Menengok Kasus Stunting di Pemukiman Padat di Bandung Setelah Pandemi Covid-19

Bandung Bergerak
Mawa Kresna
16 menit
Anak penderita stunting dalam gendongan orang tuanya. Stunting bukan hanya menyerang fisik bayi, tapi juga menurunkan kemampuan perkembangan kognitif otak anak jika tidak tertangani dengan baik sedini mungkin. (Bandungbergerak.id/Arif 'Danun' Hidayah)

Sejak pagi Dian Mardiana sudah siap membawa anaknya, Yasmin (11 bulan), ke Puskesmas Babakan Tarogong untuk imunisasi. Sayang begitu sampai di sana, dokter belum mengizinkan Yasmin imunisasi kedua. Sudah tiga hari, ada bercak merah seperti ruam di kulit bagian dadanya, namun suhu badannya normal. Dokter menyebut itu biang keringat. Yasmin mesti menunggu beberapa hari, agar ruamnya reda, dokter takut jika nanti Yasmin demam jika dipaksa vaksinasi.

Imunisasi itu terjeda sejak Yasmin lahir pada 9 Agustus 2021. Merebaknya varian Delta di Bandung kala itu membuat beberapa fasilitas kesehatan belum dapat diakses dengan maksimal. Kendala lain, Dian takut terpapar Covid-19 jika keluar rumah.

Beberapa kali ia sempat membawa Yasmin ke bidan untuk mendapat imunisasi, namun bidan belum bisa melakukan imunisasi karena berat badan Yasmin jauh di bawah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). BBLR di Indonesia yakni 2,5 kg sementara Yasmin hanya 1,6 kg.

Yasmin lahir dibantu seorang bidan di  Caringin, daerah tempat mertua Dian tinggal. Yasmin lahir pada usia kandungan 9 bulan lebih 2 minggu. Memang telah memasuki waktunya, namun sejak lahir berat dan kondisi badannya terlampau kecil.

“Terakhir ini teh imunisasinya telat, jadi baru dapat satu [satu kali imunisasi], harusnya sudah full. Kemarin tapi BCG dan campak udah kemarin. Bulan kemarin dijadwalin lagi,” ungkap Dian, Selasa (12/7/2022). “Pas awalnya kan harus berat badannya harus naik dulu. Jadikan kalau 1,6 kg, gak bisa imunisasi kan kata bidan. Minimal 2,5 kg bisa diimunisasi.”

Melahirkan pada saat pandemi Covid-19 adalah pengalaman yang menakutkan bagi Dian. Ia tak berani melahirkan di rumah sakit—yang saat itu banyak menampung pasien Covid-19, karena itu ia memilih melahirkan dengan bantuan Bidan Atik yang kebetulan masih keluarga. Hal ini sedikit menenangkan, meski ia sempat kesulitan dalam proses persalinan.

“Iya, takut, jadi nggak itu, tapi kemarin juga kan ini pernah dirawat, si dokternya teh heran kenapa nggak di RS (lahiran), ini harusnya di RS, harusnya dirawat intensif gimanalah, tapi saya kondisi lagi Covid, jadi takut gitu. Jadi alhamdulillah di bidan juga dilayani dengan baik,” kata Dian.

Dian mengungkapkan, ketika hamil akses layanan kesehatan di Puskesmas memang masih bisa didapat meski dibatasi. Sesekali untuk periksa ia ke puskesmas dan bidan. Ia juga mesti mengeluarkan biaya pribadi untuk menutupi biaya USG di bidan yang tidak dicover BPJS, seharga Rp125 ribu.

“Puskesmas gratis karena BPJS. Kalau periksa ke bidan paling lahiran saja. Rutinnya (periksa saat hamil) di Babakan Tarogong. Paling, USG di bidan, bayar Rp125 ribu. Tapi ya ada weh rejekinya selama Covid.”

Pada Januari 2022 Yasmin didiagnosis sakit paru bronkopneumonia yang membuatnya dirawat di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung selama seminggu dan sempat diisolasi selama 3 hari. Semula Dian mengira anaknya terpapar Covid-19, namun setelah melakukan tes antigen hasilnya negatif.

