Pasar Desa Bukti Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun seakan jadi episentrum yang mempertemukan Orang Rimba dengan masyarakat luar. Saban Selasa, mereka berjubel di bawah atap terpal yang menudungi para pedagang. Di dalam pasar suara pedagang pakaian berebut seru menawarkan dagangannya, berjarak belasan meter ke luar penjual sate padang dan es serut sibuk melayani orang-orang yang tengah ngaso.
Di tengah keriuhan itu, seorang perempuan tua tiba-tiba jatuh. Ia terkapar di tengah kerumunan. Kontan orang-orang panik, ada yang terpekik, suara gaduh membuat orang berlarian, tapi tak ada yang berani mendekat. Pasar gempar.
“Ibu itu lagi belanja belum sempat bayar, tiba-tiba jatuh, mati,” kata Nelitis, Orang Rimba rombong Tumenggung Grip, berusaha mengingat kejadian awal Mei lalu.
Kabar kematian perempuan 70 tahun di pasar Bukit Suban itu menyebar cepat macam petir. Rombong Tumenggung Grip yang menempati perumahan sosial Sungai Punti Kayu, Bukit Suban ikut panik, mereka berpikir virus corona datang menyerang dan telah membuat mati orang kampung.
Prabung, seorang hakim (dukun obat) rombong Tumenggung Grip bergegas menyelinap ke tengah rimba, di pondok papan seukuran gubuk ia mulai membakar kemenyan, mulutnya komat-kamit melafalkan doa-doa meminta petunjuk dewa.
“Suara itu bilang, suruh menghindar,” katanya.
Prabung mengaku mendapat bisikan agar semua Orang Rimba yang menempati permukiman dekat warga kampung segera menyingkir ke hutan. Sekali ucap puluhan keluarga rombong (kelompok) Tumenggung Grip buyar ke hutan untuk besesandingon.
Besesandingon ini adalah tradisi di mana Orang Rimba akan masuk ke hutan, menetap dalam waktu tertentu di sana, dan melarang orang asing datang. Ini semacam cara mereka untuk melakukan karantina pada kelompok mereka.Click To TweetBesesandingon ini adalah tradisi di mana Orang Rimba akan masuk ke hutan, menetap dalam waktu tertentu di sana, dan melarang orang asing datang. Ini semacam cara mereka untuk melakukan karantina pada kelompok mereka.
Bila ada salah satu anggota kelompok yang sakit, maka akan langsung dipisahkan atau diasingkan. Mereka yang sakit tetap dirawat namun ditempatkan pada jarak aman 10-15 meter dari tempat kelompok tinggal.
Tradisi ini sudah mereka lakukan sejak ratusan tahun lalu.
Selama besesandingon mereka menempati pondok-pondok di ladang di belakang tali bukit Taman Nasional Bukit Duabelas. Berjarak beberapa kilometer menjauh dari kampung.
Mekimbai yang saat itu lagi santai di tengah kebun sawit gugup melihat rombongan masuk hutan. Kabar Covid-19 menyerang kampung membuat panik. Ia buru-buru mengencangkan ikatan jarit, di balik punggungnya kepala Betawa menyembul. Tubuh bocah setahun itu dililit jarit menyatu dengan induknya. Mekimbai tergopoh-gopoh lari ke hutan membawa periuk nasi kosong dan pakaian. Sesudungon—rumah Orang Rimba dengan atap terpal atau plastik—ditinggal, tak sempat lagi digulung.
“Orang masuk nyelametin diri, yo kita ikut masuk juga,” kata Sekolah, suami Mekimbai, saat ditemui di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas, 7 Mei 2021.
Sejak Minggu awal Mei lalu, tiga hari berturut-turut warga Bukit Suban menggali liang kubur dekat pemukiman Orang Rimba Punti Kayu. Inilah yang membuat Orang Rimba semakin yakin jika perempuan tua yang meninggal di pasar itu terpapar Covid-19.
“Kata orang penyakit corona itu seperti kito numbang kayu kena ke manusia, 4 sampai 5 orang sekali rubuh. Jadi prasangka kito itu karena corona, kalau penyakit gelabah itu paling satu minggu satu orang, ini tidak, sehari tiga orang mati,” kata Prabung.
Agus Supriyadi, Kepala Dusun Bukit Suban mengaku kaget. Siapa yang menyebar kabar ada corona di kampung hingga jadi gaduh? Ia memastikan tiga warganya itu meninggal lantaran sakit tua. “Bukan itu, meninggal karena sakit sudah tua, bukan corona,” katanya.
