Penghancuran Pulau Gebe: Sekarat Air dan Deforestasi Ulah Oligarki Nikel

Ronna Nirmala
9 menit
Arif, warga Kampung Sonof Kacepo berdiri membelakangi bentang alam Bukit Kaf yang mengalami deforestasi parah dengan sisa galian akibat eksploitasi tambang nikel. Bekas konsesi PT Gebe Sentra Nickel dan PT Elsaday Mulia seluas 914,50 ha itu dilelang kembali oleh KESDM dengan pemenang PT Mineral Jaya Molagina (MJM), yang mayoritas sahamnya dikuasai PT Mineral Trobos yang pernah melakukan aktivitas tambang ilegal di daerah Lowalo. (Project M/Rabul Sawal)
Pulau Gebe adalah pulau kecil. Luasnya hanya berkisar 22 ribu hektare, setara Kota Bekasi. Namun kekayaan alam di pulau kecil itu perlahan habis dilahap tambang. Hutan seluas 1.065 ha hilang, sementara jumlah lahan konsesi nikel telah mencapai 5.225 ha. Krisis air di depan mata, flora dan fauna endemik semakin sulit ditemui.

DI KAKI BUKIT Tanjung Ueboelie, tiga truk bermuatan tangki profil sedang mengantre, menunggu giliran menadah air dari bak penampungan berukuran 1×2 meter. Di atas bak, mengalir sebuah mata air dengan debit kecil yang dikelilingi rimbunan semak dan belukar hutan. 

Jarak mata air dengan perkampungan hanya kurang dari satu kilometer. Setiap hari, kendaraan pengangkut air menyuplai air ke rumah-rumah di desa-desa di ibukota kecamatan Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara. 

Rutinitas itu terjadi sejak krisis air melanda Pulau Gebe selama dua dekade terakhir. Ironisnya, di tengah keterbatasan untuk mengakses air, lokasi mata air justru diokupasi pertambangan nikel. 

“Ini sumber air satu-satunya yang biasa torang pake sehari-hari di rumah,” kata Sunardi Jafar atau Naryo, pemuda lokal berusia 24 tahun, sambil menunjuk mata air. 

“Tapi dia [mata air] so masuk areal tambang PT Smart Marsindo. Kalu tambang so bongkar, tong tara tau [kami tidak tahu] minum ambe [ambil] air dari mana lagi. Baru di Gebe ini air susah.”

PT Smart Marsindo menguasai lahan seluas 666,30 hektare di Tanjung Ueboelie. Izin usaha pertambangan diterbitkan Bupati Halmahera Tengah pada 2012, dan berlaku hingga 2038. Pada pertengahan 2022, perusahaan ini mulai membongkar kawasan hutan dan mengeruk nikel. 

Warga menduga aktivitas penambangan telah merusak lahan perkebunan warga dan mencemari kawasan mangrove di perairan.

Penambangan PT Smart Marsindo yang berada di kawasan hutan tergolong ilegal. Sebab perusahaan tidak mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Entah mengapa, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) tetap menyetujui rencana dan anggaran biaya (RAB).

Selain tak punya IPPKH, izinnya juga tidak sesuai dengan Undang-Undang No 3/2020 tentang Mineral dan Batubara. Dalam aturan, pemberian izin pertambangan atau masuk ke dalam aplikasi MODI (mineral one data Indonesia) ESDM wajib melalui proses lelang. Sementara, perusahaan teregistrasi dalam MODI hanya lewat rekomendasi Gubernur Maluku Utara dengan melampirkan legal opinion dari kejaksaan.

Saat menyambangi lokasi penambangan PT Smart Marsindo, tidak ada aktivitas pengerukan nikel. Terakhir kali warga setempat menyaksikan tambang ini beroperasi pada akhir 2023. Di pos, tidak ada penjaga, tetapi jalan masuk ke konsesi tertutup palang. Yang terlihat di baliknya hanya sisa-sisa urugan tanah merah, kolam-kolam tambang menganga, dan bukit-bukit yang digunduli.

“Dia [perusahaan] so kase rusak [kebun dan mangrove]. Yang tong paling hawater lagi itu dia [perusahaan] kase rusak mata air itu. Kondisi bagini saja me tong so susah air ini, apalagi tambang operasi turus?” ujar Naryo.

Naryo menetap di sebuah rumah semi permanen di Desa Kapaleo, bekas perumahan karyawan tambang PT Aneka Tambang (Antam). Dinding rumahnya setengah beton, setengah papan. Atapnya pakai seng. Lantainya semen halus. Di bagian dapur, ada bak penampungan berukuran 2×3 meter persegi. Air yang berasal dari kendaraan pengangkut akan ditampung dalam bak tersebut.

Mata air di Tanjung Ueboelie diakses terbatas dan tidak dikelola secara kolektif oleh warga. Naryo dan warga yang ingin mendapatkan air bersih mesti membelinya dari para agen-agen penyuplai yang memiliki mobil angkutan air. 

“Satu profil [berukuran 1.000 liter] bagitu dia pe harga Rp70 ribu. Tapi harus pesan dulu, baru dong antar di rumah,” tutur Naryo.

Seribu liter, kata Naryo, kalau tidak menghemat, tidak cukup memenuhi kebutuhan air di rumah selama seminggu. Setangki profil air hanya bisa dipakai paling lama tiga hari. Dalam satu pekan, mereka bisa menghabiskan tiga profil air dan ongkosnya Rp210 ribu. Bayangkan dalam sebulan warga mesti mengeluarkan duit Rp 840 ribu hanya untuk kebutuhan air bersih saja. “Jadi musti tong bahemat air.”

