Penjaga Terakhir: Kisah Warga Menggugat Keadilan Ganti Rugi Tanah untuk Proyek Bandara Kediri

Ricky Yudhistira & Ronna Nirmala
10 menit

Rudi Wahyu Sihwinantyo duduk tenang menunggu giliran sidang di Ruang Kartika Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Kediri, Kamis, 9 Desember 2021. Ia didampingi istrinya, Yana Prasetia Hastanti, duduk di kursi panjang, dibatasi lakban silang berwarna merah untuk menjaga jarak. Beberapa kali ia menengok ke arah jendela bertirai putih di sebelah kanannya, mencoba tegar dan tenang menghadapi sidang perdana.

Rudi bersama 15 keluarga di Desa Grogol menggugat PT Gudang Garam Tbk. dan Kantor Pertanahan Kabupaten Kediri setelah musyawarah ganti rugi antara warga dengan perusahaan tidak menemukan titik temu. Warga merasa proses pembelian tanah mereka untuk proyek Bandara Internasional Dhoho itu masih buram. Satu keluarga lagi tidak menempuh jalur pengadilan, namun tetap bersikeras tidak melepas tanahnya begitu saja.

“Setiap kali kami menanyakan gambar atau batas-batas area mana yang diperlukan, mereka belum bisa menyampaikannya. Sebaliknya, dengan berbagai cara mereka merayu kami supaya segera mau melepas lahan,” kata Rudi, seperti dikutip dari surat permohonan keberatannya yang dibacakan di ruang sidang.

Rudi memiliki luas lahan mencapai 5.180 meter persegi. Perusahaan kabarnya hanya membayar ganti rugi sekitar Rp1,2 juta per meter perseginya, sementara Rudi berharap tanahnya dihargai sekitar Rp3 juta per meter persegi atau sesuai dengan kisaran pasar saat ini.

Rudi Wahyu Sihwinantyo dan istrinya Yana Prasetia Hastanti (memunggungi kamera) menjalani persidangan permohonan keberatan ganti rugi proyek Bandara Kediri untuk tanah mereka di Desa Bulusari, Kecamatan Tarokan di Ruang Sidang Kartika Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Kamis, 9 Desember 2021. (Project M/Arief Priyono)

* * *

Hal senada juga disampaikan Purwito, warga penggugat yang rumahnya tidak berada jauh dari lahan milik Rudi. Purwito menilai harga penawaran ganti rugi dari perusahaan belum layak bagi ia yang tidak hanya mendirikan bangunan tempat tinggal tetapi juga usaha toko grosir dan pengepul jagung di atas tanahnya itu. Belum lagi hitung-hitungan rugi akibat sepi pelanggan sejak ada pembangunan proyek.

“Kami mendirikan toko sejak 2009 sampai sekarang. Penjualan kami berkisar Rp10 juta hingga Rp15 juta per hari dengan keuntungan 20-25 persen. Namun setelah didirikannya Bandar Udara Kediri, penghasilan kami menurun apalagi setelah dilakukannya penutupan jalan umum di depan toko kami,” tulis Purwito dalam surat permohonan keberatan kepada pengadilan.

Bagaimana tidak sepi. Kontraktor membangun pagar seng pembatas proyek persis di bagian depan rumahnya dan hanya menyisakan akses untuk keluar masuk tak lebih dari satu meter.

“Nggak sampai satu meter, mas, hanya bisa dilewati motor. Truk saya juga tidak bisa lewat. Kalaupun terpaksa keluar saya harus menerobos areal proyek bandara, dan menunggu saat istirahat agar tidak berpapasan dengan alat berat proyek,” kata Purwito, saat saya temui beberapa bulan silam.

Purwito dan istrinya, Yati, membangun usaha toko kelontong dari nol. Usahanya berhasil berkembang pesat hingga pasangan suami-istri itu mampu membangun toko dan rumah sekaligus dua buah truk dan alat penggilingan jagung. Namun, kehadiran proyek Bandara Kediri mengubah segalanya.

