Bila tak berakhir mencemari lautan, sampah saset kemasan aneka macam produk konsumen berakhir menjadi gunung-gunung timbunan sampah. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab?
DI ‘KOTA PINTAR’ SURABAYA, ada satu unit bank sampah yang mengumpulkan hampir 40 ton sampah non-organik setiap bulan. Bank sampah ini bisa mempekerjakan 18 orang; empat orang di tim manajemen, dan 14 orang di tim produksi, terdiri dari petugas pengangkutan, petugas pemilahan, dan petugas penimbangan.
Semua tim produksi, sebagian besarnya perempuan dan paruh baya, digaji. Jam kerjanya seperti orang kantoran, dari jam 9 pagi hingga 5 sore, dari Senin sampai Sabtu. Mereka punya keleluasaan mengatur hari kerja karena gaji dibayar dengan sistem harian.
Pada 2021 sampai awal 2022, omzet bank sampah ini bisa mencapai Rp100 juta-Rp120 juta per bulan. Setelahnya, omzet berfluktuasi, kabarnya berpangkal sejak Cina menutup keran impor sampah dari negara-negara Barat pada 2018.
Secara kumulatif, Cina mengimpor 45% sampah plastik dari negara-negara kaya di Utara sejak 1992. Alasannya praktis, sampah-sampah plastik itu bisa diolah sebagai bahan baku baru. Harganya murah. Negara kaya juga terbantu karena persoalan sampah mereka tersalurkan.
Studi Amy L. Brooks, dkk., bertajuk, The Chinese import ban and its impact on global plastic waste trade, menyebutkan negara-negara kaya OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) telah mengekspor sampah plastik dengan akumulasi mencapai 70% dari keseluruhan sampah di negara mereka ke Asia Timur dan Asia Pasifik.
Dengan menutup keran impor tersebut, diprediksi ada 111 juta metrik ton sampah plastik yang semula dikirim ke Cina, berpindah ke negara-negara seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Indonesia, tulis studi Aya Yoshida (2022). Ketika itu terjadi, maka harga barang bekas semakin murah karena suplainya menumpuk di pasaran.
Betapapun, pengaruh global itu sebenarnya tidak terlalu menghambat laju kerja bank sampah di Surabaya tersebut. Operasional harian tetap berjalan. Nasabah-nasabah tetap datang mengumpulkan atau meminta penjemputan sampahnya di rumah.
Mereka melayani nasabah individu hingga instansi swasta; ada yang menyetor 400 bank sampah unit/warga, ada usaha kecil menengah seperti kafe dan restoran, termasuk toko Eiger dan Body Shop serta PT Adira Finance Surabaya.
Mereka telah berhasil mengedukasi warga, setidaknya kepada nasabahnya, agar sampah yang disetor sudah harus bersih dan terpilah sesuai jenis.
Sampah non-organik memiliki banyak ragam jenis, dari kertas, plastik, karet, kaca, aluminium, sampai tembaga. Bank sampah itu bermitra dengan pengepul kelas besar dan pabrik-pabrik pengolahan sampah bekas.
Bank sampah ini berdiri pada 2010 oleh Anindita Normaria Samsul, mahasiswi Institut Teknologi Surabaya yang saat itu menjalankan program pengabdian masyarakat sebagai bagian dari kuliah kerja nyata demi jadi sarjana.
Awalnya, Anindita tidak berencana membangun bank sampah. Idenya saat itu hanya mengedukasi warga untuk memilah dan mengelola sampah sebelum diambil petugas. Tapi, keluhan warga soal petugas sampah yang kerap mencampur sampah terpilah serta pertanyaan warga tentang ke mana sebenarnya sampah-sampah ini berakhir, membuat Anindita berpikir lebih jauh. Akhirnya, Bank Sampah Bina Mandiri berdiri.
Bank sampah ini pun ketiban “berkah” seiring Kota Surabaya mendapatkan penghargaan Piala Adipura, dianggap berhasil mengelola kebersihan dan lingkungan perkotaan, pada 2011, 2012, dan 2013.
Pada tahun-tahun itu, Bank Sampah Mandiri sering diundang pemerintah setempat untuk mengisi pelatihan pengelolaan sampah. Ia juga dilirik PT Perusahaan Listrik Negara karena kegiatannya dianggap berpotensi untuk berkembang.
