Hari-hari para pencari suaka menjalani kebosanan, kesepian, dan rasa putus asa selama bertahun-tahun menunggu ditempatkan di negara permanen.
DI SEBUAH PENGINAPAN pengungsi bernama D’Khanza, terletak di Kota Makassar, tinggallah keluarga Muslim Fasal Karim. Shelter empat lantai ini dihuni 22 pengungsi, terdiri empat kepala keluarga dan dua imigran laki-laki perseorangan. Keluarga Karim, terdiri istri dan kedua anaknya, menempati dua kamar seluas 5×10 meter di lantai dua. Ada satu tempat tidur, kamar mandi, dan pendingin ruangan.
Keluarga Karim adalah pengungsi muslim Rohingya, salah satu minoritas paling menderita di dunia. Gelombang persekusi dan pembersihan etnis oleh pemerintahan militer Myanmar telah mengusir ratusan ribu etnis Rohingya, terjerat dalam sindikat penyelundupan manusia, terombang-ambing dalam garis hidup-mati sebagai manusia perahu, dan terdampar di kamp-kamp penampungan di kawasan Asia Pasifik.
Tujuan sebenarnya keluarga Karim adalah Australia, negara yang menerima pencari suaka tapi dalam beberapa tahun terakhir mengetatkan pembatasan arus masuk para pengungsi. Indonesia tidak menerima pengungsi, karena tidak menandatangani Protokol 1967, yakni Konvensi PBB Tahun 1951 tentang Status Pengungsi. Bagi kebanyakan pencari suaka, Indonesia adalah “negara transit.” Tapi justru di Indonesia inilah para pencari suaka menjalani ketidakpastian nasib.
Difasilitasi oleh lembaga PBB urusan pengungsi (UNHCR) dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), keluarga Karim secara resmi dilarang bekerja karena status pengungsinya, tidak boleh menikah, diberi biaya bulanan per pengungsi; praktis dilarang melakukan kegiatan ekonomi apa pun selain menunggu panggilan ditempatkan di negara ketiga sebagai permukiman permanen mereka.
Akan tetapi, penantian ini sudah berselang sembilan tahun, sementara mereka tak kunjung mendapatkan kepastian.
“Kami stres karena terlalu lama menunggu di sini, sementara IOM maupun UNHCR ketika kami tanya kapan pemberangkatannya hanya bisa bilang untuk bersabar,” keluh Zakiyah, putri Karim berusia 25 tahun, saat saya menemuinya di D’Khanza, akhir tahun lalu.
Zakiyah mengisahkan ayahnya semula bekerja sebagai buruh migran selama hampir 20 tahun di Malaysia.
Menghadapi represi politik dan ekonomi di negara bagian Rakhine, tempat tinggal mayoritas etnis Rohingya, dalam negara Myanmar, ayahnya memboyong empat kakak laki-lakinya ke Malaysia secara bertahap setiap kali pulang kampung, cerita Zakiyah.
Kemudian ia dan ibunya, Rohima, menyusul ayahnya. Saat itu usianya 14 tahun. Tak ada masa depan bagi keluarganya di Myanmar, sementara ancaman pembunuhan dan pemerkosaan bisa saja menimpanya.
Mereka berangkat bersama teman ayahnya, melalui jalur laut dan darat, dan tiba di Malaysia setelah dua minggu perjalanan. Tiga tahun kemudian, mereka mengikuti jejak sanak famili yang lebih dulu mencari peruntungan ke Australia.
Kepergian itu atas saran salah satu kakaknya. Meski menghadapi ketidakpastian yang sama, tapi setidaknya di Australia, ada peluang mereka bisa memperoleh kewarganegaraan dan mungkin kehidupan lebih baik, ujar ayahnya.
Melalui jasa calo menumpang perahu, berangkatlah Karim, Rohima, putra keempatnya bernama Sawlaudin, dan Zakiyah. Perjalanan ini mengantarkan mereka ke perairan Indonesia, berlabuh di pesisir Sumatera Utara. Berganti naik bus, setelahnya berlayar kembali, tapi perahu tertambat di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Petugas patroli laut Indonesia merazia mereka. Mereka ditahan di rumah detensi imigrasi, lalu ditempatkan di Kalideres, salah satu kamp penampungan pengungsi terpadat di Indonesia. Tiga bulan kemudian, keluarga Karim diberangkatkan ke Sulawesi Selatan.
Ada lebih dari 13 ribu pencari suaka di Indonesia, menurut data UNHCR tahun lalu; lebih dari setengahnya berasal dari Afghanistan; dan 600-an pengungsi berasal dari Myanmar. Di Makassar, menurut data IOM per Februari 2021, ada 154 pengungsi etnis Rohingya, tersebar di lokasi-lokasi penampungan. Rinciannya, 45 orang belum berkeluarga, 64 orang berkeluarga termasuk anak dan perempuan, sisanya 15 orang sudah menikah dengan warga negara Indonesia.
