Pembunuhan Orang Rimba di Jambi: “Kami Orang Lapar, bukan Pencuri”

Mawa Kresna
19 menit
Lirit mengumpulkan brondolan sawit yang dia pungut dari tanah kebun sawit transmigran ke dalam karung. Orang Rimba di Jambi mengalami krisis pangan karena ruang hidup menyempit setelah hutan dikavling-kavling untuk izin perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan transmigrasi. (Project M/Teguh Suprayitno)

Pelajang tewas dikeroyok warga dan satpam karena memungut brondolan sawit milik perusahaan. Pelajang adalah satu dari sekian banyak Orang Rimba yang menjadi korban kekerasan setelah hutan daerah jelajahnya dirampas korporasi. 

Sekitar pukul 11.00 siang, dua hari sebelum April berakhir, empat lelaki rimba—Pelajang, Bapangku, Rendi, dan Ngadang—dikepung ratusan orang di sekitar jerambah Sungai Kemang. Sekitar 200 orang anggota Koperasi Lestari bersama sekuriti PT. Persada Harapan Kahuripan (PT. PHK) menyerbu dengan amarah yang membabi buta.

Mereka berempat dituduh mencuri brondolan sawit. 

Dari kerumunan massa itu, seseorang berteriak, “Ini harus dihukum massa!”

Dalam sekejap teriakan itu mewujud dalam sebatang kayu yang berayun kencang, menghantam tengkuk Bapangku. Ia ambruk, pingsan di tengah amukan massa yang tak pernah memberinya waktu untuk menjelaskan apa pun.

Pelajang yang duduk di samping Bapangku, juga langsung jadi bulan-bulanan massa. Dia dipiting, dipukuli, ditendang berkali-kali. Akhirnya rebah ke tanah, tanpa mampu melawan. 

Tiga sepeda motor milik Orang Rimba juga dibakar warga. 

Menyadari situasi makin kaos, Rendi berusaha lari, tetapi orang-orang menyergapnya. Ia berontak dan berhasil lepas dari kepungan massa. Ia berlari pontang-panting di antara pohon sawit yang tak berujung. Di satu titik ia berhenti, lalu bersembunyi dekat kuburan. 

Dengan tangan gemetar, ia menghubungi kelompoknya di Kampung Pelangi, Desa Sialang, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, sekitar 180 km dari tempatnya sembunyi. Ia meminta segera diselamatkan.

Sebuah botol air kosong ia letakkan di tengah jalan sebagai tanda darurat, berharap itu cukup untuk menunjukkan arah kepada penyelamatnya.

Sementara Ngadang lari jauh ke perkampungan dan diselamatkan kelompok Orang Rimba Tanah Garo yang kebetulan melintas di tempat ia biasa menjual brondolan sawit. Ngadang kemudian dibawa ke wilayah Margoyoso, sebelum akhirnya dijemput kelompok Kampung Pelangi. Tubuhnya babak belur, wajahnya penuh luka.

Kabar pengeroyokan menyebar dan membuat geger kelompok Orang Rimba di Tebo dan Merangin. Sebuah video memperlihatkan Pelajang dan Bapangku terkapar di dalam bak mobil pikap.

“Kata polisi, mereka ini sudah dimasukin karung, kalau nggak ketahuan mungkin sudah dibakar,” kata Tumenggung Ganta, dengan suara bergetar. Pelajang adalah menantunya.

Pelajang tewas dengan tubuh penuh memar. Tulang lehernya patah, perutnya robek, diduga tusukan senjata tajam. 

Menjelang petang, Rendi akhirnya ditemukan kelompok Tanah Garo dan polisi.

***

Tiga hari sebelum kejadian, Ketua Koperasi Lestari, Sabran meneken surat yang isinya mengajak seluruh anggota koperasi untuk mengusir Suku Anak Dalam—sebutan pemerintah untuk Orang Rimba, Suku Batin Sembilan, dan Suku Talang Mamak di Jambi.

Anggota koperasi Lestari merupakan petani plasma PT. PHK. Mereka merasa rugi akibat banyak pencurian brondolan sawit yang diduga dilakukan Suku Anak Dalam.

“…Marilah kita sama-sama datang ke lahan kebun kita untuk mengusir Suku Anak Dalam…” bunyi surat tertanggal 26 April 2025 tersebut.