“Karena ditutup seng, toko saya tidak ada pembeli. Banyak stok dagangan di gudang sudah kadaluarsa,” kata Purwito.

Tumpukan kardus barang dagangan di rumah sekaligus toko Purwito di Desa Bulusari, Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri. Sebagian dagangan Purwito sudah kedaluwarsa karena tidak ada pembeli setelah akses ke rumahnya ditutup pagar seng. (Project M/Arief Priyono)

* * *

Saya pertama kali menengok pembangunan Bandara Internasional Dhoho pada 3 April 2021. Saat itu saya bertemu Yoni, seorang peternak lebah di Dusun Badrek Selatan, Desa Grogol, Kabupaten Kediri. Ia berbaik hati mengizinkan saya bertamu ke rumahnya.

Jalan menuju rumahnya terputus oleh pagar seng. Di balik seng terdapat sebuah parit membelah aspal, tapi tidak ada air yang mengalir. Entah kegunaannya untuk apa.

“Ya mungkin biar kami tidak betah, mas,” keluh Yoni.

Memang ia masih bisa jalan memutar bila ada kebutuhan ke desa sebelah. Tetangga depan rumahnya juga membuat lubang sebesar pintu di pagar seng itu agar bisa ke rumah Yoni.

“Namun kan saya jualan madu, bergantung dengan orang yang melintas di depan jalan dan melihat plang nama. Ya (akibatnya) menurun drastis penjualan madu saya, hanya langganan yang masihdatang ke sini,” kata Yoni.

Yoni menggantungkan hidupnya dari beternak lebah madu. Ia memiliki 100 kotak lebah madu yang saat ini sedang diangon (dibudidayakan) di Pati, Jawa Tengah. Pilihan untuk mengangon lebah lintas-kecamatan hingga lintas-provinsi adalah pilihan terbaik untuk menyelamatkan sumber mata pencariannya.

Dulu, ia tidak perlu keluar desa untuk angon lebah. Kebun mangga yang terdapat di desanya sudah ideal dijadikan lokasi untuk membudidayakan lebah madu itu.

“Sekarang sudah tidak ada mangga di dekat rumah mas, jadi harus saya angon ke kecamatan sebelah. Butuh biaya truk dan tenaga untuk memindahkan, kalau bicara rugi ya rugi,” katanya.

Meski terbelit dengan beban usaha, tetapi Yoni tak ingin juga terburu-buru melepas tanahnya dengan harga yang menurutnya tidak wajar.

“Bukan saya nggak mau jual mas, cuma kan nggak masuk akal harga penawarannya justru malah turun jauh dibanding pembebasan tahun 2017. Dulu, tetangga saya tanahnya dihargai Rp18,5 juta per Ru, lha kok malah tahun 2019 harga yang ditawarkan saat itu turun menjadi Rp10,5 juta per Ru. Bagaimana hitungannya?”kata Yoni.

Ru atau bata/tumbak/ubin adalah satuan pengukuran tanah yang biasa dipakai oleh orang Jawa yang setara dengan 14 meter persegi. “Ya, saya tidak hendak melawan pemerintah, saya hanya mau harga yang layak. Kalau saya jual segitu, saya belum tentu bisa membangun rumah di tempat yang baru,” katanya.

Alkhalifi Fikri Hadi, 7 tahun, anak Yoni bermain di belakang rumah berbatas seng proyek bandara di Dusun Bedrek Selatan, Desa Grogol, Kabupaten Kediri. (Project M/Arief Priyono)

* * *

Kehadiran saya di rumah Yoni rupanya menjadi buah bibir warga. Perbincangan santai kami di teras Yoni tak lama menjadi sedikit ramai dengan kehadiran dua warga lain.