“Ternyata paru-paru bronkopneumonia, jadi jangan kena asap rokok, asap kayak minyak gitu. Jadi kalau sudah batuk teh, kayak syok aja gitu, takut ke RS lagi, takut apa gitu. Tapi nggak sih, sekarang mah alhamdulillah sehat.”

Pada saat yang bersamaan Yasmin juga mengalami perlambatan pertumbuhan. Sejak lahir, Yasmin tak mendapatkan ASI. Dian memberikan susu formula.

“Gak, pakai susu formula. Karena dari bayi susunya yang BBLR. Terus dikasih lampu di rumah, dilampu kayak kalau di RS harus diinkubator, di rumah aja dijemur pakai lampu, kayak gitu aja.”

***

Sekitar 2 km dari tempat tinggal Yasmin, Salim Ahmad Jalil, balita usia 4,5 tahun terbaring lemah di kamar yang lembab dan tak tersinari matahari. Ukuran badannya yang kecil dengan bobot 6,7 kg tak mampu menopang tubuhnya untuk sekadar duduk, apalagi berdiri.

Salim merupakan anak dari pasangan Dede Likartini (42) dan Asep Supriatna (38) warga kelurahan Jamika. Mereka tinggal di sebuah pemukiman padat kota Bandung dengan jalan gang selebar dua kali bahu orang dewasa.

Menurut Dede, Salim dilahirkan dengan bantuan operasi sesar, air ketuban yang pecah dan tertelan oleh Salim. Salim lahir dengan bobot yang sangat rendah jauh di bawah BBLR, hanya 1,5 kg. Ia sempat dirawat di rumah sakit Hasan Sadikin selama 11 hari, lalu di rumah sakit Kebon Jati sekira tiga hari.

Bayi mungil itu tumbuh dengan berbagai komplikasi penyakit yang diderita, salah satunya penyakit paru tuberculosis (TB). Menurut Dede, penyakit paru yang diderita oleh Salim akibat mengisap asap rokok dari almarhum kakeknya yang kala itu masih tinggal bersama.

Sejumlah perempuan memeriksakan anak mereka ke posyandu di Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung. (Bandungbergerak.id/Virliya Putricantika)

Dalam masa pertumbuhan, Dede mengakui Salim tak banyak bisa makan nasi dan makanan lainnya. “Sekarang bisa nasi, dulu mah makan nasi itu keselek, ke sini sudah bisa, makan ati, daging, ayam. Sehari makan pagi, siang, sore. Apa ajalah sayuran, tahu, sama kecap sukanya gitu,” ungkap Dede, ditemui Bandung Bergerak, Jumat (22/7/2022).

Salim sempat mendapatkan perawatan lantaran batuk yang tak henti-henti. Setelah batuknya reda, ia mesti terus menjalani terapi dengan rutin ke rumah sakit Hasan Sadikin, sayangnya terapi itu tidak bisa lanjut.

“Sekarang mah udah nggak, batuknya udah lama ada lagi. Katanya Hasan Sadikin udah sembuh, tapi belum dikasih surat. Sekarang udah nggak, pernah mau terapi tapi katanya harus bisa jalan dulu,” katanya.

Dede menyadari ukuran tubuh anaknya yang kecil. Kadang ia merasa sedih melihat anak-anak seusia Salim yang sudah bisa berlari dan bermain bersama kawan lain sebaya, sementara Salim hanya bisa berbaring bermain dengan beberapa boneka di tempat tidur.

***

Hanya berjarak beberapa meter dari rumah Dede, Amora, bayi 19 bulan, tergeletak di kamar kos-kosan berukuran kurang lebih 2,5 m panjang dan lebar 2 m.  Sudah dua hari, badan Amora panas, diikuti dengan batuk dan diare. Yuni Cahyati, ibu Amora, sudah membawanya ke puskesmas dan memberikan obat batuk dan diare.