Seluruh anggota koperasi diminta berkumpul di halaman kantor Koperasi Lestari di Betung Bedarah Timur, jam 08.00 pagi pada 29 April 2025.

“Dengan ketentuan kita tidak boleh melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk apapun (tidak boleh anarkis) kita hanya meramaikan saja untuk mengusir mereka,” bunyi di akhir surat.

Selasa pagi, orang-orang berdatangan dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka mulai bergerak menuju kebun PT. PHK, sekitar 10 km dari kantor Koperasi Lestari. Hari itu ada 8 Orang Rimba yang mengambil brondolan sawit. Selain kelompok Pelajang, ada kelompok Baanjung.

Menjelang siang, rombongan anggota koperasi menemukan kelompok Pelajang di kebun warga, di sekitar jerambah Sungai Kemang. Bapangku tak curiga ketika ratusan orang mendekatinya.

“Waktu itu kami cuma duduk-duduk, rencananya mau pulang, mau jual brondol,” kata Bapangku pelan. Ia tak pernah menyangka siang itu akan berubah menjadi mimpi buruk.

“Terus ada yang minta golok, katanya cuma mau motong kayu. Tapi begitu golok itu diambil, kami langsung dipukul.”

Ia merasa tak mencuri, karena yang diambil hanyalah remah-remah. “Kami itu disuruh ikut orang panen,” ucapnya. “Katanya ada panen 33 hektare, kalau mau brondolan, ikut saja. Ya kami ikutlah. Tapi malah kami dikeroyok.”

Bapangku dan tujuh Orang Rimba yang sedang mengumpulkan brondolan sawit dikeroyok oleh ratusan anggota koperasi Lestari yang merupakan petani plasma PT. Persada Harapan Kahuripan (PT. PHK) pada 29 April 2025. Salah satu Orang Rimba bernama Pelajang tewas. (Project M/Teguh Suprayitno)

Sabran tak mau menjawab telepon, meski sudah berkali-kali dihubungi pada 4 dan 10 Juni 2025. Pesan Whatsapp juga tidak dibalas.

PT. PHK merupakan anak perusahaan PT Matahari Kahuripan Indonesia (Makin Grup), yang dikendalikan keluarga Wonowidjojo, pengusaha sekaligus pemilik Gudang Garam. PT. PHK mendapatkan izin Hak Guna Usaha perkebunan sawit seluas 5.600 ha dan pabrik pengolahan kelapa sawit (CPO) berkapasitas 30 ton per jam di Kecamatan Tebo Ilir dan Kecamatan Muara Tabir, Kabupaten Tebo, Jambi. Separuh dari luas kebun PT. PHK milik petani plasma.

Depati Gentar gusar dengar kabar Bapangku, keponakannya jadi korban pengeroyokan. Sebab dua bulan sebelum lebaran Idul Fitri, kelompok Orang Rimba dan pihak perusahan telah sepakat ketemu untuk musyawarah masalah pengambilan brondolan sawit.

“Kami itu mengambil brondolan yang busuk, yang ditinggal perusahaan. Tapi kalau diambil, mereka marah.”

Sampai sekarang pertemuan itu tak pernah terjadi, karena pihak perusahaan tak pernah memberi kabar.

Klaim Depati Gentar dibantah Hariono, Humas PHK. “Nggak ada itu—musyawarah. Kami itu bilang nanti dikasih surat untuk pimpinan kelompok, isinya himbauan agar SAD itu tidak mengambil brondolan, bukan kami mau ketemu.”

Sejak 2023 banyak rombongan Orang Rimba dari Tanah Garo, Pamenang dan Taman Nasional Bukit Duabelas, mengambil brondolan di kebun PHK. 

“Paling banyak itu akhir 2024 sampai awal 2025. Itu mereka datang rombongan bisa belasan orang sampai 20 orang. Setiap hari,” kata Hariono.

Menurut Hariono, dalam sehari Orang Rimba bisa 2-3 kali mengangkut brondolan sawit. Satu motor bisa bawa dua karung, sekali angkut. Masing-masing karung berisi sekitar 50-60 kg.

Banyak petani plasma mengeluh rugi, karena bagi hasil panen sawit berkurang. “Makanya kemarin kita rame-rame itu. Memang kita cari mereka, niatnya sosialisasi agar mereka tidak mengambil yang bukan miliknya, bukan haknya,” jelas Hariono. “Tapi yang terjadi kemarin di luar rencana, namanya orang banyak, pikirannya beda-beda.”