Tapi Nurul Anis Kholifah dan kakaknya, Liswatun Naimah, yang datang dengan berboncengan sepeda motor lebih, lebih memilih diam bermain telepon genggam di kursi kayu panjang meski sesekali mengalihkan pandangannya ke arah kami.

Rupanya mereka mencurigai kehadiran saya.

“Lha mosok wartawan kok kaosnya hitam-hitam semua, terus rambutnya gondrong, beberapa tato-an,” kata Lis, sapaan Liswatun, membocorkan kecurigaannya. Saya tertawa terbahak-bahak.

Kecurigaan itu bukan tanpa alasan. “Kami sering diintimidasi, makanya kami waspada pada gerak-gerik orang asing,” Anis menimpali.

Setelah membocorkan kecurigaannya, kakak-beradik itu tidak membutuhkan waktu lama untuk mencurahkan kekesalannya pada proses pengambilalihan lahan warga untuk Bandara Kediri.
Salah satunya adalah keputusan kontraktor untuk merobohkan musala satu-satunya di desa itu.

“Seharusnya kan bisa menunggu sampai kami setuju menjual rumah dan pindah lokasi,” kata Lis, seraya menambahkan pihak pengembang sempat berjanji untuk membangun musala baru tetapi tak kunjung terwujud hingga hari ini.

“Kami terpaksa memakai garasi rumah untuk musala darurat. Mbok ya nunggu kami pindah kalau mau dirobohkan, wong ya tidak dipakai apa-apa dan dibiarkan saja,” kata Anis meluapkan emosinya.

Lis punya usaha kelontong. Saya sempat menyaksikan langsung transaksi jual beli di tokonya itu. Ada satu nota pembelian yang bertuliskan tagihan sebesar Rp1,2 juta. Saya sesaat bisa membayangkan omzet harian toko kulakan Lis yang mungkin bisa mencapai belasan juta dalam satu hari.

“Kalau toko saya jual, terus saya membangun di tempat lain, belum tentu pelanggan mau membeli di tempat saya, apalagi kalau saya membangun di tempat yang jauh dan kurang strategis,” kata Lis.

Lis mengatakan ia tidak menolak pembangunan bandara. “Buktinya saya warga yang pertama kali menjual rumah dan pekarangan di lokasi ini, karena dulu harganya bagus. Lha ini aneh justru harga penawaran untuk lokasi toko saya malah turun jauh,” kata Lis.

Warga Dusun Bedrek Selatan, Desa Grogol, Kabupaten Kediri, melaksanakan shalat Idul Fitri 2021 di halaman mushola darurat. (Project M/Arief Priyono)

* * *

Gugatan diajukan warga berbarengan dengan kunjungan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ke lokasi pembangunan bandara Kediri pada 30 November 2021. Progres pembangunan infrastruktur bandara yang dimulai sejak April tahun lalu itu telah berjalan lebih dari 50 persen.

Tahap pertama akan dibangun pada area seluas 13.558 meter persegi dari total lahan yang mencapai 400 hektare. Bandara Kediri juga menjadi proyek pertama yang dibangun dengan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha dengan beban biaya ditanggung 100 persen oleh anak perusahaan PT Gudang Garam.

Rencana pembangunan sempat ditolak mantan Gubernur Jawa Timur Soekarwo karena menganggap wilayah udara bekas Karesidenan Kediri harus bebas dari penerbangan sipil karena menjadi tempat latihan pesawat tempur Pangkalan Udara Iswahyudi, Magetan. Namun, penolakan itu tidak mendapat dukungan pemerintah pusat. Terlebih, warga juga menyadari adanya upaya akuisisi lahan di kawasan lereng Gunung Wilis oleh Gudang Garam sejak bertahun-tahun sebelumnya.

Bersamaan dengan seremoni peletakan batu pertama proyek ini pada 15 April 2020, Pemerintah memasukkan Bandara Internasional Dhoho ke dalam daftar Proyek Strategis Nasional.

