Gerakan protes kita harus sering dibarengi kegiatan teach-in. Selain sebagai sarana edukasi, mimbar belajar berguna untuk memperkuat massa aksi.
Mengkritik atau mempertanyakan kelanjutan dari berbagai aksi protes atau perlawanan merupakan hal lumrah di dunia gerakan sosial. Kritik dan otokritik atas gerakan the Occupy Movement, misalnya, telah banyak ditulis dalam bentuk artikel ilmiah yang dipublikasikan di berbagai jurnal akademik; lalu Arab Spring dan sebagainya. Dalam konteks gerakan sosial di Indonesia, meski belum banyak, kritik atau evaluasi atas gerakan aksi Kamisan atau #ReformasiDikorupsi, misalnya, juga sudah pernah dituliskan.
Tidak terkecuali kritik atas aksi #PeringatanDarurat dan #KawalPutusanMK, yang ditulis oleh Rafiqa Qurrata A’yun dan Abdil Mughis Mudhoffir (dirilis di Project Multatuli saat aksi sedang panas-panasnya di jalanan). Saya sebetulnya cenderung setuju atas beberapa poin kritik yang tertuang dalam artikel itu. Bagaimanapun, penting untuk memikirkan bagaimana kelanjutan setelah aksi-aksi protes dilakukan. Sayangnya, pedagogi penulisan dari artikel berjudul “Darurat Aktivisme Borjuis” itu kasar dan nirempati sehingga tak pelak menimbulkan amarah di media sosial.
Analisis mengenai mengapa aksi-aksi perlawanan rakyat di masa reformasi cenderung hanya bersifat jangka pendek dan mudah menghilang begitu saja, tampaknya belum banyak diajukan. Padahal penting menganalisis kondisi material apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Gunanya untuk mengetahui apa yang dibutuhkan bagi keberlanjutan aksi-aksi perlawanan agar tak berhenti pada tahap protes semata.
Dan, untuk menjawabnya, kita perlu memahami terlebih dulu bagaimana situasi gerakan sosial di Indonesia saat ini.
Depolitisasi
Tak dapat dimungkiri keberadaan dan keberlangsungan gerakan sosial saat ini masih dipengaruhi situasi depolitisasi yang menyelimuti masyarakat Indonesia. Warisan depolitisasi dari rezim otoritarian Soeharto melalui politik massa mengambang, yang meletakkan massa sebagai objek apolitis, masih terus langgeng hingga sekarang.
Mayoritas masyarakat menjauhi dan bahkan dapat dikatakan “alergi” atau “ngeri” dengan “politik” yang dianggap jauh dari keseharian. Padahal politik justru menyoal kehidupan yang paling sehari-hari; tentang kerja yang kita lakukan dari pagi sampai pagi lagi; soal bagaimana kita bisa mendapatkan tempat tinggal yang layak; soal siapa yang kita pilih menjadi teman kita, dan sebagainya. Namun, wajah politik yang sesungguhnya yang seperti itu masih jauh dari jangkauan pemahaman massa rakyat secara luas.
Tak mengherankan, wajah politik yang ditampilkan demokrasi sejak reformasi 1998 terbatas pada politik elektoral dengan agenda-agenda politik yang justru mengalienasi rakyat. Apa yang terjadi dalam politik elektoral sebagai satu-satunya wajah politik yang dikenal di kalangan masyarakat luas hanyalah perebutan kekuasaan di antara faksi-faksi borjuasi—atau lebih dikenal dengan sebutan elite politik. Dalam “politik lima tahunan” ini yang dipahami adalah memilih elite, bukan membawa kepentingan publik.
Kontrak-kontrak politik dalam setiap pemilu memang jamak dilakukan. Akan tetapi, lemahnya politik konstituensi membuat kontrak-kontrak politik ini tak ubahnya janji manis yang tak dapat ditagih karena tak ada juga pihak yang menagih. Demikian pula partai-partai politik yang eksis di masa reformasi tak menjalankan salah satu fungsinya sebagai alat pendidikan politik dengan baik.
Dipahami ‘Cuma’ Mengandalkan Mahasiswa
Manifestasi lain dari depolitisasi ini dapat terlihat dari kuatnya sentimen mengandalkan mahasiswa sebagai penggerak protes dalam banyak momentum perlawanan yang ada. Ungkapan-ungkapan yang beredar di masyarakat seperti “mana nih, mahasiswa, pada diem aja” atau “kalau mahasiswa belum turun, ya bakal melempem aksinya” hampir selalu muncul dalam setiap momen perlawanan atau aksi massa.
