Jumat, 3 September 2021, ratusan orang etnis Melayu penganut Suni menyerbu dan merusak masjid milik jemaah Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
Para saksi mata mengatakan serangan kemungkinan dipicu isi khotbah Jumat seorang imam di masjid lain di Sintang yang menyebut Ahmadiyah menyebarkan “aliran sesat”. Rekaman video milik saksi juga memperlihatkan seorang warga setempat memimpin massa yang tidak hanya merusak masjid dengan tongkat kayu pemukul, tetapi ikut membakar gudang di sampingnya.
Personel kepolisian dikerahkan ke desa yang turut dihuni 76 keluarga Ahmadiyah itu. Akan tetapi, polisi tidak berusaha menghentikan aksi perusakan oleh massa. Aparat keamanan itu memilih untuk tidak mengintervensi dengan alasan melindungi warga Ahmadiyah dari potensi serangan lainnya.
Kejadian ini menunjukkan adanya risiko serius dari babak baru kekerasan terhadap kelompok minoritas yang perlu ditindaklanjuti merujuk sejarah panjang konflik berlatar etnis dan agama yang melibatkan suku Melayu, masyarakat adat Dayak, orang Madura, dan kelompok dengan impunitas lainnya.
Bukan hanya itu. Insiden Jumat di Sintang juga menunjukkan bagaimana pemerintah daerah begitu tunduk dengan kelompok ekstremis. Sebelum terjadi penyerangan, Pemerintah Kabupaten Sintang sudah lebih dulu menyegel masjid menyusul permintaan sebagian anggota masyarakat yang menolak keberadaan kelompok itu.
Penyegelan memakai dalih kegiatan dakwah di masjid itu bertentangan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Jaksa Agung, Mendagri dan Menteri Agama tahun 2008 yang memuat perintah kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam.
Pemkab juga menganggap masjid Sintang tidak berizin. Padahal, di daerah terpencil seperti Sintang, sebagian rumah ibadah termasuk masjid milik penganut Suni, tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB).
SKB ‘anti-Ahmadiyah’ yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono itu melanggar hukum internasional yang melindungi hak atas kebebasan beragama. Terlebih, surat tersebut juga terbit salah satunya karena tekanan dari Majelis Ulama Indonesia, lembaga kuasi-negara yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat dalam fatwa tahun 1980, yang kemudian diperluas maknanya menjadi menentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama pada 2005.
Tekanan kelompok mayoritas kepada pemerintah juga terpotret dalam kasus Sintang. Langkah pemerintah daerah untuk menyegel masih dianggap belum cukup bagi Hedi, anggota Persatuan Orang Melayu yang menuntut agar masjid Ahmadiyah itu juga dihancurkan. Ketika keinginannya tak terwujud, maka peristiwa 3 September yang kemudian terjadi.
Ahmadiyah berdiri pada 1889 di Qadian, kota di daerah yang sekarang bernama Punjab di India, oleh Mirza Ghulam Ahmad. Komunitas ini mengidentifikasi diri sebagai kelompok Muslim meskipun banyak penganut Islam menganggap ajarannya “menyimpang.” Ahmadiyah dilarang di Arab Saudi, Pakistan dan beberapa negara dengan mayoritas penduduk Muslim lainnya.
Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 55.000 keluarga Ahmadiyah yang sebagiannya pernah menjadi sasaran kekerasan kelompok mayoritas. Pada tahun ini, pemerintah daerah di Garut dan Depok, Jawa Barat, turut menyegel masjid Ahmadiyah dengan dalih serupa.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pemerintah agar mencabut SKB Anti-Ahmadiyah tahun 2008. Menurut organisasi Ahmadiyah, lebih dari 30 masjid telah ditutup sejak terbit fatwa MUI 2005. Sebagian besar penutupan terjadi di 24 provinsi dengan mayoritas penduduk Muslim. Pada beberapa kasus, para tokoh Ahmadiyah bernegosiasi dengan para pejabat daerah dan pemimpin Muslim untuk membuka kembali masjid secara diam-diam.
Di sisi lain, pemberitaan media berhasil mendorong kepolisian untuk menetapkan 22 tersangka pelaku penyerangan, termasuk Hedi. Mereka disangkakan dengan pasal perusakan properti pribadi dan memprovokasi serangan.
Kendati telah ada tersangka, masalah masih jauh dari kata selesai lantaran politisi dan sejumlah pihak lain berusaha membangun narasi politik dari masalah yang sangat provokatif ini.
Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji menyerukan Ahmadiyah “untuk kembali ke ajaran Islam yang benar.” Dalam perkembangan yang mengejutkan, ia juga mengunjungi Hedi dan tersangka lainnya di tahanan Polda Kalimantan Barat. Bahkan, Sutarmidji juga mengunggah foto dan video kunjungannya tersebut.
Pada 17 September, Sutarmidji menambah ketegangan dengan mengeluarkan surat edaran yang menyerukan kepada pemerintah daerah untuk “memantau sejauh mana Ahmadiyah mematuhi SKB tahun 2008.”
Intimidasi juga ditindaklanjuti penjabat Bupati Sintang dengan merilis surat peringatan yang berisi desakan bagi jemaah Ahmadiyah di Sintang untuk merobohkan masjid paling lambat 5 November 2021.
Kondisi ini menimbulkan ketakutan di antara para jemaah Ahmadiyah yang memandang mereka sebagai korban dari pertarungan sektarian yang lebih besar untuk kekuasaan politik di antara kelompok-kelompok lain.
Pemerintah Presiden Joko Widodo semestinya memperjelas bahwa tidak ada toleransi bagi siapa pun yang melakukan kekerasan terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Polri harus menyelidiki kemungkinan peran Persatuan Orang Melayu dan politikus seperti Sutarmidji. Mereka seharusnya mengambil sejumlah langkah guna memastikan agar persidangan Hedi dan Zainudin bebas dari tekanan politik.
Jika pemerintah serius dengan klaim Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo bahwa Indonesia adalah negara muslim moderat, maka yang seharusnya terjadi adalah SKB anti-Ahmadiyah dicabut dan mengakhiri semua bentuk diskriminasi dalam hukum terhadap kelompok minoritas di negara ini.
Brad Adams adalah Direktur Asia di Human Rights Watch