“Terima kasih pada Gudang Garam, kami lihat investasinya tidak kecil, Rp8 sampai Rp9 triliun,” kata Luhut, dalam kunjungan ke Kediri akhir bulan lalu.

Sayang, nilai investasi yang besar itu tak turut dirasa adil oleh warga yang harus melepas tanahnya untuk mendukung proyek nasional.

Jalan lengang tidak seperti biasanya di Dusun Bedrek Selatan, Desa Grogol, Kabupaten Kediri, setelah pengembang bandara menutup akses dengan pagar seng. (Project M/Arief Priyono)
Jamirah, 80, berada di dalam rumahnya yang mengalami retakan dinding dampak operasi alat berat proyek bandara di Desa Bulusari, Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri. Jamirah dan anak-anaknya masih bertahan belum melepas rumah dan tanahnya untuk proyek bandara. (Project M/Arief Priyono)
Dapur umum warga Dusun Bedrek Selatan, Desa Grogol, Kabupaten Kediri. (Project M/Arief Priyono)

Yana Prasetia Hastanti, istri Rudi Wahyu Siswinantyo yang didapuk menjadi ketua paguyuban bagi 16 warga penggugat mengatakan mereka keberatan atas nilai penggantian tanah yang jauh lebih rendah dari harga pasar. Selain itu, harga yang ditawarkan perusahaan juga tidak berubah dibandingkan dengan penawaran yang pernah diajukan pada 2019.

“Kami bukan ingin malak pemerintah atau aji mumpung. Masalahnya dengan harga pasar yang lebih rendah, kami tidak bisa membeli tanah di daerah kami lagi,” kata Yana seperti dikutip dari Tempo, Rabu (1/12/2021).

Menanggapi gugatan warga, tim kuasa hukum perusahaan mengaku akan kooperatif mengikuti proses dan taat pada putusan pengadilan.

“Sudah dipermasalahkan dan mereka sudah mengajukan keberatan, kita ikuti saja” kata Emi Puasa Handayani, perwakilan tim kuasa hukum perusahaan, seusai sidang perdana di Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Rabu 8 Desember 2021.

Emi berkilah kewenangan penentuan harga bukan di tangan perusahaan, melainkan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang ditunjuk pejabat Kantor Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) Kabupaten Kediri.

Senada, pejabat Kantor Pertanahan Kediri mengaku pihaknya hanya melakukan pendataan secara menyeluruh terkait tanaman dan tumbuhan yang ada, luas bangunan dan luas tanah yang kemudian diserahkan kepada KJPP untuk ditentukan nilainya.

“Dalam Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2021, yang ada musyawarah bentuk ganti kerugian dan waktu itu sudah sepakat bentuk ganti kerugiannya adalah uang. Nah, untuk nilai besarannya itu tidak ada musyawarah, tidak ada tawar menawar. Keputusan KJPP bersifat final, tapi kita juga tidak tahu kenapa ada perubahan harga dari hasil penilaian pertama dan kedua”, kata Kepala Kantor Pertanahan ATR/BPN Kabupaten Kediri Andreas Rochyadi yang juga menjabat sebagai pemimpin pelaksana pengadaan tanah untuk proyek bandara ini.

Andreas juga mengaku akan mengikuti apapun hasil keputusan pengadilan. “Dan juga tergantung pula dari pihak yang memerlukan tanah. Karena dimungkinkan pada saat konsinyasi itu pihak yang memerlukan tanah mengajukan eksekusi ke pengadilan” katanya.


Arief Priyono merilis teaser film ‘Penjaga Terakhir’ di kanal YouTube pada 2 Juli 2021. Berselang sebulan kemudian, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menerbitkan surat agar pengembang bandara memperhatikan akses jalan bagi warga.

Pada 3 September 2021, pengembang bandara akhirnya membongkar pagar seng yang turut menutupi toko kelontong Purwito. 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Ricky Yudhistira & Ronna Nirmala
10 menit