Lagi-lagi hal ini tidak terlepas dari depolitisasi pada masa otoritarian Soeharto yang mengarahkan gerakan sosial dengan hanya memberi panggung pada mahasiswa sebagai agen perubahan. Sementara gerakan buruh dan gerakan sosial lain diberangus; kalaupun diberi ruang, pada masa politik massa mengambang Orde Baru itu, hanya dalam bentuk korporatisme negara, misalnya kalau berserikat hanya bisa melalui Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (yang dipimpin tentara), dan seterusnya.
Hasilnya, masyarakat luas cenderung hanya mengenal mahasiswa sebagai kekuatan moral yang dapat mengawasi atau berperan sebagai pengawas jalannya pemerintahan. Padahal, tentu saja bukan hanya mahasiswa yang dapat menjadi “agen perubahan”.
Penghilangan analisis kelas (kelas sosial) juga memengaruhi gerakan sosial Indonesia.
Gerakan sosial, yang dikenal civil society alias masyarakat sipil, masih dianggap sebagai gerakan yang bersifat homogen dengan agenda sosial yang non-politis. Padahal, beragam inisiatif gerakan sosial juga dapat muncul dari pihak-pihak yang justru berlawanan kepentingannya dengan pihak yang memperjuangkan pemenuhan tuntutan tertentu.
Misalnya, terdapat kecenderungan di masyarakat yang menganggap semua serikat buruh/pekerja sama. Padahal ada banyak serikat buruh/pekerja yang dibentuk oleh pengusaha/pemilik modal dan bukan oleh buruh/pekerja sehingga orientasi perjuangan dari serikat buruh/pekerja itu bukan lagi untuk memperjuangkan kepentingan buruh/pekerja, melainkan menjadi corong dari kepentingan pengusaha/pemilik modal.
Begitu pula termin “rakyat” yang sering kali diartikan sebagai suatu entitas homogen, kerap dibajak para elite politik dalam agenda-agenda politik mereka yang seringkali justru bertentangan dengan kepentingan rakyat kebanyakan–yakni rakyat pekerja–itu sendiri.
Keberadaan analisis kelas begitu penting dan dibutuhkan dalam gerakan perlawanan dan gerakan sosial agar kita bisa melihat sumber permasalahan pada setiap konflik sosial yang ada dengan jelas dan melawan dengan tepat sasaran.
Depolitisasi yang mendarah-daging dalam gerakan sosial di Indonesia juga membuat agenda-agenda perjuangan di dalamnya sulit beranjak dari fragmentasi isu sektoral yang ada. Para aktivis yang tergabung dalam kelompok gerakan yang memperjuangkan isu perburuhan, misalnya, belum dapat beranjak membicarakan persoalan pendidikan atau kerusakan lingkungan. Begitu pula dengan banyak sektor isu lainnya.
Memang tak ada yang salah dengan itu, apalagi dalam mengorganisir isu-isu itu dibutuhkan sumber daya (tenaga, pikiran, waktu) yang tidak sedikit. Namun, kondisi itu memberikan beberapa keterbatasan.
Itu dapat dilihat dari aliansi-aliansi maupun front-front gerakan yang dibentuk cenderung sulit bertahan lama dan memiliki keberlanjutan. Momen hilang, aliansi atau front pun menghilang. Momen datang, aliansi atau front baru dibentuk kembali, dan seterusnya. Selain karena minimnya collective care di dalamnya, aliansi-aliansi atau front-front gerakan yang ada juga cenderung dibentuk dengan dasar agenda politik bersama yang cenderung belum mampu melampaui fragmentasi yang ada.
Selain depolitisasi yang mendarah-daging, ketiadaan struktur perlawanan yang sustain juga membuat aksi-aksi perlawanan rakyat di masa reformasi cenderung hanya bersifat jangka pendek, cepat “menghilang” begitu saja, tapi nanti muncul lagi saat ada momentum politik tertentu.