Sebagian warga Pulau Gebe dengan kebutuhan air yang tinggi bahkan membeli air dua sampai tiga kali dalam sehari. Meski ada perusahaan daerah air minum (PDAM), mereka tidak bisa bergantung pasokan air dari situ. Distribusinya tidak berjalan lancar. Air hanya mengalir seminggu atau sebulan sekali dan dialirkan secara bergiliran ke rumah-rumah. Setiap bulan warga mesti membayar seharga Rp30 ribu-Rp100 ribu meski tidak menikmatinya setiap saat.

Di rumah Naryo, bak penampungan di kamar mandi yang disuplai dari PDAM mengering. Satu tetes pun tidak keluar dari keran. Situasi ini sudah berlangsung selama sebulan, dan berlangsung berulang-ulang kali. 

“Air [dari PDAM] bajalang model mati-mati ayam. Baku tunggu sudah,” kata Naryo, tertawa lepas. 

Kondisi tata air di Pulau Gebe termasuk kategori rendah karena pulau ini termasuk pulau kecil yang banyak didominasi batu-batu karang. Tidak terdapat sungai besar dan gunung tinggi. Air untuk kebutuhan warga diperoleh dari sumur, sumber mata air hutan dan perbukitan seperti di Tanjung Ueboelie, dan dari telaga yang diambil oleh PDAM.

Berdasarkan riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) krisis air bersih tidak lepas dari alih fungsi kawasan hutan secara besar-besaran untuk pertambangan nikel di Pulau Gebe. Aktivitas penambangan sejak PT Antam dekade 1980-an telah membongkar sebagian besar kawasan hutan, lahan perkebunan, dan berdampak hilangnya air permukaan warga, khususnya mata air di daerah perbukitan.

Menurut Hamdala, seorang warga Desa Elfanun, setelah perusahaan pelat merah angkat kaki pada medio 2004, sumber air yang dipasok dengan fasilitas perusahaan ikut terputus. Ia dan warga mesti mencari sumber-sumber air, bergantung suplai air dari agen, menunggu aliran air PDAM, hingga memanfaatkan air tanah dengan sumur bor.

Warga juga mengakali kebutuhan sehari-hari, seperti mencuci, mandi, memasak, dan konsumsi dengan menggunakan air hujan. Sementara, air minum mereka lebih banyak mengandalkan air isi ulang yang dijajakan di warung-warung terdekat. Dalam sepekan, Hamdala dan warga bisa menghabiskan tiga sampai empat galon. 

“Air ini mahal skali di Gebe. Beli air untuk mandi, cuci pakeang [pakaian], termasuk momasa deng [masak dan] minum samua beli,” kata Hamdala.

Mobil pengangkut menadah air dari bak penampungan di kaki bukit Tanjung Ueboelie yang akan didistribusikan ke rumah-rumah warga Pulau Gebe. Sumber air ini terancam karena berada di area pertambangan nikel PT Smart Marsindo (Project M/Rabul Sawal)

Bencana yang dialami warga Pulau Gebe bertahun-tahun ini bukan tanpa protes. Warga berulang kali datangi kantor-kantor pemerintah di ibukota Halmahera Tengah. Mereka menyuarakan lewat media massa maupun media sosial agar krisis air bisa diatasi. 

Namun, suara menuntut keadilan atas sumber daya air yang bersih serupa angin lalu. Pemerintah datang ke Pulau Gebe hanya ketika mendekati momentum politik pemilu, urusan reses, ataupun perizinan tambang.

“Pulau Gebe ini dong [pemerintah] lia sama deng pulau kosong. Padahal hasil tambang puluhan tahun dong [pemerintah] ikut nikmati. Tapi masalah air bersih saja tara bisa atasi. Torang [kami] di Gebe ini kaya anak tiri,” kata Hamdala, saat kami menemuinya di rumah akhir Januari.

Dimulai Rezim Orde Baru

Bila ditarik lebih jauh ke belakang, eksplorasi nikel yang membongkar bentang alam di Pulau Gebe bermula sejak 1968, ketika PT Indonesia Nickel Development (Indeco), perusahaan asal Jepang, dan PT Antam mengeruk nikel di pulau kecil ini.

Izin pertambangan dikeluarkan rezim Orde Baru Suharto. Pintu investasi dibuka dengan paket undang-undang penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri.

Dalam ingatan warga, PT Antam adalah perusahaan pembawa petaka yang tak mudah dilupakan oleh warga hingga hari ini. Satu di antaranya adalah Hi. Husen Idris, tetua kampung di Desa Kacepi, yang menjadi saksi hidup selama PT Antam beroperasi.

Tahun-tahun sewaktu PT Antam beroperasi, pulau kecil yang terletak di kaki ujung Pulau Halmahera berbatasan dengan Kepulauan Raja Ampat, Papua, ini dijadikan sebagai salah satu pusat perekonomian yang masif di Halmahera Tengah. Perusahaan membangun bandara, area perkantoran, perumahan untuk pekerja dan elit, pembangkit listrik tenaga diesel, klinik, sekolah, hingga kawasan lapangan golf.

Kehidupan menjadi ramai dan sibuk. Orang-orang dari berbagai daerah datang bekerja di tambang. Mobilitas penduduk makin padat. Beberapa perkampungan baru di bangun. Anak-anak mereka disekolahkan di sana. Pelabuhan kapal dan bandara udara ramai setiap waktu.