Keterlibatan Satpam PT. SKU

Kematian Pelajang memicu kemarahan kelompok Orang Rimba Tanah Garo. Tiga kali mereka mencoba melakukan serangan balasan. Suara letusan senjata api terdengar beberapa kali ketika kelompok Orang Rimba berusaha menyerang polisi yang berjaga di lokasi. Mereka menghadang jalan, berusaha menangkap pelaku pengeroyokan, meski tak tahu pasti siapa yang memukuli saudara mereka hingga mati.

“Alhamdulillah tidak ada korban,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jambi, Kombes Pol. Manang Soebeti, saat jumpa pers di Polda Jambi, Jumat, 2 Mei 2025.

Kapolres Tebo AKBP Triyanto, memastikan situasi di lapangan telah kondusif. Polres Tebo menempatkan 50 personel gabungan untuk mengamankan lokasi di sekitar kebun sawit PT. PHK.

Sehari setelah kejadian pengeroyokan, polisi menangkap Naskolani dan Hendriyanto Setiawan, warga Desa Betung Bedarah Barat, Kecamatan Tebo Ilir, Tebo.

“Satu orang ini berperan memegang korban termasuk juga ikut memukuli, dan satunya juga ikut memukuli menggunakan kayu,” kata Manang.

Polisi mengidentifikasi setidaknya ada 5 sampai 10 orang pelaku lainnya yang dianggap berperan aktif dalam kasus pengeroyokan tersebut. “Saya mengimbau kepada para pelaku pengeroyokan yang ikut serta dalam peristiwa tersebut segera datang ke Polres (Tebo) untuk menyerahkan diri.”

Manang memastikan, tidak ada perintah dari perusahaan untuk melakukan pengeroyokan. “Mereka spontan melakukan pengeroyokan karena menduga SAD melakukan pencurian.”

Kedua pelaku dijerat Pasal 170 tentang pengeroyokan dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara. “Intinya proses penegakan hukum kita lakukan terhadap siapa pun pelaku yang terlibat dalam kasus pengeroyokan ini.”

Belakangan diketahui, Hendriyanto Setiawan adalah komandan regu sekuriti PT. Satya Kisma Usaha (PT. SKU) Tebora, anak usaha Sinarmas. Sedangkan Nasakomi merupakan kepala unit pengamanan PT. SKU. 

Pihak PT. SKU menolak dikaitkan dengan kasus pengeroyokan Orang Rimba. Mohamad Akbar, Humas PT SKU Tebora mengatakan, pengeroyokan itu di luar konsesi perusahaan dan kedua tersangka saat itu tidak sedang tugas.

Menurut Akbar, pengeroyokan itu tanggung jawab Hendriyanto dan Naskolani sebagai petani plasma PT. PHK.

Didenda Adat

Empat hari setelah jenazah Pelajang dimakamkan di TPU Desa Sialang, Pemerintah Kabupaten Tebo melakukan mediasi antara kelompok SAD dengan PT. PHK, di Gedung Lembaga Adat Melayu Jambi, Tebo. 

Kelompok Orang Rimba menuntut perusahaan membayar denda adat, 5.000 lembar kain untuk korban meninggal dan 7.500 lembar kain untuk tiga korban luka. Perusahaan juga diminta mengganti tiga motor yang telah dibakar massa, serta menyiapkan lahan penghidupan 4 ha untuk keluarga mendiang Pelajang. Nilainya ditaksir mencapai Rp1,6 miliar, tetapi perusahaan hanya sanggup membayar Rp800 juta.

“Uang Rp700 juta itu terlihat besar, tetapi itu bukan solusi. Orang Rimba butuh jaminan kehidupan jangka panjang dari sekedar uang,” kata Robert Aritonang Manajer Program KKI Warsi.

Hutan yang menjadi sumber penghidupan dan akar budaya Orang Rimba telah dirampas, dan jadi penyebab konflik yang tak berkesudahan. 

“Ini bukan hanya soal hukum atau denda. Ini soal hidup. Soal makan. Soal masa depan,” tegasnya.

Kata Robert, konflik Orang Rimba tak akan berakhir jika akar masalahnya terus diabaikan. Pengeroyokan dan pembunuhan akan menjadi siklus yang terus berulang.