Di gedung penampungan D’Khanza, para pengungsi harus mentaati aturan, termasuk dilarang beraktivitas ke luar Kota Makassar.
“Jam sembilan malam harus pulang. Jika lewat dari jam itu dan ketahuan, akan dihukum dengan penahanan di rumah detensi imigrasi,” kata Zakiyah, yang bisa bercakap dalam bahasa Indonesia.
Trauma
Zakiyah baru selesai memasak moiz saat saya menemuinya di shelter tersebut. Moiz adalah sambal goreng khas Rohingya, yang pekat dengan aroma rempah, dicampur cabai kering, udang rebon, garam, jintan, jahe, dan lain-lain; mirip boncabe kalau di Indonesia, hanya saja diberi udang rebon.
Memasak baginya adalah cara melawan kebosanan, selain kegemarannya, dalam situasi perempuan dewasa ini lebih sering menghabiskan waktu di kamar, terputus dari dunia luar, tidak bisa mengakses pendidikan, sementara dunia masa kanaknya dicabut pada usia kelas empat sekolah dasar. Kadang ia hanya mengisi waktu dengan main gim di telepon selulernya.
Zakiyah praktis tak punya teman sebaya untuk berbagi cerita. Ia juga tidak memiliki akun media sosial. Jika ingin naik ojek online, ayah dan kakaknya yang akan memesankan. Jika ingin ke pasar, ayahnya yang menemani. Jika ia berpapasan dengan anak perempuan dari pengungsi lain di penampungan tersebut, ia hanya tersenyum, tapi mereka tidak berteman.
“Saya hanya bertemu dengan penghuni lain jika masak di lantai empat,” ia tersenyum berusaha menyembunyikan kesepian.
“Saya sering nangis sendiri tanpa tahu penyebabnya.” Ia tidak pernah mengatakan ini kepada orangtuanya.
Sering saat menyapu atau memasak, ia tiba-tiba kalut. Air matanya menetes sendiri. Sebelum tidur, ia sering memikirkan nasib dan masa depannya; air matanya akan menderas begitu saja. Apakah ia putus asa? Ia sering bertanya-tanya sendiri.
Ia memikirkan umurnya kian bertambah, sementara ia merasa jenuh. Ia mengibaratkan nasibnya bak burung dalam sangkar.
Seharusnya para pengungsi mendapatkan layanan psikologi secara rutin, kata Zakiyah, apalagi beban mental tambah berat didera pandemi Covid-19. Sayangnya, ia belum pernah menerima layanan pemulihan trauma tersebut.
“Setidaknya, ada layanan psikologis sekali sebulan, misalnya.”
Dalam kasus terburuk, para pengungsi memilih mengakhiri hidup.
Pada awal tahun lalu, seorang imigran Rohingya di Makassar gantung diri. Belasan imigran Afghanistan bunuh diri dalam empat tahun terakhir, bahkan ada yang bakar diri di kantor UNHCR di Medan pada akhir tahun lalu. Penyebabnya adalah depresi, bertahun-tahun menunggu penempatan ke negara ketiga dalam ketidakpastian.
Perasaan frustasi itu memuncak lewat serangkaian demonstrasi; yang terbaru pada awal bulan ini di kantor-kantor UNHCR di Riau, Jakarta, hingga Makassar.
Pernikahan
Sawlaudin, putra keempat Muslim Fasal Karim berusia 28 tahun, menikah dengan sesama pengungsi bernama Warisah Bebe, 25 tahun, pada 2018. Pernikahan sederhana. Tanpa pesta.
Ayah Warisah, ujar Sawlaudin, meninggal ditembak oleh tentara Myanmar. Istrinya memutuskan mencari negara suaka, tapi nasibnya sama seperti keluarga Karim. Sebulan setelah tiba di Makassar, Sawlaudin melamarnya. Mereka sekarang dikaruniai seorang putri berusia baru dua bulan bernama Atifa.
Atifa adalah hiburan dan pengusir kesepian keluarga ini. Zakiyah terlihat senang menjenguk keponakannya, yang dilakukannya secara rutin sekalipun ia harus berjalan kaki menempuh jarak 800 meter.
Warisah, ibunya, dan Atifa tinggal di sebuah rumah kontrakan di dalam Kota Makassar. Karim menyewa rumah itu untuk tempat tinggal keluarga kecil itu seharga Rp15 juta/tahun.
Sawlaudin tidak tahu kenapa keluarga istrinya tidak mendapatkan akomodasi dari IOM, sehingga tidak tinggal bersamanya di penampungan, meski ia sudah berulang kali meminta dan mengurusnya.
