekadar mencari makan bersama di sekitar rumah flat mereka.

“Menurut aku lebih enak karena, aku dulu nggak kenal sama tetanggaku ya, di apartemen tuh kan kayak ya udah (hidup) masing-masing,” kata Famega. 

Famega Syavira Putri seorang penghuni rumah susun flat yang tinggal bersama suaminya. Nominal yang sesuai dengan kemampuannya, hunian yang nyaman, lokasi yang strategis, dan dekat dengan kantornya di sekitar Bundaran Hotel Indonesia adalah alasan ia menjatuhkan pilihan untuk turut serta dalam konsep perumahan co-housing yang dikembangkan oleh lembaga studi Rujak Center. (Project M/Henry Lopulalan)

Konsep hunian ini disebut co-housing di mana ada partisipasi warganya dalam tiap prosesnya, dari pembangunan hingga kehidupan di dalamnya. Lembaga studi Rujak Center yang fokus pada isu permukiman dan tata kota sudah membicarakan konsep ini sejak 2009 lalu.

Seorang pendiri Rujak, Armely Meiviana menjelaskan konsep co-housing sebagai: “Permukiman yang dibangun secara partisipatif oleh sejumlah calon penghuni, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan tiap individu.” Dengan begitu, masing-masing penghuninya memiliki ruang bersama, seperti perpustakaan, parkir, sampai rumah ibadah bersama.

Ide itu menurut Andrea Fitrianto, juga pendiri Rujak, merupakan kritik terhadap pembangunan apartemen di Jakarta, yang menurutnya tak mengakomodasi ruang terbuka sebagai ruang interaksi warga, cenderung dijadikan sebagai “lahan parkir”. Sementara, kekurangan lainnya adalah minimnya rasa keterkaitan dengan tempat tinggal yang dibangun oleh pengembang properti.

Periode 2000-an awal dinilai puncak pembangunan apartemen-apartemen mewah di Jakarta. Apartemen-apartemen tersebut dibangun dengan model bangunan tinggi, yang menyebar di bilangan Sudirman, Thamrin, atau Gatot Subroto. 

Bangunan empat lantai ini disampaikan Andrea sebagai alternatif lain dari apartemen. “Hunian multi-keluarga 4 lantai sesuai dengan jangkauan mobilitas manusia yang alami. Skalanya sesuai dengan unit sosial pertetanggaan, 6-10 unit dalam satu bangunan, kadang dengan toko di lantai dasar,” tulis Andrea dalam sebuah opini di website Rujak, pada 2009.

Belakangan konsep hunian tinggal empat lantai yang bisa dihuni lebih dari dua keluarga diadopsi pemerintah provinsi lewat Pergub Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan DKI Jakarta.

Elisa Sutanudjaja, salah satu pendiri Rujak mengatakan saat itu Rujak mengadakan sayembara bagi para arsitek-arsitek untuk mengembangkan konsep ini. Meski begitu, mereka belum membicarakan lebih jauh konsep kepemilikan bangunan lewat koperasi.

Sejak ikut mengadvokasi sejumlah kampung yang terkena gusur, seperti kampung Akuarium, Bukit Duri, dan juga Kunir, Elisa mengaku ia dan kawan-kawannya di Rujak mulai familiar dengan model kepemilikan tempat tinggal lewat koperasi.

“Apalagi koperasi juga bisa menguasai tanah juga, jadi itu bisa jadi alat reforma agraria,” kata Elisa. 

Bergerak Sendiri, Modal Sendiri

Setelah gagasan matang, Elisa mulai mencari calon penghuni. Selain memiliki kesamaan ide soal hunian, syarat yang harus dipenuhi sebagai calon penghuni adalah uang tabungan. Besarannya bergantung pada luas unit yang akan dibangun.

Elisa misalnya, ia mengeluarkan sekitar Rp600 juta, untuk tipe ruangan 90 meter persegi, sementara Famega, yang menghuni tipe hunian 40 meter persegi, mengeluarkan biaya hingga Rp400 juta.

Jika dihitung, biaya itu sebenarnya jauh lebih murah dari harga pasaran. Misalnya untuk biaya pembangunan ini membutuhkan sekitar Rp8 juta per meter persegi, harga yang jauh di bawah rata-rata harga konstruksi bangunan empat lantai. Untuk bangunan serupa menurut pemprov Jakarta biayanya mencapai Rp11,6 juta, juga masih di bawah rata-rata harga konstruksi Jakarta berdasarkan perhitungan lembaga Turner and Townsend, yang mencapai $US 942,8 atau Rp15,4 juta.

