Nasib Kelas Pekerja di Yogyakarta: Rela Utang Untuk Punya Rumah, Malah Tertipu Developer

Mawa Kresna
12 menit
Ilustrasi kasus penipuan properti perumahan oleh Koperasi Property Today Indonesia (Project M/Herra Frimawati- CC BY-NC-ND 4.0)

AKHMAD SAEKHU hanya termenung saat berbincang mengenai properti tanah. Lelaki 52 tahun ini menjadi korban penipuan penjualan tanah yang ditawarkan melalui media sosial. Saat itu, ia kepincut sebuah iklan penjualan tanah di Desa Randusari, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dalam angan-angannya, tanah itu hendak ia bangun rumah untuk anak dan istrinya.

Lelaki kelahiran 1971 ini mengisahkan awal mula dirinya mendapatkan tanah tersebut. Ia mengaku sempat mencari tanah di kawasan Kabupaten Sleman namun harganya sangat tinggi baginya. Ia kemudian mencari informasi penjualan tanah di media sosial.

“Awalnya lihat-lihat di marketplace ada iklan. Kepengen cari-cari tanah kan, dananya kira-kira cukup, telepon marketingnya,” kata Saekhu, 1 Desember 2023.

Promosi penjualan tanah di media sosial yang Saekhu temukan itu berupa iklan yang dipasang oleh PT. Triasta Putra Santika pada tahun 2019. Saekhu lalu berkomunikasi dengan marketing PT. Triasta Putra Santika dan janjian bertemu. PT. Triasta Putra Santika, merupakan salah satu perusahaan di bawah kendali Koperasi Property Today Indonesia (KPTI).

Saekhu dan perwakilan PT Triasta mendatangi lokasi tanah kavling yang dipromosikan, yakni di Desa Randusari. Saekhu ingat saat itu satu lokasi lahan dibagi menjadi 16 kavling. Luasan per kavlingnya lebih dari 100 meter persegi.

Dari hasil pertemuan itu, Saekhu menjatuhkan pilihan pada tanah seluas 159 meter persegi. Kavling tersebut ada di Blok A 13. Namun, tanah tersebut belum dipecah sertifikatnya.

“Waktu itu dikasih tahu gambar-gambar kavling setiap ukuran. Setelah lihat lokasi, luasan segini, nyandak danane (cukup uang yang dibutuhkan). Luas 159 meter persegi, per meter Rp750 ribu,” ujar lelaki asal Kabupaten Kudus, Jawa Tengah ini.

Dalam ingatannya, tanah kavling tersebut masih ditumbuhi pepohonan sengon. Pihak pemasaran mengatakan akan segera membersihkan pohon-pohon itu. Saekhu tak mempersoalkan itu, ia sudah terlanjur kepincut, karena harganya cukup miring dibandingkan dengan tanah di Yogyakarta, tempat ia mencari sesuap nasi.

Merantau di Yogyakarta, ia merasa harga properti di Kota Gudeg di luar jangkauan kantongnya. Karena itu pilihannya adalah membeli tanah di daerah Prambanan, di luar Yogyakarta, yang harganya masuk akal. 

Saat ini Saekhu beserta istri dan dua anaknya berusia 8 tahun dan 11 tahun, tinggal dengan mengontrak rumah di kawasan Kabupaten Sleman. Sebelumnya, ia mengontrak di daerah Seturan, lalu Godean, dan saat ini di Babadan Baru.

Buat kelas pekerja, impian memiliki tanah di daerah ‘istimewa’ memang sulit. Apalagi Saekhu selama ini bekerja serabutan. Kadang ia membantu tetangganya menjalankan bisnis pembuatan konstruksi atap bangunan, kadang juga menjadi mekanik mesin. Dengan pekerjaan serabutan itu, ia harus menanggung biaya mengontrak rumah nilainya berkisar dari Rp14 juta hingga Rp16 juta per tahun. 

Saat ini, Saekhu membuatkan toko kelontong sederhana untuk dikelola istrinya demi membantu pemenuhan kebutuhan domestik. “Istri pasrah mau beli (tanah/rumah) di mana, istilahnya manut. Nggak (menentukan) harus di mana, yang penting ada tempat tinggal,” katanya.