Tiga hari warga Bukit Suban meninggal berturut-turut. Dimulai Minggu pagi mbah Tugiem 70 tahun meninggal, Seninnya, Wariem 60 tahun, Selasa giliran Supi 50 tahun. “Itu sakit-sakitan sudah lama, meninggalnya juga di rumah semua, bukan di pasar, salah itu kabar meninggal di pasar,” ujar Agus.
Selama sepekan lebih Orang Rimba tidak keluar hutan. Mereka besesandingon dengan ketat. Ini dilakukan sejak ratusan tahun lalu ketika Orang Rimba menghadapi gelabah (wabah penyakit). Mereka juga melarang orang asing datang mendekat.
“Orang Rimba melihat orang luar itu berbeda. Jadi mereka harus berhati-hati,” kata Adi Prasetijo, antropolog Universitas Diponegoro, Semarang. Prasetijo mempelajari hidup Orang Rimba selama 15 tahun.
Dia bilang, jauh sebelum pandemi ada persumpahan antara Orang Rimba dengan Orang Terang seperti orang Melayu dan masyarakat yang tinggal di luar hutan. Orang Rimba akan hidup di hutan sementara Orang Terang hidup di desa. Orang Rimba percaya jika semua yang datang dari hilir di mana orang Melayu tinggal dianggap membawa keburukan atau bencana sehingga harus dihindari.
Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini, semakin menguatkan keyakinan Orang Rimba bahwa orang luar adalah sumber masalah, seperti apa yang diyakini nenek moyangnya ratusan tahun lalu.
Adat Rimba Menangkal Penyakit
Virus Covid-19 yang cepat merebak belum ada penangkalnya. Karena itu praktis adat besesandingon jadi andalan Orang Rimba. Itu jadi satu-satu jalan agar mereka bisa terbebas dari Covid-19. Adat besesandingon ini pun terbukti efektif, sampai hari ini di provinsi Jambi, belum ada satu pun penularan Covid-19 pada Orang Rimba.
Di Kabupaten Sarolangun misalnya, tempat rombong Tumenggung Grip dan beberapa rombong lainnya bermukim, sampai dengan 6 Mei 2021, kasus positif Covid-19 di Sarolangun mencapai 221 kasus, 211 diantaranya telah dinyatakan sembuh dan 10 orang masih lakukan isolasi mandiri. Dari jumlah itu, tak satu pun Orang Rimba yang jadi korban.
Selama pandemi Orang Rimba menerapkan aturan adat dengan ketat. Mereka yang sehat (bungaron) harus menjaga jarak dari anggota kelompoknya yang sakit (cenenggo) agar tidak tertular. Mereka berkomunikasi dengan jarak jauh tanpa harus melihat satu sama lain. Anggota keluarga yang sakit tetap dirawat namun dengan jarak aman 10-15 meter atau disebut sebagai besesulangon.
“Kalau ada gelabah cepat besesandingon, tapi kalau kita terbit (kumpul) itu cepat kenanya, paling lama satu minggu. Kalau kita besesandingon itu tidak,’’ kata Prabung.
Tarib, Orang Rimba dari kelompok Tumenggung Grip bilang, Orang Rimba yang bekerja di desa juga harus dikarantina selama seminggu sebelum kembali ke hutan.
“Seminggu, kalau tidak kena batuk, tidak kena demam atau sakit perut barulah balek,” kata Tarib, saat ditemui awal Mei 2021. “Kalau bawa makanan harus direndam dulu di aek (air) biar kalau ada penyakit hilang, atau diembunkon (diembunkan).”
Orang Rimba sangat hati-hati dan tak mau menemui sembarang orang asing. Saat saya mengunjungi Bukit Suban, Tumenggung Grip sempat ragu, dia meminta saya menunjukkan surat keterangan bebas corona baru diizinkan masuk ke pemukiman di dalam hutan. Dia khawatir saya membawa wabah penyakit yang bisa membahayakan kelompoknya.
Selain besesandingon Orang Rimba juga melakukan adat Rabunan untuk menangkal penyakit. Mereka akan membakar tujuh jenis kayu berduri mengelilingi rumah. Sebagian duri rotan disisipkan di sudut rumah, yang dipercaya bisa menangkal gelabah.