Amora lahir pada 30 Desember 2020, ketika gelombang awal Covid-19 mulai meninggi di Bandung. Sejak lahir ia belum pernah mendapat imunisasi, penyebabnya karena ia sering sakit dan berat badannya naik turun dengan cepat. Kerap kali, ketika jadwal imunisasi tiba, kondisi badan Amora menurun atau sakit, sehingga tidak jadi mendapat imunisasi.

Beberapa hari sebelum diare bobot berat badan Amora 9 kg, hanya selang kurang dari seminggu kemudian berat badannya turun menjadi 8,7 kg. “Pas ditimbang kaget, kenapa jadi turun dari 9,8 kilo, turun ke 9 kilo. Terus tadi turun ke 8,7 kilo,” kata Yuni ketika ditemui di kosnya, Sabtu (23/7/2022).

Sejak lahir, Amora memang tidak mendapat pelayanan kesehatan yang baik. Saat itu layanan kesehatan tingkat bawah benar-benar terhenti, begitu juga dengan kader posyandu juga terhenti karena pandemi.

“Ngak, ngak ke posyandu. Ngak ada (pelayanan di rumah), iya terhenti,” ujar Yuni.

Amora baru kembali mendapat pelayanan posyandu pada awal tahun 2022. Amora disarankan untuk mendapat imunisasi susulan.

“Iya jarang, paling kemarin-kemarin saja pas ada posyandu, agak rutin, gak kayak kemarin-kemarin. Terakhir imunisasi waktu sebulan, sekarang sudah setahun setengah belum diimunisasi lagi. Tapi nanti mau imunisasi susulan,” terang Yuni.

***

Pandemi Covid-19 membuat urusan kesehatan bayi menjadi runyam. Sejumlah balita di Bandung yang seharusnya mendapat perhatian khusus dan dikontrol kesehatan terpaksa tak dapat dilakukan. Pelayanan posyandu sempat terhenti selama pandemi, diganti dengan kelompok penimbangan atau Pokbang, itu juga tak berjalan dengan baik.

Petugas Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Sukapakir, Ani Sofiyah mengungkapkan bahwa selama pandemi proses penimbangan balita disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing. Pokbang dilakukan dengan datang per RT yang telah dijadwalkan. Kendalanya, kerap kali jika sudah terjadwal waktunya, balita yang akan ditimbang sedang tidur.

Tak hanya itu, keterbatasan tenaga sumber daya manusia (SDM) baik dari tenaga kesehatan di Puskesmas maupun para kader posyandu. Pada 2021, Pokbang sempat dijalankan beberapa hari di tiap posyandu, namun hal itu tak berjalan dengan baik.

“Sebelum pandemi mungkin angka stuntingnya masih bisa terkontrol, setelah pandemi kita nggak bisa kontrol, kenapa karena banyak balita baru juga, terus yang jarang-jarang ditimbang, selain itu juga mungkin kadernya juga harus diingatkan lagi tentang pengukuran yang baik dan benarnya seperti apa,” ungkapnya, Jumat (5/8/2022).

Pandemi mereda, tak membuat persoalan stunting serta merta dapat diatasi dengan baik. Beberapa persoalan lain turut muncul seiring mulai bergulirnya posyandu. Masih banyak orang tua yang tak membawa anaknya ke posyandu. Akibatnya tak hanya penimbangan, tetapi imunisasi pada anak juga akhirnya tertunda.

Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, pihak tenaga kesehatan Puskesmas bersama dengan kader posyandu tengah menggencarkan sweeping bagi balita yang cakupan imunisasinya masih rendah. Sementara untuk balita yang mendapat perhatian khusus stunting beberapa program yang dijalankan yakni pemberian makanan tambahan (PMT) yang masuk dalam program Tanginas yang dijalankan oleh kader-kader posyandu. Puskesmas hanya menjadi mitra, mengontrol dan memastikan anak-anak yang mendapat intervensi.

Data terakhir pada Februari 2022, total jumlah balita yang mengalami stunting di Kelurahan Jamika sebanyak 86 balita, dari perkiraan total balita 1.100 hingga 1.200 balita di seluruh Jamika, atau sekitar 7 persen.

