Pembangunan kanal-kanal hilir oleh PT Bumi Mekar Hijau (BMH), perusahaan penyuplai kayu akasia untuk industri pulp dan kertas, di Desa Jerambah Rengas pada 1985, jadi awal mula kemunculan perkara bagi keseimbangan alam.
Kanal-kanal dibangun perusahaan atas nama normalisasi sungai, agar air tidak langsung melaju dan dapat digunakan untuk mengairi perkebunan akasia di desa yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan itu.
Namun, kepentingan perusahaan justru merusak kontur alami sungai dan mengganggu keseimbangan unsur hara lahan gambut di sana.
“Sungai disini banyak kelokan, gunanya untuk menahan air supaya tidak langsung melaju. Tapi sekarang sudah dibuat lurus, gak ada kelokan lagi,” kata warga asli Desa Jeramba Rengas, Mang Sukri, pertengahan Mei lalu.
Hilangnya kelokan membuat aliran sungai menjadi cepat kering, lanjut Sukri. Keadaan semakin parah ketika musim kemarau. Sungai menjadi dangkal dan kadang menyurutkan sumber mata air di desa.
Desa Jerambah Rengas memiliki luas hingga 222,45 kilometer dan dikelilingi oleh gambut dalam. Total penduduknya mencapai 1.133 Jiwa, sebagian besarnya bekerja sebagai petani, termasuk petani karet. Perkebunan karet umumnya berada berdampingan dengan lahan gambut.
“Seperti sumur-sumur warga banyak kering kalau kemarau. Kalau kering, warga di sini membeli air kemasan, sampai sekarang, karena sudah terbiasa,” kata Sukri.
Seolah dampak akibat perkebunan akasia tak cukup menyusahkan, datang lagi perusahaan perkebunan baru di desa. Tahun 2019, PT Bumi Harapan Plasma (BHP) mulai melakukan ‘uji coba’ penanaman bibit di sana. Perusahaan belum mengantongi izin. Dalihnya, izin sedang diurus.
Karakter tanaman sawit yang homogen dan dapat menyerap air terlalu banyak membuat warga khawatir akan membuat kondisi lahan gambut semakin parah. Bukan hanya itu, perubahan kontur gambut setelah kehadiran berbagai industri perkebunan di sana membuat kebakaran hutan dan lahan semakin sering terjadi di desa mereka.
Warga mengingat, pada tahun 60-70an, kebakaran hutan hanya terjadi pada musim kemarau yang sangat panjang.
Kebakaran yang semakin sering terjadi membuat para warga waswas api ikut menjalar ke kebun karet. “Tahun 2019, kebun karet milik saya terkena kebakaran lahan gambut. Itu rugi puluhan juta saya,” kata Mang Sukri.
Warga Jerambah Rengas memilih tak diam. Mereka menggelar demonstrasi di depan Kantor Bupati Ogan Komering Ilir menolak kehadiran perusahaan. Warga juga membangun posko penjagaan di beberapa titik di desa untuk menghalau kedatangan perusahaan.
Desa Penghasil Segalanya
Peralihan lahan bukan hanya menjadi ancaman bagi kebun warga. Hewan ternak dan spesies ikan air tawar juga harus menanggung dampak buruknya. Warga mengeluhkan banyaknya kerbau yang mati secara tiba-tiba. Warga mencurigai pola perusahaan yang sengaja membuang pupuk di kanal-kanal dan sungai. Air yang tercemar itu kemudian diminum oleh hewan ternak.
“Itu untuk mengurangi biaya operasional menjadi minim. Dengan membuang pupuk ke kanal membuat pupuk dengan mudah menyebar. Pencemaran ini dilihat dari air gambut, yang belum tercemar itu warnanya gelap dan cenderung hitam. Sekarang air di hilir sungai menjadi bening,” kata Sukri.
Mang Pei, warga setempat yang biasa melakukan aktivitas menangkap ikan di rawang (sebutan gambut di desa), mengatakan saat ini hanya tersisa ikan berukuran kecil. “Kalau dulu kami bisa dapat ikan yang beratnya sampai lima kilogram,” kata Pei.
Ketika ekosistem sungai masih alami, ikan-ikan membentuk sarang di pinggir sungai karena banyak sumber makanan seperti akar-akar tumbuhan. Namun, sekarang, sarang ikan di rawang sudah rusak akibat dari normalisasi sungai sehingga menjadi turun dan dangkal. Kini warga desa lebih sering membeli ikan tambak yang dijual pedagang keliling.
Jerambah Rengas dahulu juga dikenal sebagai desa pengrajin bubu dan pengilar rotan untuk perangkap ikan. Warga menjual bubu dan pengilar rotan dengan harga kisaran Rp12 ribu di pasar. Kerajinan itu ikut punah ketika ikan tak lagi sering muncul di sungai.
Selain ekosistem gambut yang rusak, hasil alam pun juga terancam seperti kayu meranti atau biasa disebut warga desa dengan kayu perpat. Kayu meranti menjadi salah satu material terbaik dalam mendukung bangunan pondasi rumah. Apalagi kayu meranti yang tumbuh dan terendam dalam gambut. Kandungan mineral dalam gambut membuat kualitas kayu meranti semakin kuat dan tahan lama. Harga jualnya per kubiknya bisa berkisar Rp2 hingga Rp3 juta.
Petaka Menjalar ke Desa Lainnya
Dampak kanalisasi sungai juga terjadi di Desa Arisan Jaya di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Warga yang menggantungkan hidup dengan menggarap sawah kini kehilangan arah. Kekeringan semakin sering terjadi, sawah sulit mendapatkan sumber air.
“Air pasang dari sungai Ogan juga gak tentu masuk ke desa kita. Semenjak adanya kanal membuat air di gambut berkarat dan mengganggu sawah. Akhirnya kami terpaksa beralih menjadi petani cabai,” kata Asrus, warga setempat.
Di sisi lain, lahan sawah yang dibangun perusahaan tak menghadapi kendala yang sama. Perusahaan membuka lahan sawah yang dipisahkan dengan kanal-kanal air.
“Berbeda dengan perusahaan yang memiliki alat sendiri untuk mengatur sirkulasi air dalam sawah mereka. Padi yang kami panen ini akhirnya cuma bisa untuk makan sehari-hari, tak bisa dijual,” katanya.
Senasib. Kebakaran hutan dan lahan di Desa Arisan Jaya juga semakin sering terjadi. Salah satu warga pernah gagal panen karena seperempat lahan cabainya ludes dilahap si jago merah.
Pembukaan lahan gambut dimulai dengan pembuatan saluran-saluran (drainase). Kondisi tersebut menyebabkan muka air tanah menjauhi permukaan. Kemudian akan memacu laju dekomposisi bahan organik oleh jasad renik, yang pada akhirnya gambut menjadi rentan terbakar.
Sumatera Selatan menjadi salah satu provinsi yang mengalami kebakaran hutan dan lahan terluas pada 2015. Sebanyak 736 ribu hektare hutan dan lahan di provinsi itu dinyatakan rusak dalam peristiwa kebakaran hebat itu.
Kebakaran luas di Sumatera Selatan kembali terjadi pada tahun 2019. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat seluas 429 ribu hektare lahan habis terbakar, melonjak tajam dari 38 ribu hektare lahan pada tahun sebelumnya.
Dampak dari kebakaran lahan menimbulkan bencana kabut asap yang meluas hingga Malaysia dan Singapura, serta menimbulkan korban jiwa baik manusia maupun habitat flora dan fauna Indonesia.