APAKAH kamu ingat pertama kali mengenal kata pelecehan?
Buat saya, dan mungkin banyak orang lain, pelecehan pertama kali datang dalam hidup sebagai peristiwa dan perasaan tidak nyaman, malu, dan bingung; bukan sekadar sebuah kata dalam kamus, apalagi produk hukum.
Butuh waktu bertahun-tahun buat saya mempelajari apa itu pelecehan, dari cerita orang lain, bacaan-bacaan mengenai hak perempuan, dan sayangnya, pengalaman pribadi (lagi). Butuh lebih lama lagi bagi saya untuk berani melihat ke masa lalu dan memanggil apa yang saya alami sebagai anak di bawah umur sebagaimana seharusnya: pelecehan, sebuah kejahatan, yang mana sayalah korbannya.
Kebingungan ini seharusnya tidak terjadi jika dari awal saya diajari tentang apa itu pelecehan dan kekerasan seksual, jika saya punya satu kata yang bisa dijadikan alat berpikir dan memandang peristiwa yang sayangnya banyak dialami oleh perempuan, anak-anak, dan minoritas lainnya.
Pengakuan sembilan bentuk kekerasan seksual dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bukan cuma menjadi landasan hukum untuk memproses kekerasan seksual sebagai kejahatan, tapi juga mengajarkan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan satu manusia terhadap manusia lain. Setelah saya pikir-pikir, aneh juga bahwa konsep properti atau kepemilikan terhadap benda mati lebih dikenal ketimbang konsep kepemilikan dan perlindungan terhadap sesuatu yang lebih intim lagi—diri, diri saya, diri perempuan.
Jika sebelumnya hukum Indonesia hanya mengenal pencabulan dan pemerkosaan, dalam UU TPKS, ada sembilan jenis kekerasan seksual yang dikenali sebagai kejahatan: pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual.
Pengesahan RUU TPKS menjadi produk hukum datang setelah banyak penyintas dan keluarga mulai bicara tentang apa yang sebelumnya menjadi tabu. Ini adalah sebuah awal dari perjuangan panjang: enam tahun terus-menerus dikawal agar terus dibahas para politisi di Senayan; dan empat tahun sejak digagas Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan sejak 2012.
Menurut catatan Komnas Perempuan, tahun 2021 adalah tahun dengan angka pengaduan tertinggi dengan 338.496 kasus kekerasan berbasis gender sejak lembaga itu mulai melakukan pencatatan pada 2012. Meskipun jumlah aduan meningkat, kekerasan seksual di Indonesia dikenal sebagai fenomena gunung es yang sebenarnya jauh lebih besar dan tersembunyi dari yang terlihat.
Jangankan mengadu, kadang untuk menyebutnya sebagai pelecehan atau kekerasan pun, masih ada keraguan. Apakah saya berhak marah? Apakah saya hanya terlalu sensitif? Apakah sebenarnya apa yang dilakukan ini biasa saja dan tidak usah dibesar-besarkan?
Beberapa waktu lalu saya terbangun dari mimpi yang sangat buruk. Di dalam mimpi itu, saya bertemu dengan seseorang yang cukup dekat dengan saya ketika saya masih kecil. Saya sering takut saat bertemu dengannya karena dia sering memegang bagian tubuh saya (punggung dan pinggang) dan itu membuat saya tidak nyaman.
Dalam mimpi itu, lebih dari sepuluh tahun sejak saya terakhir mengalaminya, saya baru bisa mengartikulasikan ke pelaku bahwa saya tidak nyaman dan itu termasuk pelecehan seksual. Saya terbangun dari mimpi dan menangis, karena saya tidak bisa membayangkan betapa bingung dan kesepian mengalami itu tanpa pemahaman tentang apa yang sebenarnya salah.
Saya juga ingat saat saya masih SMP dan menghadapi guru laki-laki yang suka menyentuh anggota tubuh saya dan siswi perempuan lain (bukan di bagian kelamin, tapi tanpa izin dan sering dia lakukan). Kami merasa tidak nyaman, tapi kami tidak bisa mengungkapkan perasaan risih ini dengan jelas karena tidak memiliki alat yang tepat.
Pada akhirnya kami malu-malu mengadu kepada seorang guru lain. Ketika akhirnya guru yang melakukan pelecehan ini tahu bahwa kami mengadu, dia membela diri dengan alasan, “Saya sudah menganggap kalian seperti anak sendiri.” Lebih lanjutnya, dia malah mengaku merasa kecewa dan tersakiti karena ketidaknyamanan kami.
Mungkin kalau waktu itu guru saya mengambil uang kami, meskipun hanya sedikit demi sedikit, kami akan lebih berani untuk mengadu dan membantahnya ketika dia membela diri. Kami tahu bahwa uang adalah benda milik kami, yang tidak bisa diambilnya begitu saja, karena kami sudah lebih dulu mengenal konsep “pencurian”. Sialnya, kami malah tidak bisa membela hak atas tubuh kami sendiri yang sedang dilanggar orang lain karena kami tidak punya konsep atas apa itu pelecehan dan kekerasan seksual—pencurian atas otoritas diri.
Lebih dari sepuluh tahun kemudian, saya kembali mengalami pelecehan seksual. Kali ini, seorang yang menggunakan jaket, helm, dan mengendarai motor tanpa pelat nomor menghampiri saya ketika sedang berjalan di area dekat kantor dan meremas payudara saya. Ini terjadi siang bolong, dan saya sedang berjalan bersama teman-teman.