Rangkaian Pembunuhan

Adi Prasetijo, Antropologi Sosial Universitas Diponegoro masih ingat betul kejadian di Sungai Ruan, Kabupaten Batang Hari tahun 1997. Dua Orang Rimba tewas dibantai. Tubuhnya diseret sepeda motor di jalanan berdebu hanya karena mereka menghalangi pekerja perusahaan HTI mengambil kayu di kawasan hutan yang masuk wilayah jelajah Orang Rimba. 

Meski demikian, pembunuhan itu tidak berakhir di meja hijau. “Penyelesaiannya hanya lewat denda adat,” kata Tijok, sarapan karib Prasetijo.

Menurut catatan Tijok, ada belasan Orang Rimba tewas dibunuh dalam dua dekade terakhir akibat konflik sosial dan sumber daya alam. Ironisnya, beberapa pelaku bebas dari hukum.

Pada 29 September 2000, satu keluarga Orang Rimba di Dusun Petekun, Desa Baru, Kecamatan Bangko, Kabupaten Merangin dibunuh secara brutal menggunakan kayu dan parang. Seorang perempuan rimba diperkosa. Tujuh orang tewas. Setahun kemudian, satu anggota kelompok Kejasung Kecil, Kabupaten Batang Hari ditembak mati menggunakan kecepek.

Tahun 2007, Orang Rimba di Pamenang, Merangin, dibunuh warga hanya karena mengambil petai. Pembunuhan kembali terulang pada 2011. Warga Desa Bunga Atoi, Pamenang mengeroyok Orang Rimba yang dituduh mencuri ayam. Satu orang tewas dan satu orang gegar otak. 

Pada tahun yang sama, giliran dua orang kelompok Harun di Desa Pamenang tewas diamuk massa hanya karena perkara jengkol. Sementara satu orang mengalami cacat akibat pengeroyokan.

Pada Oktober 2016, setidaknya 169 keluarga Orang Rimba kelompok Tumenggung Ngamal di Sungai Terap, diusir dan diintimidasi oleh pihak perusahaan HTI yang beroperasi di Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batang Hari. Rumah mereka dirusak. Akses jalan ditutup sehingga layanan kesehatan dan pendidikan terputus.

Pada 18 November 2022, Melempir, kelompok Orang Rimba di Batang Hari tewas ditembak sekuriti perusahaan sawit menggunakan kecepek—senapan rakitan untuk berburu babi—di sekitar Desa Padang Kelapo, Kecamatan Maro Sebo Ulu, karena dituduh mencuri.

Brondolan sawit laku dijual Rp2.600 per kilogram di tengkulak. Pola hidup Orang Rimba masih seperti tinggal di hutan. Buah yang jatuh itu milik bersama. Budaya Orang Rimba ini tidak diterima pendatang sehingga terjadi konflik. (Project M/Teguh Suprayitno)

Perpindahan dari tempat ke tempat lain yang dilakukan Orang Rimba akibat kehilangan hutan, ikut memperburuk sentimen masyarakat luar.

“Jadi pola hidup Orang Rimba itu masih seperti tinggal di hutan. Budaya Orang Rimba, buah yang jatuh itu milik bersama. Semua yang tumbuh di alam boleh diambil semua orang. Ini kan tidak bisa diterima masyarakat luar, sehingga memicu konflik,” jelas Tijok.

Sejarah Orang Rimba tidak pernah terlibat konflik terbuka dengan masyarakat luar. Mereka akan menyingkir ke hutan saat terjadi masalah. “Sekarang mereka melawan. Hutan mereka sudah habis jadi sawit semua, mau menghindar kemana lagi?”

Perempuan Rimba Turut Jadi Korban

Pada waktu yang sama, perempuan rimba juga menghadapi banyak kekerasan. Akibat konflik dan kerawanan pangan, mereka kerap mengalami keguguran ketika mengandung. Di Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, sejumlah perempuan rombong Meriau kehilangan calon bayinya akibat keguguran.

Selisih mengalami dua kali keluron di tengah kebun sawit akibat dikejar satpam. Besoal juga kehilangan janinnya. Ia jatuh saat dikejar empat sekuriti perusahaan, karena dituduh mencuri sawit. Pada 2021, delapan perempuan rombong Meriau dibiarkan kehilangan calon anaknya sebelum tangis mereka terdengar. 