Seorang balita memiliki lingkar lengan terlalu kecil untuk anak seusianya saat pengukuran oleh petugas posyandu di Kelurahan Jamika, Bojongloa Kaler, Kota Bandung. (Bandungbergerak.id/Virliya Putricantika)

Sementara itu, program puskesmas secara umum untuk penanganan stunting hanya memberikan makanan tambahan berupa biskuit yang merupakan bantuan dari Kementerian Kesehatan, namun saat ini stoknya sedang kosong. Lalu, untuk pemberian vitamin tambahan seperti vitamin A diberikan 6 bulan sekali. Untuk balita yang masuk kategori stunting, pihaknya menyediakan vitamin taburia untuk ditabur ke makanan balita.

Beberapa kendala lain yang juga dihadapi oleh puskesmas yakni persoalan edukasi ke masyarakat. Edukasi mengenai pola asuh orang tua, kemudian sanitasinya, serta kesadaran akses makanan bergizi. Sementara itu, untuk program yang terus dijalankan yakni pemanatauan, terus dilakukan.

“Kadang kita dulu memberikan susu ke keluarga, ternyata ada yang malah dijual. Atau nggak, diminum mamanya. Terus kita kasih PMT dalam bentuk makanan yang sudah dimasak, ternyata yang makan malah keluarga yang lain. Kakaknya, ibunya, bapaknya, jadi gitu. Bukan untuk anaknya yang stunting itu,” ungkap Kepala Puskesmas Sukapakir, Hellen Yessi Varinza.

Kondisi Stunting di Pemukiman Terpadat di Bandung 

Kendala serupa juga terjadi di Puskesmas Babakan Tarogong tempat Yasmin biasa mendapat layanan kesehatan. Ada dua kelurahan yang menjadi tempat pelayanan kesehatan di Puskesmas Babakan Tarogong, yakni di Kelurahan Babakan Asih dan Kelurahan Babakan Tarogong. Keduanya secara berurut merupakan kelurahan terpadat pertama dan kedua di Kota Bandung.

Berdasarkan data Juli 2022 di Babakan Asih ada 711 balita, dengan 146 bayi, dan dari jumlah tersebut ada 36 kasus stunting. Sementara itu, Babakan Tarogong ada 1.204 balita, dengan bayi sebanyak 255 bayi, dengan kasus stunting sebanyak 55 anak.

Nutrisionis Puskesmas Babakan Tarogong, Nur Salistya Murti mengungkapkan saat ini mereka tengah menjalankan program intervensi bagi balita stunting dan ibu hamil yang terindikasi kekurangan gizi dengan pemberian makanan tambahan (PMT). Pada 2022 ini, tercatat ada 10 balita yang mendapat program PMT selama 90 hari atau tiga bulan, ditambah 4 orang ibu hamil yang perlu mendapat PMT.

Meski total jumlah balita yang tercatat terkena stunting cukup banyak, kendala dana menjadi satu ganjalan, sehingga PMT tak dapat diberikan ke semua anak. Puskesmas sudah menyeleksi anak-anak stunting yang memiliki lebih dari satu penyakit, dan memberikan intervensi PMT.

Untuk PMT, Murti yang merancang menu makanan yang akan diberikan agar tepat dan sesuai porsi untuk meningkatkan gizi para anak. Ia juga telah mengatur jadwal tiap harinya untuk makanan diantarkan ke rumah-rumah balita sasaran.

Tak hanya itu, pihaknya juga telah memulai pemberian tablet tambah darah bagi siswi-siswi sekolah SMP dan SMA di wilayah kerja Puskesmas Babakan Tarogong. Program pendukung lainnya, yakni konsultasi di puskesmas untuk edukasi terhadap ibu-ibu balita untuk meningkatkan pengetahuan bagaimana pola pengasuhan yang tepat.