“Pulau Gebe saat itu su sama deng kota kecil, rame sekali. Lampu manyala siang malam, aer tara pernah mati,” kata Hi. Husen Idris, mantan kepala Desa Kacepi, “Tapi fasilitas itu di bangun setelah dia gusur kami punya kebun.”

Perusahaan pelat merah ini mengambil alih sebagian besar lahan perkebunan, mengubah lanskap alam, dan secara langsung mengubah pola hidup masyarakat di Pulau Gebe. Perkebunan kelapa, pala, cengkeh, termasuk hamparan kebun sagu milik warga yang menghidupi mereka ratusan tahun digusur.

Kami berbincang dengan Hi. Husen pada suatu sore, 19 Januari 2024 di dalam mushola yang baru dibangun di Desa Kacepi. 

Hi. Husen lahir tahun 1965, saat tragedi pembantaian massal terjadi di kota-kota hingga pelosok desa untuk mendirikan rezim otoritarianisme Orde Baru Suharto. Kulitnya sudah mulai keriput. Ia mengenakan peci, setelan kaos oblong berkerah, dan sarung bermotif batik.

“Dia [PT Antam] operasi 25 tahun, setelah angkat kaki, dia kase tinggal masalah yang luar biasa besar,” ujar Hi. Husen.

Hi. Husen Idris, mantan Kepala Desa Kacepi, berdiri di depan musala yang sedang dibangun di kampungnya. Ia saksi hidup awal perusahan tambang mengeruk nikel di Pulau Gebe yang kemudian datang silih berganti. Menurutnya, ekonomi tambang tidak membawa keuntungan dalam jangka panjang (Project M/Rabul Sawal)

Pasca-tambang, perputaran ekonomi lumpuh total. Operasional kapal untuk suplai bahan-bahan pokok dari Weda dan Papua berkurang. Distribusi mulai terbatas. Sementara harganya terus meningkat. Penduduk yang dulu datang bekerja sekaligus menetap terpaksa pulang ke kampung masing-masing. Aliran listrik yang bergantung dari perusahaan mati total bertahun-tahun. Suplai air bersih tidak berjalan.

Warga penduduk asli Pulau Gebe makin dilema dan terpolarisasi. Mereka yang protes terkait kelangkaan pasokan aliran listrik dikriminalisasi. Mereka yang diberhentikan dari pekerjaan terpaksa melaut tetapi hasil tangkapan menurun. Mereka yang bergantung pada ekonomi pertanian hasilnya terbatas dan sering terserang hama.

Warga hidup terkatung-katung di atas hasil kekayaan alam.

Dari situlah Hi. Husen menyadari ekonomi tambang tidak membawa keuntungan dalam jangka panjang. Yang mereka nikmati selama tambang beroperasi hanyalah kehidupan “sesat” yang mudharatnya jauh lebih besar dan berlangsung lebih lama ketimbang manfaatnya. 

“Kami ini dikorbankan saja. Yang saya tahu, kami ini dikorbankan saja,” jelas Hi. Husen. 

PT Antam selesai mengeksploitasi Pulau Gebe pada 2004. Di tengah kondisi lingkungan serta kehidupan warga yang belum sepenuhnya dipulihkan dari keterpurukan, pemerintah justru memberikan ruang tersisa di Pulau Gebe kepada izin tambang baru lainnya.

Pada 2018, Jatam mencatat ada 12 izin usaha pertambangan yang dialokasikan dari separuh wilayah daratan di pulau seluas 224 km2 untuk pertambangan. Padahal, pemberian izin tambang di pulau kecil bertabrakan dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Maluku Utara 2013-2033, termasuk Undang-Undang No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K).

Dalam aturan PW3K, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Secara garis besar, pengelolaan pulau-pulau kecil diatur sebagai wilayah konservasi, pendidikan, dan pariwisata. Sehingga praktik pertambangan di pulau kecil seperti Pulau Gebe bertentangan dengan upaya perlindungan dan penyelamatan lingkungan.

Berdasarkan data terbaru Kementerian KESDM, Pulau Gebe justru dibebani tujuh izin tambang termasuk satu izin di Pulau Fau–sebuah pulau kecil tepat di depan Pulau Gebe–di kawasan Halmahera Tengah. Izin-izin tambang itu tersebar di berbagai tempat di punggung dan pesisir Pulau Gebe.

Di Tanjung Ueboelie, terdapat izin tambang PT Mineral Trobos seluas 315 ha, PT Karya Wijaya seluas 500 ha, termasuk PT Smart Marsindo dan bekas penambangan PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara (FBLN).

Izin tambang juga terdapat di bagian selatan Pulau Gebe, tepat di belakang kampung Umera, yang dulu menjadi cadangan sumber pangan warga setempat karena ditumbuhi rumpun sagu. Kini Umera juga terancam rusak karena disusupi PT Bartra Putra Mulia di konsesi seluas 1.850 ha, PT Anugrah Sukses Mining 503 ha, dan PT Lopoly Mining Cdx 47,4 ha.

Sementara di Blok Kaf, di wilayah administrasi Desa Sonof Kacepo, ada izin tambang baru PT Mineral Jaya Molagina seluas 914,50 ha yang menang lelang dari KESDM pada Februari 2024. Di Pulau Fau terdapat izin PT Aneka Niaga Prima yang akan menambang di konsesi seluas 456,66 hektar.