Meriau, kepala rombong Orang Rimba di Bukit Suban, mengaku hampir semua perempuan di kelompoknya pernah keguguran. Meliau, istri Meriau, dua kali kehilangan calon bayinya karena dikejar-kejar saat brondolan sawit.

“Ini etnosida yang dibiarkan negara,” kata Laksmi Savitri, peneliti agraria dan pangan.

Negara dianggap telah melakukan diskriminasi dan pengabaian terhadap Orang Rimba hingga mereka kehilangan generasi penerus.

Banyak sumber pangan Orang Rimba digulung pemerintah diganti konsesi perusahaan. Mereka kelaparan di tengah konflik berkepanjangan. Perempuan dipaksa menanggung beban ganda karena dianggap bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga. 

“Posisi ini membuat perempuan sangat rentan terserang penyakit dan anak-anak menderita gizi buruk,” katanya.

Banyak perempuan Orang Rimba mengalami keguguran dikejar sekuriti perusahaan saat brondolan sawit. Kaum perempuan dan anak-anak orang Rimba juga terpapar masalah kesehatan dan gizi buruk karena kawasan hutan yang menjadi sumber pangan mereka digulung pemerintah menjadi konsesi perusahaan. (Project M/Teguh Suprayitno)

Laksmi menilai kebijakan pemerintah yang cenderung sentralistik membuat kelompok rentan semakin tidak terlihat. Banyak keputusan yang diambil jauh dari ekonomi kerakyatan.

Lewat UU Cipta Kerja, Pasal 110 a dan 110 b pemerintah justru berupaya memutihkan 1,7 juta ha perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan. Di Jambi setidaknya ada 2.665 hektar kebun sawit milik perusahaan yang sekarang dalam proses pemutihan, salah satunya PT Puri Hijau Lestari, anak usaha Makin Grup yang beroperasi di Muaro Jambi.

Pada 2024, Kejaksaan Negeri Tanjung Jabung Barat menahan Sony Setiabudi mantan Direktur Utama dan juga Komisaris PT Produk Sawitindo Jambi, anak perusahaan Makin Grup lainnya, terkait dugaan tindak pidana korupsi atas pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin menjadi perkebunan sawit yang merugikan negara hingga Rp126 miliar. Luas kawasan hutan yang digarap mencapai 1.199,87 hektar.

Walhi Jambi juga menemukan tiga perusahaan—PT Wahana Elang Perkasa, PT Rimba Tanaman Industri dan PT Merial Dino Plantarum—sedang antre untuk mendapatkan izin konsesi pemanfaatan hutan seluas 32.661 ha. Wahana Elang Perkasa diduga terkait dengan Sinarmas.

Oscar Anugerah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi menyebut ketiga perusahaan ini diduga terkait dengan proyek pangan dan energi Pemerintahan Prabowo. Dalam Rapat Kerja Menteri Kehutanan dengan Komisi IV DPR-RI yang digelar 27 Februari 2025 merinci, 475 ribu ha kawasan hutan di Jambi dicadangkan untuk pangan dan energi.

Di tengah kelaparan Orang Rimba, Presiden Prabowo justru membanggakan Program Makan Bergizi Gratis yang diklaim 99,9% berhasil.

“Dalam ilmu sosiologi itu ada istilah ignorance yang artinya ketidaktahuan atau kebodohan yang disengaja, ini yang sekarang terjadi di Indonesia,” ujar Laksmi.

Pemerintah tidak pernah melihat masalah Orang Rimba dalam perspektif hak asasi manusia. Banyak hak-hak masyarakat adat diabaikan. “Sampai sekarang RUU Masyarakat Adat masih mandek. Dampaknya Orang Rimba tidak mempunyai kekuatan hukum, mereka dianggap ilegal di wilayahnya sendiri, yang sekarang dikuasai perusahaan,” kata Tijok.

“Kalau negara ingin melindungi hak-hak masyarakat adat, segera sahkan RUU Masyarakat Adat.” 

Hutan Hilang dan Krisis Pangan

Orang Rimba dikepung sawit dan menjadi asing di tanah leluhurnya sendiri. Hutan yang dulu mereka jaga turun temurun, ‘dijual’ pemerintah atas nama investasi dan pembangunan. Pelan-pelan hutan kehilangan tuannya.