“Kalau saya biasanya ada balita yang stunting, pastilah kalau ketemu di posyandu kita nanya pola makannya, gimana pengasuhan selama ini sama ibunya. Takutnya selama ini, kadang-kadang ibunya mampu tapi dia nggak tahu cara menerapkan atau memilih makanan yang baik akhirnya pola konsumsi ke anak salah. Atau dia sebenarnya mampu tapi misalnya pengasuhan anaknya dikasihin ke orang lain yang nggak ngerti soal gizi,” ungkapnya.

“Jadi kadang-kadang harusnya dia bisa makan yang bagus tapi jadi nggak bagus terus terusan akhirnya jadi stunting kan. Nah ada pula, kebanyakan di saya itu emang masalah ekonomi. Jadi memang secara penghasilan terbagi-bagi akhirnya untuk pola konsumsi makannya sedikit minim. Akhirnya yang bisa dibeli juga minim, nah karena dibelinya minim akhirnya kecukupan gizi yang dimakan itu kurang.”

Murti menjelaskan beberapa kendala yang dihadapi dalam penanganan stunting di dua kelurahan tersebut, sejak sebelum pandemi Covid-19 pun, pihaknya sudah memiliki beberapa masalah salah satunya mobilitas yang tinggi oleh warga yang memiliki balita. Banyak dari mereka yang bukan penduduk asli, yang menetap dengan cara kontrak, hal ini menyulitkan petugas untuk mendata secara akurat, karena warga tersebut kerap kali berpindah-pindah.

“Dari awal kami sudah punya kesulitan itu. Apalagi misal kalau di antara yang pindah itu ternyata ada yang stuntingnya, nah itu kesulitan bagi kami,” ungkapnya.

Ketika pandemi merebak, kondisi pun makin sulit. Pelayanan posyandu mesti terhenti, pengukuran balita turun drastis di tengah pagebluk. Banyak ibu-ibu yang takut terpapar menjadi salah satu alasan balitanya tak ditimbang. Penimbangan terpaksa dilakukan secara door to door.

Setelah pandemi mulai mereda, kondisi posyandu mulai kembali normal, muncul persoalan baru. Murti mengeluhkan masih banyak orang tua yang enggan datang ke posyandu. Karena telah terbiasa didatangi oleh kader posyandu di rumah untuk melakukan penimbangan. Butuh energi ekstra untuk bisa membalikkan kebiasaan agar warga mau kembali datang membawa anaknya ke posyandu.

Murti mengungkapkan bahwa untuk menyiasati hal itu, ia kerap kali sengaja memberikan iming-iming pemberian biskuit dari puskesmas kepada ibu dan balitanya. Di bulan Agustus ini, ia bersama kader posyandu lainnya membuat inovasi, kondisi posyandu dibuat seperti perayaan ulang tahun, dengan dihiasi balon, balita atau orang tua yang datang akan diberikan hadiah berupa biskuit atau permen. Hal ini untuk menarik kembali minat orang tua.

Seorang anak berjalan menyusuri gang mengikuti ibu dan kedua adiknya pulang ke rumah kontrakan sambil membawa kotak makanan ringan yang didapatkan setelah pemeriksaan di posyandu Kelurahan Jamika, Bojongloa Kaler, Kota Bandung. (Bandungbergerak.id/Virliya Putricantika)

“Tapi setelah pandemi sudah mulai usai pun, akhirnya karena keenakan, mereka tuh kadang sekarang saya punya kesulitan lagi, susah lagi untuk diminta datang ke posyandu. Karena sudah terbiasa kadernya datang ke rumah, dikasih PMT, ditimbangnya di rumah pula, mereka nggak usah gerak gitu loh,” ungkapnya. “Jadi kan akhirnya kebiasaan, itu sekarang lagi mengembalikan itu juga susah. Nah tentang yang lainnya juga jadi sulit.”

Saat ini, ia bersama dengan kader posyandu tengah melakukan pendataan bagi balita yang belum melengkapi imunisasi.

