Pemulihan jiwa bukan proyek medis. Ia adalah urusan kemanusiaan.
SAYA pertama kali melihat N di sebuah kandang ayam, di belakang rumah keluarganya di sebuah desa kecil di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Tubuhnya kurus, rambutnya kusut, dan matanya kosong menatap langit-langit bambu yang retak. Tak ada bau obat, tak ada tanda perawatan. Hanya bau kotoran ayam dan sisa hajatnya sendiri.
“Sudah dua tahun dia di situ,” kata ibunya. “Kami takut kalau dia kerasukan lagi.”
Di banyak kampung yang saya kunjungi, gangguan jiwa sering kali dikaitkan dengan hal-hal gaib. Gangguan jiwa seringnya dikaitkan dengan kerasukan roh jahat, kutukan leluhur, atau akibat melanggar adat tertentu.
Dalam satu kasus, seorang ibu bercerita bahwa anaknya mulai berubah setelah kembali dari perantauan. Warga kampung meyakini itu terjadi karena ia tidak menjalankan ritus adat wuat wa’i, sebuah upacara penting di Manggarai yang biasanya dilakukan sebelum seseorang pergi merantau. Tanpa ritus itu, menurut kepercayaan setempat, roh-roh leluhur bisa murka dan membuat hidup seseorang tidak tenang.
Di kasus lain, ada yang percaya bahwa roh nenek moyang marah karena kuburannya tidak pernah dikunjungi. Dalam perspektif ini, pendekatan spiritual menjadi pilihan pemulihan; antara didoakan, diurapi, atau disembuhkan lewat ritual adat.
Saya juga pernah mendampingi seorang anak muda di sebuah kampung pegunungan yang dibilang kerasukan karena sering mengamuk hanya pada malam hari. Saat kami ajak bicara, ternyata ia menyimpan kemarahan karena kekerasan dalam keluarganya selama bertahun-tahun. Tapi tak ada satu pun orang desa yang melihat itu sebagai trauma. Semua menganggapnya ulah makhluk halus.
Di banyak kasus, keyakinan terhadap hal-hal gaib tumbuh subur bukan semata karena tradisi, tapi karena tidak ada pilihan lain. Negara tidak menyediakan ruang pendidikan medis yang manusiawi, seturut dengan penyediaan layanan psikososial, maupun ruang edukasi lainnya untuk kesehatan psikis.
Negara Absen, Pasung Jadi Pilihan
N hanya satu dari puluhan perempuan, anak muda, dan orang miskin yang saya temui selama mendampingi penyandang disabilitas psikososial di Manggarai. Dari kampung ke kampung, cerita serupa terus terulang. Pasung selalu jadi solusi saat seseorang mengalami krisis kejiwaan.
Menurut data Kementerian Kesehatan, dari sekitar 10.000 puskesmas di Indonesia, hanya sekitar 38 persen yang memiliki layanan kesehatan jiwa. Itu pun sebagian besar terbatas pada pemberian obat, tanpa tindak lanjut psikososial atau kunjungan rumah yang berkelanjutan. Sementara itu, keberadaan rumah sakit jiwa sangat timpang: hanya 47 RSJ tersedia secara nasional, mayoritas terkonsentrasi di kota-kota besar di Jawa.
Di Manggarai, satu-satunya tempat rehabilitasi untuk orang dengan gangguan jiwa adalah Panti Renceng Mose, yang dikelola oleh sebuah biara Katolik, Caritas. Tempat ini hanya bisa menampung maksimal 30 orang, dan dengan biaya yang tergolong tidak murah, yakni sekitar Rp3-5 juta per bulan untuk setiap pasien.
Saya pernah mendampingi seorang ibu di sebuah desa di Manggarai Timur yang ingin memasukkan anaknya ke sana, tapi mundur setelah tahu biayanya.
“Saya tidak sanggup,” katanya. “Bapak (suami) sudah tidak ada, kalau jual hasil kebun pun belum tentu cukup untuk bayar satu bulan.”
Akhirnya, mereka memilih merawat sendiri di rumah, dengan risiko tinggi dan tanpa dukungan tenaga profesional.