Delapan izin tambang tersebut menguasai total konsesi seluas 5.255 ha. Sebagian besar izin-izin pertambangan diterbitkan pada rentang waktu 2012-2023. Industri-industri ekstraktif ini sedang dan akan mengeruk mineral nikel di pulau kecil itu dalam periode 2032-2040.

(Project M/Rabul Sawal)

Lima dari delapan izin tambang diterbitkan oleh M. Al Yasin Ali, bekas Bupati Halmahera Tengah dua periode, 2007-2012 dan 2012-2017. Beberapa izin yang ia terbitkan pernah tumpang tindih sehingga terjadi saling gugat antar-perusahaan. Satu kasusnya adalah PT Elsaday Mulia. Perusahaan ini menggugat Al Yasin di PTUN Ambon pada 2013 lalu karena Al Yasin membatalkan persetujuan pemberian revisi izin usaha pertambangan eksplorasi Blok II PT Elsaday Mulia.

Al Yasin dan istrinya, Mutiara T. Yasin juga ikut diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi suap dan gratifikasi Abdul Ghani Kasuba, bekas Gubernur Maluku Utara, yang didakwa menerima uang sogokan mencapai Rp100 miliar lebih dari sejumlah kepala dinas dan pengusaha tambang. 

Al Yasin adalah bekas Wakil Gubernur Maluku Utara mendampingi Abdul Ghani satu periode terakhir dan ditunjuk sebagai Plt Gubernur Maluku Utara setelah Abdul Ghani tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2023. Mutiara, istri Al Yasin, kini mencalonkan diri dalam pemilu Bupati Halmahera Tengah 2024 didukung Partai Amanat Nasional (PAN).

Izin-izin tambang baru di Pulau Gebe merepresentasikan kepentingan dan babak berbeda dalam sejarah panjang pertambangan nikel di Kabupaten Halmahera Tengah. Beroperasinya pertambangan-pertambangan nikel di pulau ini makin memperparah kerusakan lingkungan, mengancam kehidupan ekosistem dan ruang produksi-konsumsi warga setempat.

Eksploitasi tambang yang ugal-ugalan juga menyebabkan deforestasi. Analisis citra satelit Auriga Nusantara memperlihatkan bahwa aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gebe antara tahun 2001 sampai 2023 telah mengakibatkan deforestasi seluas 1.065 ha. Auriga menunjukan ada sekitar 5.225 ha lahan konsesi nikel yang masuk kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas.

Dari peta citra satelit terlihat sebagian besar tutupan hutan telah hilang secara mencolok dalam waktu 22 tahun dengan masifnya pertambangan dan infrastruktur terkait. Di bekas pembukaan lahan PT Antam, menyusul PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara, di punggung Tanjung Ueboelie, banyak lumbang-lubang tambang menganga tanpa direhabilitasi.

Kondisi perairan setempat berubah merah kecoklatan setiap kali turun hujan, mencemari pesisir dan kawasan mangrove. Penambangan di hulu bukit juga merusak sungai-sungai kecil yang bermuara di Pantai Utara Pulau Gebe. Pohon-pohon kelapa rusak sehingga mesti disuntik pestisida oleh dinas pertanian kabupaten.

Perubahan lingkungan lebih cepat juga terlihat di ujung selatan punggung bukit Teluk Smingit dan Teluk Inalo. Aktivitas pertambangan nikel yang baru dimulai lima tahun terakhir telah menyisakan bekas-bekas lubang tambang dan menggunduli bukit-bukit yang menjadi wilayah cadangan sumber daya air dan pangan tersisa di Pulau Gebe.

Menurut Jatam, praktik pertambangan di pulau-pulau kecil dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan, mengingat kondisi ekologis yang rentan dan daya pulih yang rendah. Ketika terjadi kerusakan di salah satu bagian pulau, maka dampaknya akan meluas secara cepat ke seluruh pulau.

Ribuan pohon kelapa di Pulau Gebe disuntik dengan pestisida beracun setelah diserang hama dan hasilnya menyusut terus menerus. Area kelapa ini berada di pantai utara berdekatan dengan wilayah pertambangan Tanjung Ueboelie. (Project M/Rabul Sawal)

Elite, Koruptor, dan Afiliasinya

Dulu, Pulau Gebe dikenal sebagai “kota kecil”. Kini, Pulau Gebe menjadi salah satu “monumen penghancuran” tambang nikel di Maluku Utara.

Eksploitasi tambang yang datang silih berganti, membongkar bentang alam sekaligus ruang hidup membuat kondisi ekologis pulau kecil ini bangkrut tak terpulihkan. Sementara, hasil dari keuntungan kapital pertambangan nikel di raup segelintir elite dan pengusaha pemilik tambang.

Di sebagian besar wilayah daratan Halmahera Tengah telah lama dibebani oleh berbagai aktivitas industri ekstraktif. Saat ini saja, Jatam mencatat Halmahera Tengah disusupi 22 izin usaha pertambangan, 3 berstatus wilayah izin usaha pertambangan, dan satu kawasan industri pengolahan nikel di bawah PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dengan total konsesi seluruh perusahaan mencapai 95.736,56 ha.

Puluhan izin pertambangan sekaligus kawasan industri pengolahan nikel di Halmahera Tengah tak bisa dilepas dari ambisi Presiden Joko Widodo yang ingin menjadikan Indonesia sebagai pemain penting dalam ekosistem kendaraan listrik, membuat hilirisasi nikel masif dilakukan. Ambisi itu digencarkan dengan maraknya perluasan dan percepatan pembongkaran nikel sekaligus pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian bijih nikel di Maluku Utara.