Dalam satu waktu, para hakim (dukun obat) Orang Rimba juga melakukan balas. Para dukun akan memanjatkan doa-doa pada dewa agar dilindungi dari wabah penyakit. “Kalau kabul gelabah itu tidak jadi masuk. Kalau sekarang ini hutan tidak ada, jadi sulit terkabul,” kata Prabung. Itu disebabkan banyak Orang Rimba telah makan hewan ternak masyarakat luar yang jadi pantangan.
“Kalau sekarang semua dimakan, karena (hidup) semua susah. Makan micinlah, bawang, mie. Kalau dulu manalah mau makan, karena itu bisa merusak permintaan doa kita tidak kabul nanti. Kalau dulu makan cuma yang ada di bumi,” jelasnya.
Orang Rimba juga percaya telegu atau singgung (Mydaus javanensis) bisa menangkal penyakit lewat bau kentutnya yang busuk. Singgung juga digunakan untuk obat campak.
Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Orang Rimba
Hampir setahun Nelitis, Orang Rimba dari rombong Tumenggung Grip, pontang-panting agar lima anaknya bisa tetap makan dan hidup. Pandemi Covid-19 telah memukul ekonomi banyak keluarga Orang Rimba. Selama pandemi mereka tak bisa lagi bekerja dengan orang kampung untuk dapatkan upah karena harus besesandingon, tetapi sesekali Nelitis nekat, sebab pencarian di hutan semakin sulit.
“Kalau mencari di dalam (hutan) itu kadang dapat kadang tidak,” kata Nelitis saat saya temui di dalam hutan Bukit Duabelas, awal Mei.
Harga jual jernang, damar, rotan di tengkulak juga amburadul tak bisa lagi diandalkan. Hidup mereka yang hidup di hutan semakin terpuruk. “Jernang tidak lagi berharga, manau (rotan) tidak berharga lagi, karet tambah amut (hancur),” katanya.
Nelitis bilang, saat musim merayau (musim kelaparan) nyaris tak ada lagi yang bisa dimakan. Mereka harus masuk jauh ke dalam hutan untuk mencari benor (ubi besar) dan gadung. Tetapi butuh waktu seminggu untuk mengolah gadung sampai bisa dikonsumsi. Jika salah olah mereka bisa keracunan.
“Kadang dapat gadung 2 kg, (seandainya) anak 10 mana cukup,” katanya. Sebagian besar Orang Rimba memang memiliki banyak anak karena umumnya mereka memiliki istri lebih dari satu. Sementara sumber pangan berkurang, Orang Rimba justru semakin banyak.
Bukan cuma Nelitis yang kesusahan, Sekolah, Orang Rimba dari rombong yang sama juga harus mati-matian mencari jalan supaya keluarganya tetap bisa makan. Sekolah terpaksa pergi mengais biji sawit yang jatuh di kebun warga dan perusahaan. Jika beruntung dia bisa dapat uang Rp 25 ribu dari hasil jual brondol sawit. Namun, itu kerap memicu konflik dengan perusahaan lantaran Orang Rimba dituduh mencuri.
Nasib Prabung tak kalah miris, satu-satunya yang bisa ia harapkan untuk bertahan hidup adalah ladang ubi.
“Kalau makan bisalah tapi itu tadi kita tiap hari keringkan darah, panas-panasan di bawah matahari untuk garap lahan, kita urus nian (ladang) itu tetap kita dapat makan ubi, kalau ndak sejam saja ditinggal habis dimakan beruk, cigak (monyet),” kata Prabung.
Bila sial, ia pun terpaksa puasa bisa sampai dua atau tiga hari. “Kalau dak ada itulah kadang dua hari baru nyicip makan. Kadang tiga hari baru nyicip makan,” kata Prabung. Itu pun kalau ada bantuan beras dari perusahaan.
Sulitnya ketersediaan pangan ini dipengaruhi hutan wilayah jelajah Orang Rimba semakin menyempit. Meski mereka sudah tinggal di permukiman yang dibangun dinas sosial, mereka tetap mengandalkan hutan sebagai sumber pangan.
Dulu, sebelum banyak muncul perkebunan sawit dan daerah transmigrasi, wilayah sekitar hutan Bukit Duabelas adalah hutan yang jadi sumber penghidupan Orang Rimba. Sekarang wilayah itu 60.500 hektar sudah menjadi Taman Nasional, sementara di pinggirnya sudah digerogoti kebun milik warga.