Daerah Lokus Stunting di Kota Bandung

Pada 2022 Pemerintah Kota Bandung menambah daerah yang menjadi lokasi penanganan stunting, total ada 30 kelurahan yang menjadi lokus stunting. Diantaranya Kelurahan Jamika, dan Kelurahan Babakan Asih. Sayangnya, Babakan Tarogong tak masuk dalam daerah lokus stunting kali ini, meski tercatat memiliki angka stunting lebih tinggi dibanding Babakan Asih.

Data pembaruan lokus stunting ini tertuang dalam Keputusan Wali Kota Bandung (Kepwal) nomor 050/Kep.750-Bappelitbang/2021 tentang Perluasan kelurahan Lokasi Fokus Intervensi Percepatan Penurunan dan Pencegahan Stunting di Kota Bandung tahun 2022. Pada 2020/2021 lokus stunting hanya di 15 kelurahan, Jamika dan Babakan Asih juga termasuk. Pada tahun ini ada penambahan sebanyak 15 kelurahan, namun Babakan Tarogong tak masuk dalam lokus penanganan stunting Pemerintah Kota Bandung.

Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan (SDK) Dinas Kesehatan Kota Bandung, Sony Adam ketika ditemui Bandung Bergerak, Kamis (4/8/2022) di kantornya mengungkapkan bahwa pandemi memang menjadi salah satu tantangan bagi pihaknya untuk melakukan monitoring atau pengawasan terhadap layanan kesehatan di tingkat bawah seperti Posyandu diakui sempat terhenti. Penimbangan dilakukan oleh kelompok penimbangan atau Pokbang, dengan pembatasan 10 orang untuk tiap penimbangan.

“Sehingga pemantauan gizi setiap anak-anak yang ada di Kota Bandung ini berkurang,” ungkapnya.

Meski saat ini pelayanan kesehatan mulai kembali berjalan, Sony mengungkapkan bahwa dampak paling signifikan dari terhentinya pelayanan kesehatan akibat pandemi yakni lolosnya balita dari intervensi pencegahan stunting. Anak-anak yang terdiagnosa stunting seharusnya segera diperbaiki gizinya dengan pemberian makanan tambahan. Baik dari puskesmas maupun pelayanan kesehatan dari rumah sakit, jika anak memiliki penyakit tambahan, untuk segera diobati.

“Ya lolosnya anak dari intervensi pencegahan stunting. Jadi kan gini, diketahui anak itu gizinya buruk,” ungkapnya.

“Cepat diintervensi begitu jadi sehingga anak itu mendapatkan gizi yang cukup. Kalau posyandu itu tidak berjalan dan anak akan terbiarkan dengan kondisi gizi buruk dengan waktu yang lama gitu. Jadi itu yang penting. Jadi 1.000 HPK (Hak Pasien dan Keluarga) itu itu betul-betul serius diperhatikan. Jangan sampai jatuh ke gizi buruk.”

Beberapa program yang dilakukan oleh Dinkes yakni edukasi ke masyarakat. Dinkes memiliki program ngajak ngabubur ngajaga ibu hamil di lembur. Ini dilakukan untuk meningkatkan kepedulian RW dan kader posyandu terhadap kesehatan warganya.

Program lainnya memastikan ibu hamil diperiksa sesuai standar 10T, yakni timbang berat badan, tekanan darah diperiksa, tinggi puncak rahim diperiksa, vaksinasi tetanus, tablet zat besi, tetapkan status gizi, tes laboratorium, tentukan denyut jantung janin, tata laksana kasus, dan temu wicara. Proses lahiran pun diusahakan agar dapat dilakukan di rumah sakit. Untuk pembiayaan sudah ada UHC (Universal Health Coverage) bantuan kepada keluarga kurang mampu. Hal ini dilakukan untuk mengurangi angka kematian ibu.

Intervensi lainnya untuk pencegahan stunting sudah mesti dimulai dari usia remaja. Remaja perempuan tak boleh mengalami anemia. Program lainnya, untuk intervensi terhadap balita yang sudah stunting sendiri yakni pemberian makanan tambahan selama 90 hari.