Perusahaan setrum negara kemudian menjadikan Bank Sampah Bina Mandiri sebagai mitra program tanggung jawab sosial alias CSR. Dukungannya berupa kendaraan pengangkutan sampah, dan rumah dinas PLN seluas hampir 350 meter persegi dijadikan kantor dan gudang.
Prediksi PLN tidak meleset. Bank Sampah Bina Mandiri terus berkembang hingga, pada 2017, berubah nama menjadi Bank Sampah Induk Surabaya. Pada tahun yang sama, bank sampah ini menerima penghargaan Bank Sampah Terbaik Nasional dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Saat ini kita bayar untuk dua rumah dinas PLN yang disewakan. Pokoknya tiap tahun [harga sewanya] tambah. Kalau kita mau pindah juga bingung, mau ke mana? Susah cari orang yang mau tempatnya jadi tempat sampah,” kata Nurul Chasanah, tim komunikasi Bank Sampah Induk Surabaya.
Namun, semakin ke sini, mereka semakin membutuhkan gudang lebih besar. Perkaranya, dari kisaran 400 ton sampah yang masuk tiap tahun, sekitar 350 kg di antaranya sampah plastik berlapis foil atau multilayer plastics. Dari jumlah itu, hanya sekitar 150 kg-200 kg yang bisa terkelola.
Sisanya?
Ditimbun.
Jalan Buntu Plastik Multi-Lapis
Sudah lebih dari dua tahun Bank Sampah Induk Surabaya menimbun sampah saset berlapis foil. Timbunannya sudah mencapai hitungan puluhan ton.
Sebagian besar berada di rumah dinas PLN yang khusus dijadikan gudang. Sebagian lain ditimbun di gudang yang juga jadi kantor bank sampah di Jl. Ngagel Timur, Surabaya.
Bila sudah terlalu menumpuk hingga mengambil ruang untuk sampah lain, Bank Sampah Induk Surabaya akan memindahkan plastik berlapis itu ke tempat pembuangan akhir.
“Mau nggak mau kita akan bilang ke TPA kalau kita sudah tidak mampu. Bisa satu truk penuh isi [sampah plastik foil] itu semua,” kata Nurul.
“Kita mindahin masalah aja sebenarnya, mindahin tempat penimbunan saja.”
Merujuk Waste4Change, plastik multi-lapis sangat sulit didaur ulang karena setiap lembarannya terdiri dari sealing layer, barrier layer, dan printing layer. Bahan-bahan ini susah dilebur karena memiliki titik leleh berbeda.
Jenis plastik ini paling banyak ditemukan dalam kemasan produk berbentuk saset seperti kemasan makanan, minyak, maupun produk perawatan tubuh seperti sabun cair dan sampo.
Sementara plastik yang masih bisa didaur ulang di antaranya yang berjenis monolayer seperti Polyethylene Terephthalate, biasanya digunakan dalam pembuatan botol minuman, soda ringan, botol sekali pakai, dan bahan kosmetik. Selain itu, Polyamide yang merupakan turunan plastik berbahan food grade.
Nurul mengatakan selama ini kebanyakan pabrik pengelolaan sampah plastik hanya mau menerima sampah plastik yang tidak berlapis.
“Tiap jenis plastik itu punya pabriknya masing-masing. Contoh pabrik PET (Polyethylene Terephthalate), itu kita setor ke pabrik di Gresik. Di sana biasanya plastik itu dipres, dicacah, jadi biji plastik, baru disetor lagi ke pabrik lain untuk jadi produk baru,” kata Nurul.
“Tapi kalau yang lapis foil (multilayer plastics) ini belum tahu mau diapakan. Sebenarnya ada orang yang coba-coba bikin kerajinan, tapi memang masih trial,” lanjutnya.
Sekali waktu, Bank Sampah Induk Surabaya pernah menyetorkan plastik multi-lapis ini ke usaha pengelolaan sampah menjadi ecobricks. Namun, jumlah sampah yang masuk dengan yang bisa tersalurkan tak pernah berimbang.
“Ecobricks ini memang program internasional. Memang ada beberapa yang mengembangkan, tapi kebanyakan home industry, jadi masih coba-coba juga. Makanya serapannya memang nggak banyak,” lanjutnya.
Sekitar akhir 2019, Bank Sampah Induk Surabaya pernah berbincang dengan PT Nutrifood Indonesia, perusahaan swasta nasional di bidang makanan dan minuman. Dari perbincangan itu, mereka mendapatkan info tentang satu pabrik pengolahan sampah yang menerima sampah berlapis foil yang menjadi rekanan Nutrifood.