Bukan hanya itu, tenaga profesional juga tidak memadai. Dengan hanya sekitar 1.120 psikiater dan kurang dari 2.000 psikolog klinis di seluruh Indonesia, distribusi pelayanan kesehatan jiwa menjadi masalah serius. Di banyak daerah, tidak ada satu pun psikiater. Tak ada pekerja sosial spesialis kesehatan jiwa. Tak ada layanan rawat jalan yang manusiawi.
Laporan Human Rights Watch (HRW) tahun 2016 mencatat lebih dari 57.000 orang di Indonesia pernah dipasung, minimal sekali seumur hidupnya. Kementerian Kesehatan mencatat angka orang dengan disabilitas psikososial yang dipasung oleh keluarganya menurun sepanjang periode 2019-2022, dari 4.989 orang menjadi 4.304 orang.
Ironinya, pasung seolah bukan hanya pilihan domestik tetapi menjadi bentuk kekerasan struktural yang dibiarkan dan dilegalkan oleh negara.
Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang sudah diratifikasi Indonesia pada 2011 menjamin hak atas kebebasan dan perlindungan dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi.
Saya masih ingat satu keluarga di Rahong Utara yang beberapa kali saya kunjungi. Anak laki-laki mereka dikurung di bekas kandang babi, kakinya dipasung dengan balok karena dianggap berbahaya. Saat kami tanya apakah sudah pernah dibawa berobat, saudarinya hanya menggeleng.
“Kami tidak tahu mau minta bantuan kemana,” katanya. Mereka juga tidak tahu bagaimana cara mengurus BPJS, apalagi mengakses Panti Renceng Mose.
Dalam tekanan sosial dan ekonomi yang begitu berat, keluarga menjadi benteng harapan terakhir tetapi juga, keluarga juga yang disalahkan apabila pasung terjadi. Keluarga kerap dinarasikan sebagai aktor utama kekerasan, padahal mereka sebenarnya korban dari sistem yang abai.
Dalam banyak kasus, keluarga memutuskan memasung bukan karena tidak peduli, tapi karena tidak punya akses, tidak mendapat dukungan, dan tak jarang merasa terancam secara sosial dan ekonomi akibat perilaku krisis yang tidak tertangani.
Pasung, dalam konteks ini, bukan hanya tindakan individual, tapi respons kolektif terhadap kegagalan negara menyediakan sistem pemulihan yang adil dan merata.
Bukan Sekadar Obat-obatan

Selama setahun terakhir, kami melakukan studi dasar terhadap 130 orang dengan disabilitas psikososial (ODDP) dan keluarganya di Manggarai. Hasilnya menunjukkan bahwa gangguan jiwa tidak bisa dipisahkan dari realitas sosial-ekonomi yang mereka alami.
Faktor pemicu paling banyak bukan keturunan atau trauma medis, melainkan tekanan ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, utang, dan kehilangan pekerjaan. Faktor lain yang mengikuti adalah konflik interpersonal seperti kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, keterasingan dalam keluarga.
Faktor-faktor ini adalah luka sosial yang tak terlihat dalam diagnosis medis, tapi sangat nyata dalam hidup mereka. Pada titik ini, pendekatan yang manusiawi tidak hanya sebatas pemberian obat atau perawatan medis lainnya.
Di Indonesia, penanganan gangguan jiwa yang dilakukan rumah sakit dan institusi kesehatan lainnya masih didominasi dengan pendekatan medis. Tubuh pasien diukur, ditakar, lalu distabilkan tetapi jiwanya diabaikan, pengalaman traumatiknya dipinggirkan.
UU Kesehatan 2023 yang menggantikan UU Kesehatan Jiwa 2014 tidak hanya menyatukan regulasi, tapi sekaligus menghapus banyak pasal progresif yang sebelumnya melindungi hak-hak orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Dalam UU Kesehatan Jiwa 2014, pemulihan tidak dimaknai sekadar menghilangkan gejala, tapi juga pemulihan fungsi sosial, ekonomi, dan martabat penyintas. Pasal 25 hingga 31 secara tegas memandatkan rehabilitasi psikososial dan sosial bagi ODGJ, termasuk pelatihan kerja, penguatan spiritual, hingga integrasi kembali ke masyarakat. Pada UU Kesehatan 2023, seluruh pasal ini dihapus. Negara tidak lagi berkewajiban membangun sistem pemulihan yang utuh dan ODGJ kembali direduksi sebagai objek klinis.
