JUMAT PAGI, kami duduk melingkar.
Tudang Sipulung.
Dalam bahasa Bugis, Tudang berarti duduk, Sipulung berarti berkumpul. Tradisi musyawarah tahunan ini biasa dilakukan para petani Suku Bugis di Sulawesi untuk menyepakati waktu bertani dan mendiskusikan masalah-masalah kehidupan.
Spirit musyawarah itu yang memotivasi kehadiran panel bertajuk, “Tudang Sipulung: Perempuan Adat: Suara Paling Tak Didengar di Dunia,” di Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024.
Dalam panel, para jurnalis, fotografer, pembuat film, aktivis, hingga perempuan adat duduk bersama, melingkar, dan setara. Mereka membahas isu penting hari-hari ini, tentang bagaimana cerita adat direpresentasikan dengan adil dan inklusif, serta menjadi diskursus publik.
Pada ruangan di Benteng Fort Rotterdam itu, kami juga berbagi tentang kemarahan akan tanah-tanah yang diam-diam direbut, hak-hak bersuara yang terus digerus, dan keresahan atas berbagai tulisan yang kadang kurang adil jika berbicara tentang masyarakat adat.
Berikut beberapa percakapan para peserta panel Tudang Sipulung dalam agenda tahunan MIWF yang mengusung tema “m/othering”; sebuah untuk mengingatkan betapa mendesaknya percakapan perihal gagasan dan tindakan merawat dan mengasuh di tengah berbagai persoalan hidup hari ini.
“Teman-teman bisa mendorong supaya publik tambah luas mengetahui apa yang kita rasakan di pesisir dan teman-teman di wilayah lain. Salah satunya tentang identitas kita itu. Ya, kenapa mereka datang mereklamasi tanpa memberitahu kami? Itu karena status kami yang dianggap tidak punya pendidikan. Dianggap bodoh, dianggap miskin sehingga mereka tidak memberitahu kami dan tidak melibatkan kami dalam setiap pengambilan keputusan.” Zaenab, perempuan nelayan Tallo di Makassar, Sulawesi Selatan.
“Kami memang secara budaya tidak punya akses terhadap tanah karena itu milik laki-laki. Tanah itu diwariskan kepada laki-laki. Tapi yang menggunakan lahan itu kami perempuan. Dan kami punya relasi yang kuat dengan hutan. Di hutan, kami bisa dapat obat-obatan tradisional, kemudian makanan. Ketika hutan habis, kami punya ruang-ruang hidup, kami punya keterikatan dengan alam itu akan habis.” Esther Haluk, penulis dan aktivis Papua.
“Kami perempuan juga berperan penting dalam memastikan konsumsi keluarga. Ketika kami diberi akses untuk mengakses hutan, kami masih tahu bahwa makanan-makanan apa, pangan-pangan apa yang layak dimakan. Tapi makin ke sini, tanah sudah menjadi hak orang lain, sudah jadi investasi-investasi luar. Kemudian, kami masyarakat adat sendiri sudah mulai terancam.” Marlinda Nau, Lakoat Kujawas, Molo, Nusa Tenggara Timur.
“Ibu-ibu itu punya pengetahuan yang baik tentang lingkungan di mana mereka tinggal. Mereka tahu tempat-tempat air minum, mereka mengenal musim dengan baik, sumber makanan itu ada di mana. Mereka ingat itu dengan baik. Pengetahuan perempuan itu kadang-kadang orang abaikan. Jangankan orang lain, mungkin suaminya bahkan masyarakat adatnya juga mengabaikan itu.” Dominggas Nari, aktivis perempuan Papua.
“Apa dampak yang dialami oleh perempuan ketika kubur leluhurnya dirusak? Padahal ‘kan itu adalah sumber belajar bagi keluarga, karena pendidikan yang paling utama itu kan sebenarnya dimulainya dari keluarga, bukan sekolah. Sekolah itu adalah sistem yang kemudian dibentuk oleh Belanda yang kita ikuti. Nah, ini yang tidak pernah dituliskan.” Michelin Sallata, aktivis dan advokat iklim pemuda adat Tana Toraja.
“Yang saya pikir adalah kita menulis itu seringkali tidak cukup. Perlu ada cermin yang diletakkan pada diri kita untuk berefleksi pada bagaimana kita memaknai tulisan baik bagi diri kita sendiri maupun juga untuk komunitas yang sedang menghadapi proses-proses tersebut. Sehingga dia menjadi alat advokasi, dia bukan cuma alat bicara, tapi juga alat advokasi dan cermin bagi situasi perempuan yang ada.” Lian Gogali, penulis dan aktivis dari Poso, Sulawesi Tengah.
“Sebenarnya suara perempuan itu adalah suara yang paling jujur dan sangat tulus. Terkait dengan apapun. Entah itu pengetahuan ataupun kearifan mereka dalam mengelola alam. Kemudian juga terkait dengan dampak dari perubahan bentang alam itu sendiri.” Nopri Ismi, jurnalis foto dari Kepulauan Bangka Belitung.
”Kalau kita lihat di sini, namanya penindasan berlapis. Dalam konteks kita di Indonesia, masyarakat adat adalah kelompok yang marginal, yang terpinggirkan. Salah satu contoh, RUU Masyarakat Adat belum beres-beres sampai sekarang karena ada kekhawatiran kalau ada UU Masyarakat Adat, masyarakat adat punya kekuatan. Sulit sudah untuk rampas tanah dan sumber daya masyarakat adat. Jadi saya tidak tahu. Itu hanya dugaan saya.” Martha Hebi, penulis dan jurnalis dari Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Tudang Sipulung diadakan oleh Project Multatuli dan Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024 atas dukungan Kedutaan Besar Jerman di Jakarta dan Pulitzer Center.