Mereka mencoba menyetorkan ke pabrik pengolahan tersebut. “Tapi setelah itu ditolak karena katanya kualitas sampah kemasannya masih tercampur sama isi produknya,” kata Nurul. “Jadi, mereka butuh proses pencucian lagi, yang lama dan banyak. Itu mereka nggak mau.”
Setelah rekomendasi Nutrifood, Bank Sampah Induk Surabaya kembali mencoba menyetorkan sampah plastik multi-lapis ke pabrik pengolahan sampah foil milik PT Unilever Indonesia yang dibangun di Sidoarjo.
“Awal-awal sempat ada rencana kerja sama. Kalau itu jalan, kita setor langsung ke mereka. Tapi, mereka kabarnya nggak jalan,” ungkap Nurul.
“Katanya, karena mesinnya rusak, ngadat.”
Mimpi Indah CreaSolv
Pada akhir 2018, Unilever Indonesia mendirikan pabrik pengolahan sampah plastik kemasan di Kawasan Industri Krian, Sidoarjo, Jawa Timur. Pabrik yang menelan biaya investasi sebesar Rp156 miliar (10 juta Euro) ini berstatus uji coba dan, bila sukses, akan menjadi percontohan untuk pengembangan di kota-kota lain.
Pabrik pengolahan sampah saset itu menggunakan teknologi CreaSolv, hasil riset CreaCycle GmbH dan the Fraunhofer Institute for Process Engineering and Packaging (IVV) di Jerman.
Unilever menjadi perusahaan swasta pertama yang mengaplikasikan teknologi CreaSolv untuk pengolahan sampah plastik kemasan di Indonesia. Pada tahap uji coba, pabrik teknologi CreaSolv di Sidoarjo ini kabarnya baru bisa mengolah 3 ton plastik kemasan berlapis per hari. Kalau sukses, kapasitas bakal dikembangkan menjadi 30-50 ton plastik kemasan per hari.
Heni Lestari, penggiat lingkungan dari lembaga swadaya masyarakat di Jawa Timur, Wahana Edukasi Harapan Alam Semesta, menjadi salah satu pihak yang menyambut dan memanfaatkan masa uji coba teknologi CreaSolv itu.
Ia mengakui program itu sempat berhasil dalam tahap siklus pengumpulan sampah, tapi tetap butuh pengembangan dalam sistem pendampingan masyarakat serta insentif yang pantas.
“Jadi, waktu itu, aku mendampingi proses pengumpulan sampah flexible plastics di masyarakat. Lalu, jual ke bank sampah, lalu disetor ke titik bank sampah sektoral,” kata Heni.
Dari bank sampah sektoral, Heni mengumpulkan sampah-sampah plastik berlapis itu untuk kemudian disetorkan ke pabrik pengolahan Unilever. Namun, jumlah bank sampah sektoral hanya terdapat lima saat itu.
“Sementara untuk mencakup se-Kota Surabaya terlalu luas. Kami pendamping di lapangan sempat mengambil pakai motor. Tapi, akhirnya cuma berjalan dua tahun. Capek dan kurang strategis,” kata Heni.
Soal tidak strategis itu, menurutnya, ada pada harga beli yang dipatok Unilever untuk sampah multi-lapis yang sudah terpilah dan dibersihkan masyarakat.
“Sampah ini ringan, makan tempat, tapi harganya murah. Rp1.000 per kg. Saya ambil di RT harga Rp500 per kg, keuntungannya cuma Rp500. Belum lagi kalau sampahnya susut dan tercampur material lain,” lanjutnya.
“Memang juga ada problem di edukasi masyarakatnya.”
Merujuk situs CreaCycle GmbH, pengelolaan sampah saset melalui teknologi CreaSolv dimulai dengan penyortiran sampah plastik berdasarkan jenis polimernya. Setelahnya, ada enam tahap pengolahan.
Pertama, pelarutan. Sampah yang sudah disortir lalu diparut dan dilarutkan dengan formula khusus CreaSolv. Selanjutnya, sampah masuk ke tahap pembersihan. Kotoran atau residu yang tidak larut dipisahkan sampai menghasilkan larutan bening. Kotoran yang terpisah akan menjadi limbah atau bisa didaur ulang jika mengandung zat berharga.