Uang Dibayar, Penjual Tak Ada Kabar

Saekhu merasa pilihannya sudah tepat dan melanjutkan komunikasi dengan penyedia properti tersebut. Ia lantas diminta membayar uang tanda jadi dan menyanggupinya sebesar Rp5 juta. Uang tersebut ia bayarkan pada 10 Desember 2019.

Dari situ kemudian proses berlanjut pada pembuatan dokumen Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Poin penting isi PPJB adalah Saekhu wajib membayar harga tanah kavling sebesar Rp119.250.000. Harga itu dengan asumsi Rp750 ribu per meter persegi tanah yang dibeli. Dengan sudah membayar Rp5 juta sebagai tanda jadi, Saekhu masih harus membayar Rp114.250.000.

Saekhu kemudian membayar Rp100 juta tertanggal 20 Desember 2019. Artinya, kekurangan pembayaran Saekhu masih sebesar Rp14.250.000. Skema tersebut ia rasa lebih cocok daripada harus dengan sistem cicilan bertahun-tahun.  

“Uang Rp100 juta dipinjami kakak di kampung. Nanti sisa kekurangan itu dibayar saat penandatanganan Akta Jual Beli di hadapan pejabat berwenang (notaris),” ujarnya.

Dokumen PPJB tersebut juga menjelaskan proses pengurusan pecah sertifikat dan balik nama ke pembeli dilakukan selambat-lambatnya 12 bulan setelah tanda tangan PPJB. Namun, sampai saat ini Saekhu tak kunjung memperoleh sertifikat tanah yang seharusnya sudah dipecah.

Saekhu menandatangani dokumen PPJB tersebut di kantor KPTI di Jalan Kaliurang Kabupaten Sleman. Pihak PT. Triasta Putra Santika yang ditemui Saekhu di antaranya salah satu pimpinan yakni Bambang Padmadi, dan satu orang dari bagian pemasaran.

Sekitar setahun usai penandatanganan itu, Saekhu berupaya menanyakan kejelasan terkait pecah sertifikat tanah. Saat itu, pihak perwakilan PT. Triasta Putra Santika yang diajak komunikasi menyebut belum bisa memprosesnya karena sedang pandemi Covid-19. Ia pun mencoba memahami situasi karena pada 2020 merupakan awal pandemi terjadi dan berbagai aktivitas dilakukan jarak jauh atau daring.

“Desember 2020 itu saya tanyakan, ‘Gimana perkembangan?’ ‘Maaf pak, baru korona, belum bisa maksimal ngurusine’. Ya sudah nggak papa,” ujarnya menceritakan percakapan via WhatsApp itu.

Saekhu lantas melanjutkan dengan bertanya kapan pecah sertifikat akan diproses. Saekhu hanya dijanjikan akan dihubungi saat proses pecah sertifikat dilakukan. Memasuki Desember 2021, Saekhu kembali menanyakan lagi. Saat itu Saekhu mendapatkan informasi sudah dilakukan pecah bidang. 

Beberapa bulan kemudian, Saekhu kembali meminta kejelasan. Perwakilan perusahaan menyatakan akan menanyakan kepada pimpinan lagi. Ia segera menimpali percakapan tetapi tak berlanjut.

“Saya kepikiran. Sudah pecah kok (dihubungi) nggak merespon. Tak telpon nggak mau angkat, di-WA nggak dibales. Wah ini tanda-tanda,” katanya menaruh curiga.

Karena komunikasi mampet, Saekhu mendatangi kantor Triasta yang berada di lokasi sama dengan KPTI di Jalan Kaliurang Kabupaten Sleman pada September 2022. Sayang, orang yang ada di kantor tersebut disebut tak serius membantu Saekhu. Ia tak menutupi rasa kecewa karena tak bisa menemui orang yang mampu mengurus persoalan itu.

Ia sudah memprotes, namun awaban yang ia peroleh seperti sudah template: pimpinan PT sedang dinas di luar Yogyakarta. Dalihnya, PT tersebut hendak membuka lahan baru di kawasan Kabupaten Sragen, Salatiga, atau Malang. 