Salah satu yang membuat biaya hunian ini lebih murah adalah tanah. Penghuni yang bergabung dalam koperasi, tidak membeli tanah, melainkan menyewa. Mereka menyewa tanah milik keluarga Marco Kusumawijaya, salah satu pendiri Rujak, dengan biaya Rp90 juta per tahun. 

Biaya ini dibebankan kepada masing-masing penyewa, sesuai dengan luasan rumah. Contohnya, Famega yang menempati rumah seluas 40 meter persegi membayar sekitar Rp600 ribu per bulan.

Meski sudah tergolong murah untuk di kawasan elite Menteng, namun tidak serta-merta biaya rumah flat ini terjangkau. Elisa mengakui ini, karena itu sejak awal ia mengajak orang-orang yang dikenal dan punya tabungan cukup untuk membiayai proyek ini.

“Kalau enggak punya tabungan sulit,” kata Elisa. “Masalahnya kita usaha sendiri, modal sendiri, enggak ada peran pemerintah sama sekali,” jelasnya.

Perlu Intervensi Pemerintah

Meski inisiatif warga membuat koperasi dan menggagas hunian komunal, namun tidak serta merta menjadi satu-satu jalan untuk menjawab masalah perumahan di Jakarta. Model ini bisa menjadi alternatif, namun bukan solusi massal dan jangka panjang.

Pakar properti dari Jakarta Property Institute Wendy Hartarto mengapresiasi inisiatif koperasi perumahan itu, namun model ini sulit untuk menyelesaikan masalah kesenjangan antara total hunian yang terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan atau yang dikenal dengan backlog. Menurut Kementerian Pekerjaan Umum backlog di Jakarta per 2024 mencapai 1,19 juta unit.

Wendy menjelaskan perlu intervensi besar yang dilakukan pemerintah agar warga Jakarta tetap bisa tinggal di Jakarta. Ia mencontohkan perlunya zonasi khusus untuk perumahan yang terjangkau. Hal ini dimungkinkan pada zona tertentu penentuan nilai jual objek pajak-nya (NJOP) atau pajaknya lebih terjangkau.

Intervention-nya enggak ada di situ. Makanya tambah lama (warga tinggal) tambah ke pinggir,” kata Wendy.

Serupa dengan yang disampaikan Elisa, model co-housing di tengah kota tanpa peran pemerintah tetap akan membuat biayanya mahal, meski tak semahal model konvensional. Karena itu intervensi pemerintah untuk mendukung inisiatif koperasi perumahan menjadi hal yang diperlukan.

Salah satu praktik yang mungkin paling ideal justru seperti yang terjadi di kampung Kunir. Pemerintah berperan menyediakan lahan, membantu mencarikan sumber dana pembangunan, warga terlibat dalam proses pembangunan, menyiapkan koperasi untuk pengelolaan.

Model ini pula yang membuat sejumlah periset melirik hunian di Kunir menjadi bahan kajian. Pada 2024 lalu, kampung susun vertikal juga mendapat penghargaan dari Ikatan Arsitektur Indonesia, karena rancangannya yang dinilai menunjukkan proses sosial.

Indri, sebagai warga kampung Kunir mengaku senang, sebab cerita keberhasilan mereka bisa diketahui oleh banyak pihak. Ia berharap proses yang mereka jalani dan perjuangan mereka mendapatkan hunian yang layak bisa menjadi contoh di tempat-tempat lain.

Selain di Kunir, inisiatif serupa juga sudah terjadi di kampung Akuarium. Warga kampung Akuarium yang sempat mengalami penggusuran pun kini sudah menempati kampung susun mereka di Jalan Pasar Ikan, Pasar Ikan. Kira-kira 100 keluarga yang menempati kampung susun tersebut. 

Berkaca dari pengalamannya dan sesama warga kampung lainnya, Indri mengatakan dibutuhkan kebersamaan yang kuat untuk mewujudkan proyek ini.

“Yang penting kita masih sama-sama kompak, kita masih tetap bertahan,” kata Indri. “Kita masih istilahnya mendapatkan tempat yang benar-benar layak bagi, kita enggak tinggal di emperan,” tambahnya.


Laporan ini merupakan bagian dari serial #SusahPunyaRumah

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna & Adrian Mulya
16 menit