Kecenderungan seperti ini tentu saja pada mulanya tidak akan dirasakan sebagai suatu hal yang ganjil oleh mereka yang baru terlibat dalam gerakan protes atau perlawanan. Namun, semakin sering mengikuti aksi massa atau gerakan protes serta gerakan perlawanan, pertanyaan mengenai mengapa hal ini terus terjadi seperti Sisipus, tentu akan bermunculan di kepala. Setidaknya itu yang saya rasakan sebagai salah satu bagian dari “orang dalam” skena pengorganisiran mahasiswa dan buruh di Indonesia, setidaknya sejak tahun 2010.
Minim Kegiatan Teach-in
Ketiadaan struktur perlawanan yang berkelanjutan dapat dilihat dari ketiadaan kegiatan teach-in saat aksi protes maupun setelahnya. Kegiatan teach-in lazim dilakukan di momen-momen aksi protes terutama di luar Indonesia. Selain sebagai sarana edukasi saat protes, interaksi yang terjalin selama proses teach-in juga dapat mempererat solidaritas serta soliditas di antara peserta aksi maupun panitia aksi.
Rangkaian kegiatan teach-in dapat dibuat melalui program/silabus yang terstruktur maupun dibuat secara spontan. Aksi mogok para dosen yang tergabung dalam serikat UCU di Inggris, misalnya, menggunakan kedua metode itu dalam setiap aksi-aksi mogoknya. Tak dapat dimungkiri kegiatan teach-in dapat menjadi pembuka jalan bagi tumbuhnya komitmen politik jangka panjang dari massa aksi.
Tentu saja teach-in perlu dibarengi keterlibatan lebih lanjut dalam organisasi perlawanan, contohnya serikat. Tanpa itu, sulit untuk menjaga komitmen dan menyalurkannya melalui dedikasi yang tangible. Namun, bergabung dan terlibat dengan organisasi memang tidak mudah. Apalagi menjalaninya dengan penuh komitmen atau dengan kata lain “secara ideologis”. Perlu proses bagi organisasi untuk membentuk tradisi yang memungkinkan para anggota bertumbuh di dalamnya.
Patriarkis
Perlu kita akui kondisi organisasi-organisasi gerakan sosial saat ini sebagian besar cenderung masih didominasi laki-laki dengan ideologi patriarki. Ini mengakibatkan banyak energi, khususnya perempuan, tercurah bagi “pertarungan-pertarungan internal” ketimbang aktivitas politik pengorganisiran itu sendiri. Tak jarang para aktivis perempuan mengalami “demoralisasi”.
Dalam kesempatan ini, saya sekaligus ingin menanggapi pandangan misoginis mengenai “demoralisasi itu karena kurang ideologis!” Demoralisasi yang kerap saya alami (dan mungkin banyak juga aktivis perempuan lain) memang bersifat ideologis. Saya (dan kami) muak dengan ideologi patriarki yang Anda sekalian kaum misoginis anut.
Kurangnya praktik welas asih akibat mendominasinya patriarki dalam gerakan sosial juga menyebabkan struktur perlawanan kian merapuh. Dalam pengalaman saya, collective care dan community care cenderung diabaikan dengan kedok “kalau ideologis, pasti tahan”.
Minim Collective Care
Lagi-lagi saya ingin bilang, berjuang dan melawan itu selain butuh komitmen (yang ideologis) juga butuh sumber daya (manusia) dalam menjalankan organisasi dengan dedikasi tinggi. Kalau manusianya depleted, mau apa?
Kewarasan dan rasa aman para anggota organisasi gerakan perlu dijaga dan dirawat agar kita dapat terus bertumbuh dalam organisasi dan dengan demikian, organisasi gerakan pun dapat terus bertumbuh. Ketika kerja-kerja perawatan dalam organisasi dihidupkan dan dibagi dengan setara, maka kemajuan organisasi adalah hal niscaya.
Selain itu, dalam pengalaman saya, pertemanan (dan oleh karena itu rasa aman dan percaya) adalah salah satu kunci penting dari pengorganisiran—yang seringkali diabaikan dan diremehkan. Padahal, kalau kita belajar dari kisah pengorganisiran yang dilakukan para nabi di masa lalu, kita dapat melihat bahwa sebelum para nabi mengajarkan hal-hal yang bersifat ideologis, mereka terlebih dulu menyentuh hati para pengikut/umatnya.
Ketidaksinambungan teori dan praktik pengorganisiran massa juga menjadi satu hal krusial lain yang menyebabkan struktur perlawanan gerakan sosial secara umum menjadi sangat lemah.