Sejak 1982 sampai 1999, Jambi kehilangan lebih dari 2 juta ha kawasan hutan. Selama 17 tahun, pemerintah empat kali mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk menurunkan fungsi kawasan hutan. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jambi Nomor: 108 Tahun 1999 luas kawasan hutan Provinsi Jambi saat ini hanya 2.179.440 ha. Sementara KKI Warsi mencatat, luas tutupan hutan hanya 957.753 ha.

Penurunan kawasan hutan ini sebagian besar untuk mengakomodasi izin industri yang rakus lahan. Hutan-hutan di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas yang menjadi rumah Orang Rimba habis dikavling-kavling untuk izin perkebunan sawit, hutan tanaman industri dan transmigrasi.

Dalam tiga dekade terakhir, ekspansi industri sawit tumbuh begitu masif. Pada 1990 luas perkebunan sawit di Jambi hanya sekitar 200 ribu ha menurut data BPS Provinsi Jambi. Tetapi pada 2023 luasnya melonjak jadi 1,2 juta ha, atau setara 18 kali luas Jakarta.

Banyak hutan di wilayah Tebo, Merangin dan Sarolangun yang dulu wilayah jelajah Orang Rimba telah berubah menjadi perkebunan sawit yang dikuasai Makin Grup, Sinarmas, dan ASTRA.

Sementara populasi Orang Rimba di Jambi terus berkembang. Menurut data KKI Warsi pada 2023 populasi Orang Rimba sekitar 6.500 jiwa. Sebagian besar mereka tinggal di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, sebagian mereka ditemukan di hutan-hutan sekunder dan perkebunan kelapa sawit sepanjang jalur lintas Sumatera hingga ke batas Sumatera Selatan. Selebihnya tinggal di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

Banyak Orang Rimba kesulitan beradaptasi dengan lingkungan yang berubah begitu cepat. Mereka kehilangan ruang hidup, kehilangan sumber pangan. Mengambil brondolan sawit menjadi salah satu cara mereka bertahan hidup.

“Ibarat harimau, hutannya habis tidak ada yang dimakan, akhirnya lari ke kampung makan ternak. Harimau tidak terkam orang, tapi harimaunya yang diterkam orang, karena makan ternak,” kata Tumenggung Ngilo, pimpinan kelompok Orang Rimba Pauh Menang.

“Hutan di sini ditumbang, kita pindah, di sana ditumbang, kita pindah lagi. Hutan yang pikir kami gak bakal habis sampai anak cucu, tiba-tiba habis, sudah punya orang galo. Kita ambil, kita dibunuh.” 

“Semua sudah habis jadi sawit, jadi kita mau kemana lagi?” sela Jerman.

“Kami mencari makan sambil bertaruh nyawa…” kata Ngilo.

Orang Rimba, katanya, telah kehilangan ruang hidup dan martabatnya sebagai penjaga rimba.

“Pemerintah harus tolong kami, Orang Rimba juga manusia.”

Hilangnya hutan ini merambat pada masalah pangan. Kondisi sumber pangan yang kritis membuat Orang Rimba terpaksa makan apa yang tersisa di hutan, termasuk binatang seperti monyet. 

“Kami aslinya tidak makan monyet, tapi hutan lah habis. Ngambek brondol dilarang, jadi itulah yang bisa kami makan,” kata Tumenggung Ganta, di transmigrasi A4. 

Pada 2015, sebanyak 11 Orang Rimba meninggal dalam dua bulan. Kebanyakan balita. Kabar kematian beruntun itu sempat buat geger pemerintah. Kelompok Terap dan Serenggam dikabarkan krisis pangan karena ruang hidup menyempit. Mereka lantas melangun hingga ke Sungai Kemang, setelah tujuh kali pindah tempat.

Tetapi kematian Orang Rimba yang dikaitkan dengan kelaparan itu dibantah kelompok Makekal. Mereka menyebut kematian beruntun itu disebabkan diare, lantaran Orang Rimba minum air sungai yang tercemar pupuk dan pestisida perkebunan sawit.

Dampak kehilangan hutan, juga mengundang pagebluk. Berbagai penyakit menyerang kelompok Orang Rimba hingga menyebabkan banyak kematian. Riset yang dilakukan Asparian pada 2019-2020, menemukan lebih 60% perempuan rimba di Sarolangun pernah mengalami kematian anak—mulai keguguran, bayi baru lahir hingga balita.