Hingga berganti tahun, upaya Saekhu mendapatkan tanahnya masih samar. Bahkan, uang untuk membayar tanah kavling dan sempat dijanjikan akan dikembalikan juga masih semu. Puncak kesabaran Saekhu seolah habis hingga akhirnya melaporkan pengelola PT ke Polda DIY pada September 2023. Ia sudah tak percaya lagi dengan janji pimpinan PT Triasta.

“Terakhir sebelum laporan (ke Polda DIY) sudah tak WA pak Bambang. ‘Pak ini gimana, sudah lama ini’. Jawabnya, ‘Oiya nanti pak sekitar bulan Agustus mulai tak bayar’,” katanya. 

Saekhu mulai sadar dirinya jadi terduga korban penipuan karena banyak orang alami nasib serupa. Informasi di media sosial juga menyebut banyak korban KPTI uangnya belum kunjung dikembalikan.

Terbaru, Saekhu diperiksa penyidik Polresta Sleman dalam kasus itu pada 1 November 2023. Kasus itu dilimpahkan penanganannya ke Polresta Sleman.

Ilustrasi kasus penipuan properti perumahan oleh Koperasi Property Today Indonesia (Project M/Herra Frimawati- CC BY-NC-ND 4.0)

Korban Lain Berjatuhan

Setali tiga uang, salah seorang korban PT KPTI, lelaki inisial Vieri (bukan nama sebenarnya) juga alami nasib serupa. Vieri juga mengawali ketertarikan membeli properti tanah kavling tersebut usai melihat iklan di media sosial. Mulanya, ia melihat iklan properti dari PT Artha Grha Santika (PT yang juga di bawah KPTI) itu dengan lokasi di kawasan Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman.

Awal menanyakan soal iklan properti di Kecamatan Godean, Vieri dikabari kalau tanah kavling di lokasi tersebut telah habis terjual. Ia lantas ditawari tanah kavling berlokasi di Jalan Kaliurang Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Vieri sempat menyurvei lokasinya.

“Ditawari di daerah sana ada dua tempat. Luasan tanahnya sekitar 110 meter persegi. Sebelahnya, 120 meter persegi. Karena lokasi pertama lebih mahal, per meter Rp3,5 juta. Lalu, tanya di daerah lainnya, harga sekitar Rp3 juta per meter,” kata dia.

Lokasi kedua di daerah Kecamatan Ngaglik ini paling menarik ketertarikan Vieri. Lokasi tanah tersebut ada di persimpangan (hook) atau memiliki dua muka. Ia lantas memutuskan membeli tanah di lokasi tersebut.

Sebagaimana Saekhu, Vieri juga diminta membayar uang tanda jadi sebesar Rp5 juta. Ia tak langsung mengiyakan dan mengatakan akan berpikir lebih dulu. Setelah beberapa waktu, Vieri menanyakan bagaimana jika dirinya membayar uang tanda jadi sebesar Rp2 juta. Setelah diperbolehkan, ia membayar.

“Ya sudah saya bayar. Katanya yang penting booking dulu, nanti mau pindah titik nggak papa kavlingnya,” kata dia.

Vieri menjalin komunikasi dengan salah satu pimpinan bernama Bambang. Sosok tersebut sama dengan pimpinan perusahaan penyedia tanah kavling yang Saekhu beli, Bambang Padmadi. Vieri ditanyai tanah kavling mana yang final dibeli. Ia kemudian janjian bertemu dengan Bambang tersebut.

“Saya pengen ketemu pimpinannya, pak Bambang. Katanya, ya bisa, sekalian nego (harga) juga. Ketemuan di salah satu kafe di Jalan Palagan (Kabupaten Sleman), itu pada Mei/Juni 2022,” ujarnya.

Dari pertemuan itu Vieri dengan Bambang menyepakati sejumlah hal, di antaranya penegasan memilih tanah hook dengan luasan 130 meter persegi, nego harga tanah dari per meter semula Rp3 juta menjadi sekitar Rp2,7 juta, dan pembayaran dilakukan tiga termin. Menghitung harga per meter dan luasan tanah, ia menyebut harga total yang harus Vieri bayar sekitar Rp380an juta. Periode yang akhirnya disepakati yakni Juni hingga September 2022.