Mereka yang punya concern lebih untuk memproduksi gagasan-gagasan radikal bagi kemajuan gerakan seringkali dianggap “elitis”, “tidak napak tanah”, “ngomong doang” oleh mereka yang cenderung lebih banyak bersentuhan dengan aktivitas pengorganisiran secara langsung di basis-basis massa. Hasilnya, muncul pembelahan tidak perlu: “aktivis basis” dan “aktivis intelektual” yang dianggap sebagai dua kubu bertentangan nan berkontradiksi.
Padahal, alih-alih menjadikan kedua “tipe aktivis” tersebut sebagai kontradiksi, di tengah berbagai keterbatasan kita dalam melakukan aktivitas-aktivitas politik pengorganisiran, bukankah justru kita bisa melihat “pembelahan” itu sebagai pembagian kerja saja?
Idealnya, memang teori dan praktik dihasilkan dari pihak yang sama. Namun, lagi-lagi, kita perlu mengakui bahwa tidak banyak dari kita yang dapat melakukan keduanya dengan penuh dedikasi secara konsisten. Jadi, membagi kerja dan mengomunikasikannya, saya pikir, bukan hal buruk juga.
Lebih lanjut, kemunculan fenomena cancel culture juga menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, fenomena ini bagus untuk membuat seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya. Tapi, di sisi lain, fenomena ini juga dapat membuat sebuah organisasi gerakan, yang diisi dengan anggota-anggota yang tentu memiliki beragam kepribadian, terancam terkena cancel karena ulah/perilaku dari salah satu anggota di dalamnya. Saya pikir kita perlu mengkaji fenomena ini dengan lebih dalam dan serius.
Terakhir, lemahnya pengarsipan dan pendokumentasian internal di dalam berbagai organisasi gerakan sosial itu sendiri membuat banyak kemenangan-kemenangan kecil yang ada cenderung gampang dilupakan dan menguap begitu saja. Padahal, meminjam kata-kata Evi Mariani dalam tulisannya, “kemenangan disusun oleh bata-bata kecil.”
Alergi atas Politik Kekuasaan
Problem lainnya, akibat warisan depolitisasi, adalah gerakan sosial cenderung mengabaikan pentingnya “politik kekuasaan”. Sampai sekarang masih kuat kecenderungan berbagai elemen gerakan alergi atas politik kekuasaan.
Padahal, politik kekuasaan adalah hal niscaya dalam memperjuangkan tujuan-tujuan mulia dalam skala masif dan bersifat struktural. Yang perlu diperhatikan secara kritis dari politik kekuasaan adalah orientasi dari kekuasaan serta cara-cara yang ditempuh dalam mendapatkannya. Kita bisa lihat Kuba sebagai contoh. Pendidikan dan kesehatan gratis di Kuba, misalnya, dicapai melalui keterlibatan langsung faksi politik sosialis di dalam kontestasi politik kekuasaan di sana.
Menjauhnya gerakan sosial di Indonesia dari kontestasi politik kekuasaan memberikan beberapa keterbatasan. Selain tak dapat beranjak dari tuntutan pemenuhan hak dengan menunggu/berharap kebaikan pihak penguasa, hal ini juga memengaruhi keberlanjutan serta peningkatan agenda perjuangan dalam gerakan sosial itu sendiri.
Meski demikian, memang tidak mudah untuk begitu saja percaya dan mengandalkan berbagai “organisasi alternatif” yang berada di dalam arena politik kekuasaan. Tidak mudah pula untuk memastikan wadah-wadah organisasi politik alternatif yang sekarang dan mendatang benar-benar menjadi alternatif di tengah dominasi politik borjuasi.
Namun, membentuk ikatan konstituensi yang kuat dengan mereka, mungkin dapat menjadi salah satu cara untuk memastikan wadah-wadah organisasi politik alternatif tersebut tidak menjadi bagian dari politik kekuasaan yang justru merugikan dan menghancurkan kehidupan rakyat pekerja dan alam, seperti yang terus kita saksikan hingga saat ini. Di luar itu, berbagai wadah organisasi politik alternatif tersebut bertugas membuktikan substansi “alternatif” mereka di tengah dominasi politik kelas borjuasi saat ini.
Fathimah Fildzah Izzati adalah PhD candidate di SOAS University of London dan pemimpin redaksi Marsinah.id