“Dulunya makanan masih banyak, hutannya masih luas, kalau sekarang ini sudah sulit, susah cari makanan karena banyak PT-PT (Perseroan terbatas) yang masuk, banyak trans-trans (transmigrasi) yang masuk,” kata Prabung.Click To Tweet“Dulunya makanan masih banyak, hutannya masih luas, kalau sekarang ini sudah sulit, susah cari makanan karena banyak PT-PT (Perseroan terbatas) yang masuk, banyak trans-trans (transmigrasi) yang masuk,” kata Prabung.
Hewan buruan pun semakin berkurang sebab sumber makanan mereka di hutan juga sudah tidak ada. Kini Orang Rimba justru berhadapan dengan hama tanaman seperti monyet, landak, babi yang merusak ladang seperti yang diceritakan Prabung.
Saat saya datang ke sana, sudah ada juga Orang Rimba yang membuka hutan untuk tanam sawit dan ubi. Sementara banyak juga kebun karet yang sudah tidak diurus karena kurang menghasilkan.
Hewan buruan pun semakin berkurang sebab sumber makanan mereka di hutan juga sudah tidak ada. Kini Orang Rimba justru berhadapan dengan hama tanaman seperti monyet, landak, babi yang merusak ladang.Click To TweetSementara itu bantuan beras dari pemerintah justru lebih rumit untuk didapatkan. Rombong Tumenggung Aprizal di Singosari misalnya, sudah empat bulan ini tidak menerima bantuan sosial pangan (BSP). Penyebabnya adalah data KTP yang sering tidak sinkron antara Dinas Sosial dan Dukcapil.
Aprizal mengaku telah menyerahkan fotocopy KTP dan Kartu Keluarga pada pemerintah desa dan dinas sosial. “Dari bulan 1-5 ini belum dapat (bantuan), tertunda-tunda terus. Alasan pada data, katanya ada yang salah.”
Pusat Data Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial menemukan 972 data keluarga penerima manfaat untuk bantuan sosial pangan (BSP) suku anak dalam tahun 2021 terekam ganda. Sebanyak 551 diantaranya di Sarolangun, 176 di Merangin, 166 di Tebo, 52 di Tanjung Jabung Barat, 19 di Batang Hari dan 8 di Kabupaten Bungo.
“Makanya kita tidak berani mengeluarkan bantuan,” kata Usup Suryana, Kepala Seksi Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat Terpencil, Dinas Sosial Provinsi Jambi.
Alih-alih segera menyelesaikan masalah itu, Usup terkesan menyalahkan Orang Rimba yang hidup nomaden. “Jadi pindah di sana didata, pindah sini didata, jadi double,” katanya.
Makin Banyak Penyakit
Wabah Covid-19 membuat ingatan Tarib kembali pada kejadian tahun 1972, di mana gelabah—wabah—merenggut nyawa puluhan Orang Rimba rombong Tumenggung Kecik di wilayah Selanten, kabupaten Tebo. Sebanyak 32 orang mati dalam sehari akibat memacak-macako pinggan, wabah penyakit yang ditandai dengan piring pecah.
“Tup-tup piring itu bersantuk (beradu) orang itu mati, tinggal 6 orang dari 38 orang satu kelompok itu. Sekali kena itu habis, kalau pinggan (piring) itu pecah manusianya mati, itu. Itu rajanya penyakit tertinggi yang pernah terjadi,” kata Tarib.
Wabah itu masih misterius, belum ada penjelasan lebih lanjut dari berbagai pihak. Rombong Orang Rimba lain, antropolog dan juga Warsi, sebuah lembaga yang turut mendampingi #MasyarakatAdat di Jambi, juga tidak mengetahui soal wabah itu.
Selang satu dekade, kelompok Orang Rimba di Air Panas diserang campak, mereka sulit besesandingon karena wabah begitu cepat menyebar dalam satu rombongan, akibatnya 50 orang mati. Tarib adalah salah satu Orang Rimba yang selamat dari wabah itu.
“Kalau kena satu itu gak bisa lari, kena semua. Ini mati-mati 50 orang dalam satu minggu,” kata Tarib.
Hampir setiap tahun gelabah datang menyerang Orang Rimba dengan bermacam bentuk penyakit, mulai penyakit kulit, campak, cacar, demam, batuk, pilek, hingga muntah berak. Orang Rimba percaya saat musim betahunan atau musim buah, gelabah akan datang.
“Tapi zaman nenek kami itu jarang kena (wabah), paling 2-3 tahun baru kena,” kata Prabung.