“Kasus kematian terjadi hampir merata di semua kelompok, tapi angkanya beda-beda,” kata Peneliti kesehatan Masyarakat Adat Terpencil Universitas Jambi.

Ia juga menemukan, 40% ibu hamil kelompok Orang Rimba menderita gizi rendah, dan kasus stunting anak-anak rimba sampai 48%, lebih tinggi dibanding standar WHO yang hanya 20%.

Penelitian Asparian lainnya di kelompok Orang Rimba di Bukit Suban, Sarolangun pada 2024 menunjukkan hubungan kasus tuberkulosis dengan kurang gizi. Rendahnya pengetahuan Orang Rimba dan kesulitan mendapatkan pangan jadi masalah yang berdampak pada kesehatan mereka.

Sementara Dinas Kesehatan Sarolangun menyebut kelompok Orang Rimba rentan terserang ISPA, penyakit kulit, diare dan malaria.

Penelitian Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pada 2016 terhadap 583 Orang Rimba Sarolangun, Tebo dan Batang Hari menemukan, prevalensi hepatitis B pada Orang Rimba di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas mencapai 33,9 persen dan malaria 24,6 persen.

Sukmal Fahri menemukan hubungan antara ledakan populasi nyamuk dengan peningkatan suhu. Hasil riset pada 2015 berjudul The molecular and clinical feature of dengue during outbreak in Jambi, Indonesia di SINTA menunjukkan siklus hidup nyamuk dari telur jadi larva, pupa dan dewasa menjadi lebih singkat. Peningkatan suhu juga memicu serang inspeksi saluran pernapasan akut (ISPA), TB paru.

Ketika hutan ditebang dijadikan perkebunan sawit, kemampuan untuk menyerap panas dan menjaga kelembaban menurun. Vegetasi yang lebih sederhana dalam perkebunan sawit, sering kali menyebabkan peningkatan radiasi yang diserap permukaan tanah, sehingga suhu lokal cenderung meningkat.

Semakin Terpinggirkan

Eko Cahyono, peneliti Sajogyo Institute, mengatakan kematian Pelajang tidak bisa dipandang sebatas pencurian, tapi harus dilihat latar belakang masalahnya. “Konflik agraria itu muncul akibat kebijakan yang tidak adil.”

Pembiaran yang dilakukan pemerintah, membuat kekerasan bahkan pembunuhan terus terjadi. Hak-hak masyarakat adat tidak dihormati. “Pembiaran ini pelanggaran HAM berat. Karena membuat kelompok Orang Rimba menjadi rentan,” katanya.

Pembunuhan Pelajang adalah potret kehidupan masyarakat adat di Indonesia yang tersingkirkan atas nama pembangunan. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat sepanjang 2024 terdapat 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat, yang berdampak pada 140 komunitas adat di Papua, Kalimantan, Sumatera, NTT dan lainnya. Total wilayah adat yang dirampas mencapai 2,8 juta ha, naik dari 2,5 juta ha dibanding tahun sebelumnya. 

Hutan dilihat sebagai tanah kosong yang bebas ‘dijual’ negara untuk izin konsesi. Kelompok oligarki sumber daya alam selalu dimanja pemerintah lewat UU Cipta Kerja. Izin konsesi mereka kerap tidak diverifikasi sehingga menimbulkan konflik agraria. 

Di sisi lain, wilayah adat Orang Rimba justru tidak diakui, meski dijaga selama turun-temurun. Orang Rimba tidak dilihat sebagai masyarakat yang sama, bahkan dinomor duakan. Okupasi kawasan hutan yang dilakukan secara luas, menyebabkan seluruh identitas Orang Rimba sebagai masyarakat adat hilang.

“Akar marjinalisasi adalah watak pemerintah yang bersifat kolonialistik,” kata Eko.

Pemukiman Orang Rimba di Pauh Menang, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi. Pemerintah hanya menyediakan rumah tanpa memikirkan cara Orang Rimba, yang hidup nomaden dan bergantung pada berburu, memenuhi kebutuhan mereka setelah dipaksa menetap. (Project M/Teguh Suprayitno)

Di waktu yang sama, pemerintah berusaha memindahkan Orang Rimba dari hutan lewat program pemukiman sosial. Mereka dipaksa menetap, tanpa lahan pangan. 