Ketiga, pengendapan untuk mengubah sifat larutan sehingga hanya polimer yang dihasilkan. Keempat, ekstrusi polimer hasil daur ulang menjadi granul atau pelet plastik yang kemudian bisa menghasilkan lembaran plastik baru.
Kelima, pemurnian atau distilasi menggunakan larutan khusus CreaSolv. Larutan hasil pembersihan ini yang menjadi tahapan keenam, regenerasi, karena zat tersebut bakal digunakan lagi pada tahapan pertama teknologi CreaSolv.
Project Multatuli telah menghubungi Unilever Indonesia untuk menanyakan kelanjutan proyek daur ulang sampah plastik multi-lapis, hasil teknologi CreaSolv, juga komitmen perusahaan untuk memproduksi plastik ramah lingkungan, tetapi tidak mendapatkan jawaban sampai artikel ini dirilis.
Studi yang dilakukan Sungai Watch pada 2022, menemukan sepuluh perusahaan produsen barang konsumsi bertanggung jawab atas 45% sampah plastik di Bali dan Jawa Timur.
Peringkat pertamanya adalah Danone, perusahaan multinasional yang memproduksi air mineral merek Aqua dan Vit. Peringkat kedua adalah Orang Tua, produsen barang konsumsi dalam negeri, dengan beberapa produknya seperti Teh Gelas, Vita Jelly, dan Wafer Tango.
Peringkat ketiga adalah Wings yang memproduksi aneka macam produk perawatan tubuh dalam kemasan plastik multi-lapis seperti So Klin, sabun Ekonomi, dan Mama Lemon.
Peringkat keempat adalah Unilever dengan produk-produknya seperti Sunlight, Rinso, dan Pepsodent.
Cari Cara agar TPA Sepi Peminat
“Melawan plastik produksi pabrik Indonesia itu, mantap. Kalau nggak rajin perawatan, alat itu bisa cepat rusaknya,” Hajid Arif Hidayat berujar sambil berjalan ke mesin pencacah sampah di Tempat Pembuangan Akhir Jabon, Sidoarjo.
TPA Jabon baru selesai direvitalisasi oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2020. Seluas 10-an hektare, lahan TPA ini sebelumnya sudah penuh gunungan sampah setinggi 10-15 m.
Revitalisasi dilakukan untuk menambah lahan baru sekitar 5 ha dan mengubah sistem pengelolaan sampah dengan sistem sanitary landfill, yakni menumpuk sampah di lokasi cekung, memadatkan, dan menimbunnya dengan tanah. Tujuannya untuk meminimalisir dampak pencemaran air, tanah, maupun udara.
Baru dua tahun beroperasi, lahan baru di TPA Jabon sudah terpakai hampir seperempatnya.
“Karena nggak semua sampah bisa kami olah. Kalau kami malah punya visi, pokoknya, bagaimana caranya agar TPA Jabon ini nggak laku. Orang nggak mau buang sampah lagi ke sini. Tapi, sampai sekarang belum ketemu caranya,” kata Hajid.
Hajid adalah Kepala Unit Pelaksana Teknis di TPA Jabon. Ia baru tiga bulan menjabat setelah lulus dari program pascasarjana jurusan Administrasi Publik di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Setiap hari, ia mengatur dan mencatat truk-truk yang masuk membawa sampah-sampah dari 200 depo, tempat pembuangan sampah, pasar, dan sejumlah perkantoran swasta di seluruh Sidoarjo.
Setiap hari ada 500 ton sampah masuk ke TPA Jabon. Jumlah ini bisa melonjak 20-30% saat hari-hari besar seperti Idulfitri, Natal, dan Tahun Baru.
Semua sampah yang masuk itu tak langsung menuju ke landfill.
Dalam program revitalisasi TPA Jabon, PUPR bekerja sama dengan Pemerintah Jerman dalam program Emission Reduction in Cities-Solid Waste Management, turut menyediakan satu mesin bag opener untuk memudahkan proses pengelolaan sampah.
Seperti namanya, mesin bag opener berfungsi untuk merobek kantong-kantong berisi sampah yang dibawa truk-truk sampah. Sampah yang sudah terbuka dari plastiknya masih akan dipilah secara manual.
TPA Jabon merekrut 25 pemulung di sekitar wilayah mereka untuk memilah sampah-sampah yang bisa dijual kembali seperti botol-botol plastik, kertas, besi/tembaga. Sementara, sampah organik akan diolah untuk dijadikan pupuk kompos ataupun briket dengan sistem Refuse Derived Fuel (RDF) atau mengolahnya sebagai bahan bakar.