Tambang-tambang nikel di Pulau Gebe juga diketahui sebagian besarnya memasok material ore nikel ke kawasan industri IWIP untuk memperlancar proses produksi bahan bahan baku baterai kendaraan listrik. Masalahnya, proses akumulasi ekstraktif nikel dari hulu hilir hanya dinikmati segelintir orang.

Kami menelusuri siapa saja di balik perusahaan-perusahaan yang meneguk untung dari bencana yang ditinggalkan dan yang sedang berlangsung di Pulau Gebe. Orang-orang yang menguasai delapan izin tambang nikel tersebut saling berkaitan dengan elite pengusaha daerah, legislatif lokal dan nasional, elite partai, pemodal asing, termasuk beberapa diantaranya diperiksa sebagai saksi dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba.

Pada perusahaan PT Smart Marsindo yang menguasai lahan di atas sumber mata air warga di Tanjung Ueboelie, dimiliki oleh Shanty Alda Nathalia yang duduk sebagai direktur di perusahaan itu. Shanty merupakan seorang politikus partai PDI Perjuangan yang terpilih sebagai anggota DPR RI dari Jawa Tengah periode 2024-2029. Ia adalah putri dari mantan anggota DPR Partai Golkar, Hengky Baramuli.

Shanty pernah diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus korupsi Abdul Ghani Kasuba, bekas Gubernur Maluku Utara. Ia mangkir dua kali dari panggilan penyidik KPK pada 29 Januari dan 20 Februari 2024. Selain Shanty, dalam dokumen profil perusahaan, juga ada nama Citra Kharisma yang tempai kursi komisaris PT Smart Marsindo. Kedua perempuan kelahiran Jakarta ini juga tercatat sebagai direktur dan komisaris di PT Aneka Niaga Prima (ANP).

PT ANP menguasai konsesi tunggal di Pulau Fau yang hanya berukuran 900 ha. Awal Juni 2024, alat-alat berat perusahaan telah dimobilisasi ke Pulau Fau. Meski tak berpenghuni, Pulau Fau diyakini oleh warga Gebe mempunyai situs sejarah dan banyak tempat keramat yang sering diziarahi tetua orang Gebe. Para aktivis lingkungan sudah berulang kali mendesak izin PT ANP dicabut karena dikhawatirkan memperburuk kondisi pulau kecil tersebut.

Berdampingan konsesi dengan PT Smart Marsindo, ada pertambangan PT Karya Wijaya yang menguasai lahan sebesar 500 ha di Pulau Gebe. Perusahaan ini belum beroperasi sejak izin tambangnya diterbitkan pada 2020 oleh Gubernur Maluku Utara yang tengah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus korupsi.

Dalam dokumen profil perusahaan, Benny Laos, bekas Bupati Pulau Morotai periode 2017-2022 tercatat memiliki mayoritas saham 65% di PT Karya Wijaya. Benny bersama istrinya, Sherly Tjoanda yang duduk sebagai komisaris utama PT Karya Wijaya. Benny Laos pernah mencalonkan diri sebagai wakil Gubernur Malut 2013-2018. Politik-pengusaha kelahiran Ternate ini kini maju sebagai bakal calon Gubernur Maluku Utara 2024 dari rekomendasi Partai Demokrat.

Benny Laos juga tercatat sebagai pemilik tambang PT Amazing Tabara yang pernah mendapatkan izin menambang emas di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Warga Pulau Obi lantas protes izin tersebut karena konsesinya berada di perkebunan cengkeh dan dikhawatirkan tanaman rempah-rempah itu rusak. Izinnya kemudian dicabut pada 2022. Saat ini, Benny dilaporkan oleh tim hukum DPD PDIP Maluku Utara atas dugaan pencemaran nama baik dan berita bohong.

Sementara, pada PT Mineral Trobos, jajaran kursi komisaris dan direktur ditempati tiga orang pengusaha. Jabatan presiden komisaris PT Mineral Trobos ditempati Lauritzke Mantulameten, seorang pengusaha asal Ambon, Maluku, yang juga menjabat direktur di PT Mineral Jaya Molagina. Ia tercatat menguasai 90 persen saham di PT Mineral Trobos.

Ada juga Fabian Nuhulusy sebagai direktur utama PT Mineral Trobos. Fabian pemilik saham 10 persen di perusahaan itu. Ia sekaligus menjabat sebagai komisaris di PT Lipu Jaya Mineral. Selain mereka, ada Raja Nordiba asal Balikpapan, Kalimantan Timur, juga duduk di kursi direktur PT Mineral Trobos.

Dua bos PT Mineral Trobos, Lauritzke dan Fabian baru-baru ini diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi tersangka mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba (AGK). Kasus AGK sementara telah menyeret sembilan pejabat pemprov dan swasta, salah satunya bos tambang nikel Harita Group di Pulau Obi, termasuk menyeret nama Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution, anak dan menantu Presiden Joko Widodo terkait suap pengurusan izin tambang di Halmahera.