Sejak 1995 hingga 2017, pemerintah telah 57 kali membangun perumahan untuk Orang Rimba dan Suku Batin 9 di Jambi. Tetapi banyak rumah ditinggal, hanya sedikit yang bertahan.

Kelompok Tumenggung Ganta menempati tanah restan transmigrasi Desa Sialang. Ada 25 rumah yang dibangun pemerintah dan dihuni 20 keluarga. Sementara 18 keluarga kelompok Ngilo menempati pemukiman di sisa lahan transmigrasi Pauh Menang. 

“Pemerintah mestinya mikir kebutuhan orang itu tidak hanya papan, tapi ada pangan dan sandang. Dibangunkan rumah tapi pangannya nggak dipikirkan, ya ditinggal,” kata Eko.

Mengubah budaya nomaden yang telah diwariskan turun-temurun menjadi menetap adalah proses yang kompleks dan butuh waktu puluhan tahun bahkan beberapa generasi. Eko mengatakan kekeliruan pemerintah adalah tidak melihat pendekatan sosiologis.

Ia juga mengkritik pendekatan pembangunan yang terlalu menitikberatkan pada aspek ekonomi semata, sementara aspek-aspek lain yang menyangkut keamanan insani—ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan, pribadi atau komunitas, sosial dan budaya, serta politik—justru sering terabaikan.

“Pembangunan itu harus memenuhi syarat kebahagiaan dan keadilan antar generasi,” kata Eko.

Orang Lapar

Seminggu sebelum Mei berakhir, saya mengunjungi Kampung Pelangi. Rumah mendiang Pelajang berdiri paling depan di barisan tengah. Rumah semi permanen itu terlihat mencolok dengan cat hijau muda.

Pinai, istri Pelajang, minta rumahnya dicat ulang dan semua barang yang mengingatkan pada mendiang suaminya, disingkirkan. Rumah itu tampak sepi, kosong, tanpa perabot. Sementara pintunya dibiarkan terbuka—seolah menunggu seseorang yang tak akan pernah pulang. 

Sudah beberapa minggu Pinai pergi melangun—tradisi Orang Rimba untuk menghilangkan kesedihan karena kematian. Belum tahu, kapan dia akan pulang.

Setengah jam perjalanan dari Kampung Pelangi, saya melihat Samat di antara ratusan batang sawit yang seragam. Lelaki itu berulang kali meluruskan punggungnya yang tua. Sejenak dia menghela napas, kemudian kembali berjalan pelan. Tangannya yang keriput terlihat kotor karena seharian mengais tanah mengumpulkan brondolan.

Samat memungut brondolan sawit dari tanah di kebun sawit transmigran. Orang Rimba tetap melakukannya walaupun berisiko kehilangan nyawa di tengah konflik berkepanjangan dengan transmigran dan perusahan yang diinisiasi pemerintah. (Project M/Teguh Suprayitno)

Saban hari Samat pergi memungut brondolan bersama istrinya, Lirit. Mereka berangkat saat hari masih buta. Keliling kebun transmigrasi, berharap menemukan orang panen sawit. 

“Sehari kami dak cari brondol, anak nggak makan,” kata Lirit.

“Kami ambil (brondolan) yang busuk, tapi dituduh mencuri. Kami bukan orang jahat, bukan pencuri, kami orang lapar,” sambung Samat mengeluh.

Lelaki tua itu mengenang saat Pamenang masih dipenuhi rimba belantara, makanan melimpah. Talas, gadung di hutan tidak habis dimakan. Tetapi, mulai 1980-an gelombang transmigrasi dan perusahaan sawit datang menggulung hutan beserta isinya. Ia hanya bisa diam melihat sumber hidupnya dibabat habis.

Sementara itu, ketika mereka hanya mengambil brondolan, mereka harus mempertaruhkan nyawa.

“Jadi kami harus brondol. Inilah jalan hidup kami,” kata Lirit, sembari tangannya mencakup brondolan sawit busuk, memasukkannya dalam karung lusuh.

“PT matikan kami Orang Rimba. Kami tersingkir,” ucapnya.

“Ngambil brondol busuk saja kami dibunuh. Sakit hati kami,” katanya lirih.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
19 menit