Saya tidak bisa bereaksi apa-apa sampai akhirnya teman saya meneriaki pelaku, dan seorang teman lain memeluk saya. Barulah saya menangis, dan memproses apa yang terjadi: seseorang telah melanggar hak saya atas diri saya sendiri.
Kali ini saya bisa mengenali peristiwa itu sebagai sebuah pelecehan. Kali ini saya bisa menjelaskan kenapa saya merasa sangat marah dan tidak nyaman.
Meski begitu, bisa memahami ini semua secara individu saja tidak cukup. Ketika saya berhadapan dengan sistem, pengalaman saya seakan diinvalidasi lagi.
Polisi yang memproses pengaduan saya kebingungan dan mesti membuka-buka satu jilid KUHP untuk mencari tahu pasal apa yang cocok dengan pengaduan saya. Berkali-kali saya menerima pertanyaan tentang apa yang saya lakukan saat itu, apakah sebenarnya pelaku ingin menjambret ponsel saya dan salah pegang?
Berkali-kali saya menegaskan: TIDAK, saya tidak pegang ponsel. Pelaku bukan cuma memegang, tapi meremas payudara saya. Ini adalah sebuah pelecehan, tapi hukum Indonesia dan aparatnya tidak punya kosakata itu dan karenanya tidak mampu punya perspektif yang baik ketika berhadapan dengan korban.
Saya cukup beruntung karena di lingkungan saya waktu itu, tidak ada yang menyalahkan saya sebagai korban. Ketika saya menceritakan pengalaman saya di media sosial, seseorang mengirimkan pesan pribadi dan bercerita bahwa dia pernah mengalami hal yang sama ketika dia kecil. Dia kebingungan dan merasa malu, karena dia tidak tahu bahwa apa yang terjadi adalah sebuah kejahatan. Yang seharusnya merasa malu adalah pelaku, dan bukan korban.
UU TPKS yang disahkan pada 12 April 2022 adalah pengakuan atas penderitaan yang dialami semua penyintas: mulai dari ketidaknyamanan, kebingungan, rasa malu, pun rasa kesepian saat tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan apa yang salah dan kepada siapa.
Pengakuan ini sekaligus menguatkan perlindungan diri untuk siapa pun di masa depan, yang mungkin otoritas atas tubuhnya dilanggar oleh orang lain, agar dapat dengan lugas menyatakan bahwa pelecehan atau bentuk kekerasan seksual lain sebagai bentuk kejahatan, dan tanggung jawab sepenuhnya ada di pihak pelaku, bukan korban.
Dengan menyebut kekerasan seksual sebagai bentuk kejahatan, UU TPKS juga bisa mengurangi kecenderungan menyalahkan korban (victim blaming) yang hidup dalam masyarakat kita. Tidak lagi kita bertanya kepada korban kenapa dia bisa mengalami kekerasan seksual dalam bentuk apa pun, karena sudah jelas bahwa itu adalah kejahatan yang tidak seharusnya dilakukan siapa pun terhadap orang manapun.
Dengan perspektif yang berpusat pada korban pun, UU TPKS bisa mengembalikan otoritas atas tubuh terhadap pemiliknya, apalagi ketika kita berbicara mengenai perempuan dan anak-anak.
Hukum Indonesia dan aparatnya tidak punya kosakata pelecehan dan karenanya tidak mampu punya perspektif yang baik ketika berhadapan dengan korban.Click To TweetSeringkali ada komentar yang mengesankan bahwa kekerasan seksual hanya menjadi penting karena perempuan sebagai korban memiliki relasi dengan laki-laki yang kemudian lebih berhak marah ketika tubuh perempuan yang seakan menjadi miliknya dilanggar. Seakan perempuan hanya berhak bebas dari kekerasan seksual ketika ada laki-laki yang bisa menjaganya dari orang lain, bukan karena dia punya otoritas atas tubuhnya sendiri.
Jika pendidikan seksual memang masih menjadi hal tabu di Indonesia, mungkin UU TPKS menjadi titik awal untuk membicarakan tentang hak seseorang terhadap dirinya sendiri. Jika konsen atau persetujuan masih dianggap sebagai konsep yang terlalu sumir dan sulit dimengerti, pengakuan sembilan jenis kekerasan seksual bisa jadi batasan-batasan awal yang bisa kita ikuti dalam masyarakat.
Meskipun masih banyak pelaku kekerasan seksual yang bebas berkeliaran dan korban yang belum mendapat keadilan, setidaknya pengakuan kekerasan seksual sebagai bentuk kejahatan menjadi bentuk validasi dari penderitaan yang dialami penyintas: Seseorang telah berbuat salah, dan tidak peduli apa pun yang kamu dengar dari orang sebelumnya, itu bukan karena kesalahan kamu sendiri.
Pelaku yang telah melanggar hak saya terhadap diri saya sendiri tidak pernah minta maaf, tapi pengakuan atas kesalahan dari negara lewat UU TPKS ini adalah sebuah langkah pertama buat saya untuk berdamai dengan masa lalu. Saya masih marah setiap mengingat apa yang terjadi—saya bahkan masih menangis saat menulis ini—tapi setidaknya hari ini saya merasa berhak sepenuhnya untuk begitu.
Saya harap ke depannya lebih banyak orang yang mengenali bentuk-bentuk kekerasan seksual, sehingga ketika seorang anak mengenal kata “pelecehan”, dia mengenalnya dari situasi yang aman, bukan dari pengalamannya sendiri.
Selamat untuk semua penyintas. Kamu, saya, kita, tidak sendirian.