Lebih dari itu, Pasal 7 tentang kewajiban negara menghapus stigma juga hilang. Tanpa upaya sistematis melawan stigma, trauma sosial penyintas justru akan terus dilanggengkan, bahkan oleh hukum yang diam. Ketika kebijakan negara hanya menawarkan pil sebagai solusi, maka yang diperkuat adalah ketergantungan, bukan pemulihan.
Tak heran jika setelah keluar dari rumah sakit, banyak dari pasien ODGJ tetap terperangkap pada siklus kemiskinan, stigma, dan kekambuhan.
Kesehatan jiwa berkaitan erat dengan kemiskinan, pengangguran, kekerasan dalam rumah tangga, ketimpangan gender, dan berbagai bentuk represi sosial lainnya. Dengan mengabaikan dimensi ini, negara tidak hanya gagal memahami kompleksitas gangguan jiwa, tapi juga memperpanjang penderitaan kolektif.
Pemulihan Berbasis Komunitas
Arthur Kleinman, antropolog dan psikiater terkemuka, telah lama menggugat reduksi gangguan jiwa sebagai sekadar disfungsi otak. Baginya, penderitaan mental adalah pengalaman manusiawi yang sarat makna sosial, budaya, dan moral (Kleinman, 1988).
Dalam The Illness Narratives, Kleinman menyebut bagaimana intervensi medis seringkali menyingkirkan illness experience atau pengalaman personal dan sosial dari mereka yang sakit.
Model pemulihan (recovery model) menawarkan jalan keluar. Bagi banyak negara, ini sudah menjadi pendekatan baku dalam sistem layanan jiwa yang bukan semata-mata mengejar gejala agar hilang, tapi memastikan penyintas bisa hidup bermakna, berdaya, dan terlibat dalam komunitas.
Di Indonesia, kata “pemulihan” masih jarang terdengar dalam dokumen kebijakan. Yang dominan justru “rehabilitasi” ala institusi, yang memperlakukan penyintas sebagai objek penanganan, bukan subjek kehidupan.
Negara-negara seperti India dan Afrika Selatan mulai membangun layanan berbasis komunitas, melibatkan keluarga, kader lokal, dan kelompok-kelompok swadaya seperti self-help group. Di Indonesia, praktik ini masih bergantung pada LSM dan proyek donor. Negara belum sungguh-sungguh mengambil tanggung jawab. Padahal, bukti ilmiah menunjukkan bahwa intervensi berbasis komunitas tak hanya lebih murah, tapi juga lebih efektif mencegah kekambuhan, mengurangi beban keluarga, dan meningkatkan kualitas hidup penyintas.
Saya pernah terlibat langsung dalam proses pemulihan berbasis komunitas ini. Di sebuah dusun kecil, bersama kader desa, kami mendampingi seorang pemuda yang selama hampir dua tahun terkurung di kamar. Ia hidup dalam ketakutan dan terisolasi. Setelah enam bulan pendampingan, akses pengobatan rutin, dan kegiatan kelompok bersama, ia kini membantu ibunya berkebun dan memulai usaha ternak ayam. Ia belum “sembuh” secara medis tetapi telah kembali menemukan fungsinya sebagai manusia.
Pemulihan bukanlah proyek medis. Ia adalah urusan kemanusiaan.
Sayangnya, negara masih memonopoli makna “sehat mental” lewat lensa institusional. Negara lebih percaya pada resep psikiater ketimbang suara komunitas. Lebih menganggarkan rumah sakit jiwa ketimbang layanan berbasis desa. Lebih sibuk membangun gedung ketimbang relasi.
Pemerintah perlu melepaskan ego teknokratik dan mulai membangun kepercayaan dari bawah, bukan sekadar memerintah dari atas. Harus percaya bahwa komunitas bukanlah pelengkap sistem tetapi fondasi utama dari pemulihan.
—
Jerry Santoso adalah Program Officer Community Based Mental Health di Yayasan Ayo Indonesia, sedang mendampingi orang dengan disabilitas psikososial bersama keluarga mereka di Manggarai, NTT.