“Saat istri saya lahiran di rumah sakit, biayanya ditanggung pribadi. Tidak ada bantuan maupun asuransi kesehatan gratis dari IOM,” katanya. Ibu mertuanya, berusia 69 tahun, menderita penyakit komplikasi sehingga harus rutin minum obat.
Berbeda dengan keluarga Warisah, keluarga Karim mendapatkan akomodasi bulanan. Karim dan istrinya, Rohima, masing-masing menerima Rp1.250.000/bulan. Sementara Sawlaudin dan Zakiyah, meski sudah berusia dewasa tapi karena berstatus anak, hanya menerima Rp500.000/bulan.
Uang bulanan itu tidak cukup memenuhi kebutuhan terutama bagi Zakiyah, apalagi untuk Sawlaudin yang harus berpikir keras mencukupi pengeluaran harian keluarga kecilnya. Kendati para pencari suaka dilarang bekerja, Sawlaudin berkata kepada saya sedang menimbang membuka warung kecil.
“Saya sedang mencari tempat yang pas. Saya melihat peluang belum ada yang jualan roti cane dan kari khas India yang enak di Makassar,” katanya.
Obrolan kami dihentikan tangisan Atifa. Keluarga itu lantas berebut menggendong putri mungil itu. “Istri saya tidak bisa berbahasa Indonesia,” ujar Sawlaudin tersenyum seraya menengok Warisah.
Sawlaudin harus kembali ke penampungan D’Khanza sebelum jam 9 malam; esoknya ia kembali lagi ke rumah kontrakan itu, bertemu dengan Warisah dan Atifa. Sebuah rutinitas yang tetap.
* * *
Sampai sekarang belum jelas aturan hukum larangan sesama pengungsi menikah selagi mereka menunggu negara permanen, kendati menikah adalah hak asasi manusia. Tapi, problemnya bisa sepelik yang dihadapi keluarga Sawlaudin.
Atau, apa yang dijalani Ali Johar. Pengungsi Rohingya berusia 27 tahun ini menikah dengan perempuan Makassar pada 2014; dikaruniai seorang putri bernama Alika, kini berusia lima tahun.
Pada 2010, dalam ancaman pembunuhan oleh pemerintahan militer Myanmar, Ali nekat menjadi manusia perahu; terkatung-katung di lautan lepas. Di perahu kayu itu, ada 128 orang, lima di antaranya perempuan dan anak. Mereka berlayar selama sembilan hari, bertahan hidup dengan makanan seadanya.
Perahu itu itu kabarnya bakal menuju Malaysia, tapi cuaca buruk mendamparkan mereka ke perairan Aceh Utara. Mereka diselamatkan nelayan Aceh, yang memberinya makan, pakaian ganti, dan tenda darurat.
Polisi imigrasi menahan mereka selama tiga hari. Setelah itu, Ali dipindahkan ke rumah detensi imigrasi (Rudenim) Banda Aceh selama tiga bulan, kemudian dua tahun di Rudenim Tanjung Pinang. Dari situ, ia diterbangkan ke Sulawesi Selatan.
Kendati dilarang bekerja, Ali nekat menjajal pekerjaan, salah satunya menjadi buruh kasar di sebuah mal. Gaji bulanannya dipakai untuk mengambil kredit motor, dengan dokumen jaminan KTP atasannya. Petugas polisi IOM pernah memergokinya, tapi untung polisinya baik, katanya.
“Saya hanya ditegur dan berpesan agar saya bekerja dengan baik. Jangan cari masalah apalagi berkelahi dengan orang lokal,” kata Ali.
Ia bertemu dengan perempuan Makassar, yang sekarang jadi istrinya, bermula saat mengantar teman kencan. Cinta pada pandangan pertama. Tiga bulan pacaran, Ali memberanikan diri mendatangi rumah orangtua pacarnya.
“Saya jujur ke orangtua pacar saya: saya orang Rohingya pencari suaka. Saya akan bertanggung jawab, mau hidup susah, akan menafkahi dengan baik sesuai kemampuan,” katanya. Ia menyiapkan uang mahar dengan berutang ke bank dengan jaminan motor kredit.
Setelah menikah, Ali ditahan di rumah detensi imigrasi selama lima hari, sebagai hukuman karena menikahi WNI.
“Istri dan anak saya satu kartu keluarga. Perkawinan kami tidak tercatat secara resmi menurut hukum di Indonesia karena saya hanya pengungsi, tidak memiliki dokumen kependudukan.” Alika, putrinya, hanya tercatat sebagai anak ibunya dalam akte kelahiran.
Demi mencukupi kebutuhan keluarganya, Ali mau bekerja apa pun, dari buruh tukang kayu, tukang bangunan, membuat sopa, mengelas besi dan lain-lain, juga beternak kambing. Berkat bantuan orangtua istrinya, mereka bisa membeli tanah dan membangun rumah batu sederhana, kendati ia harus bolak-balik ke penampungan karena penerapan jam malam.