“Tapi, dari 500 ton sampah itu nggak semua langsung habis terpilah. Kami terbentur kapasitas mesin yang per harinya 60 ton saja. Kalau kita paksakan, mesin nggak mampu. Bisa rusak,” kata Hajid.
“Begitu juga bayar tenaga manusianya. Biaya operasionalnya nggak nutup juga.”
Hajid mengatakan, dari 500 ton sampah yang masuk harian, lebih dari setengahnya adalah sampah non-organik dengan porsi paling banyak adalah sampah plastik.
“Plastik-plastik kemasan di Indonesia itu tebalnya beda-beda. Bahannya beda-beda. Mereka bisa lebih tajam dari mesinnya, makanya kita perlu hati-hati juga jaga alat,” kata Hajid.
* * *
Pengelolaan sampah dengan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) pertama kali diujicobakan di TPA Jabon pada Oktober 2021. Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat ini ada dua tempat pengelolaan sampah lain yang menghasilkan briket RDF, yakni TPSS Merdeka di Depok, Jawa Barat, dan TPST Cilacap di Jawa Tengah.
Selama uji coba tersebut, TPA Jabon telah menghasilkan sekitar 350 ton briket RDF, dengan jumlah pengurangan sampah mencapai 1.000 ton.
Merujuk situs Sciencedirect, RDF bekerja dengan cara menghancurkan (hydropulping) limbah untuk meningkatkan nilai kalorinya. Hasil dari penghancuran ini berupa pelet atau briket-briket berukuran 5-10 cm, yang kemudian bisa digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik atau campuran batubara (co-firing).
“Sebetulnya kalau RDF ini jalan, pengurangannya sebetulnya lumayan. Perbandingannya bisa sepersepuluh. Jadi dari 100 ton sampah yang masuk ke mesin per hari, hasilnya 10 ton briket,” kata Hajid.
Pada awal uji coba produksi briket RDF, TPA Jabon sempat dapat angin segar dari PT Pembangkit Jawa Bali, anak usaha PLN, yang mengatakan bakal membeli produk mereka.
Namun, kendala pengembangan energi terbarukan dari biomassa seperti briket RDF ini terbentur regulasi. Hingga saat ini, pemerintah belum punya regulasi yang mengatur harga bahan bakunya.
“PT Pembangkit Jawa Bali sebetulnya akan ambil berapapun yang kita produksi. Tapi harganya terlalu murah, masih Rp300 per kg. Sedangkan ongkos produksi bisa di atas Rp1.000/kg,” kata Hajid.
“Kalau hitungan bisnis, ya, konyol. Bisnis sampah itu utopis. Tapi… bagaimana kami tetap jalani karena baru itu terobosannya.”
Pemerintah menargetkan tercapainya target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025. Namun, gol ini agaknya masih sangat jauh dari harapan.
Dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023 dari Institute for Essential Services Reform (IESR), target bauran energi terbarukan yang dipatok pemerintah saat ini hanya baru terealisasi 12,2%. Salah satu penghambat utamanya adalah aturan domestic market obligation (DMO) batubara yang malah naik dari 25% menjadi 30%.
Kembali ke urusan sampah, pengelolaan dengan teknologi RDF ini juga belum secara signifikan menyelesaikan problem tumpukan plastik-plastik yang tidak bisa diolah seperti sampah multilayer (MLP).
Briket RDF, yang saat ini bisa dipakai PLN, hanya berasal dari sampah organik. Sementara serapan briket RDF dari plastik/sampah non-organik masih sangat minim. Pada akhirnya, sampah-sampah non-organik itu sedikit demi sedikit menggunung di lahan-lahan yang tersisa di tempat pembuangan akhir sampah.
Tak banyak yang bisa dilakukan kecuali produsen ikut mengambil langkah radikal menghentikan produksi plastik yang tak bisa diolah, kata Hajid.
Selain itu, komitmen pemerintah diperlukan melalui regulasi yang berpihak pada kepentingan publik.
“Kalau kami terus yang jadi garda terakhir, ya, tumbang. Mau ke mana lagi? Akhirnya gunungan sampah saja yang semakin meninggi,” kata Hajid.
“Saya sebenarnya lihat gunungan sampah itu sedih. Apalagi kalau sore di sini langitnya bagus. Ada burung-burung bangau juga. Tapi, pemandangannya, kok, gunung sampah.”