Singkat cerita, ia sudah membayarnya sebanyak tiga termin dengan nominal dua termin masing-masing Rp100 juta dan termin ketiga sebesar Rp103 juta. Ia sempat merasa pembayaran seolah diburu-buru pihak penjual. Alasan yang disampaikan penjual salah satunya uang akan digunakan untuk memasang konblok akses jalan di lokasi.

“Kemudian, pak Bambang, mohon dibantu mas dipercepat pembayarannya. Mau buat ngurusnya atau gimana. Lalu saya bayar. Lalu memang dibuat koblok. Setelah itu chat saya nggak pernah dibalas lagi,” ucapnya.

Berulangkali Vieri mengirimkan pesan WA kepada bagian pemasaran maupun langsung ke Bambang. Menurutnya, percakapan WA paling cepat dibalas sebulan setelah pengiriman pesan. Pesan belasan pun hanya dibalas diplomatis.

“Pokoknya balasan chat bisa sebulan sekali. ‘Oiya lagi proses, mas’. Nggak mesti, kadang dua/tiga bulan nggak ada respon. Terus alasannya, bilang lagi ngurus di Kulon Progo, kata marketing. Saya tunggu kan. Marketingnya bilang ditugasin di Kulon Progo. Lalu, lama nggak balas juga,” ungkapnya.

Ia lantas kebingungan hendak menanyakan kepada siapa kelanjutan pembelian tanah, dalam hal ini pecah sertifikat tanah. Apalagi ia sudah keluar Rp300 juta lebih untuk pembayaran.

Vieri baru menyadari menjadi korban penipuan dari media sosial. Saat itu ia membaca banyak percakapan di media sosial X (twitter) mengenai penipuan yang dilakukan KPTI melalui perusahaan di bawahnya. Lokasi penipuan awalnya diketahui di Bekasi dan Depok, Jawa Barat. Ia kemudian diarahkan dari seorang warganet untuk berkomunikasi dengan para korban KPTI yang ada di Yogyakarta.

Akses jaringan itu mengantarkan Vieri mendapat banyak informasi terkait dugaan penipuan jual-beli tanah itu. Ia lantas masuk WhatsApp Group (WAG) yang berisi korban-korban KPTI. Para korban KPTI sebagian sudah melaporkan ke Polda DIY pada medio September 2023. Vieri memutuskan melakukan hal serupa pada 20 Desember 2023.

Proses Hukum Lambat, Perlindungan Konsumen Minim

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Sleman, AKP Riski Adrian mengatakan sudah mendapat banyak laporan korban penipuan jual-beli tanah itu. Laporan itu baik ditujukan pada pimpinan perusahaan maupun individu pimpinannya.

“Setelah saya crosscheck laporannya banyak. Ada yang bawa KPTI dan ada yang perorangan,” ujarnya.

Menurut dia, ada sebanyak 4 laporan penipuan yang sifatnya antar perorangan. Ia mengatakan sudah ada sejumlah korban yang diperiksa.

“Sudah (dilakukan pemeriksaan saksi-saksi), ini salah satu laporan itu sedang kami lakukan pemeriksaan,” kata Riski.

Sebagian besar korban penipuan tersebut didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PW Anshor DIY. LBH PW Anshor menyatakan proses hukum yang ditangani kepolisian di Yogyakarta terus berjalan.

“Semua dari KPTI, pengurus maupun manajer sudah diperiksa semua, sampai pada Aqil Asad dan istrinya,” kata Ketua Lembaga Bantuan Hukum PW Anshor DIY, Muhammad Ulinnuha dihubungi pada 25 Januari 2024.

Ulinnuha mengatakan para pengurus PT di bawah naungan KPTI telah dilakukan pemeriksaan. Mereka, kata Ulinnuha, diperiksa terkait Pasal 378 tentang Penipuan dan Pasal 372 tentang Penggelapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ia mengatakan pengusutan kasus itu dimulai dari orang-orang yang tanda tangan pada akad jual beli tanah, termasuk Bambang Padmadi.