Selain mengendalikan PT Mineral Jaya Molagina, PT Mineral Trobos juga tercatat sebagai pemilik saham di PT Wasile Jaya Lestari, yang akan menambang nikel di Blok Foli di Halmahera Timur setelah menang lelang dari Kementerian ESDM bersama PT Mineral Jaya Molagina. Dua petinggi perusahaan PT Wasile Jaya dan PT Mineral Jaya Molagina baru-baru ini diperiksa oleh komisi antirasuah sebagai saksi dugaan korupsi dan pencucian uang kasus Abdul Ghani Kasuba.

PT Mineral Trobos didirikan oleh David Glenn, seorang taipan yang juga dikukuhkan sebagai CEO klub sepak bola Malut United. Perusahaan ini menjadi sponsor utama tim julukan Laskar Kie Raha ini. Klub yang berkedudukan di Ternate itu sebelumnya diakuisisi oleh PT Mineral Trobos bersama PT Malut Maju Sejahtera (MMS) dari klub Liga 2 Putra Delta Sidoarjo. David Glenn telah dipanggil KPK dua kali sebagai saksi kasus korupsi Abdul Ghani Kasuba, tetapi ia selalu mangkir dengan alasan sakit.

Nama Zainuddin Umasangadji tercatat sebagai General Manager di Malut United dan direktur di PT MMS. Ia pernah mengisi kursi awal sebagai komisaris PT Mineral Trobos. Zainuddin adalah mantan anggota DPRD Malut 1999-2004 dan Ketua Fraksi Golkar DPRD Maluku Utara tahun 2002. Ia menjabat komisaris PT Bank Maluku, dan pernah dipanggil sebagai saksi kasus dugaan tindak pidana penggelembungan dana pembelian tanah untuk Bank Maluku di Surabaya. Ia juga diperiksa KPK dalam kasus korupsi Abdul Ghani Kasuba sebagai karyawan PT Mineral Trobos.

Di jajaran PT Mineral Trobos sebelumnya, juga ada nama Muhaimin Syarif, Ketua DPP Partai Gerindra Maluku Utara yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Abdul Ghani. Muhaimin disebut memberi uang Rp7 miliar ke bekas Gubernur Maluku Utara itu untuk pengurusan izin usaha pertambangan buat 37 perusahaan dan enam blok tambang di Maluku Utara. Empat blok WIUP sudah ditetapkan pemenangnya oleh KESDM yaitu Blok Marimoi, Blok Lelilef Sawai, termasuk Blok Kaf dan Blok Foli yang terhubung dengan PT Mineral Trobos.

Dalam sebuah laporan, Blok Foli di Halmahera Timur dikait-kaitkan dengan kasus dengan kode “Blok Medan” yang diduga milik Bobby Nasution, suami Kahiyang Ayu, anak Presiden Jokowi.

PT Mineral Trobos juga tercatat pernah berkonflik dengan PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara akibat tumpang tindih lahan. 

Fajar Bhakti yang pernah menguasai wilayah konsesi tambang nikel seluas 800 ha di Pulau Gebe akhirnya kalah. Perusahaan yang telah membangun pabrik smelter nikel di Pulau Gebe ini sekali lagi ketiban sial, izin konsesinya dicabut pada penghujung September 2023 oleh Bahlil Lahadalia, bekas Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). 

Bahlil kini menjabat sebagai Menteri ESDM di sisa masa jabatan Presiden Jokowi dan terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Di balik pencabutan izin Fajar Bhakti, ada perseteruan panas antarpemilik saham. Majalah Tempo mencatat, Dua pemegang saham di PT Fajar Bhakti saling lapor ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Caroline Chandra, pemilik PT Halmahera Sentra Mineral yang menguasai 30 persen saham Fajar Bhakti melaporkan Cai Zhengyang, Li Minghong, dan Wang Yuang, petinggi Fajar Bhakti asal China yang menguasai 70 persen saham di perusahaan itu.

Ketiga warga negara China itu telah ditetapkan menjadi tersangka. Mereka melaporkan balik keluarga Chandra atas dugaan penggelapan dana hasil ekspor bijih nikel. Sengketa ini bahkan ditengahi Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi–yang tercatat sebagai pemilik saham mayoritas PT Toba Sejahtera.

Caroline adalah anak pengusaha Agung Dewa Chandra dan Maria Chandra Pical. Kedua pasangan suami istri ini yang mendirikan PT Fajar Bhakti. Pada awal berdiri, 100 persen sahamnya dimiliki keluarga Chandra. Tahun 2011, struktur kepemilikan sahamnya berubah. Sebanyak 70 persen dibeli Zhenshi Holding Group senilai US$15 juta dan sisanya, 30 persen dimiliki keluarga Chandra yang dikendalikan PT Halmahera Sentra Mineral (HSM). 

Zhenshi punya saham 24% di PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), yang sedang mengoperasikan smelter pabrik pengolahan dan pemurnian bijih nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik di Weda Tengah, Halmahera Tengah. Sementara, PT HSM merupakan penambang pasir besi di Halmahera Utara.

Masalahnya, di luar perseteruan dan keuntungan yang diraup para pemegang saham PT Fajar Bhakti, bekas-bekas penambangannya di Tanjung Ueboelie dibiarkan menganga membentuk kolam-kolam dan limbah sisa-sisa pengerukan masih sering mencemari perairan dan kawasan mangrove di Pulau Gebe. Perusahaan ini angkat kaki tetapi tak melakukan rehabilitasi pada lahan-lahan bekas tambangnya.