“Pemberian makan tambahan mengatasi permasalahan. Kalau masalahnya itu adalah sakit diobatin sakitnya. Anak sakit itu enggak akan tumbuh ya gak akan bertambah berat badannya gitu. Kalau dia sakit diberikan obat gitu. Kalau dia makanannya kurang dianalisa, diberikan pemberian makanan tambahan. Dilihat dulu permasalahannya itu apa,” ungkapnya.

Langkah yang Mesti Dilakukan Pemkot

Sementara itu, Dokter Ahli Gizi sekaligus Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Unpad, Gaga Irawan Nugraha mengungkapkan bahwa persoalan stunting disebabkan oleh beberapa hal, penyebab langsung yakni asupan gizi dan status kesehatan. Jika seorang anak mengalami tuberculosis, sakit berulang-ulang dan tak sembuh, hal itu menjadi bisa menjadi stunting karena anak yang sakit kebutuhan akan gizinya meningkat, namun nafsu makannya menurun.

Hal lainnya penyebab stunting yakni penyebab tak langsung, seperti pola asuh orang tua, yang kedua aksesibilitas terhadap pangan. Apakah tersedia makanan yang baik untuk anak dapat tumbuh. Ketiga yakni penyebab tambahan seperti ketersediaan air bersih, dan sanitasi.

Kondisi sanitasi warga yang masih banyak ditemui di Kelurahan Jamika, Bojongloa Kaler, Kota Bandung. Pemerintah cenderung menyelesaikan program stunting dari sisi infrastruktur, seperti membangun MCK, daripada menyelesaikan akar persoalannya, yakni edukasi dan budaya pola asuh. (Bandungbergerak.id/Arif Danun Hidayah)

Menurut Gaga, pemerintah semestinya tak hanya mendorong penyelesaian stunting dari faktor penyebab tak langsung seperti sanitasi, tapi juga membangun kebiasaan dan edukasi terkait pola asuh terhadap anak. Biasanya pemerintah cenderung menyelesaikan program stunting dari sisi infrastruktur karena hal itu paling terlihat, terukur dalam penanganan stunting yakni membangun MCK. Sedangkan program yang membangun kebiasaan seperti anak makan pagi, dan budaya lainnya dari edukasi masyarakat lebih murah dan memang tak terlihat.

Menurutnya, alih-alih menggelontorkan dana miliaran rupiah hanya dihabiskan untuk pembangunan infrastruktur, pemerintah semestinya bisa menyelesaikan akar persoalan stuntingnya dengan edukasi dan budaya pola asuh yang baik, yang tentu harganya jauh lebih murah.

“Saya ingin tidak mendorong ke sana karena gini ya cenderung ketika ketemu program, oke betul bahwa air sanitasi itu salah satu faktor yang bisa mempengaruhi kesehatan, ini itu ke kesehatan. Kalau airnya tidak bersih, anak-anak jadi sering diare itu. Ya, karena anak ini sering diare ya akhirnya dia jadi stunting,” ungkapnya.

Meski sanitasi memang harus diperbaiki, Gaga menegaskan pemerintah harus fokus juga pada yang noninfrastruktur, seperti edukasi.

“Salah satu. Tapi tolong jangan ini aja (infrastruktur), jangan sampai dana sudah besar untuk ke sini aja. Karena ini yang bisa keliatan, keliatan cepat dalam setahun tahun anggaran langsung kelihatan. Sedangkan pemberian makan pagi pada anak diusahakan nggak kelihatan hasilnya gitu ya. Kadang mungkin lebih murah.”

“Kemudian agar itu menjadi budaya makan pagi untuk anak. Misalkan, di masyarakat itu posyandu selalu menyediakan makan pagi bareng, gitu ya. Itu yang penting bagi saya,” tambahnya.


Liputan ini merupakan kolaborasi Project Multatuli dengan Bandung Bergerak. Laporan Bandung Bergerak bayi-bayi stunting di Bandung pada masa pandemi Covid-19 bisa dibaca di sini.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Bandung Bergerak
Mawa Kresna
16 menit