“Pintu masuknya yang tanda tangan dalam akad (jual beli tanah). Kami minta begitu karena transaksi utama lewat rekening KPTI. Kemudian kami minta pemeriksaan berlanjut ke pengurus KPTI. Kami juga menemukan fakta di lapangan memang KPTI ini tak berizin, izin koperasinya nggak ada,” kata dia.

Ulinnuha mengatakan KPTI membawahi banyak PT, di antaranya PT Triasta Putra Santika, PT Artha Grha Santika, PT Satya Usaha Jayadarma, dan PT Dharma Tungga Dewi. Ia menyebut saat ini menunggu penetapan status tersangka dan penangkapan.

Ia menarget proses hukum nantinya sampai pada penyitaan aset perusahaan dan pengurus KPTI. Nantinya, aset tersebut dieksekusi untuk ganti rugi uang yang sudah dikeluarkan para korban.

“Mereka itu harus dipidana, kalau nggak akan ada korban terus. KPTI ini pusatnya di Jogja, tapi korbannya di banyak daerah di Indonesia, seperti di Solo, Klaten, Boyolali, Semarang, Tegal, hingga Bekasi, Tangerang, Bandung,” ujarnya.

Project Multatuli sudah berupaya mengonfirmasi KPTI dengan mendatangi kantor mereka di Ruko Trimurti Square No. 1-4, Jl. Kaliurang No.Km, RW.10, Ngalalangan, Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman pada 27 dan 29 Januari 2024. Dalam dua momen itu tak ada yang bersedia dikonfirmasi terkait laporan dugaan kasus penipuan tersebut.

Kasus penipuan pembelian perumahan ini sudah menjadi catatan YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) sejak lama. Sejak tahun 2014 misalnya, aduan yang masuk ke YLKI terkait penipuan pembelian perumahan menjadi salah satu yang terbanyak. 

Sepanjang 2014-2016, YLKI menerima sekurangnya 440 pengaduan. Pada 2022, angka aduan meningkat menjadi 882 kasus. “Mayoritas masalah tersebut terjadi akibat tidak adanya konsistensi antara penawaran dan janji promosi pengembang dengan realitas pembangunan yang terjadi,” tulis YLKI dalam siaran persnya.

Tingginya aduan itu menunjukan lemahnya pelindungan terhadap konsumen, khususnya dalam pembelian properti. Lemahnya pelindungan ini membuat kasus-kasus penipuan terhadap konsumen properti terus berlangsung. Mirisnya, dalam beberapa kasus, konsumen yang merasa ditipu justru dikriminalisasi.

Kriminalisasi ini terjadi salah satunya terhadap pemilik apartemen Tokyo Riverside di Pantai Indah Kapuk (PIK). Dedy Chandra, si pemilik unit apartemen memposting sejumlah video di TikTok yang mengeluhkan berbagai masalah di apartemen yang dibelinya. Akibat dari komplain ini, Dedy Chandra dijerat Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang ITE tentang ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta kepada Dedy Chandra​.

Melihat lemahnya perlindungan terhadap konsumen ini, Saekhu hanya bisa pasrah. Meski demikian, ia masih menaruh harapan tanah yang ia beli bisa mendapat kejelasan sertifikatnya. Apalagi yang untuk pembayaran itu pinjaman dari keluarganya. Saekhu mengatakan tak ditagih soal pinjaman uang itu. Namun, ia bingung menjawab saat ditanya di mana tanah yang sudah dibeli untuk dibangun rumah.

“Kalau nggak bisa diselesaikan, uang dikembalikan. Kalau nggak terwujud biar hukum yang menentukan. Mau diadili atau seperti apa. Sebisanya uang saya dikembalikan buat membeli pengganti,” ujarnya.

Sebagaimana Saekhu, Vieri pun demikian. Uang ratusan juta tersebut sebenarnya akan digunakan untuk usaha. Ia sudah mulai mengumpulkan tabungan sedari 2014. Sebagai pekerja lepas (freelancer), mengumpulkan uang ratusan juta bukan hal yang mudah.

“Jadi sebenarnya uang itu ada yang modalin untuk usaha juga. Ada juga tabungan. Kalau harapannya ada kejelasan. Tanahnya jelas atau kalau tidak ya uang saya kembali,” katanya.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
12 menit