Belum lagi PT Anugrah Sukses Mining yang menambang di Teluk Smingit, Pulau Gebe. Dalam profil perusahaan, sebagian besar jajaran komisaris dan direksinya beralamat di Jawa. Kursi komisaris utama diduduki oleh Erwin Rahardjo, seorang pengusaha asal Surabaya yang pernah terkait dengan kasus Ismail Bolong, mantan anggota kepolisian di Samarinda yang jadi bekingan tambang ilegal di Kalimatan Timur.

Erwin juga teman dekat Ferdy Sambo. Sambo dicatat sebagai orang yang menyokong Erwin mengambil alih saham PT Batuah Energi Prima, perusahaan tambang batubara di Kalimantan Timur, dari tangan pemilik sebelumnya. Di Kaltim, Erwin dikenal sebagai makelar kasus kakap di kepolisian.

Selain Erwin, ada juga beberapa nama seperti Ferdinand Nugraha Iskandar yang duduk sebagai direktur utama. Ferdinand pernah diperiksa lagi dalam kasus Gubernur Maluku Utara, tetapi dipanggil sebagai direktur PT Rohijireh Muliq. Ada juga Pandi Santoso dan Soter Sabar Gunawan.

Pemilik saham lain atas nama PT Harum Resources dan PT Putra Jaya Investama. PT Harum Resources “bermain” batubara di Kalimantan Timur, lewat Tanito Coal dan Tanito Harum dan juga memiliki anak usaha PT Position yang menambang nikel di Halmahera Timur. Pemilik PT Harum adalah taipan Kiki Barki atau klan Barki.

Saat masih aktif beroperasi, PT Anugrah Sukses Mining disebut mencemari kebun sagu berulang kali di kawasan Teluk Smingit milik warga Umera dan Sonof Kacepo. Perusahaan ini juga pernah bermasalah dengan hak-hak pekerjanya.

Tak jauh dari konsesi PT Anugrah, ada izin PT Lopoly Mining yang beralamat di Pulau Gebe. Dalam profil perusahaan, ada nama Rustam Marsaoli yang menempati kursi direktur dan Abdul Rasid Hi. Djafar sebagai komisaris. Rustam kelahiran Halmahera, dan Abdul Rasid lahir di Desa Kacepi, Pulau Gebe, beralamat di Dusun II. Dua nama lain berasal dari Jawa, di antaranya Hendy Darius Gunawan tempati kursi direktur utama dan Suwarti sebagai komisaris utama.

Beberapa kali perusahaan yang menambang nikel di wilayah seluas 47,40 ha belakang Desa Umera, Pulau Gebe, ini terancam dicabut izinnya karena belum menyampaikan rencana kerja dan anggaran biaya.

Terakhir, PT Bartra Putra Mulia, yang menambang nikel di belakang perkampungan Umera. Izin tambangnya diterbitkan oleh Bupati Halmahera Tengah pada 2013, dan berlaku hingga 2032. Jamaluddin Hasim, seorang sarjana Teknik menjabat sebagai direktur, Zany Susanto tempati kursi direktur utama, Arif Kurniawan sebagai komisaris utama, dan Liu Edi Amas sebagai komisaris.

Dalam jajaran pengurus awal PT Bartra, ditemukan ada nama Andi Arnaldi Erza Baramuli dan Emir Baramuli. Dua orang ini diduga terhubung dengan sosok dewan penasehat Golkar (Alm) Arnold Achmad Baramuli. Andi AE Baramuli menjabat sebagai komisaris dan Emir Baramuli sebagai direktur utama. Rombongan elit Golkar lain di perusahaan yaitu Ernawati Tahang, sebagai direktur PT Bartra yang pernah menjabat Ketua Bidang Kebudayaan Daerah DPP Partai Golkar.

PT Bartra Putra Mulia sedang membongkar kawasan hutan, mengeruk nikel di belakang kampung Umera, dan telah merusak rumpun sagu warga setempat. Ekosistem mangrove di perairan juga tercemar limbah dari aktivitas pertambangannya.

Rifki Anwar menimba air sumur di Desa Umera. Dengan kondisi air sumur yang masih bagus, desa ini menjadi wilayah dengan cadangan air tersisa di Pulau Gebe. Namun ancaman kini datang dari PT Bartra Putra Mulia yang sedang membongkar kawasan hutan, mengeruk nikel di belakang wilayah desa dan telah merusak rumpun sagu warga setempat. (Project M/Rabul Sawal)

Yang Ilegal Mengincar Bukit Tandus

Kedua tangan Rizal memegang erat tuas rem dan pedal gas. Ia mesti mengendarai sepeda motor matic pelan-pelan menuju Blok Kaf di belakang perkampungan Sonof Kacepo, Pulau Gebe. Jalan ke area bekas penambangan nikel itu cukup ekstrem; melewati bukit-bukit curam, menanjak, berangkal batu, dan banyak kelokan.

Rizal mengajak Arif, teman sekampungnya menemani kami ke lokasi Blok Kaf pada pengujung Januari. Usia Arif 35 tahun, lebih tua dari Rizal, dan ia berperan sebagai penunjuk jalan. Arif sempat bekerja di salah satu perusahaan yang pernah mengeruk nikel di bukit Kaf. 

Arif hanya mengenakan kaos singlet putih, celana pendek dan topi hitam. Ia membawa tas selempang kecil berisi rokok dan korek api. Di pinggangnya, ada sebilah parang lengkap dengan sarung. 

Wilayah Blok Kaf yang kami tuju merupakan bekas konsesi PT Gebe Sentra Nickel dan PT Elsaday Mulia yang berlokasi di perbukitan Desa Sonof Kacepo. Dua izin pertambangan itu telah dicabut oleh Bahlil Lahadalia, bekas Menteri Investasi/BKPM, pada April 2022.