Saat ini Ali menunggu selama sembilan tahun kalau-kalau UNHCR dan IOM bisa memberinya segera permukiman permanen. Dalam benaknya, ia bisa secepatnya mendapatkan kewarganegaraan, bisa bekerja dan punya surat izin mengemudi di negara ketiga.
Tapi, kabar terbaru dari mereka, permohonannya ditolak. Alasannya, ia menikah dengan WNI, yang dinilai melanggar aturan hukum internasional sebagai pengungsi.
“Banyak yang mengasihani saya, mereka ingin memberi ini-itu,” kata Ali terkesan dengan perlakuan warga Makassar. “Saya bilang tidak perlu dikasihani. Cukup berikan saya pekerjaan agar bisa kerja seperti jadi tukang di rumah tetangga memperbaiki genteng, jadi tukang kebun, memelihara hewan ternak atau pekerjaan lain.”
Ketidakpastian
Sementara Rohima, 52 tahun, sudah sakit-sakitan, Muslim Fasal Karim masih terlihat bugar meski usianya 60 tahun. Dalam kurun yang menyehatkan, Karim pernah menanam bermacam sayuran seperti okra, terong, cabai, kelor, rempah-rempah khas India dan Myanmar, serta tanaman lain.
Ia mengolah lahan kosong milik warga setempat. Pemiliknya hanya minta Karim bisa membersihkan dan menjaga lahan itu, boleh ditanami apa pun. Tidak ada sewa. Si pemilik lahan ingin membantu keluarga Rohingya seperti Karim. Hasil panen sayuran bisa untuk keluarga pengungsi, selain bisa dijual.
“Saya tidak bisa hanya diam di kamar. Saya mencari aktivitas setiap pagi hingga sore di kebun. Saat kami tinggal di Malaysia, kami berjualan. Ada warung makan. Keluarga kami memang hobi memasak,” kata Karim.
Ada orang Toraja, tinggal di sekitar kebun, yang membeli hasil panen sayuran Karim secara rutin. Si orang Toraja selalu memberinya uang lebih. Mereka kini berteman. Karim menyebut pertemanan itu “lintas iman.” “Karena orang Toraja itu Kristiani dan saya Islam,” katanya, yang selalu senang setiap kali bertemu si teman Toraja itu.
Sawlaudin ikut mengolah kebun itu. Bila panenan sayur cukup banyak, ia mengantarkan ke para pengungsi, menjualnya dengan harga murah. Bila sayur tidak habis, mereka membagi-baginya.
Sayang, pekerjaan fisik di kebun itu, yang membantu kesehatan pencari suaka seperti Karim dan Sawlaudin, harus terhenti. Si pemilik telah menjual lahan kosong tersebut.
Kini Karim bingung mencari aktivitas fisik harian lain, hanya sesekali ada warga memanggilnya menjadi tukang masak apabila ada hajatan. Ia lebih sering mengunjungi cucunya, putri Sawlaudin. Bersama Zakiyah, mereka berjalan kaki di pagi hari menuju rumah sewa tersebut.
Karim sebenarnya ingin kembali ke Malaysia, demi bisa bekerja. Hanya kakinya terlalu berat meninggalkan Rohima dan Zakiyah. ”Susah naik kapal membawa istri dan anak ke Malaysia,” ujarnya.
Impian idealnya tetap bisa diizinkan menempati permukiman permanen di Australia, tempat salah satu putranya berada. Kedua putranya yang lain, juga pergi ke Australia, hilang kontak sampai sekarang.
“Saya tidak tahu kedua kakak saya apakah masih hidup atau tidak,” kata Zakiyah. “Kakak pertama, Bashar Karim, dan kakak nomor tiga, Karimuddin, pamit mau ke Australia. Kami tidak pernah berkomunikasi lagi dengan mereka. Sedangkan kakak kedua saya berada di Australia.”
Hari-hari ini pikiran Zakiyah buntu. Orangtuanya mengizinkannya menikah, dengan alasan usianya sudah harus memikirkan masa depan.
Namun, Zakiyah mengatakan tidak ingin menikah jika belum berangkat ke negara ketiga.
Zakiyah berat meninggalkan orangtua jika menikah. “Siapa yang akan merawat orangtua saya? Sekarang saja mereka sering sakit-sakitan. Saya ingin berbakti kepada mereka.”
“Kami terus di sini. Entah kapan kami akan berangkat ke negara permanen,” katanya. “Kami tidak mencari negara besar. Hanya negara yang mau terima kami. Saya bisa belajar dan sekolah di sana. Bisa hidup tenang dan bahagia. Lalu menikah dan punya anak.”
Liputan ini merupakan hasil fellowship International Organization on Migration dan AJI Indonesia.