Di tengah konflik perampasan ruang hidup di Sukahaji, Kota Bandung, solidaritas dan kekompakan para ibu tumbuh dan menyala lewat dapur umum.
Setelah penyerangan preman pada 21 April 2025, sejumlah ibu di Sukahaji berinisiatif mendirikan dapur. Selain berdiri pada barisan paling depan melawan para preman, para ibu ini juga menyadari peran penting melawan dari dapur.
Tanpa ada perintah, masing-masing ibu berinisiatif memasak lebih untuk kebutuhan warga dan solidaritas di Sukahaji. Masakannya pun tidak seragam, ada yang menyiapkan nasi, sayur dan lauknya, ada membuat aneka gorengan, ubi rebus, bahkan ada liwetan.
“Enggak ada yang nyuruh kami masak. Tapi kami tahu, warga butuh makan. Kalau nunggu disuruh, kapan mulainya?” cerita salah satu dari mereka.
Aneka makanan itu biasanya diberikan untuk warga dan mahasiswa turut ronda dan berjaga pada malam dan siang hari. Sejak konflik memanas, ada banyak orang tak dikenal seliweran, sehingga ronda menjadi sangat diperlukan.


Yuli salah satu yang turut memasak untuk warga. Tidak hanya itu, saat konflik 21 April ia juga salah satu yang berdiri di garis depan, bahkan ia menjadi salah satu korban pemukulan.
Siang itu, sekitar pukul 12, Yuli mendapat kabar dari grup WhatsApp bahwa terjadi keributan di depan kampung. Ia pun bergabung bersama ibu-ibu lainnya untuk mempertanyakan aktivitas penggalian dan pemagaran di lahan yang status hukumnya belum jelas.
“Kami cuma tanya baik-baik, kenapa ada pembentengan padahal masih dalam proses pengadilan,” ujarnya.
Namun, respons yang diterima justru intimidasi. Seorang pria yang tidak dikenal menyuruh anak buahnya untuk menghajar warga yang protes. Ketegangan meningkat ketika seorang pemuda warga ditarik paksa. Ibu-ibu yang mencoba melindungi justru diserang. Yuli pun terkena pukulan hingga terjatuh.


Yuli mengaku mengalami dampak fisik dan mental sejak kejadian itu. Secara ekonomi pun, warga terdampak aktivitas usaha warga terganggu, banyak yang tak lagi bisa berjualan.
Dalam kondisi yang serba sulit, namun warga tetap mau berbagi. Para ibu, seperti Yuli, tetap memasak lebih untuk kebutuhan warga. Tidak ada sumber uang khusus untuk dapur umum ini, hanya saja jika ada warga yang mendapat rejeki, mereka dengan senang hati berbagi.
Konflik Agraria Menjadi Konflik Keluarga
Kisah Yuli bukan satu satunya, Entin Supartini, perempuan 60 tahun yang merantau ke Kota Bandung sejak 1976 juga turut memasak untuk warga dan sejumlah mahasiswa yang bersolidaritas.
Entin sudah mendiami Sukahaji sejak tahun 1982. Saat itu, suaminya ditawari oleh petugas keamanan setempat untuk menggarap lahan di kawasan Sukahaji. Ia mulai menanam sayuran, seperti sawi hijau, di atas lahan tersebut.
Menurutnya, pada awal kepindahannya, Sukahaji masih berupa hamparan sawah dan kebun yang luas. “Dulu kawasan ini hamparan sawah dan kebun luas. Saya dan suami ditawari untuk menggarap oleh petugas keamanan,” ungkap Entin.
Dari awal konflik Entin mengaku telah tiga kali mendapat tawaran uang kerohiman dari pihak yang mengklaim kepemilikan mulai dari Rp750 ribu, Rp1 Juta hingga Rp5 juta. Namun pada saat yang sama, ancaman datang bersamaan dengan tawaran itu.
“Kalau tidak ambil uang nanti bakalan di dor katanya. Tembak saja, saya tidak takut!” ungkapnya.