Menurut Prabung wabah penyakit kini semakin meningkat seiring banyak pohon yang dibabat untuk kebun sawit dan transmigrasi. Dekade 1970-80an, terjadi pembukaan hutan besar-besaran di Air Hitam untuk lahan transmigrasi.
Program transmigrasi merampas ruang hidup Orang Rimba menjadi petakan-petakan kebun sawit yang dianggap mampu melipatgandakan ekonomi masyarakat dalam waktu singkat. Lokasi transmigrasi Hitam Ulu dan Air Hitam berada persis di pinggir kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas. Sementara hutan penyangga telah habis dikapling-kapling untuk 16 perusahaan pengeksploitasi kayu dan sawit. Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) mencatat sejak tiga dekade terakhir Jambi telah kehilangan 1,5 juta hektar tutupan hutan. Saat ini luas tutupan hutan diperkirakan kurang dari 900 ribu hektar.
“Kalau dulu hutan masih banyak, jadi penyakit itu kena pada pohon tidak langsung ke manusia. Tapi kini itu tidak, karena hutan lah habis dimana-mana, ya tetap dia (penyakit) menyerang itu tetap pada manusia,” katanya.
Penyakit semakin beragam. Data Dinas Kesehatan Sarolangun, kelompok Orang Rimba rentan terserang diare, malaria, ISPA dan penyakit kulit. “Sekarang semua penyakit sudah ada, sudah lengkap semua,” kata Prabung.
Hilangnya Tanaman Obat
Munculnya banyak penyakit yang menyerang Orang Rimba dibarengi dengan hilangnya banyak tanaman obat akibat hutan dibabat.
Ekspedisi biota medika yang dilakukan LIPI, Kementerian Kesehatan dan Institut Pertanian Bogor menemukan ada 101 jenis tanaman obat dan 27 jenis jamur obat ditemukan di hutan Taman Nasional Bukit Duabelas.
Selain berburu Orang Rimba dikenal sebagai peramu ulung. Mereka menggunakan tanaman yang mereka sebut rumput bemambu sebagai obat batuk dan getah rotan udang untuk menyembuhkan pilek. Saya mencari padanan nama tanaman rumput bemambu dalam bahasa Indonesia namun belum ditemukan. Sementara akar pasak bumi dipercaya bisa menyembuhkan banyak penyakit, termasuk malaria.
Prabung memperkirakan, lebih dari separuh jenis obat di hutan sekarang telah hilang seiring hutan di Air Hitam yang terus menyempit. “Dulu segala macam penyakit obatnya ada di hutan,” katanya.
Beberapa tanaman yang sudah sulit ditemukan adalah daun capo atau yang dikenal juga dengan nama daun sembung. Daun ini adalah obat demam, batuk dan pilek.
“Dulu di sini banyak, sekarang susah dicari,” kata Bejalo, salah seorang rombong Tumenggung Grip. “Ini nanti direbus dengan air, terus buat mandi.”
Tarib juga mengaku kesulitan menemukan pohon daun sejarak. Saya tidak mendapatkan padanan bahasa Indonesia untuk daun sejarak, tapi menurut keterangan Tarib, daun sejarak bentuknya mirip dengan daun jambu, lebarnya tiga jari, panjang sejari dan rasanya masam.
Dulu pohon itu banyak ditemukan di pinggir sungai Air Hitam. Katanya, daun pohon sejarak dimanfaatkan perempuan rimba untuk mengatur jarak kehamilan.
“Kalau kita pengen tujuh tahun belum punya anak, itu tujuh daun yang dimakan. Itu sekarang sudah punah. Tanaman purun (sejenis rumput teki-tekian) juga banyak yang habis, itu untuk ritual memanggil dewa,” katanya.
Tumenggung Grip sadar betul Orang Rimba tak akan sanggup melawan kehendak pemerintah yang terus memberikan izin perusahaan membabat hutan yang tersisa. Sejak sebulan belakangan dia mulai menanam ratusan jenis tanaman obat yang mulai sulit ditemukan di hutan. Setidaknya ada 133 jenis tanaman obat dia tanam. Termasuk akar kacom yang dipercaya bisa mengobati stroke dan lumpuh serta kayu jerampang untuk obat muntaber.
“Jadi sebelum punah kita tanam. Kalau banyak orang bikin ladang, hutan dibuka banyak yang punah,” kata Tumenggung Grip.
Tulisan ini adalah bagian dari serial reportasi #MasyarakatAdat dan Lingkungan Hidup.