Arif dan Rizal tidak tahu konsesi di Blok Kaf saat itu sedang dilelang kembali oleh KESDM pada November 2023. Mereka warga Pulau Gebe yang tidak pernah dilibatkan atau ditanyakan apakah akan setuju ruang hidupnya dialokasikan untuk kegiatan pertambangan.

Tong saja baru dengar kalu dong mo kase masuk tambang baru di sini,” kata Arif tersenyum bingung. Ia bilang pemerintah tidak pernah datang sosialisasi terkait kehadiran perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Blok Kaf. Mereka baru tahu setelah alat-alat berat sudah beroperasi dan mengangkut ore nikel.

Belum sampai sebulan dari Blok Kaf, pada pertengahan Februari 2024, Kementerian ESDM mengumumkan pemenang wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) di Blok Kaf adalah PT Mineral Jaya Molagina (MJM), yang mayoritas sahamnya dikuasai PT Mineral Trobos.

PT MJM tercatat membayar kompensasi data informasi (KDI) dengan nilai tertinggi, yaitu Rp700 miliar. Tetapi penawaran itu terlihat timpang dengan pencatatan modal dalam akta perusahaan yang hanya Rp10 miliar. Belum diketahui kapan PT MJM akan mulai menambang nikel di konsesi seluas 914,50 ha tersebut.

Dari atas Bukit Kaf, dalam satu kali jarak pandang, deforestasi terlihat begitu jelas. Hamparan kolam-kolam bekas tambang menganga sana-sini. Kondisi tanahnya terdegradasi parah. Tidak ada satupun pohon-pohon besar yang tumbuh. Suhu udara dari lepas pantai dan sinar matahari menyengat. Sulit sekali mencari tempat berteduh.

Yang terlihat di sekeliling bukit hanyalah rumput-rumput ilalang dan pohon-pohon kecil yang tumbuh di atas tanah yang tandus. Kami juga tidak melihat burung-burung berterbangan di atas bukit gundul ini, apalagi menemukan Kuskus Gebe, satwa endemik pulau Gebe. Sebuah penelitian menyatakan habitat kuskus endemik sudah terancam karena aktivitas penambangan.

Setelah Blok Kaf di tambang nikelnya, kata Arif, ekosistem lahan yang rusak dibiarkan tanpa direhabilitasi. Penambang nikel hanya datang, gali, lalu pergi begitu saja meninggalkan kerusakan. Entah kapan kondisi tanah yang rusak tersebut bisa pulih, sementara ruangnya masih dialokasikan untuk izin pertambangan baru.

“Tambang di sini dong operasi tara lama-lama, satu dua tahun [operasi], pigi, ganti yang lain datang lagi. Ada yang cuma [operasi] hitung bulan, abis pigi lagi,” kata Arif.

Meski lingkungannya sudah rusak, tetapi lokasi-lokasi yang masih ditutupi hutan di dekat Blok Kaf sering disusupi penambangan ilegal. Rizal menunjuk sebuah bukit gundul di arah selatan yang tak jauh dari Blok Kaf. Daerah itu disebut Lowalo, yang diduga ditambang ilegal oleh PT Mineral Trobos. 

Terakhir kali Rizal mengetahui aktivitas tambang ilegal PT Mineral Trobos di daerah Lowalo pada November 2023. Hal itu senada dengan temuan majalah tempo dan analisis citra satelit Greenpeace Indonesia yang menemukan aktivitas penambangan nikel ilegal cukup masif pada pertengahan 2023.

“Tahun lalu itu ada perusahaan yang batambang [menambang] di sana [daerah Lowalo]. Banyak alat yang beroperasi. Tapi sekarang so tarada,” kata Rizal sambil menunjuk sebuah bukit gundul yang tak lain adalah daerah Lowalo. 

Awal tahun ini, lokasi tak berizin di Lowalo telah terpasang papan plang Mabes Polri dan tertulis sedang dalam penyelidikan. Namun, Arif menambahkan plang itu telah dirusak oleh orang tidak dikenal. Sementara, proses penyelidikan masih samar-samar di meja hukum.

PT Mineral Trobos tak merespons dua kali konfirmasi pertanyaan kami melalui pesan singkat pertengahan Agustus 2024 terkait penambangan ilegal. 

Pada 28 Agustus 2024, kami mengirimkan surat permohonan wawancara ke kantor pusat perusahaan yang beralamat di Gedung Graha BIP, Jakarta Selatan. Surat permohonan wawancara juga kami kirimkan ke kantor PT Smart Marsindo yang berlokasi di Gedung Patra Office Tower di Jakarta Selatan. 

Kedua surat yang kami lampirkan sekaligus dengan pertanyaan konfirmasi terkait temuan dan praktik pertambangan yang dilakukan di Pulau Gebe ini tak kunjung dibalas. 


Liputan ini merupakan bagian lanjutan dari program Pasopati Journalist Fellowship 2023 bertajuk “Mengungkap Dampak dan Ancaman Hilirisasi Nikel Bagi Keberlangsungan Ekologi di Indonesia” yang didanai oleh Yayasan Auriga Nusantara.

Baca bagian 1 liputan dampak nikel di Pulau Gebe dalam tautan ini:

Kampung Sagu Terakhir di Pulau Gebe Terancam Tambang Nikel

 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
9 menit