Konflik lahan tak hanya menimbulkan ketegangan dengan pihak luar, tetapi juga memecah ikatan keluarga Entin. Putra sulungnya memilih menerima uang kerohiman dan bergabung dengan kelompok yang mengaku pemilik sah, yang membuat hubungan ibu-anak kian renggang.
“Anak tertua saya bilang, ‘Mamah, nanti tuh bakalan ada sesuatu di sana dan mereka yang di solidaritas itu bukan mahasiswa’. Jawab saya ‘ah udahlah, jangan lihat saya sebagai mamah sekarang. Mamah bakalan kuat, bakalan kebal!’ ” ujar Entin menirukan obrolan dengan anaknya.
Keputusan itu menambah beban emosional, belum lagi usaha dagangan kue cucur yang dijalankan Entin sempat menjadi tumpuan keluarga usai suaminya di PHK terpaksa berhenti. Modal yang terkumpul yang seharusnya terus berkembang habis ia gunakan sepenuhnya untuk menutupi kebutuhan hidup sejak tragedi penyerangan dari ormas suruhan.
“Dengan kondisi yang sekarang, ludes modal, dipake dari bulan puasa hingga lebaran untuk dipakai makan,” ujarnya menahan haru.
Meski demikian, Entin tetap berupaya berkontribusi pada gerakan warga dengan memasak. Jika ada sumbangan bahan makanan, ia menyediakan waktu memasak untuk kebutuhan bersama.


Hal itu juga dilakukan oleh Nining, seorang ibu yang juga turut berjuang bersama warga. Rumahnya dijadikan titik kumpul sejumlah mahasiswa yang bersolidaritas, sehingga setiap saat ia selalu memasak lebih untuk para mahasiswa yang datang ke sana.
Kebaikan hati para ibu ini terkadang membuat sebagian orang merasa sungkan. Misalnya ketika kami meliput di sana, warga mengajak untuk makan bersama, jika menolak akan terus dipaksa, sampai akhirnya kami ikut makan bersama.
Dalam sejumlah kesempatan para ibu membuat nasi bungkus. Setiap kali masakan sudah selesai, mereka akan menginformasikan di grup komunikasi bahwa makanan sudah siap. Siapa saja yang membutuhkan bisa mengambil atau memesan untuk diantarkan.
Melawan Ormas Bayaran
Ronald, (48), Ketua Forum Warga Sukahaji Melawan bilang saat ini ada lebih dari 600 kepala keluarga atau sekitar seribuan jiwa yang bertahan di Kampung Sukahaji.
Di tengah perjuangan warga mempertahankan ruang hidup mereka di Sukahaji, bayang-bayang intimidasi tak hanya datang dari kelompok ormas bayaran, tetapi juga dari pihak yang seharusnya menjadi pelindung yaitu aparat negara.
Ormas bayaran yang mengatasnamakan diri sebagai Residivis datang ke pemukiman dengan atribut lengkap. Mereka mengintimidasi warga untuk menerima kompensasi dan segera mengosongkan rumah. Ironisnya, kehadiran mereka kerap bersamaan dengan aparat TNI dari unsur Babinsa.
“Babinsa datang pakai baju hijau berkeliaran di sekitar Sukahaji” kata Ronald.
Meski tak ada ancaman verbal, kehadiran aparat bersenjata di tengah masyarakat sipil menciptakan trauma kolektif.
“Itu sudah cukup membuat warga merasa terintimidasi,” ucapnya


Ketika warga mempertanyakan dasar kehadiran aparat, mereka hanya dijawab, “atas perintah komandan.” Namun, surat tugas atau dokumen resmi tak pernah ditunjukkan. Warga pun mempertanyakan legitimasi kehadiran aparat di konflik yang bersifat sipil.
Laporan demi laporan telah diajukan warga ke Polsek setempat, namun hasilnya nihil.
“Masuk angin,” begitu istilah yang digunakan Ronald untuk menggambarkan sikap polisi terhadap laporan warga. Tak satu pun tindak lanjut berarti diberikan, bahkan setelah kejadian pemukulan oleh ormas pada 21 April 2025.
“Kami sudah lapor ke berbagai pihak, termasuk Polda. Tapi tetap tidak ada tindakan nyata,” ujarnya.
Warga Sukahaji tidak menuntut hak milik atas tanah. Mereka hanya ingin tetap hidup di ruang yang telah mereka tempati selama bertahun-tahun, sebagaimana dijamin oleh konstitusi.
“Kami bukan pemilik, tapi kami punya hak hidup,” tegas Ronald.

Konflik yang terjadi di Kampung Sukahaji, Bandung, menjadi potret nyata persoalan struktural pertanahan di Indonesia. Warga yang telah menempati dan mengelola tanah secara turun-temurun kini menghadapi ancaman penggusuran akibat klaim sepihak. Lahan yang selama ini menjadi sumber penghidupan dan ruang hidup, kini terancam oleh proyek komersial.